“Makasih udah mau nganterin aku.”
Dennis memutar bola mata jengah. Begitu Marsha menutup pintu mobil, laki-laki itu segera melesat meninggalkan Marsha yang menatap kepergiannya dengan sedih.
Gadis itu berjalan gontai memasuki gedung fakultasnya. Ia berhenti melangkah ketika seorang laki-laki berambut berantakan yang mengenakan jaket bertudung abu-abu, kaos polos putih, dan celana jeans hitam menghalangi jalannya.
“Tadi itu beneran?” kata orang itu penuh sindiran. “Dennis nganterin kamu?”
“Nggak apa-apa juga kalau kamu nggak percaya, Yon.” Marsha lanjut melangkah. Leo—laki-laki itu—mengekor di belakangnya. “Tanteku datang minggu lalu dari Bali.”
“Jadi kamu seminggu ini nggak pindah-pindah ke indekos teman-teman kamu?”
Marsha mendengus. “Tahu nggak? Aku nggak tahan serumah sama bang Dennis.”
Pernyataan itu membuat Leo tercenung, dan menyadari sesuatu. “Kamu.. masih belum bilang?”
Marsha menggeleng lemah, menatap Leo dengan pandangan lelah. “Kamu nggak tahu rasanya waktu ngeliat orangtua kamu terbakar hidup-hidup di depan kamu..”
Pernyataan itu benar-benar menohok Leo. Ia menggenggam tangan Marsha, mengusap punggung tangan itu dengan ibu jarinya. “Maaf..”
Marsha seperti tengah menahan tangis, tapi tidak ada apapun yang keluar dari matanya. Ia bergidik ketika Leo menggenggam tangannya, merasakan sensasi aneh menjalar di tubuhnya.
“Kamu nggak salah.” Marsha bergumam, tidak berniat melepaskan tangan itu.
Leo mengajaknya masuk ke kelas. Belum ada orang di sana, karena baru setengah jam lagi dosen mereka masuk. Keduanya duduk bersebelahan di baris ketiga dari belakang kelas.
“Mau sampai kapan?” Leo bertanya, menopang dagu untuk melihat gadis itu.
Marsha langsung menoleh padanya.
“Well, aku juga mau tahu, walaupun aku kenal om Bayu dan tante Tiwi cuma pas aku lagi liburan di rumah kak Kiki doang..”
“Aku belum siap..” Marsha menjatuhkan kepalanya ke meja. “Sakit aja, aku nggak tahan..”
Leo hanya diam. Dan entah mengapa, ia sudah menepuk-nepuk kepala Marsha dengan pelan.
“Kamu ngapain?”
Leo mematung. Ia langsung menyingkirkan tangannya, terlihat salah tingkah. Marsha duduk tegak, hanya memandangi laki-laki itu.
***
Kelas Pak Hakim selesai lebih cepat dari dugaan Marsha dan Leo. Keduanya melangkah santai keluar dari kelas. Leo sebisa mungkin mengabaikan para mahasiswi yang menatapnya dengan terkagum-kagum, sesuatu yang membuatnya sangat risi. Padahal, sudah ada Marsha di sampingnya, tapi ia masih saja mendapat tatapan penuh pemujaan dari para penggemarnya. Yah, meskipun Marsha hanya temannya, tidak lebih.
“Kamu kira dengan kamu yang nempel terus sama aku, fans-fans kamu itu masih nggak mau ngeliatin kamu?” Marsha berkata, menyusuri halaman jurusan Teknik Metalurgi dengan Leo di sampingnya.
Leo tersenyum minta maaf. “Tahulah, biar mereka kira kalau kamu..”
Ia tidak lagi melanjutkan, karena Marsha sudah memandangnya dengan tatapan membunuh.
Mereka sudah sampai di ambang gerbang fakultas teknik ketika Marsha menyadari Leo masih mengikutinya. “Kamu nggak ke kosan?”
“Lagi males.” balas Leo. “Kasihan nenekku, nggak ada yang nemenin. Kak Kiki kerjaannya banyak banget, sampai sering nginep di kantor. Lagian, udah lama juga aku nggak naik kereta. Bareng kamu lagi. Kamu jadi ada yang nemenin.”
Laki-laki itu tersenyum lebar, membuat Marsha agak tercenung beberapa detik, tapi Marsha tahu bahwa seharusnya ia berpijak pada bumi bila Leo sudah tersenyum.
“Marsha?”
Gadis yang dipanggil sedang menguncir rambut.
“Kamu jadi asisten bu Qori sejak kapan?”
Marsha mengerutkan kening. “Kok kamu tahu?”
“Aku lihat kamu tiga hari lalu ngikutin bu Qori terus setelah praktikum yang terakhir.” jelas Leo. “Kenapa?”
“Kenapa aku jadi asisten bu Qori?” Marsha mengulangi. “Bukannya udah jelas? Aku nyari kesibukan biar nggak mikirin bang Dennis!”
Mata Leo melebar. “Itu praktikum udah lima kali seminggu, belum lagi tugas, makalah, presentasi, review materi ujian, terus kamu masif aktif di jurnalistik, dan sekarang kamu jadi asisten bu Qori? Kamu nggak capek?” cecarnya. Ada nada khawatir dan getir dalam suaranya yang sulit sekali disamarkan.
“Capek.” aku Marsha, mendesah. “Tapi seenggaknya aku nggak sakit hati kalau keinget perlakuan bang Dennis, atau sedih kalau keinget orangtuaku..”
Keduanya terdiam beberapa saat, sampai Leo membuka suara. “Kamu hebat.”
Alis Marsha terangkat.
“Kamu punya banyak kegiatan di kampus, ditambah lagi dengan masalah keluarga kamu, dan nilai-nilai kamu masih stabil. Kalau Dennis tahu kamu kayak gini di kampus, harusnya sih dia bangga.”
“Tapi sayangnya, dia peduli aku masuk kelas aja nggak.”
Marsha tersenyum, membuat Leo merasa bersalah.
“Jangan gitu.” Marsha menepuk-nepuk bahu laki-laki itu. “Kamu nggak salah disini. Ini masalahku sama bang Dennis. Aku senang kamu mau nemenin aku, khawatir sama aku, dan nyeramahin aku kayak tadi. Seenggaknya masih ada orang yang peduli sama aku disini. Aku nggak tahu lagi kalau kak Kiki sama kamu nggak merhatiin aku. Makasih, ya.”
Leo mengibaskan tangan. “Aku kenal kamu udah dari lama masa aku nggak peduli sama kamu?”
Mereka kini berada di halte, menunggu bus kampus yang datang setiap lima belas menit sekali, berhenti di tiap fakultas dan stasiun. Keduanya duduk, membicarakan hal-hal remeh seperti penampilan para mahasiswa yang lewat di depannya. Sesekali Marsha tertawa, atau Leo yang tertawa. Mereka terus saja seperti itu tanpa menyadari ada seseorang yang memperhatikan mereka dari kaca spion mobil mewah berwarna hitam yang terparkir tak jauh dari halte tempat mereka berada.
***
Bang Dennis
Tante Maya pulang hari ini. Dia mau kita nganterin dia. Kalau kamu udah selesai ketawa-ketawa bareng Leo di halte, masuk ke mobil sekarang. Bohong kalau kamu nggak ngeliat aku.
Leo menatap Marsha dengan pandangan terkejut. “Bang Dennis disini?!” ia sontak melihat sekitar, merasa heran karena tidak menemukan sosok Dennis.
Marsha tidak seheran Leo, yang langsung bisa melihat mobil Lexus hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka. Jendela penumpangnya terbuka, dan Marsha sudah bisa membayangkan Dennis yang menatap keduanya dari kaca spion itu.
Ia berdiri. “Aku duluan.”
Leo mengangguk. “Hati-hati.”
Mata Leo masih setia mengikuti Marsha, merasa penasaran ketika Marsha menemukan Dennis tapi tidak dengan dirinya. Dan pada saat itu, ia melihat Marsha menghampiri sebuah mobil hitam. Baru saja Marsha membuka pintu penumpang, gadis itu tiba-tiba sudah tertarik ke dalam mobil.
Dalam hati, Leo ingin sekali meninju wajah Dennis, atas nama Marsha.
***
“Nggak perlu narik aku kayak gitu. Aku bisa masuk ke mobil sendiri.” kata Marsha dengan ketus. Ia mengusap pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram Dennis.
“Cocok banget kalian.” sinis Dennis menjalankan mobil. “Jalan bareng berdua, nepuk-nepuk bahu, duduk berdua di halte, ketawa-ketawa. Ada apa? Kalian pacaran?”
“Abang mau marah sama aku kalau aku beneran pacaran sama Leo?” Marsha menukas, terlihat tidak suka. “Sejak kapan Abang mau peduli lagi sama aku? Udah bagus Abang nggak tahu apa aja yang aku lakuin di kampus.”
“Jaga mulut kamu, Mar.” geram Dennis.
Marsha tidak lagi bersuara, bukan karena takut, melainkan ia malas selalu berdebat dengan sang kakak tiap kali mereka bertemu. Entah apa yang dirasakan Dennis, tapi Marsha selalu memaki dirinya sendiri setiap kali ia melontarkan ucapan kasar kepada kakaknya. Padahal dulu, orangtuanya akan menegur mereka bila mereka saling meneriaki satu sama lain. Dan sejak dua tahun lalu, Marsha dan Dennis sudah terlalu sering melempar ucapan kasar, dan diakhiri dengan pukulan atau tamparan Dennis di wajahnya. Ia sedih. Kira-kira, apa pendapat kedua orangtua mereka jika tahu kedua anaknya sekarang hidup seperti ini?
Mereka sampai di rumah setengah jam kemudian. Tante Maya sedang duduk di kursi serambi depan ketika Dennis membunyikan klakson. Marsha keluar dari mobil, membantu Maya mengangkat koper ke bagasi mobil, dan mereka melesat menuju bandara.
Setelah saling menukar ucapan kerinduan dan peluk-pelukan, Maya menyeret kopernya dan menuju ruang keberangkatan. Marsha dan Dennis menuju mobil. Mereka menempuh perjalanan menuju rumah mereka, tanpa saling bicara.
Begitu mobil masuk ke garasi, Dennis tidak langsung keluar.
“Aku mau nanya sama kamu.”
Marsha mengurungkan niat untuk melepas sabuk pengaman, memberanikan diri untuk menatap mata abangnya lurus-lurus.
“Sudah dua tahun aku menagih cerita dari kamu,” Dennis memulai, tapi Marsha langsung mencegah.
“Kalau Abang mau ngomong tentang kejadian dua tahun lalu, aku minta maaf.” Marsha menggeleng. “Aku belum siap cerita.”
Kemarahan tampak jelas di wajah Dennis. “Ini udah dua tahun, Marsha! Mau sampai kapan kamu diam?!”
“Maaf, Bang..” untuk pertama kalinya, Marsha tidak menaikkan nada bicaranya. Gadis itu terdengar letih, dan nyaris memohon. “Tanpa aku cerita ke orang lain aja, itu udah bisa bikin aku nangis-nangis lagi..”
“Bahkan aku?” sergah Dennis. “Aku anak pertama mereka dan aku berhak tahu apa yang terjadi!”
“Aku juga anak mereka.” Marsha membalas. “Dan aku berhak mendapat ketenangan sampai aku berani cerita.”
Pipi Marsha seketika kebas. Dennis sudah melayangkan satu tamparan ke gadis itu.
“Kamu ngebuat aku nganggep kamu pembunuh, kamu tahu nggak?!” teriak Dennis marah.
“Tidak apa.” jawab Marsha. Air mata sudah membasahi wajahnya. “Aku nggak keberatan Abang nganggep aku apa. Aku bisa maklum Abang yang benci aku, sampai Abang yang ngak mau orang lain tahu kalau Abang punya adik, sampai Abang nganggep aku pembunuh, sampai semua keluaga kita benci banget sama aku. Tapi kenapa Abang nggak mau terima keputusan aku? Abang hanya perlu bersabar aja. Aku pasti cerita, tapi—”
Dennis menampar Marsha lagi.
“Aku capek nunggu kamu selama dua tahun hanya untuk tahu apa yang terjadi sama Bapak dan Ibu.” di luar dugaan, suara Dennis terdengar begitu tenang, meski masih sarat akan emosi. “Jangan pernah kamu muncul lagi di depan aku, sampai kamu mau cerita!”
Marsha meringis pelan sambil memegang kedua pipinya. Ia keluar dari mobil, masuk ke rumah, membuka koper dan memasukkan baju-bajunya ke sana, menutup koper dengan serampangan, pergi melintasi Dennis yang berpapasan dengannya.
***
“Sampai kapan lo mau hidup kayak gini, Mar?”
Marsha duduk di kursi favoritnya di kamar Victoria, teman sejurusannya, di meja belajar yang dekat jendela. Ia berbalik, menatap dua sahabat perempuannya yang duduk di ranjang, bersandar ke dinding.
“Well, ini out of the box, tapi gue cuma pengen bilang, gue beneran nggak nyangka lo adik Dennis yang terkenal itu.” sahut Jesica memeluk boneka Doraemon milik Victoria.
“Gue juga sih.” Victoria mengamini. “Emang beberapa bulan lalu pernah ada isu kalau Dennis tuh bohong soal dia anak tunggal, tapi tiba-tiba ilang aja tuh berita.”
Marsha menatap kedua temannya bergantian. Mereka memang salah satu dari penggemar Dennis, dan entah mendapat keberanian darimana, ia akhirnya mau mengakui bahwa ia adalah adik Dennis, dan menceritakan kematian kedua orangtuanya versi Dennis. Ia tahu dua orang ini bisa dipercaya, dan akan menerima apapun yang ia katakan. Tapi, ia masih belum bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu.
“Gue emang pernah baca, orangtua Dennis itu meninggal karena kebakaran di rumah mereka sendiri, dan disitu dibilangin rumah mereka dibakar karena seseorang, cuma nggak dikasih tahu siapa. Cuma ada saksi tunggal di kejadian itu.” Victoria berspekulasi. “Jangan-jangan, saksi tunggal itu elo, Mar?”
Marsha tersentak, tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Kilasan tentang api yang berkobar di rumahnya kembali memenuhi otaknya. Air mata Marsha kembali jatuh tanpa izin.
Jesica yang menyadari hal itu terlebih dahulu. “Marsha, lo nangis?!”
Victoria seketika tampak bersalah, “Mar, gue nggak bermaksud..”
“Nggak apa-apa, Tor..” Marsha akhirnya berkata, menyeka air mata sambil terkekeh menyedihkan. “Gue suka gini kalau ada yang ngomongin keluarga gue.” ujarnya. “Kalian janji kan nggak bakal bilang siapa-siapa kalau gue adik Dennis?”
Victoria dan Jesica kompak mengangkat tangan kanan mereka, dan meletakkan tangan kiri mereka di dada.
“Menurut gue wajar sih sampai sekarang lo belum berani cerita ke siapapun, Mar.” Victoria bergumam. “Lo saksi tunggal kematian kedua orangtua lo, dan semua orang nyalahin lo di kejadian itu. Tapi tetep aja, Mar, lo nggak bisa nyembunyiin hal ini selamanya. Kasian Dennis dan keluarga lo yang lain. Kasian juga lo nya, dibenci abang kandung lo seumur hidup lo. Bagaimanapun juga, kalian saudara. Kalian nggak boleh saling benci kayak gini. Saudara berantem itu wajar, tapi kalau udah saling benci dan sampai nggak mau saling mengakui kayak gini, gue juga nggak bisa terima. Nggak ada di antara kalian yang benar di masalah ini.”
“Nah, Saudari Tori sudah bersabda.” Jesica membenarkan. “Tapi gue malah mikir kayak gini: kalau lo cerita yang sebenarnya, orang-orang yang mikir ini semua salah lo pasti nganggep lo nyari pembelaan. Dan kalau misalnya Dennis percaya sama cerita lo, Dennis udah pasti bakal narik lo ke dunianya secara nggak langsung, yang berarti akhirnya satu negara bakal tahu kalau seorang Dennis Luigi punya seorang adik. Gimana nanti lo ngadepin penggemarnya Dennis? Gue jadi nggak tega sama lo, Mar. Penggemar fanatik Dennis hampir sama kayak papparazi di Hollywood, dan mereka nggak akan segan nyakitin lo. Belum lagi kalau ada orang yang nganggep lo nyari popularitas. Heol, bisa gila gue.”
“Itu risiko.” Victoria menyikapi dengan kalem. “Kalau lo mau Dennis sayang lagi sama lo, lo harus terima risiko itu. Gue yakin sih, Dennis nggak bakal biarin lo tersiksa ngadepin para wartawan itu, tapi tetep aja, kemungkinan itu masih ada.”
Marsha meresapi semua perkataan itu dengan baik.
“Tapi..” ucap Marsha pelan. Ia sudah sering sekali mengatakan kalimat berikut ini. “Ngebayangin aja hati gue sakit banget, tahu nggak? Gue nggak bisa bayangin bakal jadi apa gue kalau gue cerita ke Dennis. Belum tentu juga Dennis percaya sama gue..”
“Itu juga risiko.” Victoria berkata lagi, kali ini dengan senyum. “Terlepas Dennis bakal percaya sama lo atau nggak, yang jelas lo udah menyampaikan kebenaran. Itu jadi salah Dennis yang kalau dia nggak mau percaya sama lo.”
“Walaupun gue baru kenal lo tiga semester, Mar.” kini Jesi yang berbicara. “Gue tahu lo bukan pengecut dan pembohong. Wajar banget lo belum berani bilang apa-apa. Lo pasti trauma banget. Seharusnya kalau emang Dennis abang lo, dia pasti bangga kalau lo masih sepintar ini dan kuliah lo sama sekali nggak keganggu karena masalah lo. Salut gue. Terus, soal orang-orang goblok yang nggak percaya sama lo, biarin aja. Dan kalau emang nanti abang lo nggak percaya sama lo, gue mengundurkan diri jadi penggemar dia.”
Marsha dan Victoria mau tidak mau tertawa mendengar kalimat terakhir itu.
“Eh jadi gimana?” Victoria meredakan tawanya. “Lo mau sampai kapan ngungsi di kosan orang-orang tiap bulan?”
“Gue bakal nyari kos-kosan besok.” ungkap Marsha. “Ada saran nggak? Yang murah, tapi bersih dan kamarnya agak luas, biar buku-buku gue bisa kesimpen?”
“Ada deh kayaknya kalau gue nggak salah.” Jesica mengusap-usap dagu, berpikir. “Kosannya si Gita tuh, tapi gue nggak tahu ada kamar kosong atau nggak.”
“Gita?” Marsha mengangkat alis. “Gita ngekos di kosan yang sama kayak Leo kan?”
“Eh, iya juga!” Victoria tiba-tiba berseru. “Kosan Gita murah loh, Mar, walaupun nggak sebagus kosan gue. Seenggaknya di sana udah ada meja belajar, lemari, tempat tidur, dan Wi-Fi.”
Marsha mendengus. “Gue satu kosan sama Leo sama aja bunuh diri.”
“Lah kenapa?” Victoria memicingkan mata. “Ada yang merhatiin elo ‘kan?”
“Justru itu.” keluh Marsha. “Gue pasti diatur-atur mulu sama dia. Nggak boleh gini lah, gitu lah. Dia aja udah marah gua jadi asisten bu Qori. Dikira dia ibu gue apa. Enek gue lama-lama.”
“Yaelah, enek-enek seneng kan lo.” sindir Jesica. “Lagian, Leo berhak kali. Dia pacar lo ini.”
Marsha memutar bola mata. “Nggak abis pikir gue sama orang-orang yang bilang gue pacaran sama Leo.”
“Lo ngomong sama dia pake aku-kamu, Leo yang sering banget nepuk-nepuk kepala lo, ngerangkul-rangkul lo, dan perhatiannya udah kayak ibu gue merhatiin gue, dan lo masih ngelak kalau Leo suka sama lo? Tinggal nunggu jadian aja lo berdua, tahu nggak?” Jesi tersenyum lebar. Victoria tidak menuturkan sanggahan.
Marsha menghela napas, memandang keduanya dengan sebal. “Gue harap kalian nggak lupa kalau Leo itu adik sepupu temen baik abang gue yang tinggal di depan rumah gue di Bali dulu.”
“Gimana bisa lupa? Lo selalu bilang gitu ke semua orang yang nganggep kalian pacaran.” Victoria menaik-naikkan alisnya.
Marsha mengerang. “Tori, please. Jangan ikut-ikutan Jesi.”
“Lo nyadar ga sih, Leo itu ngeliatin lo dengan tatapan memuja, sementara dia ngeliatin cewek lain dengan tatapan seakan kami semua sampah?”
Marsha melempari Jesica dengan buku yang ia temui di meja.
Ahhhi gemeeees Uda kepooo
Comment on chapter 6 - Sakit