Dua tahun terakhir Dennis lalui dengan rasa penasaran mengenai bagaimana sebenarnya kedua orangtuanya meninggal. Ia ingat saat itu adalah hari dimana ia menerima gaji pertamanya sebagai publik figur, yang jauh-jauh datang dari Bali hanya untuk menjadi seorang artis terkenal. Mimpi Dennis terwujud. Ia mengawali karier sebagai model majalah remaja, dan berkat kemampuan bermusiknya, ia mulai menerima banyak tawaran.
Bayangkan betapa hancurnya ia ketika ia sampai di rumahnya di Gianyar, ia mendapati rumahnya hangus terbakar, dengan mayat kedua orangtuanya menyambutnya.
Ia hanya berdiri seperti orang bodoh begitu para tetangga memindahkan mayat kedua orangtuanya ke tempat yang lebih layak. Tubuh mereka hangus, tapi belum menjadi abu. Para tetangga tidak perlu repot-repot memandikan mayat mereka. Upacara pemakaman Bayu Wibowo dan Ni Nyoman Pratiwi berlangsung saat itu juga.
Seluruh anggota keluarga mereka, baik saudara ayah dan ibunya, langsung tiba saat itu, entah siapa yang mengabari mereka Dennis tidak peduli. Suasana menjadi begitu muram dan menyedihkan, karena semua orang menangis sedih, bahkan beberapa bibinya meraung-raung. Hampir sebagian paman dan bibinya menghampiri dirinya dan mengatakan belasungkawa serta menyuruhnya untuk bersabar. Dennis tidak menangis—ia bahkan terlalu sedih sampai rasanya sulit untuk mengeluarkan air mata, padahal hatinya terasa begitu menyesakkan. Kesedihan itu berlangsung cukup lama, sampai kemudian berganti menjadi janggal.
“Marsha mana?”
Perasaan sedih Dennis berubah jadi ingin tahu. Ia sama sekali belum bertemu adiknya sejak ia tiba. Anak itu pasti merasa terpukul sekali, Dennis harus segera mencarinya. Tapi ia mengurungkan niat, karena mendengar salah satu tetangga yang mengurusi mayat kedua orangtuanya mengatakan sesuatu.
“Wajar kalau Marsha kabur. Pas rumah si Bayu kebakaran dia keluar, terus tahu-tahu dia hilang gitu aja. Nggak kelihatan, sampai tidak ikut acara pemakaman. Pasti dia yang ngebakar rumah, aku emang sempat lihat dia di dapur sama si Tiwi.”
Dennis bukan satu-satunya anggota keluarga kedua orangtuanya yang mendengar itu. Hampir sebagian besar paman dan bibinya ada di sana, mengurusi mayat, dan mendengar bisik-bisikan itu. Dennis sungguh tidak menyangka, begitu juga yang lain.
Sejak saat itu, semua orang hanya tahu Marsha yang membakar rumah dan mengakibatkan kedua orangtuanya meninggal.
Dan Dennis yang dulu begitu menyayangi Marsha, menjadi sangat membenci gadis itu.
***
Kebencian Dennis kepada Marsha memupuk dalam dirinya, tumbuh bagai parasit yang mengambil alih tubuhnya: makin lama, makin ganas, dan makin berbahaya. Setiap kali melihat gadis itu, yang ingin ia lakukan hanyalah memukulnya, menamparnya, dan menyiksanya. Ia tidak peduli bagaimana Marsha memohon padanya, atau menangis karenanya. Ia hanya ingin Marsha merasakan penderitaan yang sama seperti dirinya. Ia tidak peduli masalah yang dihadapi gadis itu tanpa perlu siksaan tambahan darinya. Semakin Marsha menderita, semakin baik. Kasih sayang kakak terhadap adik pada diri Dennis sudah mati bersamaan dengan kedua orangtuanya.
Dennis masuk ke apartemennya masih dengan perasaan benci yang semakin hari semakin menjadi, tidak pernah sedikitpun padam. Ia menghambuskan napas keras, membanting dirinya di sofa ruang tengah.
Seorang laki-laki berwajah bulat memunculkan kepalanya dari dapur. “Baru nyampe, Den?” katanya. “Darimana lo?”
“Bandara. Tante gue pulang hari ini.” sahut Dennis malas, menyalakan televisi.
Kepala laki-laki itu tidak terlihat lagi di dapur, berganti dengan dirinya yang utuh berjalan menghampiri Dennis sambil membawa sepiring mie goreng. Ia duduk di samping Dennis, menghidu aroma makanan itu, menikmatinya penuh rasa syukur.
Dennis mau tidak mau menelan air liurnya. “Bagi dong.”
Jordi, yang menikmati mie goreng seakan itu adalah hal terakhir yang ia lakukan di dunia ini, menarik piringnya menjauh. “Bikin aja sendiri! Itu ada mie di dapur!”
“Nggak jadi ah, makasih.” Dennis beralih menatap televisi.
“Dih najis, ngambek.” ejek Jordi dengan mulut penuh mie. “Biasanya elo kan yang rajin bikin mie? Tumben males. Dan reputasi lo sebagai pembuat mie goreng terenak belum bisa dikalahkan gue, Ucup, Tom, dan Lintang.”
“Mie abang-abang warkop juga enak kali, Jo. Norak lo.” balas Dennis sengit.
Wajah Jordi menampilkan mimik takut menyebalkan yang sudah jelas dibuat-buat. “Serem amat lo, Den, kayak cewek lagi dapet hari pertama.” ia menikmati suapan terkhir mie nya sambil mendecak-decakan lidah. “Kenapa sih?”
Dennis memutar bola mata. “Bete aja.”
Jordi diam, memilih untuk membawa piring kotor dan mencucinya di dapur. Jawaban dengan nada seperti itu sudah didengarnya selama dua tahun, sejak keduanya, dan tiga teman mereka yang lain menempati apartemen ini. Ada tiga orang lagi yang tinggal di sini selain keduanya, dan mereka sedang berkutat dengan kehidupan masing-masing. Mereka dulu bertemu di salah satu audisi pencarian bakat dan menjadi teman, lalu Dennis diajak Jordi, Thomas, Yusuf, dan Lintang untuk membeli apartemen yang nanti ditinggali bersama. Tenang saja, apartemen itu cukup besar dan memiliki lima kamar tidur, sesuai dengan jumlah mereka. Dennis saat itu belum memiliki banyak uang, dan ia tidak mungkin tinggal seatap dengan Marsha setelah gadis itu selalu menolak untuk membicarakan kedua orangtuanya.
Selama dua tahun mereka saling mengenal, bila Dennis sudah pulang ke apartemen sambil membawa mood nya yang jelek itu, Jordi tahu bahwa laki-laki itu sedang mengalami sesuatu, tapi Jordi dan yang lainnya tidak pernah mendesak Dennis untuk bercerita. Toh, Jordi yakin, akan ada saatnya Dennis mengungkapkan alasan dibalik dirinya yang begitu menyibukan diri bekerja, pendiam, dan selalu terlihat ingin memukul sesuatu.
Di antara kelimanya, Dennis, Jordi, dan Thomas berprofesi sebagai publik figur, dan itu membuat Dennis sulit menutupi bahwa mereka semua tahu bahwa Dennis memiliki masa kecil yang suram. Orangtua Dennis meninggal dalam sebuah kebakaran rumah. Jordi hanya tahu soal itu, tidak lebih.
Namun seringkali Jordi tanpa sengaja mendengar Dennis berteriak-teriak di telepon kepada seseorang, entah siapa, tapi Jordi berani bersumpah ia mendengar Dennis selalu menyinggung satu nama—nama seorang gadis lebih tepatnya. Akibatnya, Jordi menceritakan hal ini kepada Thomas, Yusuf, dan Lintang, yang ternyata ketiganya juga memiliki keresahan yang sama.
Setidaknya keempatnya tahu, Dennis menyembunyikan sesuatu dari mereka. Entah Dennis menyadarinya atau tidak bahwa mereka sepeka itu.
Jordi bergabung dengan Dennis lagi di ruang tengah, menonton BBC News tanpa alasan yang jelas karena tiba-tiba saja acara itu yang mereka temukan paling menarik dibandingkan acara lain. Dennis terlihat sedikit terkejut begitu ponselnya berdering. Hanya sebuah pesan singkat yang masuk, sebenarnya. Tapi itu cukup membuat wajah Dennis kembali menjadi sekusut yang Jordi kenal.
Detik selanjutnya, Jordi hanya memandang kepergian Dennis dengan pandangan bingung.
***
Dennis berdecak marah begitu mendapatkan sebuah pesan singkat dari seseorang. Ia meninggalkan apartemen tanpa berpamitan dengan Jordi, yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh laki-laki itu. Dennis menuju basement tempat mobilnya terparkir, sesuai instruksi orang itu, yang sudah menunggunya di sana.
Keberadaan Kirana Faranisa Aini tampak kontras sekali di antara mobil-mobil.
Tanpa basa-basi, Dennis langsung mengajak gadis itu masuk ke mobilnya.
“Kita mau ngobrol dimana?” Dennis bertanya datar.
“Kosan Leo aja.” Kirana menjawab yakin. “Kalau di kafe, kemungkinan kamu dikenali besar sekali. Aku juga nggak mau dikira pacarmu sama penggemar-penggemarmu.”
Dennis tidak menjawab, dan ia tidak bertanya lebih lanjut. Kalaupun ia bicara, temannya ini pasti tidak akan memberikan jawaban karena jika Kirana ingin bicara di sebuah tempat yang sudah ditunjuk pasti olehnya, maka ia tidak akan mengeluarkan suaranya sampai mereka tiba di tujuan. Suasana mobil yang hening tidak menyenangkan berusaha diabaikan oleh Dennis, mengingat biasanya jika keduanya sedang bersama, keadaan akan sama berisiknya dengan sepuluh orang berbicara tanpa ada yang mau mengalah.
Dan lagi-lagi, kenangan kecil itu direnggut setelah kedua orangtuanya meninggal. Kirana menjadi begitu dingin padanya, dan Dennis yang mulai tidak suka cara Kirana yang mencampuri urusannya dengan Marsha.
Tentu saja, jika Kirana sudah ingin bertemu dengannya, tidak ada lagi yang akan mereka bahas selain adiknya itu.
Mereka sampai di kawasan tempat tinggal mahasiswa itu dua jam kemudian. Jalanan begitu macet ketika hari menjelang malam, dimana orang-orang sedang menempuh perjalanan ke rumah masing-masing setelah seharian bekerja. Orang-orang di sekitar mereka tampak tidak terlalu memperhatikan. Hari sudah malam dan tidak ada gunanya memicingkan mata hanya untuk melihat bahwa seorang bintang tanah air tengah melintas di depan mereka.
Kirana berbicara sebentar dengan pemilik kos tempat Leo tinggal, sementara Dennis menunggu di luar. Setelah mendapat izin, keduanya menuju lantai tiga kamar paling belakang dekat dapur.
Begitu pintu menutup, Kirana langsung berbicara. “Kamu tahu nggak sejak kamu ngusir Marsha, dia sekarang tinggal di sini?”
Dennis mengerutkan kening. “Maksud kamu Marsha dan Leo tinggal sekamar? Disini?” ia mendengus. “Aku tidak pernah tahu kalau adikku sendiri ternyata sebinal itu.”
“Jangan ngaco, kos cewek di lantai tiga, dan kos cowok di lantai dua. Adikmu nggak tolol.” tukas Kirana. “Kamu bahkan ngerendahin adik kamu sendiri sekarang? Baru kali ini aku dengar kamu berani ngatain perempuan sekasar itu.”
“Aku cuma ngomong kenyataan.” Dennis duduk di sebuah kursi dekat lemari, sementara Kirana duduk bersila di ranjang. “Dan ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu aku ngusir Marsha?”
“Marsha cerita ke Leo, dan Leo cerita ke aku.” jelas Kirana singkat.
Wajah Dennis tampak sama sekali jauh dari kata ramah. “Sudah binal, cerewet pula.”
Mata Kirana membulat. “Jangan berani-berani kamu ngomong kayak gitu tentang Marsha di depan aku!” pekiknya.
“Memangnya kenapa?” sahut Dennis tak mau kalah. “Marsha bukan adikmu! Dan kamu nggak berhak marahin aku hanya karena aku ngatain dia!”
“Marsha udah aku anggap adik sejak kamu anggap aku saudara kamu sendiri!”
“Oh ya?” Dennis mengangkat alis sangsi. “Kamu tahu, Ki? Aku menyesal sudah menganggap kamu saudaraku, dan Marsha adikku. Aku capek memperlakukan sampah dengan manis, sampai mereka jadi nggak tahu diri.”
Kirana mengerjap, tidak mempercayai pendengarannya. “Kamu– kamu–” gagapnya. Ia berusaha menguasai dirinya. “Kamu nggak pantas jadi abangnya Marsha!”
“Dan Marsha sama sekali nggak pantas jadi adik ku.” Dennis menyeringai jahat. “Udah binal, cerewet, pembunuh lagi. Malu banget aku punya adik kayak gitu.”
Kirana tampak seperti tersambar petir di siang bolong. Matanya mulai berkaca-kaca, tidak menyangka bahwa Dennis yang ia kenal selama bertahun-tahun berani mengatakan hal sekasar itu mengenai adik kandungnya sendiri. “Kamu.. kapan kamu mau menurunkan ego kamu buat dengerin dia?” bisiknya nyaris menangis. “Dia terpukul banget, Den.. wajar kalau dia masih nggak mau ngomong..”
“Kiki, in case you didn’t know,” Dennis menatap tajam gadis itu, tidak mempedulikan air mata yang ada di mata itu. “Aku udah dua tahun menunggu Marsha supaya dia mau menjelaskan apa yang terjadi sama bapak ibuku. Kamu kira aku nggak capek dua tahun hidup masih penasaran kenapa orangtuaku meninggal?”
“Tapi nggak harus kamu mukul dia, nampar dia, nyiksa dia, sampai ngusir dia ‘kan?” Kiki berucap letih. “Dia sama sekali nggak pantas diperlakukan kayak gitu. Dia udah cukup sakit jadi saksi tunggal.”
“Menurutku pantas-pantas aja gadis cerewet, binal, dan pembunuh diperlakukan seperti itu.” sahut Dennis enteng.
“Kamu nggak perlu ngulang tiga kata itu.” geram Kiki. “Aku nggak tahu harus ngapain lagi biar kamu mau memberikan kesempatan ke Marsha supaya dia cerita.”
“Aku selalu ngasih dia kesempatan, nggak usah sok tahu kamu!” kata Dennis membentak. “Dan dia sama sekali nggak mau ngomong!”
“Kesempatan yang aku maksud itu, kamu nunjukkin kalau kamu sayang sama dia, kamu mau nurunin gengsi kamu, kamu nggak mukul atau nampar dia lagi! Kamu nggak ngasih dia kesempatan! Kamu cuma maksa dia buat ngomong! Aku nggak akan heran Marsha jadi ketakutan kalau ada kamu di dekat dia!”
Dennis menunjuk wajah Kirana dengan emosi berkecamuk. “Jangan berani kamu ngatur-ngatur aku!”
“Oh ya? Aku rasa kak Kiki berhak ngatur lo setelah lo sekasar itu sama dia dan adik lo sendiri.”
Dennis dan Kirana menoleh. Leo berdiri di belakang pintu kos yang tertutup, menyilangkan tangan di depan dada, menatap Dennis dengan tatapan penuh dendam.
***
Lima belas menit setelah mata kuliah sore itu selesai, Marsha masih mengoceh soal materi kepada Leo, yang dari wajahnya sudah terlihat bahwa ia lebih ingin menikah dan meninggalkan semua kuliahnya hari itu.
“.. seenggaknya kamu harus hafalin teori Gibbs, yang intinya partial molar property selain volume dari suatu spesies dalam campuran gas ideal sama dengan molar property tersebut dalam keadaan murni dalam temperatur campuran, tapi—”
“Mar, udah.” pinta Leo memelas sambil mengangkat satu tangannya. Wajahnya memucat, seolah-olah ia bisa muntah setiap saat jika gadis itu kembali berbicara. “Aku bahkan udah lupa apa itu molar property, oke? Aku capek.”
Mata gadis itu menyipit. “Kan tadi kamu yang minta aku jelasin soal materi barusan.”
“Aku lapar, jadi masih susah nangkep omongan kamu.” gumam Leo memberi alasan dengan jujur. “Kita cari makan dulu, ya?”
Gadis itu menggulirkan bola matanya, menggerutu. “Buang-buang napas aku ngomong sama kamu.”
Leo tertawa. “Kamu marah?”
Marsha tidak menjawab. Mereka sudah berada di gerbang masuk fakultas. Ada banyak mahasiswa yang menuju tempat parkir kendaraan, halte bus, atau sekadar berdiri di depan gerbang, entah sedang menunggu teman sefakultas atau anak fakultas lain. Bus antarkampus berlalu-lalang, dengan konsisten menurunkan dan menaikkan penumpang. Gerbang kecil penghubun wilayah kampus dan wilayah luar sedikit macet, karena disana penuh sekali dengan pengendara motor dan pejalan kaki yang tidak mau mengalah untuk memberikan jalan.
“Mar?” panggil Leo dengan senyum geli.
Marsha masih enggan menjawab pertanyaan itu.
“Mar..” nada suara Leo berubah menggoda.
Gadis itu hanya meliriknya sekilas.
“Aku nggak bermaksud buat kamu marah..” Leo meraih tangan kanan gadis itu, menggenggamnya lembut. Sesaat kemudian, Leo udah menempelkan bibirnya di punggung tangan itu cukup lama.
Marsha merasakan sesuatu yang aneh ketika tangannya dikecup selembut itu. Terlebih hal ini dilakukan oleh Leo. Padahal, laki-laki itu sudah sering bertindak lebih dari ini, dan yang paling ekstrim adalah mencium pipinya. Tapi Marsha tetap saja merasa merinding bukan karena takut, perut tergelitik, dan dirinya merasa nyaman dan terlindungi.
“Aku minta maaf..” Leo berkata setelah melepas kecupannya di tangan gadis itu. Marsha langsung menarik tangannya, bergedik.
Reaksi itu setidaknya membuat Leo tahu bahwa Marsha tidak lagi merasa kesal padanya. Meski begitu, ia tetap suka menggoda gadis itu.
“Kamu kok diam aja sih?” Leo langsung merangkul pundak gadis itu.
Dan Marsha seketika menghindar. “Leo, ini wilayah kampus! Dan kita masih nggak jauh dari fakultas! Kita masih bisa dilihat penggemar-penggemar kamu!”
Senyum Leo melebar, mengabaikan tatapan orang-orang kepada keduanya. “Oh, jadi kamu mau aku ngelakuin sesuatu yang nggak dilihat para penggemarku? Di kamar kos aku? Kita cuma berdua loh.”
Marsha memukul kepala laki-laki itu dengan keras. Gadis itu mengabaikan teriakan protes Leo, sampai akhirnya laki-laki itu tenang dengan sendirinya, dan tidak berlaku aneh sepanjang perjalanan mereka menuju kos mereka. Marsha dengan pasrah harus mengakui bahwa kos tempat Leo berada merupakan kos dengan harga paling murah yang ada di kawasan itu, hanya saja fasilitasnya tidak sebagus kos Victoria, yang memiliki kamar mandi dalam dan pendingin ruangan. Marsha tidak keberatan, selama ia punya akses internet tak terbatas, ia akan betah.
“Kamu masih jadi asisten bu Qori?” Leo akhirnya menemukan topik yang membuat Marsha dapat menyimpan kukunya.
Marsha mengangguk. “Bu Qori lebih sering minta aku mengoreksi tugas para mahasiswa, yah walaupun kadang aku disuruh mengajar juga.” kemudian dengan mata berbinar ia menatap Leo. “Aku digaji.”
Leo mencibir. “Pantas aja kamu betah.” ujarnya. “Terus kegiatan jurnalistik kamu masih jalan?”
Marsha mengangguk lagi. “Sekarang lagi nggak ada seminar atau lomba atau kegiatan apapun sih, makanya aku jarang ngumpul sama anak-anak jurnalistik lain. Dan seringnya sama kamu.”
Dahi laki-laki itu mengerut. “Kamu nggak suka sama aku?”
Marsha menaikkan kacamatanya dengan gaya yang menyebalkan. “Menurut kamu aku suka?”
Leo tampak terperanjat.
Marsha tertawa. “Lucu banget kamu kalau kayak gitu.”
Leo menjitak kepala gadis itu.
Senyum Marsha melebar. Mereka usdah sampai di kos. “Tasku ditaruh di tempatmu dulu aja, selesai makan kita juga belajarnya di sana ‘kan?” sarannya yang langsung disetujui Leo. Mereka menaiki tangga menuju lantai dua.
Tempat ini memiliki sekitar lima kamar yang letaknya sejajar. Jadi, begitu kau sampai di ujung tangga, hal pertama yang kau lihat adalah ruang duduk yang memanjang. Ada banyak sofa yang diletakkan mengelilingi tiga buah meja. Kamar para mahasiswa terletak membelakangi ruangan itu, tiap deret kamar dibatasi koridor kecil. Kamar mandi terletak di antara dua deret kamar.
Hanya ada seorang mahasiswa yang berada di ruang duduk, menonton televisi dengan suara kencang dan jarak yang amat dekat, tidak peduli dengan kedatangan keduanya. Kamar Leo terletak di deret kamar kedua tepi koridor.
Keduanya hanya mendengar sayup-sayup suara berisik televisi sampai akhirnya menyadari ada suara lain yang berasal dari kamar Leo.
“.. dan Leo cerita ke aku.” kata suara perempuan.
Sunyi beberapa saat, sebelum suara laki-laki menyahut. “Sudah binal, cerewet pula.”
“Jangan berani-berani kamu ngomong kayak gitu tentang Marsha di depan aku!”
“Memangnya kenapa? Marsha bukan adik kamu! Dan kamu nggak berhak marahin aku hanya karena aku ngatain dia!”
Marsha dan Leo membeku, untuk alasan yang berbeda. Keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bangkit. Dan mereka benar-benar menyesal sudah terlalu larut dalam pembicaraan itu.
Leo tampak luar biasa waspada, ia dengan takut melirik ke arah Marsha. Gadis itu berdiri di pintu dengan wajah sangat pucat, seperti baru melihat hantu. Gadis itu menutup rapat mulutnya, sementara tangannya terkepal kuat, menahan suara-suara untuk keluar dari mulutnya, masih memiliki keinginan untuk mendengar pembicaraan lebih lanjut. Berbeda dengan Leo yang sudah sangat muak dan tidak tahan lagi.
Begitu pembicaraan sampai pada ‘Menurutku pantas-pantas aja gadis cerewet, binal, dan pembunuh diperlakukan seperti itu.’, Marsha segera berlari menaiki tangga menuju lantai tiga, sebelum bisa dicegah oleh Leo.
Laki-laki itu menaiki lantai tiga, tapi ia tahu itu tidak ada gunanya karena para laki-laki dilarang menampakkan ujung rambut mereka di lantai itu. Itu tempat tinggal cewek, memiliki gerbang sendiri sebelum menginjakkan lantai di sana, dan Leo bahkan sudah mendapat tatapan tajam dari ibu penjaga lantai itu. Ia duduk di tangga, merasa sangat frustrasi.
Marsha menderita dan ia sama sekali tidak ada di sisi gadis itu.
Leo menuju kamarnya dengan pasrah, memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Hal pertama yang ia saksikan adalah Dennis dan Kiki sudah berdiri saling meneriaki.
“.. Aku nggak akan heran Marsha jadi ketakutan kalau ada kamu di dekat dia!”
Dennis menunjuk wajah Kiki dengan emosi berkecamuk. “Jangan berani kamu ngatur-ngatur aku!”
“Oh ya? Aku rasa kak Kiki berhak ngatur lo setelah lo sekasar itu sama dia dan adik lo sendiri.”
Keduanya menoleh, terkejut dengan kemunculan Leo. Laki-laki itu menunjuk wajah Dennis. “Kalau lo udah puas ngata-ngatain kakak gue dan adik lo, gue mau lo pergi.”
Dennis mengangkat sebelah alis, menyadari bahwa cara bicara Leo tidak lagi seperti yang ia tahu. “Nggak cocok lo pakai lo-gue pas lagi ngomong sama gue.”
“Memang benar.” Leo mengangguk, setuju. “Gue cuma mau nunjukkin kalau gue nggak mau menghormati lo lagi setelah lo berani menghina perempuan kayak gitu. Lo boleh benci, tapi lo nggak berhak menghina kak Kiki, apalagi Marsha.”
Dennis hanya memandang Leo datar, kemudian ia meninggalkan kakak beradik itu tanpa mengatakan apapun.
Setelah Dennis pergi, Leo menutup pintu. Kiki terduduk di tepi ranjang.
“Kakak nggak apa-apa?” Leo langsung mengambil tempat di sampingnya.
Kiki menggeleng, tersenyum teguh. “Cuma sakit hati.”
“Cuma.” ujar Leo sinis. “Cuma sakit hati itu udah bikin Marsha kayak orang habis divonis mati.”
Kiki membelalak. “Kalian udah disini waktu aku sama Dennis berantem?! Itu berarti..” ia mengerjap, tidak kuat untuk bicara.
“Iya, kami dengar semuanya. Soal binal-binal itu juga.” Leo mengangguk muram. “Nggak tahu deh Marsha jadi apa mulai besok setelah dia mendengar sendiri abangnya menjulukkinya binal.”
***
Hal yang paling ingin Marsha lakukan setelah ia tahu kakaknya sendiri mengatainya dengan sebutan binal adalah: ia ingin mati.
Tapi ia tahu itu tidak mungkin. Itu konyol, dan begitu bodoh bahkan hanya memikirkannya. Masih banyak hal yang bisa membuatnya bahagia di dunia ini. Dan mati jelas bukan solusi yang tepat.
Marsha berbaring telentang di lantai kamarnya, menatap langit-langit kamar yang terbias oleh air mata. Sudah hampir larut. Rencananya untuk makan dan belajar bersama Leo langsung batal, mendengar cara Dennis menjelek-jelekannya membuat ia merasa tidak dapat hidup dengan layak di dunia ini.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengenyahkan kata-kata Dennis mengenai dirinya, tapi ia tahu itu sia-sia. Ia rupanya sedikit berlebihan. Ia hanya harus lebih terbiasa dengan Dennis yang menganggapnya penjahat. Ia hanya tidak perlu merasa bahwa Dennis adalah sumber kebahagiaannya, meskipun mereka kakak beradik kandung. Selama Marsha masih takut bicara, Dennis tetap akan membencinya. Dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi.. ia tidak mungkin menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya ‘kan? Ia sudah harus bicara. Tidakkah ia berpikir bahwa wajar saja karena Dennis begitu membencinya karena Marsha tidak mau memberitahu apa yang terjadi mengenai kedua orangtuanya.. selama dua tahun?
Marsha bukan tidak mau bicara, Marsha terlalu takut untuk mengatakannya.
Tapi ini sudah dua tahun, tidakkah itu terlalu lama?
Tapi Dennis bahkan sudah tidak mau lagi mendengarnya, ia harus bicara pada siapa?
Pikiran-pikiran itu tiba-tiba berhenti terlintas di otaknya ketika mendengar ketukan pintu kamarnya bertubi-tubi.
“Marsha, buka pintunya!” teriak suara Tori. Gadis itu terlonjak, berhenti menangis. “Lo nggak buka gue hancurin pintu lo!”
“Jangan tolol!” balas Marsha juga berteriak. “Ibu kos gue pasti lagi ngeliatin lo sekarang!”
Gedoran penuh semangat di pintu berhenti.
“Ya udah buka pintunya sekarang, Mar.” suara Jesi yang berkata.
Marsha mau tidak mau tersenyum geli. Ia menyeka air matanya, membuka pintu. Tori dan Jesi langsung menempati ranjang gadis itu. Marsha menutup pintu.
“Well,” Jesi mengangkat alis. “Sudah menemukan keberanian lo?”
Marsha menunduk. “Haruskah?”
“Abang lo berhak tahu, Mar.” sahut Tori menyetujui.
Marsha memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. “Gue latihan sama lo berdua aja, gimana?”
Tori dan Jesi saling pandang tak mengerti.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Marsha mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya dua tahun lalu.
Ahhhi gemeeees Uda kepooo
Comment on chapter 6 - Sakit