Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Selama tiga semester Victoria dan Jesica berteman dengan Marsha, inilah pertama kalinya mereka melihat Marsha menangis sampai sesenggukan, dan terlihat begitu menyedihkan. Aura penderitaan yang menjadi beban gadis itu selama ini tampak menguar, membuat keduanya juga merasakan kesedihan yang sama, sehingga akhir cerita Marsha malam itu adalah ketiganya berpelukan, tanpa berusaha meredakan tangis Marsha.

Jesi yang pertama kali melepaskan diri dari ketiganya. “Kalian tahu? Ini agak konyol.” gerutunya menyeka air mata. Mereka bertiga duduk di ranjang, saling mengelilingi.

“Gimana, Mar?” tanya Tori penuh perhatian. “Mendingan?”

Marsha mengangguk. Wajahnya basah. “Aneh aja..”

Tori mengangguk-angguk. “Jadi lo siap kan bilang ke bang Dennis?”

Marsha membeku. Membuat Jesi dan Tori kebingungan.

“Kenapa, Mar?” Jesi memegang bahu gadis itu.

Marsha diam, tidak bisa berkata-kata. Bahkan setelah membeberkan derita paling menyakitkan dalam hidupnya, perasaannya tidak jauh lebih baik. Apa yang terjadi? Ia kira ia akan bisa merasa tenang dengan ada dua orang yang mengetahui rahasianya. Apa ia sepengecut itu? Apa ia terlalu takut untuk mengatakan hal ini kepada Dennis? Apa sebenarnya yang ia rasakan?

“Kita berdua janji nggak bakal bilang siapa-siapa.” Tori mengangkat tangan kanannya. “Kami bersumpah.”

“Ya.” anggukan Jesi mempertegas ucapan itu. “Kami bersumpah.”

Marsha hanya tersenyum kecil. Ia menghargai janji kedua temannya ini, namun bukan itu yang membuatnya gelisah. Ia tidak peduli apakah Jesi dan Tori akan membocorkan hal ini kepada orang-orang atau tidak, toh, jika Dennis tahu, semua orang akan tahu ‘kan? Lantas mengapa? Mengapa ia masih merasa.. takut?

***

Hari dimana Marsha berani mengungkapkan apa yang terjadi tentang kematian orangtuanya kepada Victoria dan Jesica menjadi pertanda dimulainya Marsha yang dingin, pendiam, dan penyendiri. Ia sudah jarang terlihat bersama dua temannya itu, dan terutama, Leo. Setiap kali ia bertemu ketiganya, baik di kelas, ruang praktikum, ataupun di gedung jurusan, Marsha pasti selalu menghindar. Ia hanya tidak mau kesendiriannya diganggu oleh siapapun. Ia bahkan menolak Leo setiap kali laki-laki itu meminta untuk menemaninya.

“Kak, tumben sendirian..”

Marsha sedang berada di ruang sekretariat kegiatan jurnalistik kampus, bersandar di pojok dinding, menikmati hembusan pelan angin yang berasal dari kipas angin tempel di seberangnya. Eka, mahasiswa tingkat satu yang sejurusan dengannya, duduk di sampingnya, sambil menikmati ketoprak. Bumbu kacangnya menguar di udara, membuat Marsha membuka matanya sedikit, lalu memejamkannya lagi.

“Lapar, Ka?” Marsha tidak menjawab pertanyaan gadis itu.

“Berat.” keluh Eka menjilat bumbu kacang di sendok. Ketopraknya sebentar lagi habis. “Aku telat bangun, nggak sempat sarapan, tahu-tahu pak Dimas udah masuk ke kelasku.” Ia menyuapi sepotong lontong berlumur bumbu ke mulutnya. “Aneh. Aku sering makan ketoprak bu Sri di kantin, tapi nggak pernah seenak ini.”

“Lebay.” Marsha menenggerkan kacamata di kepala, mengusap-usap wajahnya.

“Kak Marsha, pertanyaanku belum dijawab.” Eka menyendok sisa-sisa bumbu kacang di piring.

Yaelah, inget nih bocah, batin Marsha menggerutu. Ia membuka mata, melirik gadis itu. “Memangnya kenapa kalau aku sendirian? Kamu kalau mau nanyain Leo, nanya aja, nggak usah basa-basi.”

Eka menyeringai kuda.

“Kamu sesuka itu sama Leo?”

Eka mengangguk antusias.

“Nggak kesal lihat dia nempel-nempel sama aku?”

Senyum Eka membeku.

Marsha tersenyum jahil. “Mau aku bilang ke orangnya langsung?”

Mata Eka sontak melebar. “JANGAN, KAK!” teriaknya panik. “Aku memang kesal kalau lihat kak Leo udah ganjen sama kakak, tapi, jangan bilang kalau aku suka dia, Kak, aku malu..”

Marsha mengerjap, menangkap sebuah kata. Ia langsung duduk tegak. “Dia ganjen, ya?” katanya tertawa. “Tahu juga kamu? Kenapa masih suka?”

Eka menutup wajahnya, menunduk malu.

“Ngomong-ngomong, kita nggak punya kegiatan apapun dalam minggu ini, atau minggu depan?”

Eka baru hendak membuka mulut untuk menjawab, tetapi ketukan pintu mengurungkan niatnya untuk bicara. Ia berdiri, membuka pintu, dan tanpa berpikir panjang terkesiap, dan mundur ke belakang.

Marsha yang keheranan akhirnya ikut berdiri, ingin tahu apa yang membuat Eka seperti baru saja bertemu Justin Bieber, idolanya. Ia melongo, dan setelah ia tahu siapa tamu mereka, wajahnya berubah tanpa ekspresi.

“Kenapa kamu nggak bilang aku kalau kamu mau ke sini?” omel Marsha. Leo berdiri sambil tersenyum lebar, mengakibatkan Eka makin membeku di tempatnya.

“Ayo, aku belum makan.” Leo sudah menyelonong masuk ke ruangan itu dan mengambil ransel Marsha.

Gadis itu merebut tasnya. “Aku udah makan.”

“Kamu nggak perlu makan juga hanya untuk nemenin aku makan.” kata Leo tepat sasaran. “Kamu cukup ngeliatin aku makan, oke?”

Marsha masih memandangnya dengan tatapan tanpa ekspresi yang sama.

“Ayolah, Mar.” erang Leo. “Aku tahu kamu menghindari aku beberapa minggu ini, dan aku menghormati itu. Sekarang, aku cuma mau makan sama kamu, dan kamu nggak mau? Kamu nggak bisa menghindar lagi, dan kamu tahu itu.”

Marsha mau tidak mau mengakui ucapan Leo amat sangat benar. Ia tidak punya alasan untuk berkilah lagi, seakan stok alasan yang ia punya untuk menghindari orang ini tiba-tiba saja hilang. Ia menghela napas pelan, berbalik menatap Eka, yang masih berdiri dengan ekspresi antara terkejut, malu, kagum, dan iri.

“Aku duluan ya, Ka.” pamitnya. “Dan jangan lupa bernapas.”

***

Marsha menopang dagu dengan satu tangannya, hanya memandangi Leo yang sedang makan mie ayam dengan lahap. Kuahnya ada dimana-mana: sekitar piring, dinding gelas es teh, dan tentu saja, sekitar mulut Leo. Beberapa anak perempuan menatap diam-diam ke arah laki-laki itu, memandanginya dengan tatapan penuh kagum. Marsha heran. Apa yang tampak bagus dari Galih Leonardo Pratama saat dirinya sedang makan? Leo makan seperti saat dirinya berumur lima tahun.

Marsha bahkan tidak berusaha membuat Leo tampak lebih baik dengan membersihkan kuah di mulut laki-laki itu. Untuk apa? Itu hanya akan membuat para penggemarnya merasa semakin tertekan! Dengan dirinya yang memandangi Leo makan saja sudah mengundang tatapan beragam ekspresi dari orang-orang.

“Hamu benewan ngga mawan?”

Marsha berdecak. “Telan dulu.”

Leo menurut. “Kamu beneran nggak makan?”

Marsha menggeleng. “Aku jadi malas makan kalau lihat kamu makan.”

Leo tersenyum simpul, mengambil tisu dan mengelap mulutnya.

“Jadi,” Marsha mengambil gelas es teh Leo, menyerutputnya. Leo tak tampak keberatan. “Kamu mau apa?”

Laki-laki itu membelalak. “Kamu menghindari dariku berminggu-minggu, dan kamu cuma nanya aku mau apa?!” katanya berang. Ia menaruh sendok dan sumpit di mangkuk, masih menyiskakan kira-kira tiga suapan terakhir.

Marsha memejamkan mata, merutuki dalam hati betapa bodohnya ia.

Tapi pandangan berapi-api Leo seketika melembut. “Kamu nggak apa-apa?”

Marsha hanya tersenyum. “Kalau kamu dibilang binal, cerewet, dan pembunuh sama kak Kiki, kamu nggak apa-apa?”

Leo tertegun, tidak menyangka bahwa Marsha yang ia kenal bisa menjadi selembut itu. Marsha adalah tipe orang yang tahan dikata-katai dan diejek. Marsha sudah mendapat segala jenis hinaan sejak ia masuk ke kampus bersama-sama dengan dirinya. Dari mulai perempuan genit sampai wanita jalang, Marsha sudah mendengar semua hinaan itu dari adik dan kakak tingkatnya, tapi gadis itu sama sekali tidak terlihat sakit hati, sebaliknya, malah merasa lucu karena semua hinaan itu. Tapi rupanya hal itu akan terasa berbeda bila Dennis yang mengucapkannya.

Marsha memang bukan lagi gadis yang ia kenal semenjak hubungannya dengan Dennis hancur.

Leo menghabiskan makanannya, berbicara tanpa menatap gadis itu. “Aku kangen kamu.”

Wajah gadis itu seketika mematung. Apa ia salah dengar? Benarkah Leo begitu merindukan dirinya hanya karena ia menghindari laki-laki itu selama berminggu-minggu?

Laki-laki itu mengangkat dagu, memandang gadis di depannya dengan sungguh-sungguh. “Kamu bukan lagi anak kecil yang blak-blakan soal perasaan. Dulu kalau kamu senang, kamu bakal teriak-teriak dan ketawa-ketawa. Kalau sedih, kamu nggak ragu buat nangis bahkan di depan orang yang nggak kamu kenal sekalipun. Kalau marah, kamu bahkan nggak segan buat mukulin aku. Sekarang, aku bahkan nggak tahu apa yang kamu rasain setelah bang Dennis ngatain kamu, karena kamu terlihat biasa saja. Well, aku memang bukan orang yang peka. But, seeing you here and you look so fine after all that time, it hurts me so much.”

Marsha seperti tidak menangkap suara kebisingan kantin selain suara Leo yang terdengar begitu menyedihkan. Ia terlihat tidak tahu dengan apa yang sedang terjadi.

Please tell me if you need a person to accompany you in your joy, sadness, anger, and fear.”

Marsha mau tidak mau tersentuh dengan kalimat itu. Dulu, kedatangan Leo di setiap liburan sekolah laki-laki itu adalah hal yang selalu ditunggu Marsha. Mereka akan menghabiskan waktu berdua lebih lama daripada Marsha bersama Dennis. Keduanya sering sekali bertukar cerita: perempuan yang Leo taksir di sekolah, lomba cerdas cermat Marsha, Leo yang tersesat di pasar, Marsha yang berkelahi dengan teman-teman sekolahnya, Leo yang hampir diajak ke klub malam, Marsha yang bertengkar dengan Dennis karena kaus kaki, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Leo, dan banyak lagi. Kepindahan Marsha ke Jakarta adalah hal yang paling membahagiakan untuk laki-laki itu. Keduanya bersekolah di SMA yang sama, jurusan yang sama, meskipun beda kelas. Keduanya juga memiliki ketertarikan yang sama untuk jurusan di universitas, dan jadilah mereka sekarang ini. Saling menjalin simbiosis mutualisme.

Sejujurnya, Marsha memang tidak mau memberitahu Leo apa yang ia rasakan. Ia tumbuh dengan Leo sebagai teman baiknya, yang memiliki pengetahuan akan dirinya lebih baik dari siapapun Dennis dan Kirana. Itulah yang membuatnya tidak mau mengungkapkan secara terang-terangan bahwa ia tidak baik-baik saja. Ia ingin terlihat kuat dan tangguh di depan teman terbaiknya ini. Leo sudah terlalu sering mengkhawatirkannya, dan masih banyak perempuan yang ingin diperlakukan oleh Leo seperti Leo memperlakukan dirinya.

Tapi benarkah begitu?

“Kamu.. lagi suka sama seseorang nggak?”

Leo mengerjap heran, topik pembicaraan berbelok jauh sekali. “Kenapa nanya kayak gitu?”

“Heran aja.” Marsha menjawab sungguh-sungguh. “Di SMA dulu sampai sekarang kamu kayak nggak punya teman cewek selain aku.”

“Aku akrab sama Galuh dan Erika.”

“Karena mereka teman satu organisasi catur.”

“Aku juga akrab sama Tori dan Jesi.”

“Karena mereka teman aku.” Marsha menyeruput es teh sampai habis. Ia pergi sebentar ke gerai tempat Leo membeli mie ayam dan kembali dengan dua gelas es teh. “Kamu tahu nggak, ada banyak cewek yang suka sama kamu di sini?”

Leo mengangguk.

“Dan nggak ada satupun yang menarik perhatian kamu?”

Leo mengangguk lagi.

“Padahal Galuh cantiknya udah kayak Princess Diana.”

“Emangnya aku harus suka sama orang karena orang itu cantik? Sama kayak kamu suka seseorang hanya karena dia ganteng?”

Well, there is no reason for loving someone.” Marsha mengangkat bahu, setuju. “Kamu kenal Eka? Dia udah naksir kamu sejak dia masuk jurusan kita.”

“Aku tahu.” Leo meminum es tehnya.

Marsha mengangkat alis. “Nggak semua orang yang suka sama kamu mau perasaan mereka dibalas kamu, Yo.” ujarnya. “Kamu jadi teman mereka aja, mereka udah senang banget.”

“Kamu tahu nggak, kenapa banyak orang yang iri sama kamu?” Leo balas bertanya.

Gadis itu menyipitkan mata. “Karena kamu.”

Exactly.” Leo tersenyum puas. “Mereka bukan hanya mau aku jadi teman mereka. Mereka mau aku memperlakukan mereka kayak aku memperlakukan kamu.”

Then become their friend and treat them like you did to me.”

Leo menggeleng. “I can’t.”

Why?

I.. just can’t.” aku Leo. Ia seperti enggan mengatakan hal ini. “Intinya, mereka bukan kamu yang terima keburukan aku, dan mau buang-buang waktu demi aku.”

“Walaupun aku selalu menggerutu dan kadang nggak peduli kalau kamu butuh aku?”

Leo tersenyum lagi. Berada di dekat gadis ini selalu bisa membuatnya tersenyum dan tertawa lebih banyak dari biasanya.

Marsha mencondongkan wajah untuk mendekat. Ia menepuk-nepuk pelan kepala Leo. Ia diam-diam tersenyum saat Leo menyingkirkan mangkuk, mengelap meja dengan tisu, lalu meletakkan kepala di meja dengan tangan sebagai bantal agar Marsha lebih nyaman menepuk kepalanya. Ia sedikit merasa bersalah terhadap orang ini.

Marsha memang tidak memberitahu Leo apa yang selama ini ia lakukan untuk menghindari laki-laki itu, selain untuk menyembunyikan kesedihannya.

“Marsha?”

Gadis itu menghentikan sentuhannya.

Leo menjadikan dua punggung tangannya yang bertumpuk menjadi alas untuk dagunya. “Kamu cerita ya ke Tori dan Jesi soal orangtua kamu?”

Marsha menarik tangannya. Akhir-akhir ini topik itu menjadi agak sensitif baginya.

It’s okay.” Leo tersenyum, terlihat getir. “Aku nggak keberatan aku bukan orang pertama yang kamu ceritain soal itu. Seenggaknya aku tahu, kamu udah berani mengungkap sesuatu yang paling kelam di hidupmu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
7933      2212     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Memoar Damar
6152      2812     64     
Romance
Ini adalah memoar tiga babak yang mempesona karena bercerita pada kurun waktu 10 sampai 20 tahun yang lalu. Menggambarkan perjalanan hidup Damar dari masa SMA hingga bekerja. Menjadi istimewa karena banyak pertaruhan terjadi. Antara cinta dan cita. Antara persahabatan atau persaudaraan. Antara kenangan dan juga harapan. Happy Reading :-)
Koma
19056      3444     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Phi
2111      845     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
#SedikitCemasBanyakRindunya
3278      1204     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
Perjalanan Move On Tata
484      329     0     
Short Story
Cinta, apasih yang bisa kita katakan tentang cinta. Cinta selalu menimbulkan rasa sakit, dan bisa juga bahagia. Kebanyakan penyakit remaja sekarang yaitu cinta, walaupun sudah pernah merasakan sakit karena cinta, para remaja tidak akan menghilangkan bahkan berhenti untuk bermain cinta. Itulan cinta yang bisa membuat gila remaja.
Di Semesta yang Lain, Aku mencintaimu
559      349     8     
Romance
Gaby Dunn menulis tulisan yang sangat indah, dia bilang: You just found me in the wrong universe, that’s all, this is, as they say, the darkest timeline. Dan itu yang kurasakan, kita hanya bertemu di semesta yang salah dari jutaan semesta yang ada.
Beach love story telling
3013      1478     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
About love
1259      588     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
A Slice of Love
288      242     2     
Romance
Kanaya.Pelayan cafe yang lihai dalam membuat cake,dengan kesederhanaannya berhasil merebut hati seorang pelanggan kue.Banyu Pradipta,seorang yang entah bagaimana bisa memiliki rasa pada gadis itu.