Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Hari sudah semakin larut. Di luar, suara bising kendaraan mulai berkurang. Aktivitas orang-orang juga sudah jarang terlihat.

Di aparteman itu, semua orang terdiam. Dennis jelas shock luar biasa. Akhirnya, apa yang ia pertanyakan selama ini terjawab sudah. Ia terkadang nyaris tidak memikirkan kedua orangtuanya karena usaha kerasnya untuk membuat Marsha menderita.

Dennis merasa dasar perutnya dihujam ribuan batu, dan kepalanya ingin meledak.

Perasaannya makin tak karuan ketika mendengar bel apartemen mereka berbunyi.

Mereka berlima saling tatap, kemudian Jordi bergumam. “Siapa yang bertamu semalam ini?” ia keluar dari kamar dan membuka pintu apartemen.

Seorang gadis berambut sepinggang tampak takut-takut ketika mengamati Jordi yang membukakan pintu untuknya.

“Lo siapa?” Jordi seketika bertanya.

Gadis itu tampak kaget, kemudian berkata dengan agak kaku. “Aku.. Kirana.” ucapnya memperkenalkan diri. “Aku nyari Dennis.”

“Oh, ayo, masuk dulu.” Jordi membuka pintu apartemen lebar, mempersilahkan Kiki untuk masuk. Kiki berjalan di depan Jordi dengan agak takut.

“Dennis!” teriak Jordi. Mereka berdiri di tepi ruang tengah. “Ada yang—”

Belum sempat Jordi menyelesaikan kalimatnya, Dennis keluar dari kamar Lintang, menghampiri mereka, dan sontak menampar keras wajah Kiki.

Jordi secara sadar menarik lengan Kiki untuk menjauhinya. “Ngapain lo?! Ini cewek, bego!”

Dennis tidak menggubris omongan temannya itu. Ia memandang Kiki penuh amarah, tanpa mengatakan apapun.

Sementara itu, Kiki yang tampak sangat terkejut, memegang pipinya, bingung dan tidak percaya. “Kamu kenapa nampar aku?”

Dennis bertingkah seakan tidak mendengar pertanyaan itu. “Kamu udah tahu kan?”

“Soal apa?” Kiki terlihat makin bingung.

“Soal kenapa Bapak Ibuku meninggal.”

Mata Kiki membulat sempurna. “Kamu udah tahu? Marsha udah bilang?”

Dennis mendengus. “Kamu nggak usah pura-pura nggak tahu, Ki.” sinisnya. “Marsha bilang dia keluar negeri, dan nggak ngasih tahu kamu sama pacarnya Leo soal itu dan orangtuaku.”

Alis Kiki terangkat tinggi. “Kamu ngomong apa sih?”

“Udahlah, jangan bohong kamu.” Dennis bicara dengan nada malas. “Kamu udah tahu kan kalau ternyata bukan Marsha yang membakar rumah? Kalau rumahku dulu itu emang udah terbakar dan Marsha kejebak disana, terus ternyata Marsha berhasil keluar sementara orangtuaku mati?”

Kiki tercenung sebentar. “Jadi, itu yang terjadi?”

Tanpa diduga, Dennis menampar Kiki lagi.

Kiki bahkan tidak punya waktu untuk mengelak tamparan itu. Ia bingung, sekaligus heran. Ia bahkan belum mengatakan maksud kedatangannya, tetapi ia sudah disambut dengan ramah oleh Dennis. Ia meringis pedih sambil menatap Dennis sama tak percayanya seperti tadi. “Kamu kenapa sih? Aku datang ke sini cuma pengen nanya kemana Marsha pergi karena Leo nggak ketemu dia dimana-mana, dan kamu malah nampar aku?”

Dennis menghela napas kasar, menarik tangan Kiki dengan kasar menuju kamar Lintang. Semua orang mengikuti keduanya. Dennis kembali memperdengarkan rekaman itu.

Selama mendengar, Kiki benar-benar tidak menyangka. Ia membekap mulutnya, ingin sekali menangis disana, tapi itu tidak mungkin. Ini bukan tempatnya dan Dennis bahkan terlihat sama sekali tidak percaya padanya.

Kiki kembali menemukan dirinya ketika ia berkata. “Jadi kamu nampar aku karena ini?” tatapannya begitu menantang. “Kamu kira aku pura-pura nggak tahu semua ini?”

“Aku nggak percaya tentang bagian yang nyebutin kamu dan Leo nggak tahu apa-apa.”

“Itu karena aku sama Leo emang nggak tahu apa-apa, dasar tolol!” pekik Kiki marah. Mukanya memerah, terlebih di bagian pipi kiri. Gadis itu terlihat ingin sekali menjambak rambut Dennis. “Kemarin kamu nyalahin Marsha karena dia nggak jujur soal orangtua kamu, dan sekarang kamu nyalahin aku yang nggak tahu apa-apa?! Kenapa? Kamu nyesel dia pergi?!”

Dennis sudah ingin menampar Kiki, tapi Jordi sudah siaga dengan menarik Kiki menjauh. Thomas menahan tangan Dennis.

“Aku benar-benar nggak nyangka.” Kiki menggeleng lemah. “Kamu bukan Dennis yang aku kenal lagi.”

“Kamu senang kan lihat aku kayak gini?”

Kiki melongo. “Senang apanya?”

Dennis menatapnya datar. “Jangan bohong.” tukasnya.

Kiki mengeluarkan suara dengusan. “Kamu kira aku senang setelah aku tahu yang sebenarnya karena apa?! Aku justru nggak nyangka karena kamu nggak kelihatan menyesal sama sekali! Kamu malah nyalahin orang atas semua tindakan kamu!” suaranya kian meninggi. “Bukannya dulu aku selalu bilang, kamu hanya perlu bersabar sampai Marsha mengatakan yang sebenarnya? Kamu nggak ngelakuin itu. Kamu malah mukul, nampar, dan nyiksa dia. Kamu ngatain adikmu sendiri perempuan binal. Kamu juga bilang ke seluruh keluarga kamu kalau Marsha yang membakar rumah, yang membuat om Bayu sama tante Tiwi meninggal. Kamu juga ngusir dia, sampai-sampai kamu ngirim semua uang orangtuamu supaya dia bisa mengelola uang itu sendiri dan kamu nggak perlu berinteraksi sama dia. Setelah Marsha pergi, setelah kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, kamu malah marah dan nampar aku? Kamu kenapa? Merasa bersalah tapi nggak mau ngaku dan malah nanya apa aku harus senang dengan semua itu? Emangnya aku harus senang untuk apa? Karena Marsha pergi? Atau karena kamu menyesal setelah dia pergi?”

Diucapan dengan nada setenang air di permukaan danau, Dennis tertegun begitu setitik air mata Kiki jatuh mengalir di pipinya.

Gadis itu tersenyum sedih. “Aku kecewa sama kamu.”

Kiki keluar dari apartemen itu tanpa mengatakan apapun. Menyisakan keheningan yang tidak menyenangkan.

“Lo gila.” adalah kalimat pembuka dari Jordi begitu pintu apartemen menutup sendiri. “Sebenci-bencinya gue sama cewek, gue sama sekali nggak punya pikiran untuk menyakiti mereka secara fisik!”

Dennis memandang Jordi dengan tatapan kosong. Ia terduduk di sofa, seketika menyadari apa yang terjadi.

Marsha.. Marsha adiknya.. gadis itu sudah pergi. Gadis itu sudah tidak ada di sini. Gadis itu tengah mengejar mimpinya di negeri orang, meninggalkan semua yang membuatnya tersiksa dan menderita di tempat ini. Gadis itu.. juga meninggalkan dirinya.

Inilah pertama kalinya, Dennis menyesali semua tindakan yang sudah ia lakukan pada gadis itu. Seluruh kebenciannya kepada Marsha mendadak hilang. Berganti menjadi perasaan bersalah yang amat sangat menyakitkan.

Dan tindakan bodoh apa yang baru saja ia lakukan malam ini?

Siapa yang mengendalikan tubuhnya sehingga ia berani menampar sahabat terbaiknya?

Dennis terduduk di sofa, menunduk dalam diam, memegangi kepalanya. Ia tidak bisa berpikir jernih sejak mendengar suara tangis Marsha ketika memberitahu kebenaran amat memilukan itu. Adik kecilnya pasti sangat tersiksa saat merekam semua itu. Baru saja ia ingin merenungi betapa tololnya ia, Kiki datang. Entah mengapa, kemunculan gadis itu membuat dirinya makin tidak bisa mengendalikan diri. Ia merasa harus melakukan sesuatu, dan sesuatu itu ternyata adalah menampar Kiki.

“Cewek tadi bahkan belom ngomong apa-apa dan lo udah nampar dia?” Thomas berkata, mendengus takjub. “Lo goblok apa gimana?”

Well.” gumam Lintang memecah pertikaian. “Gue sepakat sama lo semua soal kebegoan Dennis. Tapi, apa gue satu-satunya orang disini yang mau tahu apa yang terjadi?”

Dennis memandang semua teman-temannya dengan tatapan kosong. Putus asa, ia mengamati kalung dan gelang yang ada di genggamannya. Ia benar-benar baru merasa kehilangan sekarang. Bodoh sekali.

Dennis berdiri, melangkah menuju kamarnya sendiri. Empat orang lain mengikuti. Ia membuka lemari, mengeluarkan sebuah album foto di sana. Ia tersenyum sedih. Terakhir kali ia memegang album itu adalah saat ia menaruhnya untuk menyembunyikannya di antara tumpukan baju. Ia dulu sebenci itu pada Marsha, merasa muak hanya melihat wajahnya di foto.

Ya, dulu.

Karena sekarang Dennis sangat menginginkan sosok gadis kecil itu ada di sampingnya.

Dennis duduk di lantai, menaruh album itu di sana. Semua orang duduk mengelilingi album itu. Dennis membuka-buka album, membuat keempatnya menahan napas. Ini pertama kali Dennis menunjukkan album itu kepada empat temannya.

“Jadi lo punya adik perempuan?!” Thomas berkata, tidak percaya.

Dennis mengangguk tanpa mengatakan apapun. Ia berhenti di sebuah halaman album, yang selama dua tahun ini sudah tidak pernah lagi dibuka karena semua isinya adalah foto Marsha dari bayi sampai ia memakai seragam SMA nya sebelum mengikuti ujian nasional.

“Namanya Marsha, dan dia lima tahun lebih muda dari gue.” Dennis mulai menjelaskan, mengamati sosok Marsha yang sedang cemberut di foto dengan senyum sendu.

“Dia.. yah, dia begitu cantik, duplikat sempurna Ibu gue, gue harus bilang..” kenang Dennis. Matanya perih menatap foto dirinya dengan gadis itu, duduk bersebelahan di atas pasir pantai, rambut mereka terbawa angin, tapi keduanya tersenyum sangat lebar. “Itu adalah kata-kata yang selalu gue pakai untuk memperkenalkan dia.”

Mata Dennis mulai memanas. “Dia sama aja kayak anak-anak kecil lain, yang suka main petak umpet dan lari-larian di kompleks perumahan sampai dimarahi para tetangga. Tapi, dia tetap lebih suka ada di rumah, membaca buku apa saja yang dia lihat di rak buku orangtua gue. The thing is: she’s so smart, I can’t deny it. Gue kadang iri sama dia, yang selalu juara umum kelas, menang lomba, peserta olimpiade, dan semua julukan-julukan yang menunjukkan kalau dia pintar. Kadang gue suka marah sama dia kalau dia nolak teman-temannya yang ngajak main di luar karena dia mau baca koran sama bapak gue.”

Dennis berdehem, seakan tengah menyamarkan isakan yang ingin keluar. “Gue sama dia dulu akrab banget. Gue selalu nganterin dia ke sekolah, dan dia bersedia nemenin gue kalau gue lagi main sama teman-teman gue. Dia bahkan lebih akrab sama teman-teman gue dibanding teman-temannya sendiri. Dia anak yang baik banget, karena dulu dia pernah dihajar sama mantan pacar gue, dan dia masih sempat-sempatnya maksa gue biar gue minta maaf.”

“Gue sama dia pindah ke dari Gianyar ke Jakarta pas dia lulus SMP. Dia SMA nya di sini, di salah satu sekolah favorit. Dia masih sepintar dulu, nggak ada yang berubah. Gue juga masih sayang banget sama dia. Sampai waktu gue dapet gaji pertama gue sebagai model, dan gue pengen ngasih gaji itu langsung ke ortu gue, gue jadi benci banget sama dia.”

Dennis memejamkan mata, rupanya tidak bisa lagi menahan air mata. “Gue inget dulu ada salah satu tante gue nelpon dan bilang ortu gue meninggal. Gue langsung ke Bali, dan ngeliat rumah dan ortu gue hangus. Gue bener-bener nggak tahu apa yang harus gue lakuin. Gue hancur banget waktu ngeliat para tetangga ngurus jenazah mereka. Kemudian, ada keluarga gue yang nanyain Marsha. Disitu gue ingat, gue belum ketemu dia sama sekali. Dia pasti terpukul, sama halnya kayak gue. Dan pas gue mau nyari dia, gue denger para tetangga bilang kalau rumah gue sampai kebakar karena Marsha yang ngebakar rumah. Dari situ, gue mulai.. memperlakukan dia dengan agak berbeda.. bahkan sampai ngebuat seluruh keluarga gue benci sama dia karena mereka semua ngira dia.. pembunuh.”

“Dan lo lebih percaya para tetangga lo itu dibandingkan adik lo sendiri.”

Dennis mengangkat wajah. Thomas duduk di seberang Dennis, memandang temannya itu dengan cara yang sangat berbeda dari biasanya. Perhatian Jordi, Yusuf, dan Lintang pun teralihkan karena raut wajah Thomas tampak jauh dari kata ramah, mengingat Thomas yang selalu bersikap ceria.

“Gue kecewa sama lo.” Thomas berujar pahit. “Selama gue kenal lo, gue nggak pernah melihat lo memperlakukan cewek-cewek dengan kasar. Gue tahu bagaimana lo yang sangat menghargai perempuan, dari yang paling muda sampai tua, dari yang paling liar sampai yang paling polos. Lo bahkan menghormati cewek-cewek ganjen yang suka ngegodain lo, tapi lo bahkan memperlakukan adik lo sendiri kayak binatang liar. Dan baru tadi, lo nampar cewek yang sama sekali belom ngejelasin apa-apa sama lo. Tolol.”

Emosi Dennis seketika tersulut, karena sepersekian detik kemudian, ia sudah berlutut hendak meninju Thomas, tapi Jordi yang tadi duduk di sampingnya, menahannya.

Dennis menggeleng-geleng, balas menatap Thomas dengan nyalang. “Lo nggak tahu apa-apa, Tom. Lo bahkan nggak kenal cewek barusan. Lo bukan gue yang tiba-tiba dikabarin kalau ortu lo meninggal dan ternyata yang lo tahu adik lo adalah penyebabnya. Wajar aja gue sebenci itu sama adik gue sendiri.”

Lintang mendengus.

Dennis menatap Lintang. “Apa?”

“Lo ngomong kayak gitu seakan-akan lo bangga udah nyiksa adik lo.” Lintang menjawab. “Dan sekarang, kenapa lo ngeluarin air mata pas lihat foto dia? Lo nyesel?”

Dennis langsung mematung.

“Menurut gue, bukan salah adik lo kalau dia nggak bisa bilang apa-apa sampai tadi. Dia baru selesai ujian nasional dan dia yang jadi saksi tunggal kematian ortu lo, dan lo malah lebih percaya tetangga lo dibanding harus bersabar nunggu adik lo sendiri cerita. Lo juga melampiaskan kesedihan dan kemarahan dengan nyiksa dia. Gue kayaknya udah punya bayangan tentang penyiksaan apa aja yang udah lo lakuin, kalau mendengar cara Marsha menangis di rekaman itu. Diperkuat dengan fakta baru beberapa menit lalu, lo dua kali nampar cewek yang nggak punya salah. Lo cowok bukan?”

Kata-kata itu seperti meninju kuat dada Dennis. Menghadapi teman-temannya mengenai masalah ini, ia seharunya tahu ini tidak akan mudah.

“Tahu nggak, sekarang gue ngerti kenapa Tom dan Lintang kayak gini.” ujar Yusuf, lebih kepada semua orang. “Tom punya kakak perempuan, dan Tom pasti ngebayangin gimana misalnya kak Chika mukul-mukul dia, marahin dia, dan ngatain dia pembunuh. Lintang, yang juga punya seorang adik, dia jelas tahu cara memperlakukan adiknya itu walaupun sering pukul-pukulan. Bedanya, itu tanda kasih sayang Lintang ke Hiro. Lintang pasti nggak bakal mau nyiksa Hiro sekalipun Hiro membuatnya jengkel. Den, lo pernah mikir nggak, apa yang Marsha rasain setelah lo yang sebegitu benci sama dia? Padahal dari cerita lo, lo bahkan nggak mau melihat dia disiksa orang lain?”

“Marsha terluka luar dalam, Den.” sahut Thomas terdengar sedih. “Dan itu akibat dari seseorang yang Marsha pikir orang yang paling dia sayang.”

Dennis menunduk dalam, tidak berani menatap semua orang. Benarkah itu yang sudah dia lakukan? Benarkah ia melukai Marsha separah itu? Mengapa dulu ia lebih mempercayai para tetangga? Mengapa dulu ia tidak langsung menemui Marsha, tapi malah menemui anggota keluarganya terlebih dahulu? Apa yang Marsha rasakan saat itu? Apa gadis itu terluka? Apa gadis itu menderita? Dennis tidak pernah tahu, karena ia sudah menanamkan kebencian pada dirinya untuk gadis itu sejak orangtuanya meninggal.

“Gue..” lirih Dennis.

“Nyesel?” sahut Lintang. “Telat, Den. Adik lo udah memulai hidup baru di luar negeri. Dia pasti senang karena akhirnya bisa lepas dari lo dan kehidupan dia di sini.”

Dennis menatap mereka tak percaya. Bahkan dari cara Lintang menjawabnya, ia tahu tiga orang ini kecewa padanya. Jordi sampai sekarang belum mengutarakan apapun, tapi begitu menyadari sikapnya meski tadi Jordi mencegahnya untuk memukul Thomas, Dennis tahu Jordi begitu tak menyangka atas apa yang sudah ia lakukan.

Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Tidak ada lagi orang yang ingin menanggapi betapa marahnya mereka pada Dennis, dan Dennis rasa itu tidak perlu. Mata mereka mengatakan segala hal.

“Kenapa lo nggak bilang lo punya adik?” Jordi tiba-tiba bertanya. Ada kepahitan dalam suaranya. “Lo malu ngaku punya adik pembunuh?”

Ucapan itu benar-benar menampar Dennis.

“Jelas kan?” tukas Thomas. “Dia udah terkenal waktu ortunya meninggal. Kalau dia ngaku dia punya adik dan adiknya yang ngebunuh orangtuanya, dia pasti jadi pengangguran sekarang!”

“Bisa nggak lo berhenti ngehina gue?” tanya Dennis dengan wajah lelah.

“Gue nggak pernah punya maksud buat ngehina lo.” kata Thomas enteng. “Kalau lo merasa terhina, syukurlah, berarti lo salah setelah lo nyiksa adik lo.”

“Sekarang gini.” kata Yusuf menengahi. Ia menemukan kembali suaranya setelah berpikir selama keheningan tadi. “Apa yang lo rasain sekarang? Setelah lo tahu ternyata Marsha selama dua tahun ini adalah korban keegoisan lo?”

“Dan jelas, kita semua perlu tahu siapa cewek yang baru tadi lo tampar.” timpal Jordi.

Dennis tidak langsung menjawab. Ia malah membuka ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian menunjukkan foto dirinya dengan gadis tadi. Foto itu berlatar belakang sebuah bandara, keduanya berdiri bersebelahan, tersenyum ke kamera.

“Dia Kiki, teman gue dari kecil.” Dennis menjelaskan lagi. Ia sekarang melihat wajah Kiki dengan nanar. “Dia dari Bali juga. Malah, rumah gue sama rumah dia bersebrangan. Orangtua kita udah akrab banget. Jadinya dia udah kayak saudara gue sendiri—”

“Dan baru lima belas menit yang lalu lo nampar dia.” sahut Jordi, tersenyum sinis.

Dennis mengabaikan sindiran itu, melanjutkan ceritanya. “Gue, Marsha, dan Kiki pindah ke Jakarta bareng. Gue sama Kiki satu kampus tapi beda jurusan, tapi masih temenan akrab. Itu intinya. Sampai pas ortu gue meninggal, gue nggak hanya benci sama Marsha, tapi juga Kiki. Dia berkali-kali nasihatin gue, minta gue buat nggak nyiksa Marsha, tapi nggak gue dengerin. Bahkan tadi. Gue baru inget Marsha bilang Kiki sama Leo, adik sepupunya, nggak tahu apa-apa. Gue malah nampar dia.”

Dennis mengeluarkan suara setengah mendengus setengah tertawa, namun terdengar begitu menyedihkan.

Ia mengangkat wajah, menatap semua temannya, tidak bicara. Seandainya ia tidak termakan omongan tetangganya. Seandainya ia mau memberikan kesempatan kepada Marsha. Seandainya ia tidak menyiksa adik kecilnya itu. Seandainya ia mendengar semua nasihat Kiki tanpa menyanggahnya. Semua itu hanya seandainya, dan Dennis benar-benar menyesalinya sekarang.

Jika ia tidak mendengar omongan tetangganya, ia pasti akan mendapati Marsha menangis di pelukannya, dan ia akan terus menghibur gadis itu sampai tenang. Hubungan mereka pasti baik-baik saja sampai sekarang. Dennis tidak akan membohongi publik keluarganya, dan ia bisa mengetahui perkembangan detail Marsha di kampus. Jika keadaannya lebih baik, Dennis pasti sudah melepas kepergian Marsha ke negeri orang dengan perasaan haru dan bangga.

Dennis sudah kehilangan orangtuanya. Sekarang, ia kehilangan adik tercintanya dan sahabat terbaiknya.

Ia baru menyesali semua perbuatan yang ia lakukan sekarang.

“Gue goblok banget emang.” gumam Dennis miris. Ia mengusap kepala, memandang semua temannya bergantian. “Gue harus apa sekarang?”

“Gue nggak yakin kita bisa bantu.” ungkap Yusuf jujur. Ia masih tidak ingin memandang temannya itu. “Lo udah bertindak terlalu jauh. Gue nggak akan heran kalau Marsha ataupun Kiki nggak mau maafin lo.”

Dennis memegangi kepalanya, melihat lantai sambil berpikir. Namun, ia tidak menemukan solusi apapun.

“Gue rasa kita cuma bisa nunggu.” kata Lintang lugas. “Adik lo ke luar negeri dan temen lo bahkan nggak mau lagi ngeliat muka lo. Luar negeri luas bor, Marsha bisa ada di mana aja, dan Kiki nggak mungkin langsung maafin lo.”

“Kalau keberadaan Marsha pasti nggak sulit untuk dicari tahu.” sahut Yusuf. “Lo bisa ke kampusnya dan nanya dosennya. Dia ke luar negeri dan itu nggak mungkin nggak diomongin orang-orang jurusannya.”

“Dan dari cara lo menggambarkan dia, dia pasti mahasiswi populer teladan yang pinter banget.” sambung Thomas.

Mau tidak mau, Dennis tersenyum membenarkan.

“Dan please Den, jangan kasar lagi kalau ada Kiki.” Jordi menyarankan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
Nirhana : A Nirrathmure Princess
15800      2354     7     
Fantasy
Depresi selama lebih dari dua belas tahun. Hidup dalam kegelapan, dan berlindung di balik bayangan. Ia hanya memiliki satu harapan, yang terus menguatkan dirinya untuk berdiri dan menghadapi semua masalahnya. Ketika cahaya itu datang. Saat ketika pelangi akhirnya muncul setelah hujan dan awan gelap selama hidupnya, hal yang tak terduga muncul di kehidupannya. Fakta bahwa dirinya, bukanlah m...
CATCH MY HEART
2821      1097     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
The One
313      208     1     
Romance
Kata Dani, Kiandra Ariani itu alergi lihat orang pacaran. Kata Theo, gadis kurus berkulit putih itu alergi cinta. Namun, faktanya, Kiandra hanya orang waras. Orang waras, ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani.
If I Called Would You Answer
399      288     1     
Short Story
You called her, but the only thing you heard was ' I'm Busy '
Azzash
309      254     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
U&I - Our World
388      273     1     
Short Story
Pertama. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu indah, manis, dan memuaskan. Kedua. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu menyakitkan, penuh dengan pengorbanan, serta hampa. Ketiga. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu adalah suatu khayalan. Lalu. Apa kegunaan sang Penyihir dalam kisah cinta?
AKSARA
6293      2154     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
I'm Possible
6528      1748     1     
Romance
Aku mencintaimu seiring berjalannya waktu, perasaanku berubah tanpa ku sadari hingga sudah sedalam ini. Aku merindukanmu seiring berjalannya waktu, mengingat setiap tatapan dan kehangatanmu yang selalu menjadi matahariku. Hingga aku lupa siapa diriku. -Kinan Katakan saja aku adalah separuh hidupmu. Dengan begitu kamu tidak akan pernah kehilangan harapan dan mempercayai cinta akan hadir tepat ...
LARA
8636      2098     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
Be Yourself
530      359     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better