Setelah bersalaman dengan tim lawan dan kawan, Ara duduk sembarang di samping lapangan. Dia meluruskan kaki-kakinya. Sakit di kakinya masih terasa berdenyut. Usahanya terbayar karena tim nya berhasil masuk semi final besok.
"Lo gapapa?" Jessica menghampiri Ara dengan wajah khawatirnya.
Ara mengangguk. Dia membuka sepatunya dan begitu terkejut saat melihat pergelangan kaki kanannya yang membiru.
"Ini sih ndak baik." Jessica menghela napas.
"Masih baik kok." Ara tersenyum.
"Yaudah, gue ke kantin dulu. Lo duduk aja disini."
Ara mengangguk.
Setelah Jessica pergi, Ara sendiri. Dia melihat Val dengan Daniel dan Erino, ada Celine dan beberapa orang yang Ara lupa namanya. Mereka nampak masih menggoda Daniel dan Celine. Kemudian tidak sengaja Val menengok ke arahnya, tak lama pria itu mendekat.
"Ulah lo nih, bikin memar anak orang." Val berjongkok di depan kaki Ara.
"Ah--gue gap--"
"Jangan bilang gapapa." Val memotong.
Daniel dkk mendekat ke arah Ara. Pria itu sama sekali diam tidak meminta maaf atau sekedar berbasa basi.
"Gue gendong ke uks." Val berjongkok membelakangi Ara. Gadis itu dibuat terdiam, Celine berbisik-bisik pada Daniel dan Erino.
Ara menatap sembarang. Matanya terpaku pada Dito yang sedang melirik ke arahnya. Ara langsung beringkut menaiki punggung Val. Akan lebih baik begitu daripada Dito yang membawanya.
"Jessica lagi ke kantin, tolong bilangin kalo gue ke uks."
"Tenang aja. Ada gue." Ucap Erino.
"Hadeh dasar bocah modus." Timpa Val.
"Lo sendiri gimana boy?" Erino tak mau kalah.
"Udah dong. Jangan debat." Celine berkata dengan suara kecilnya yang terdengar lembut.
Ara tersenyum, dari suaranya saja dapat disimpulkan, Celine benar-benar cantik.
Val berdiri, dia juga sudah membawa sepatu putih Fila milik Ara di tangan kirinya.
"Berat lo berapa?" Tanya Val di sela perjalanan.
"Empat puluh empat. Kenapa?"
"Berat juga ya. Gue ngerasa kaya lagi bawa sekarung kapas."
Ara memutar bola matanya. Dia tidak membalas ocehan Val.
Ruang Uks tidak cukup jauh, petugas piket pmr menyambut kedatangan Val dan Ara. Dia memberikan jalan dan meminta Val mendudukkan Ara disalahsatu ranjang uks.
"Dia kekilir." Terang Val.
Petugas pmr mengangguk, dia memperhatikan memar pada kaki Ara. "Gue ambil es batu dulu." Ucapnya kemudian.
Val mengangguk, dia mengambil kursi dan duduk disamping ranjang Ara.
"Tiduran."
Ara menggeleng. "Gue baik-baik aja."
"Yakin?"
"Bohong banget." Val mencibir.
Ara terkekeh sedikit, dia kemudian tersenyum lebar bersamaan dengan matanya yang kembali membentuk bulan sabit.
Val ikut tersenyum. "Lo punya penyakit?"
Ara menggeleng, karena seingatnya dia tidak memiliki riwayat penyakit apapun.
"Happy virus."
Ara menatap Val, dia tidak mengerti.
"Orang yang ada di sekitar lo jadi pengen senyum kalo lihat lo senyum."
"Gue anggap itu pujian. Makasih." Ara terkekeh ringan.
Val tersenyum. "Dasar."
Tak lama petugas pmr sudah kembali dengan membawa kompres es batu. Kompres itu dia tempelkan pada kaki Ara.
"Pulang dari sini ke rumah sakit ya dek."
Ara mengangguk.
Keadaan hening beberapa saat, hingga memudian petugas pmr perempuan itu berkata pada Val. "Lo balik aja, masih ada jam mpls."
Val menghela napas lelah. "Harus banget?"
"Iya harus." Jawab seseorang. Yang pasti bukan jawaban yang keluar dari petugas pmr itu.
Sontak mereka menoleh, mendapati Dito di depan pintu yang terbuka.
"Gue balik ke lapangan dulu ya." Ucap Val pada Ara dengan nada tak bersemangat. Dia berjalan lemas keluar, berhenti di depan Dito beberapa saat sambil memandangi wajah Dito tanpa suara lalu langkah kakinya membawa dia pergi.
Sementara Val pergi, Dito memasuki UKS.
"Kebetulan lo dateng." Ucap petugas pmr. Dari nametagnya dia bernama Vera Fujianah, teman satu kelas Dito saat kelas sepuluh.
"Gue ada kuis kelas Pak Romi bentar lagi. Rencananya mau langsung ngunci UKS eh taunya ada yang sakit."
Dito mengangguk paham, "yaudah biar dia gue yang jagain. Lo ke kelas aja."
"Beneran nih?"
Dito mengangguk. "Gue kan ketos, jadi kerjaan gue dikit."
Ara berdecih pelan karena kesombongan yang dilontarkan Dito.
"Thanks." Vera kemudian memberikan tugas memegang kompresnya pada Dito. Dia pamit pergi dengan senyumannya.
Melihat Vera sudah benar-benar keluar dari UKS, Dito menarik kursi dan melihat memar pada kaki Ara. Kemudian Dito menekan area memar dengan tangan kanannya.
"Ya!! Micheosseo!!! (Hey!! Gila!!!)" Ara berteriak spontan, dia menepuk keras tangan Dito.
Dito mendelik pada Ara yang sudah seperti singa lapar. "Nggak ada kalem-kalemnya ngomong sama oppa."
Ara tidak menjawab dia hanya tersenyum lebar bermaksud mengejek sepupunya itu.
"Shit! Apa yang dia lakuin sampai birunya kaya gini?"
Ara menatap Dito, ternyata pria itu tengah mengamati memarnya. Sesekali dia terlihat meringis.
"Kita ke rumah sakit sekarang."
Ara menggeleng.
"Mau kaki lo telat penanganan terus nanti diamputasi?"
Ara menghela napas, "nggak begitu juga."
"Makanya nurut."
"Hm...." Jawab Ara malas.
"Kalo naik motor gue kayaknya nggak mungkin lo bisa naik." Dito bergumam sendiri. Tak lama dia menjentikkan jarinya.
Ara melihat perubahan ekspresi Dito, kemudian pria itu tiba-tiba pergi keluar tanpa pamit.
Ara tidak bisa berpikir, dia menggeser kakinya dengan penuh kekuatan menahan nyeri.
Suara Dito kembali terdengar di telinga Ara, gadis itu hampir saja mencerca Dito karena meninggalkannya sendiri. Tetapi dia menutup kembali mulutnya karena Dito tidak datang sendirian dia bersama seseorang yang tidak memiliki wajah ramah.
"Ini Randy, sahabat gue. Dia bakal nganter lo ke rumah sakit."
Sebenarnya Ara tahu Randy, dia wakil ketua osis. Pria itu yang sering marah-marah di pagi hari kalau ada peserta mpls yang tidak membawa persyaratan lengkap. Sebatas tahu itu saja.
Ara tersenyum, tapi di dalam hatinya dia menggerutu karena Dito menyerahkannya pada pria tak di kenal. Ralat, pria yang Ara tak kenal.
"Maaf, tapi apa harus sama dia?" Tanya Ara berusaha sopan.
Dito mengangguk mantap. "Dia bawa mobil."
"Sebenarnya bisa aja sih gue pinjem mobil dia. Tapi asal lo tahu Ra, dia nggak pernah minjemin mobilnya ke orang." Ucap Dito setengah berbisik.
"Gue dengar." Randy berkata datar.
Ara tersenyum canggung. "Hngg.. Tas gue gimana?"
Pintu uks kembali terbuka, kini Jessica berlari menghampiri Ara. Di membawa tas hitam-pink milik Ara dan dua botol air mineral.
Jessica berdiri di samping ranjang Ara yang berbeda, sehingga ia berhadapan dengan Dito dan Randy.
"Tas lo." Jessica menyodorkan tas itu.
Ara tersenyum sumringah, dia menerima tasnya. "Terima kasih."
"Oh iya, minumnya." Jessica memberikan satu botol air mineral yang masih utuh pada Ara.
Ara segera meraih air mineral itu dan membukanya, "terima kasih lagi." Ucapnya, setelah itu dia meminumnya dalam beberapa tegukkan.
"Jagain sepupu gue." Dito menepuk bahu Randy.
Pria itu mengangguk.
"Ayo balik ke lapangan." Ajak Dito pada Jessica.
"Eh-- iya kak." Jessica terlihat gugup. Dia berpamit pada Ara dan Randy.
Tinggal lah Ara dan Randy yang saling membisu.
"Kita berangkat sekarang."
Ara terkesiap. "Ngh-- iya."
Gadis itu meringis, dia menggeser tubuhnya hingga di samping ranjang kemudian menunduk hendak mengambil sepatunya.
"Pake ini aja." Randy mengambil sandal selop warna putih milik uks yang tergeletak di samping nakas. Di letakkannya sandal itu di depan kaki Ara.
Ara menurut, dia turun dari ranjang. "Ahh.." Dia kembali duduk. Kakinya masih berdenyut dibawa berdiri.
Randy mengambil alih tas dan menjinjing sepatu Ara. Lalu dia menengadahkan tangannya di beberapa senti depan wajah Ara.
"Ayo."
Gadis itu tersenyum canggung, kemudian dia menerima uluran tangan Randy yang membantunya berdiri.
°°°
"Ada sedikit pergeseran pada ligamennya. Tapi tenang aja, nggak terlalu parah." Ucap dokter wanita yang tengah menangani Ara. Dokter itu terlihat seumuran dengan ibunya.
"Saya akan membuat resep obatnya setelah memasang perban dan penyangga."
Ara mengangguk, kemudian melirik Randy yang hanya berdiri melipat kedua tangannya.
Tak lama setelah selesai dengan urusannya, dokter itu keluar dan kembali lagi dengan kertas putih berisi beberapa jenis obat. Dia menyerahkannya pada Randy.
"Obatnya untuk dua hari, setelah itu kamu bisa kesini lagi untuk check up."
"Aah--iya terima kasih." Jawab Ara.
Dokter wanita itu tersenyum, Ara ikut tersenyum.
"Kalian dari SMA Nusantara?" Ucapnya seakan baru tersadar.
"Iya." Kini Randy yang menjawab.
"Anak saya juga sekolah disana. Dia baru masuk tahun pertama."
Ara berkedip antusias, jika baru masuk tahun pertama itu berarti satu angkatan dengannya. Mereka bisa saja berteman. Great!
"Siapa namanya?" Tanya Ara.
"Daniel.... Daniel Quella. Kamu mengenalnya?"
Ara terbatuk, dia tersedak oleh ludahnya sendiri. Dia kembali menarik kata-katanya akan berteman dengan anak dari dokter ini.
"Nggak apa-apa?" Tanya Dokter wanita (yang ternyata ibu Daniel) sambil mengusap punggung Ara.
"Sebenarnya dia terkilir gara-gara Daniel." Randy menjawab enteng.
Ara melotot, dia kemudian menyipitkan matanya pada Randy.
"Benarkah? Ahh ibu minta maaf."
"Eh-- enggak. Dia nggak sengaja." Ara tidak enak hati.
"Aduhh, ibu benar-benar minta maaf. Kalau gitu biaya pengobatannya biar ibu aja yang bayar. Obatnya juga biar ibu yang tebus."
Ara mematung, bola matanya melirik ke arah Randy. Pria itu hanya mengangkat ke dua bahunya.
"Sebentar ya...." Dokter itu bergegas keluar. Bermaksud untuk menebus obat.
Ara berdecak kesal pada Randy.
"Kenapa?" Tanya Randy tak bersalah.
Ara tidak menjawab, dia melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian membuang muka.
Randy menyunggingkan sedikit sudut bibirnya. "Lumayan kan gratis. Jadi gue nggak perlu bayar biaya rumah sakit."
Ara langsung memutar lagi pandangannya, menatap Randy. "Perhitungan."
~~~
??????