Lorong sekolah tampak lengang ketika aku menyusurinya. Di saat seperti ini, satu-satunya tempat yang ingin kutuju hanyalah UKS. Bayangan kasur empuknya yang berseprei putih memacu kakiku untuk berjalan lebih cepat.
Ada untungnya juga mendapat hukuman ini, batinku seraya memandang sekeliling ruangan. Untung saja tidak ada orang di ruangan ini sehingga aku bisa lebih leluasa. Aku memejamkan mataku yang sudah terasa berat. Ketika yang lain sedang duduk manis mendengarkan penjelasan guru, aku justru menikmati waktuku untuk tidur.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, yang jelas ketika terbangun, ruangan ini sudah ramai. Saat kelopakku membuka, hal pertama yang kusadari adalah tubuhku yang terbalut selimut. Pasti ada seseorang yang menyelimutiku diam-diam.
Segelas teh yang diletakkan di meja meja kecil di samping kasur menarik perhatianku. Ada secarik kertas di bawah gelas itu.
'Teh manis untuk perempuan yang manis.'
Aku meremas kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku. Layaknya orang yang telah berpuasa seharian, aku segera menghabiskan teh itu hanya dalam hitungan detik.
Tiba-tiba tirai yang memisahkan kasurku dengan kasur sebelah terbuka. Di atas kasur itu, sudah ada Bunga dengan matanya yang mengunciku. Sebelah tangannya masih menggenggam ujung tirai. "Hei," sapanya.
"Hei," balasku.
"Dari tadi lo tidur di sini?" tanyanya.
Aku mengangguk tanpa menjawab.
Bunga memasang wajah cemberut. "Enak banget sih, nggak ngerjain tugas malah bisa tidur-tiduran."
Aku memaksakan sebuah tawa. "Tapi lo jangan ikut-ikutan. Nanti gue ketahuan lagi."
"Iya deh iya." Bunga merebahkan tubuhnya di kasur. "Lo kenapa sih akhir-akhir ini jadi pemalas? Kasihan nyokap lo udah susah-susah bikin rempeyek buat bayar SPP, eh lo malah males-malesan gini."
Aku tak tahu harus menjawab apa sehingga aku pun memilih tertawa. Teman-teman di sekolahku tidak ada yang tahu jika akulah yang membuat rempeyek-rempeyek itu. Sejujurnya, aku tidak pernah sekali pun mengatakan bahwa Ibu yang membuat makanan itu, tapi mereka sendiri yang menyimpulkannya. Yah, mungkin lebih baik kalau mereka berpikir seperti itu.
"Sayang banget tahu nggak," Bunga memiringkan badannya ke arahku. "Lo tu pinter, tapi lo kayaknya nggak sadar sama kelebihan itu."
"Ah, gue biasa aja kok," elakku. "Lo tuh yang pinter."
Bunga melempar bantal ke wajahku. "Ih lo nggak usah nyindir gue, deh." Gadis itu menepuk jidat, kemudian mendudukkan tubuhnya di pinggiran kasur. "Sebenarnya hubungan lo sama Andre tu gimana sih? Kayaknya Andre perhatian banget sama lo. Tahu nggak, pas lo keluar dari kelas, si Andre mohon gitu sama Bu Tari biar lo boleh masuk lagi."
Setengah mulutku terbuka saking terkejutnya. Walaupun Andre sering melakukan hal-hal yang tak terduga untukku, aku tak pernah menyangka kalau ia sampai senekat itu. Terlebih, Bu Tari adalah salah satu guru killer yang paling disegani murid-murid.
"Eh, malah dia deh yang kena batunya. Bu Tari malah nyuruh dia milih ikut keluar atau tetap di kelas," lanjut Bunga.
"Yah, akhirnya dia milih tetep di kelas kan?" tebakku.
"Lho, emang lo nggak ketemu sama dia tadi? Dia milih keluar tuh." Kini Bunga menatapku penuh heran.
"Hah? Masak sih?"
Bunga mengangguk mantap. "Gue kira tadi dia malah nyamperin lo."
***
"Ndre," panggilku pada seorang lelaki yang sedang duduk di perpustakaan sambil membaca buku.
Andre menoleh sambil membetulkan posisi duduknya. "Keira? Lo udah bangun?"
Aku menarik kursi di sampingnya. "Makasih ya tehnya. Gue tahu gue emang manis, lo nggak perlu nulis begituan."
"Lho, emang gue nulis apaan?" Kening Andre berkerut samar. "Lo ngomongin teh apa sih?"
Sebelah alisku terangkat ketika kalimat itu meluncur dari mulutnya. "Lho, jadi teh dan tulisan itu bukan lo yang buat?"
Melihat ekspresiku yang juga bingung, Andre malah tertawa. "Gue bercanda. Iya emang gue yang nulis. Habis kalau gue nggak nulis lo pasti nggak bakal senyum-senyum sendiri kan waktu minum?"
"Ih, gue nggak senyum-senyum, kok," protesku. Aku berdeham. "Ndre, lo ngapain sih pake ikutan keluar waktu pelajarannya Bu Tari?"
Andre menutup buku di hadapannya. "Gue nggak suka aja kalau ada guru yang bikin hukuman semacam itu. Kalau ada murid yang nggak ngerjain PR harusnya dia dihukum pakai hukuman yang bikin si murid jera sekaligus pinter, contohnya nulis esai atau apalah, bukannya nyuruh keluar. Yang ada bukan jera, tapi ketagihan."
"Terserah lo deh, untung bukan lo gurunya."
Andre tertawa, sedangkan aku hanya memandangnya. Laki-laki di sebelahku ini begitu perhatian padaku. Sejak dulu ia selalu begitu. Sejak kami kecil dan hidup bertetangga. Tepatnya sebelum akhirnya aku pindah ke rumah Ibu. Sayangnya, ia selalu memandangku sebagai teman, tidak lebih. Fakta itu cukup membuatku sedih. Namun, aku tetap bersyukur. Kehadirannya sudah cukup membuatku sadar bahwa ternyata masih ada orang yang menyayangiku.
"Kok lo bengong, sih?" Andre mengibaskan tangannya di depan wajahku.
Aku segera tersadar dari lamunanku. "Siapa yang bengong?" Mataku sedikit melotot.
Andre hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu. Dari dulu ia selalu begitu. Selalu mengalah padaku.
Pernah suatu ketika kami bertengkar. Kala itu umur kami masih delapan tahun. Namanya saja anak kecil, hal yang kami perdebatkan pun juga sepele.
Saat itu, ada tetangga baru yang tinggal di kompleks rumah kami. Aku dan Andre berdebat tentang nama si tetangga baru. Aku bersikeras bahwa wanita itu bernama Yuli, sedangkan Andre ngotot mengatakan bahwa namanya Julia. Tidak ada yang mau mengalah di antara kami. Bahkan karena hal itu mendadak kami saling adu pukul. Kejadian pukul memukul itu baru berhenti setelah ibunya Andre melerai kami. Perkelahian itu sukses membuat hidungku mimisan dan karena itu aku jadi jatuh sakit.
Aku ingat betul bagaimana Andre langsung menjengukku bersama ibunya. Dengan malu-malu dan wajah yang penuh rasa bersalah, ia meminta maaf.
"Oke, aku maafin," ujarku saat itu. Ketegangan di antara kami pun perlahan mencair. Kami kembali menjadi dua sahabat seperti sedia kala.
Di tengah keasyikan kami mengobrol, tiba-tiba si tetangga baru datang. Wanita itu mengucapkan kalimat yang membuatku merasa sangat malu."Maaf, ya gara-gara Tante kalian sampai berkelahi seperti ini. O, ya Tante juga ingin meluruskan bahwa nama Tante adalah Julia."
Kenangan masa kecil itu seketika buyar ketika Andre menyenggol lenganku. "Lo mau balik ke kelas nggak? Udah bunyi tuh belnya."
Aku mengangguk. Karena sedikit tergesa, tanpa sengaja aku menjatuhkan buku milik Andre. "Sorry." Sedkit menunduk, aku memungut buku Andre yang saat ini tergeletak di lantai.
Ketika tanganku meraih buku itu, tiba-tiba selembar foto terjatuh dari balik halamannya. Kala menyadari objek yang tergamabar dalam foto itu, perasaanku mulai campur aduk. Antara rindu, sedih, dan menyesal.
Andre yang menjadi saksi perubahan ekspresi di wajahku buru-buru merebut foto itu. "Udah, lo nggak usah mikir macem-macem." Lelaki itu menyelipkan kembali foto itu ke dalam bukunya.
Aku yang sejak tadi masih berjongkok segera berdiri. "Ndre," panggilku pada Andre yang sedang membelakangiku. Saat ia berbalik dan kami saling berhadapan, aku berkata, "Sampai kapan lo mau begini terus? Dia udah nggak di sini, Ndre."
Andre membuang muka. Ia menggaruk kepalanya yang kelihatannya tidak gatal. "Ah, ini udah lama ada di sini. Gue lupa ambil. Ini cuma buat pembatas buku kok. Lo nggak usah mikir yang aneh-aneh."
Aku tahu ia berbohong. Nyatanya sampai detik ini Andre masih tidak bisa melupakan sosok perempuan dalam foto itu. Padahal saat perempuan itu masih di sini, ia tak pernah membalas perasaan Andre. Lebih tepatnya ia tidak tahu tentang rasa yang dipendam Andre padanya. Hanya Tuhan, Andre, dan aku yang mengetahuinya.
***
Sambil menenteng tas belanja berisi sisa rempeyek, aku berjalan pulang. Lumayan, rempeyek ini bisa menjadi lauk untuk makan nanti.
Di depan gerbang sekolah, aku menghentikan langkahku. Kulihat seorang pria berjas sedang berdiri di depan sebuah mobil hitam. Ketika melihatku, ia lantas bergegas mendekatiku. Tak mau berurusan dengannya, aku pun segera mempercepat langkahku ke arah yang berlawanan.
"Keira, tunggu!"
Meskipun pria itu berulangkali memanggilku, aku tetap meneruskan langkahku. Aku berhenti di trotoar dan melihat kanan kiri. Kenapa di saat seperti ini malah tidak ada angkot atau bus yang lewat, ya?
"Keira!" Pria itu mencengkeram lenganku.
"Ih, lepasin!" Aku berusaha melepaskan cengkeramannya yang semakin menguat. "Mau apa Om Jo ke sini?" tanyaku galak.
Pria bernama lengkap Jonathan itu melepaskan cengkeramannya, "Ada sesuatu yang harus kukabarkan."
"Om, aku nggak mau dengar apapun. Lebih baik Om pulang."
Bukannya pulang, Om Jo justru menatap tas belanjaku. "Kamu masih jualan rempeyek?"
"Iya," jawabku tak acuh.
"Keira, kamu nggak perlu jualan rempeyek kayak gini. Ikut Om ya," rayunya.
Tatapan kesal kulemparkan padanya. Aku kembali menoleh ke kanan dan kiri mencari kendaraan apapun yang bisa membawaku jauh dari sana.
"Keira, maafkan Om, tapi Om harus melakukan ini." Tiba-tiba saja pria itu kembali mencengkeram tanganku dan berusaha menarikku untuk ikut dengannya.
"Lepasin!" perintahku setengah berteriak. "Aku teriak maling, nih!"
Sebelum sempat berteriak, sebuah motor menepi di dekatku. Si pengendara menaikkan kaca helmnya, lalu menoleh ke arahku.
"Keira, ayo bareng gue!"
Aku melepaskan tanganku dari cengkraman Om Jo yang sudah melonggar. Tanpa berkata sepatah kata pun padanya, aku segera naik ke atas motor Andre, sedangkan cowok itu langsung memacu kuda besinya itu.
***
Sepanjang perjalanan mood-ku berantakan. Oleh karenanya, aku terus membisu walaupun Andre sudah berusaha memancingku untuk bicara.
"Oke deh," ujar Andre akhirnya. "Gue tahu lo kesel, tapi apa nggak sebaiknya lo dengerin dulu penjelasan Om Jo? Siapa tahu dia emang mau ngasih tahu lo hal yang penting."
Penting? Bagiku semua hal tentangnya itu tidak penting. Kalau tidak ada dia mungkin keluargaku tak akan berantakan seperti sekarang.
"Keira, dia emang pernah ngelakuin kesalahan sama lo, tapi manusia bisa berubah kan? Lo nggak mau ngasih dia kesempatan?"
Kali ini aku membuka mulut, "Kesempatan buat ngehancurin keluarga gue lagi?"
Andre menggeleng. "Kayaknya lo butuh es krim, nih, biar mood lo balik lagi."
Lelaki itu membelokkan motornya dan berhenti di depan sebuah toko es krim. Ah, dia memang paling tahu apa yang kubutuhkan saat ini.
***