Read More >>"> Piromaniak (Nyalakan Apinya!) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Piromaniak
MENU
About Us  

            “Kamu semakin gak ada waktu buat aku. Yang dokumen, tugas sama Alfia, mengajar anak sekolah  dasar, menulis, design, semuanya kamu yang mengerjakan? Hebat ya kamu, Ay?”

            “Maafkan Ayu ya Adi”

            “Iya. Aku pulang”

            “Hati-hati. Salam ke keluarga dirumah ya”

            “Jaga diri”

            “Pasti. Nanti kalau sudah sampai, kirim pesan… Halo? Adi?”

Malang, Mei 2017

            Tepat seminggu setelah Adi memberiku hadiah 150 hari kami sebagai sepasang kekasih, kami kembali bertengkar. Saat itu adalah bulan libur kami sebelum uji kelayakan penugasan, banyak mahasiswa yang memilih untuk berlibur sejenak atau menyiapkan presentasi akhir untuk bulan selanjutnya. Adi memilih untuk pulang dan mengajakku bersamanya, namun aku menolak. Ini masih terlalu dini untuk menemui keluarga Adi bukan? Dia sedikit kecewa karena aku menolaknya dengan berbagai alasan yang memang begitu adanya. Aku dan Alfia mendapatkan nomor urut pertama untuk pelaporan kinerja kami selama satu tahun pertama. Dan itu dilakukan diawal bulan selanjutnya. Aku tidak sepenuhnya libur, karena aku juga memikirkan anak didikku yang telah bersamaku beberapa bulan ini bersama teman-temanku. Jika Adi, Dewi dan Kumala pulang, pelajaran tambahan untuk para siswa akan terbengkalai jika aku ikut pulang ke rumah ataupun bersama Adi. Selain itu, Alfia akan merasa terbebani jika harus berhubungan jarak jauh denganku mengenai perencanaan kami. Meskipun Alfia menyuruhku untuk pulang saja karena aku sangat merindukan kotaku, aku tahu bahwa dia sedikit cemas dalam berkomunikasi jarak jauh.

            Itulah pertengkaran pertamaku dengan Adi yang membuat dia tidak menghubungiku selama beberapa hari, bahakan lebih dari dua minggu. Aku memutuskan untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu, saat itu aku mengutamakan egoisku. Jika dia memang tidak ingin mengabariku itu bukan sesuatu yang memberatkanku. Bagiku dia adalah pria dewasa yang tanpa diingatkan untuk menjaga kesehatan jika dia menyayangi tubuhnya dan orang disekitarnya dia kan menjaga kesehatannya,iya bukan? Tidak pernah sehari dalam diriku termenung memikirkan apakah dia baik-baik saja, aku rasa dia akan memberi kabar jika terjadi Sesuatu. Jika tidak, maka Adi sudah belajar bertahan tanpa diriku. Seharusnya aku belajar darinya untuk bertahan tanpa Yasser. Atau mungkin sengaja melakukannya agar aku menghubunginya terlebih dahulu?

            Mungkin aku terlihat sangat jahat disini, memanfaatkan perasaan Adi kepadaku untuk melarikan diri dari perasaanku yang tak pernah bisa kuungkapkan kepada Yasser yang telah memiliki orang lain dalam hidupnya. Bahkan aku tidak sedikitpun memikirkan keadaan Adi saat dia jauh, kalian boleh mengataiku atau bahkan mengutukku. Aku tidak peduli sedikitpun, ini perasaanku yang selalu membuatku merasa bersalah setiap kali Adi baik kepadaku. Akan lebih baik jika dia terus saja marah dan membenciku. Aku akan lebih berterima kasih, karena itu pantas aku dapatkan darinya.

            Saat itu Alfia ikut bergabung bersamaku dan Tino untuk mengajar anak sekolah dasar. Akhir pecan itu aku menyuruhnya untuk tinggal beberapa hari dirumah kami karena beberapa hal yang harus segera kuselesaikan bersamanya. Aku sudah resmi menjadi penghuni rumah tersebut bahkan aku sudah berani membawa teman-temanku yang lain untuk bermain, rapat organisasi atau sekedar berkunjung. Rumah kami jauh dari kata sepi karena memang warga setempat juga sering mendatangi rumah kami untuk membicarakan pendidikan anak-anaknya atau hanya sekedar memeriksa keadaan rumah kami. Mereka juga kerap memberikan makanan dan bantuan alat untukmengajar anak sekolah dasar.

            Kelas malam itu dibagi menjadi 2 kelompok belajar karena hanya ada aku, Tino, Yasser dan Alfia sebagai pengajar. Saat itu aku memegang kelas matematika bersama Yasser, sedangkan Alfia bersama Tino mengajar kelas bahasa. Hari itu adalah hari pertama aku mengajar dikelas yang sama dengan Yasser setelah sebelumnya aku selalu bersama Adi atau sesekali bersama Ranti dan Dewi. Kelas pertamaku bersamanya dimulai, tanganku tak berhenti memainkan korek api dibalik saku celanaku.

            “Kenapa tidak masuk?”, kata Yasser

            “Ah, iya”

            Kumasukkan korek apiku kedalam saku celanaku dan mengikuti Yasser memasuki ruangan yang kami jadikan sebagai kelas. Pelajaran matematika saat itu dibagi menjadi 2 tingkatan untuk kelas 1-2 dan 3-4. Kelas 5-6 kami menjadwalkan untuk kelas bahasa. Karena jumlah siswa yang tidak terlalu banyak kami tidak terlalu memusingkan untuk membagi tugas mengajar.

            “Selamat malam adik-adik”, kata Yasser.

            “Selamat malam kak Yasser. Selamat malam kak Ayu”

            “Selamat malam juga”, kataku.

            “Kak Ayu terlihat cantik”, kata salah satu dari siswa dikelasku.

            “Haha”

            “Terima kasih”, kataku.

            “Kau pandai berbohong juga ya?”, kata Yasser kepada siswa laki-laki yang merupakan anak yang pernah kurawat lukanya dulu.

            “Aku tidak berbohong, kak Ayu memang selalu cantik”

            “Haha”

            Kelaspun dimulai dengan lelucon yang dimulai olah dua orang tersebut. Yasser dengan anak laki-laki kecil yang bernama Ali. Yasser masih dengan pendapatnya begitupun dengan Ali. Meski Ali masih siswa sekolah dasar kelas 3 namun dia berani menentang orang jika pendapatnya tidak disetujui. Kejadian yang sama pernah terjadi saat Adi menyuruhku beristirahat dan menggantikan mengajar dikelas Ali, dia dengan berani meneriaki Adi untuk tidak menyuruhiku karena saat itu aku memang sedang baik-baik saja dan ingin mengajar kelas Ali. Bisa dibilang Ali itu pahlawan kecilku, dia selalu membelaku.

            “Baiklah, kakak cantik untuk Ali dan tidak cantik untuk kak Yasser. Jadi kak Ayu akan mengajar kelas Ali saja ya, bagaimana?”, kataku.

            “Yeeeyyy”

            “Yaahh kakak, kami juga ingin diajar kak Ayu”

            “Kan masih ada kak Yasser”

            “Kak Ayu serasi bersama kak Yasser”, kata seorang gadis kecil yang duduk dibangku belakang Ali.

            “Tidak”, bantah Ali.

            “Haha”

            “Baiklah, hari ini kelasnya digabung saja. Setuju?”, kata Yasser.

            “Setuju”

            Kelas berjalan dengan lanca dan seluruh siswa dapat belajar dengan tenang dan senang. Ali selalu memperhatikanku, aku rasa dia sangat menyukaiku dan aku menyukai caranya memperlakukanku sebagai orang dewasa. Dia menghormatiku, aku tahu itu. Tetapi dia tedak pernah menyukai Yasser ataupun Adi, mungkin karena Yasser tidak mengatakan bahwa aku cantik dan Adi yang sering mengaturku. Menggemaskan sekali laki-laki kecil bernama Ali itu.

            Waktu telah menunjukan pukul 8 malam. Beberapa anak telah menguap menandakan mereka mengantuk atau beberapa mungkin merasa bosan. Aku memberikan isyarat kepada Yasser untuk mengakhiri kelas tambahan pada hari itu. Yasser mengiyakan dan menutup kelas pada malam itu. Beberapa orang tua telah menunggu diteras rumah, beberapa mengendarai sepeda motor dan beberapa mengendarai sepeda kayuh. Beberapa anak berjalan kaki bersama teman-temannya, karena lokasi rumah mereka yang tidak terlalu jauh dari rumah belajar kami.

            Aku merapikan buku-buku yang tertinggal diatas meja belajar siswa. Diletakkan kembali ke rak buku didekat pintu. Yasser merapikan peralatan mengajar lainnya. Tiba-tiba pintu kelas terbuka kembali. Seorang gadis yang berada dikelas Ali menarik bajuku dari belakang. Lisa namanya. Matanya terlihat merah, entah itu karena marah atau karena dia sedang mengantuk. Dia sedikit merengek.

            “Kak Ayu”

            Aku membalikkan badanku menghadap kearahnya. Dia menunduk murung dan menahan tangisnya. Kulihat tangannya menggenggam dan sesekali dia mengambil nafas dalam. Aku menyamakan tinggiku dengannya, kumiringkan kepalaku untuk menatap wajahnya yang masih menunduk.

            “Lisa?”, kataku.Tanganku mencoba meraih tangan mungil miliknya namun hal yang tak terduga terjadi.

“Aku benci kak Ayu”, katanya.

Dia menepis tanganku dengan kuat dan bahkan dia mendorongku hingga terduduk dilantai. Wajahnya yang biasa terlihat manis saat itu berubah menjadi wajah tengil yang jahat. Dia menangis dan bergegas pergi meninggalkan kelas. Yasser segera menghampiriku.

“Kau baik-baik saja?”

Yasser membantuku berdiri dan menuntunku untuk duduk di kursi pengajar. Aku hanya terdiam, mataku sesekali berkedip untuk menahan air mata agar tidak keluar dari kelopak mataku. Yasser menggenggam tanganku yang bergetar, pandanganku entah menatap kearah mana. Yang terpikirkan olehku hanyalah kenapa Lisa berkata dan bersikap seperti itu kepadaku.

“Tenanglah. Anak-anak seusianya biasa melakukan hal seperti ini, besok semuanya pasti ….”

Aku meninggalkan Yasser tanpa menunggunya menyelesaikan ucapannya. Aku tahu seharusnya aku tidak berperilaku seperti itu, tetapi saat itu aku belum memikirkan hal itu. Aku hanya ingin kembali ke kamarku. Kuraih korek apiku dan kunyalakan beberapa kali dengan menunggu angina untuk mematikannya dan menyalakannya lagi. Namun pikirannku masih belum berfungsi. Lisa. Kenapa?

Keesokan harinya aku adalah orang pertama yang bangun dirumah belajar. Rumah kami adalah rumah belajar bagi penduduk sekitar, sehingga rumah kami disebut dengan Rumah Belajar. Bukan hanya rumah belajar untuk siswa sekolah dasar, setiap minggu pagi seperti hari itu kami biasa mengadakan kegiatan senam dan olahraga bersama dengan warga sekitar. Karena aku bangun terlalu pagi aku memutuskan untuk menyiapkan sarapan dan menyiapkan peralatan senam.

Setelah selesai menyiapkan sarapan dan peralatan untuk senam, jam telah menunjukan pukul setengah enam pagi. Kubangunkan teman-temanku untuk segera menyambut para warga yang beberapa diantaranya telah datang bersama anak-anak kecilnya dan beberapa telah tumbuh menjadi remaja.

Teman-temanku terbangun dan bergegas untuk menyambut warga yang telah datang. Tiba-tiba badanku sedikit tidak bersahabat pagi itu. Aku memutuskan untuk duduk-duduk sembari mengobrol bersama anak-anak kecil daripada mengikuti senam atau berolahraga lainnya. Pagi itu Lisa tidak datang, padahal seingatku Lisa selalu datang bersama teman-temannya mengikuti Ali dan sekawanannya.

“Lisa dimana?”, tanyaku.

“Ibunya bilang, Lisa tidak mau datang dia sedang menonton televisi dirumahnya”, kata teman Lisa.

“Bukankah itu ibu Lisa?”, kataku.

“Iya, tante Linda”

“Lalu Lisa dirumah sendiri?”, kataku.

“Iya, sendiri”, kata teman Lisa yang lainnya.

“Bagaimana kalau kita berkunjung ke rumah Lisa. Pasti dia senang kita menemaninya”

“Mau”

“Sebentar ya, kakak mau ambil sesuatau”

Aku masuk kedalam rumah untuk mengambil ponsel dan beberapa makanan ringan, roti dan susu. Kumasukkan boneka beruangku kedalam tas ransel kecil milikku. Aku melangkah menuju teman-teman Lisa yang telah menungguku, namun langkahku berhenti saat aku mengingat raut wajah Lisa yang begitu membenciku malam sebelumnya. Yasser menepuk bahuku dari belakang dan berlalu melewatiku. Aku terdiam sejenak dan kembali melangkahkan kakiku kearah teman-teman Lisa.

“Kakak lama sekali”

“Ah, maaf. Hehe”

“Ayo kak”

“Em, sepertinya kakak kurang enak badan. Kalian bisa memberikan ini untuk Lisa?”

“Kakak sakit?”

“Biarkan kak Ayu istirahat saja ya?”, kata Tino.

“Baiklah. Sampai jumpa kakak”

Teman-teman Lisa meninggalkan rumah belajar dengan antusias untuk menemui temannya yang sedang dirumah sendirian. Aku masih ingat betul bagaimana wajah mereka yang begitu polos dan senang hanya karena katung makanan yang penuh untuk dinikmati bersama. Langkah kecil sedikit berlari terlihat dari debu jalanan yang berterbangan. Aku hanya memandangi punggung mereka yang mulai terlihat samar terhalangi oleh orang-orang yang masih melakukan senam. Seketika kutatap wajah Tino yang berada tepat disamping kananku. Dia dengan wajahnya yang basah akan keringat seusai memimpin pasukan senam.

“Kau selesai lebih awal?”,kataku.

“Seharusnya dari awal memang dia yang harus menggantikanku sebagai instruktur senam”. Tino menunjuk kearah Alfia yang sedang memimpin pasukan senam.

“Haha”, aku tertawa.

“Kau sakit? Lagi?”

“Ah, tidak. Aku hanya sedikit lelah”

“O”

“Jika kau lapar, makanlah terlebih dahulu. Aku sudah menyiapakan sarapan tadi”

“Bagaimana denganmu?”

“Aku ingin menunggu yang lainnya”

“Baiklah, aku juga. Hehe”.

Beberapa saat kemudian hening menghampiriku dan Tino yang duduk di kursi depan rumah sembari menunggu Yasser dan Alfia menyelesaikan senamnya. Tino sesekali melihat kearahku namun saat aku melihatnya dia memalingkan wajahnya dariku. Aku tersenyum.

‘krrruukk’ suara perut Tino. Aku tertawa mendengarnya, Tino menyembunyikan tawanya dengan tersenyum malu.

“Haha. Pergilah makan Tino”

“Ah, senamnya sudah selesai. Ayo kita membagikan minumnya”

“Haha baiklah, semoga perutmu tidak mengutukmu ya. Haha”

“Ayu. Ayolah aku malu hehe”

“Haha”

Seusainya membagikan minuman dan menemani beberapa warga yang mengajak kami mengobrol, kamipun berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Aku selalu menahan tawa setiap menatap wajah Tino saat menahan lapar. Bahkan ketika Tino mulai menyantap makananan aku tertawa sedikit keras yang membuat Alfia dan Yasser menatapku dengan aneh.

“Haha”

“Ayu?”, kata Alfia.

“Kau tidak apa-apa?”, tanya Yasser.

“Haha”

“Sudah hentikan Ayu. Aku ingin makan dengan tenang”, kata Tino.

“Haha. Maafkan aku teman-teman aku tidak bisa menahannya. Haha, makanlah-makanlah”, kataku.

“Aku sedikit khawatir dengan otaknya”, kata Alfia.

“Dia benar-benar sakit”, kata Yasser.

Kami melanjutkan makan dengan sedikit lebih tenang karena aku memutuskan untuk menikmati makananku juga. Seperti biasa, aku selalu menyelesaikan makanku paling akhir dengan konsekuensi aku yang harus mencuci piring kotor. Aku menerimanya, karena itu memang perjanjian dari awal kami tinggal bersama.

Kubawa tumpukan piring kotor dan beberapa tempat makanan kosong menuju bak cucian. Tino mengikutiku dari belakang dengan membawa beberapa gelas-gelas kotor.

“Biar aku yang mencucinya hari ini, kau terlihat tidak sehat”

“Haha. Kau sudah kenyang sekarang?”, kataku.

“Kenapa kau masih menertawakanku?”

“Perutmu sudah tenang sekarang?”

“Ayu”

“Haha”

“Pergilah”

Tino memaksaku untuk meninggalkannya bersama piring-piring kotor. Aku mengiyakan tapi tidak benar-benar pergi. Kuputuskan untuk berdiri disampingnya sembari menunggunya membersihkan peralatan makanan yang kami gunakan untuk sarapan. Sempat terjadi keheningan sesaat disana, hingga akhirnya aku memulai pembicaraan. Tino menanggapiku tanpa menghentikan pekerjaannya.

“Tino”

“Hm?”

“Kau tahu Lisa?”

“Lisa?”

“Iya, siswi kelas 3”

“Oh, tentu. Apa dia membuat masalah?”

“Tidak, hanya saja kelihatannya dia tidak menyukaiku”

“Haha. Dia mengatakannya?”

“Iya”

Aku menunduk. Tino telah selesai dengan pekerjaannya. Tanpa diminta, mataku mulai basah dengan airnya. Kuseka agar Tino tidak mengetahuinya, namun aku terlambat. Wajah Tino merunduk untuk berhadapan dengan wajahku. Aku menciba berpaling namun tangannya menyentuh daguku untuk menegakkan pandanganku. Aku menghela napas panjang.

“Dia bahkan mendorongku dan meneriakiku. Dia beriak karena tidak menyukai, bukan?”

“Aku rasa anak seusia belum mengerti apa yang dia lakukan”

“Gadis kecil dapat tumbuh lebih dewasa dari kelihatannya, kau tahu….”

Tino tidak membiarkanku menyelesaikan kalimatku. Dia memelukku. Air mataku semakin deras. Perasaanku semakin sesak. Entah mengapa pelukan Tino membuatku sedikit lebih lega untuk menumpahkan tangisanku. Namun aku masih menahan isakanku agar temanku yang lain tidak mendengarnya. Tetapi mungkin aku salah.

“Apa yang….”

Seketika Tino melepaskan pelukannya. Aku perlahan membuka mataku dan menatap pemilik suara yang tidak asing ditelingaku. Adi. Dia kembali lebih cepat.

“Adi? Akan akujelaskan….”

“Kau masih menyukai Ayu?”, kata Adi memotong perataan Tino.

“Adi hentikan”,kataku.

“Kau membelanya?”

Adi mendekat kearahku dan Tino. Aku tetap terdiam ditempatku berdiri, sedangkan Tino sedikit menjaga jarak diantaraku dengannya. Adi menatapku dengan penuh amarah atau apapun itu aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya tentangku dan Tino.

“Aku kembali lebih cepat untuk segera menemuimu, tapi disini kau…. Bahkan jika aku tidak menghubungimu lebih lama kau tidak akan mencariku? Kau tidak merindukanku? Ayu…… apa…..”

Aku tidak mengingat semua pembicaraan panjang Adi saat itu. Yang kuingat dia menanyakan seberapa besar keseriusanku dengannya. Sedangkan Tino memilih untuk meninggalkanku bersama Adi yang terus saja menghajarku dengan kalimat panjangnya. Dia melukai perasaanku yang sedag tidak baik-baik saja saat memikirkan Lisa. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Mungkin aku kehilangan kesadaran saat itu karena seingatku setelah Adi memberikan begitu banyak pertanyaan aku ingat bagaimana aku bisa sampai ditempat tidurku.

Saat aku membuka mata pertama kali yang kulihat bukanlah Adi, melainkan Yasser. Tanganku bergetar. Yasser membantuku untuk duduk dengan membeikan bantal sebagai sandaranku. Aku tidak ingat alasan apa yang membuatku meneteskan air mata saat itu. Entah karena Adi atau Lisa, perasaanku saat itu benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Yasser yang mengetahui air mataku segera menghapusnya dari pipiku. Aku menatapnya, dia hanya menggelengkan kepalanya. Seketika tangisku pecah dan aku menangis sejadinya. Aku tahu Alfia dan Tino melihatku dibalik pintu, tapi aku tetap menangis untuk melegakan dadaku yang sudah sesak untuk menahannya.

Aku sudah mulai lelah mengeluarkan kesedihanku. Yasser memberikanku segelas air minum dan aku memeinumnya untuk menggantikan cairan yang telah kukeluarkan. Dia tersenyum padaku. Aku turut tersenyum bersamanya.

“Aku lapar”, kataku.

“Kau mau kubuatkan telur gulung?”

“Aku ingin melihatmu melakukannya”

“Kau bisa berdiri?”

“Haha kau kira aku bayi yang belum bisa berjalan?”, kataku.

“Biar aku bantu”

Yasser membantuku untuk berdiri dan kami berjalan berdampingan menuju dapur. Aku memandangi sekelilingku, tidak kutemukan Adi disana. Kurasa dia tidak berada dirumah setelah membawaku ke kamar, atau mungkin dia meninggalkanku di dapur dan aku pingsan sendirian disana. Entahlah, bahkan aku tidak ingin menanyakannya kepada siapapun. Mungkin saja jawaban dari pertanyaanku bukanlah kalimat yang menyenangkan untuk didengar.

“Kau duduk saja disini”,kata Yasser.

Aku hanya mengangguk. Lagi pula meskipun aku duduk di kursi meja makan, aku dapat melihat Yasser yang sedang membuatkanku telur gulung. Karena memang dapurnya didesign sedemikian rupa agar aku dapat melihatnya bahkan apa saja yang dia masukkan kedalam wajan diatas kompor, karena memang kami sedang berhadapan sekarang. Kalian bayangkan saja sendiri bagaimana posisi kami saat itu. Jika aku mengingatnya sekarang saat itu perasaanku kepada Yasser tidak semenggila biasanya. Aku lebih terfokus dengan telur gulung yang dia buat dengan senyumannya yang tulus.

“Kau suka mayo?”, tanya Yasser.

“Letakkan apa saja diatas piringku”, kataku.

“Baiklah. Silahkan menikmati”

“Waahh. Terima kasih”

Dia memberikanku piring yang berisikan telur gulung yang beralaskan selada hijau segar kesukaanku. Diatas telur gulung yang telah dipotong rapi tertera tulisan samar yang terbuat dari saos tomat dan mayones. Smile. Tulisan itu seketika membuatku tersenyum. Aku menatapnya sekilas kemudian menusuk potongan telur gulung buatannya dengan garpu yang dia berikan.

“Em, aku rasa aku telah terlahir kembali. Hehe”, kataku.

“Itulah kemampuanku menghidupkan mayat. Haha”

“Haha. Kau ahlinya membuat telur gulung”

“Kalian makan tanpa memberitahuku?”, kata Alfia.

“Ah, ini cobalah buatan Yasser”, kataku sembari memasukkan telur gulung kedalam mulut Alfia.

“Em, ini lebih enak dari yang ibuku buat”

“Benarkan? Seharusnya tugas memasakku Yasser gantikan. Haha”, kataku.

“Boleh aku bergabung?”, kata Tino.

“Kemarilah”, aku menyuapi Tino dengan telur gulung.

“Kau masih diatas ini untuk sarapan tadi pagi”, kata Tino.

“Haha yang benar saja”

“Tentu saja Ayu sangat pandai memasak, aku juga tahu ibu Ayu adalah koki yang hebat”, kata Alfia.

“Ibumu seorang koki?”, tanya Yasser.

“Ah tidak. Ibu hanya menerima pesanan makanan untuk acara pernikahan dan semacamnya”

“Oh pemilik catering?”, kata Tino.

“Ah Yasser juga memiliki rumah makan keluarga. Itu yang membuatnya pandai memasak”, kataku.

“Wah kalian sama-sama terlahir dari keluarga koki”, kata Alfia.

“Haha ini terdengar bagus. Ah, aku harus menjaga toko murah. Sampai jumpa”, kata Tino.

“Ikut”, kata Alfia.

“Haha. Ada-ada saja”, kata Yasser.

“Iya haha”

“Kau mau kkubuatkan sup jagung?”

“Dengan senang hati”, kataku.

Entah berapa tenaga yang aku keluarkan sebelumnya, aku masih saja tidak merasa kenyang meski telah memakan beberapa potong telur gulung. Perasaanku terisi kembali dan hampir penuh. Aku memandangi api yang memanaskan panic berisi sup jagung yang sedang dibuat oleh Yasser. Warnanya biru, tampak seperti langit yang bergerak-gerak dengan gejolaknya. Aku membayangkan betapa hangatnya jika aku menyentuhnya. Namun seketika Yasser memecahkan lamunanku. Sup jagung telah siap untuk kumakan.

“Silahkan”, kata Yasser.

“Ah? Oh terima kasih”, kataku.

“Nanti malam kau ada rencana?”

“Rencana?”

“Aku ingin mengajakmu keluar”, kata Yasser.

“Baiklah”

“Pukul tujuh malam”

“Setuju”

“Kau menyukainya?”

“Hm? Iya?”

“Sup buatanku”

“Ah. Tentu saja, aku tinggal memakannya saat lapar seperti ini semua makanan akan terasa enak, bukan? Haha”

“Baiklah aku tidak akan membuatkannya lagi saat kau lapar”

“Ck. Kau sangat mudah tersinggung”

“Haha. Cepat habiskan. Biar kubereskan tempat makan kotornya”

“Akan lebih baik jika aku terus-terusan sakit agar diperhatikan seperti ini. Haha”

“Kau ingin mati?”

“Haha”

Meski tidak mengatakan hal-hal yang manis. Yasser kembali membuatku tertawa. Aku tahu dia benar-benar orang yang baik. Mungkin perasaanku salah mengartikan kebaikannya, maka dari itu mulai saat dia baik kepadaku aku akan mencoba melupakan perasaanku agar tidak membuatnya canggung jika dia mengetahui aku menyukainya sebagai seorang pria.

Selesai menghabiskan sup jagung dimangkuk yang diberikan Yasser kepadaku, aku menunggui Yasser membersihkan tempat-tempat kotor bekas dia memasak. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Suaranya berasal dari kamarku. Aku membiarkannya. Hingga panggilan ketiga akhirnya aku berjalan menuju kamarku yang sudah dirapikan kembali. Entah siapa yang merapikannya yang jelas bukan Yasser ataupun diriku.

Aku menekan tombol hijau diponselku untuk menjawab panggilan dari nama yang tertera dilayar ponsel. Adi. Aku berharap dia memintaku untuk bertemu dan meminta maaf padaku. Namun kurasa itu sedikit berlebihan jika aku berharap hal semacam itu kepada Adi.

“Iya?”, kataku.

“Aku ingin kau keluar dari rumah itu, bersamaku. Ah maksudku kita cari tempat tinggal yang berdekatan saja. Daripada kita harus saling curiga tinggal didalam satu rumah bersama orang-orang yang menyukaimu. Kau tahu bagaimana tersiksanya aku? Ay….”

“Adi”

“Iya?”

“Kenapa kita diciptakan dengan dua telinga?”

“Apa yang kau katakana Ay? Aku sedang tidak ingin bermain tebak-tebakan denganmu”

“Karena kita memiliki lebih dari satu hal untuk didengarkan”, kataku.

“Ay?”

“Adi. Kau tidak pernah mau mendengarkan penjelasan dibalik pendengaran yang kau tahu. Kau hanya menggunakan satu telingamu yang kau dengar sepenggal saja. Kau terlalu banyak menggunakan mulut yang hanya satu kau miliki. Itulah kenapa aku mau kau juga menggunakan telingamu yang lain untuk mendengarkan apa yang belum kau dengarkan. Penjelasanku.”

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakana. Tolong…”

“Kumohon Adi, mengertilah”

Tanpa menunggu jawaban Adi, aku mengakhiri panggilan darinya dan mematikan ponselku. Aku meraih korek api dan memainkannya beberapa kali. Dia kembali memberiku senyuman. Aku semakin sering memainkannya. Dan aku menyukainya. Semakin menyukainya saat itu.

Malam harinya aku bersiap untuk keluar bersama Yasser. Hanya berdua. Alfia dan Tino mengiyakan pamitan kami. Mereka menghabiskan sisa waktu mereka dengan menonton acara televisi ataupun menonton film berdua. Mereka memang terlihat semakin akrab setelah Alfia mengakui bahwa dia semakin menyukai Tino. Namun kurasa saat itu Tino belum menyadarinya, karena sikapnya kepada Alfia masih sama seperti biasanya seperti sikapnya terhadapku ataupun teman-temannya yang lain.

“Jangan melakukan hal yang tidak-tidak ya kalian”, kata Yasser.

“Apaan sih kamu Yas”, kata Alfia.

“Haha, aku justru menunggu hal itu”, kataku.

“Dasar gila”, kata Tino.

“Haha”

Aku dan Yasser tertawa. Alfia memerah karena malu dan Tino hanya menggelengkan kepala. Beberapa saat kemudian Yasser menggandeng tanganku dan berjalan menuju teras rumah.

Yasser mengendarai sepeda motornya menyusuri jalanan yang telah gelap yang hanya mendapatkan penerangan dari lampu kota sepeda motornya. Kami melewati gang kecil menuju jalan raya, melewati ramainya kota dan melewati jalanan pedesaan lagi. Angin malam cukup dingin saat itu dan sialnya aku lupa membawa jaket atau pakaian penghangat lainnya. Perjalanan kami hening karena tidak ada yang ingin aku bahas bersamanya. Setelah hampir tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai ditempat tujuan Yasser  membawaku pergi dari rumah. Aku sedikit asing dengan tempat itu karena sebelumnya aku belum pernah kesana. Perbukitan.

“Kau kedinginan?”, katanya.

“Ah, tidak. Bandung juga seperti ini, hehe”, kataku.

“Baguslah. Ikut denganku”

Yasser meraih tanganku dan membawaku bersamanya, berjalan menaiki anak tangga menuju taman dengan pencahayaan yang lebih terang. Dia mendudukanku di bangku dekat ayunan sudut taman, tepat dibawah pohon besar yang dibaliknya terdapat pemandangan yang menajubkan. Mataku seketika menemukannya. Cahaya berkilauan dari daratan yang lebih rendahan. Lampu-lampu kota terlihat jelas diatas sana. Bahkan angina malam saat itu seketika terasa hangat untukkku.

Segera aku mengambil ponsel dan Teddy dari dalam tas kecilku. Kuambil gambar Teddy menggunakan ponselku, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Akhirnya aku memutuskan untuk sekedar memandanginya. Aku berpindah tempat duduk menuju ayunan dan mendudukan Teddy diayunan sebelah ayunan yang kududuki. Aku semakin hanyut dalam lamunan menatap cahaya kota dibawah sana. Tidak terasa pipiku pun mulai basah karena air mata. Entah untuk apa dan siapa air mata ini ku keluarkan. Aku bahkan tidak menyadari dimana Yasser.

“Minum?”

Suara Yasser menyadarkanku bahwa aku sedang tidak sendirian disana. Seketika aku menghapus air mata dipipiku sebelum Yasser melihat wajahku. Kubalikkan tubuhku untuk menerima minuman darinya. Dia tersenyum sembari memberikanku segelas coklat panas. Aku membalas senyumnya dengan lebih lebar.

“Boleh aku duduk disini? Tapi Teddy?”

“Ah, Biar aku membawanya”, kataku sembari mengambil Teddy dan mendudukkannya diayunan yang kududuki.

“Sudah semakin dingin ya?”, katanya.

“Lumayan. Kau harus bermain ke Bandung nanti ya”

“Ke rumahmu?”

“Boleh. Aku akan mengajakmu mengelilingi kotaku, hehe”

“Baiklah. Disini aku akan mengajakmu mengelilingi kotaku”

“Terdengar bagus”, kataku sembari menikmati coklat panasku.

Setelah sesaat hening, Yasser mengeluarkan bungkus persegi panjang dari tas kecil miliknya. Rokok. Mungkin sebelumnya aku belum memberitahu kalian bahwa Yasser ini seorang perokok. Meski bukan pecandu tapi dia cukup menghabiskan banyak rokok dalam sehari. Lagi-lagi hatiku sedikit terluka melihat dia melakukannya. Sebelum mengambil korek api didalam tasnya, dia menatap kearahku yang sedang memandangi bungkus rokok yang berusaha dia buka segelnya.

“Kau keberatan?”

Aku hanya menggeleng meski sebenarnya aku sangat keberatan. Bukan karena aku membenci kebiasaannya, aku membenci dia melukai dirinya sendiri secara perlahan. Bukankah sudah jelas dibungkusnya tertulis bahwa itu membunuhnya. Entahlah, siapa aku yang berhak melarangnya. Teman? Kurasa itu tidak terdengar baik sebagai teman yang mengatur tindakannya. Aku diam.

Kutatap dia yang dengan santainya menyalakan korek api dan mendekatkannya pada ujung rokok yang berada dibibirnya. Pipinya terlihat sedikit mengempis saat menghirup udara agar rokoknya menyala. Setelahnya asap itu keluar dari hidung dan mulutnya. Namun pandanganku tak lepas dari korek api yang dia gunakan. Terlihat seperti milikku yang telah hilang sebelumnya.

“Oh”

“Ah maaf katanya”, katanya sembari mengarahkan asap agar tidak menuju padaku.

“Korek apimu?”

“Ah, ada apa?”

“Terlihat sama seperti milikku, hehe”

“Kau kira mereka hanya membuat satu untukmu?”

“Haha kau benar. Tapi anehnya dia pernah hilang dan kembali. Setelah itu hilang lagi. Kau ingat saat aku bertanya korek api di perahu? Itu terakhir aku memilikinya”, jelasku.

“Jika sudah hilang dua kali berarti itu memang bukan untukmu”

“Oh ya? Mungkin benar. Ini milikku sekarang, terlihat lebih lucu bukan? Hehe”

“Kau suka merah muda?”

“Mungkin”

“Kenapa kau memainkan korek api?”,tanya Yasser.

“Entahlah. Kurasa itu menyenangkan”

“Kau sering membakar barang. Aku khawatir kau akan membakarku jika kesal. Haha”

“Haha. Kau ingin aku melakukannya”

“Kau mengerikan”

“Kurasa sekarang waktu yang tepat. Kemarilah”

“Apa yang kau lakukan? Berhenti disitu”

Aku melangkah kearah Yasser dan membuatnya sedikit panik. Dia mulai berdiri dan berjalan menjauhiku namun aku berusaha untuk mendekat kepadanya sembari membawa korek api ditanganku. Yasser mulai berlari dan aku mengejarnya. Sesekali aku meneriakinya agar mendekat kearahku dan melarangnya untuk takut padaku. Namun perkataanku semakin membuatnya panik dan menambah kecepatan larinya. Aku tertawa. Beberasa menit kemudian aku menyerah dan membaringkan tubuhku dirumput taman didekat ayunan yang sebelumnya kududuki bersama Teddy.

“Hah. Kau bayi raksasa yang lincah”, kataku.

“Haha. Kau tidak akan berhasil membunuhku disini”

“Lain kali tidak akan kubiarkan kau lepas”, kataku.

“Baiklah”

Tanpa disuruh, Yasser mengambil Teddy dan berbaring bersama disamping kananku. Teddy berada diantara aku dan dia. Kami bertiga menatap langit yang sedang menunjukkan kecantikannya. Bintang-bintang sedang mengadakan pertunjukan malam itu. Mereka terlihat lebih terang dari malam-malam sebelum. Pikirku.

“Kau masih memikirkan Lisa?”, katanya.

“Kau mengingatkanku”

“Ah maaf. Tujuanku mengajakmu kesini hanya ingin menghiburmu agar kau senang”

“Aku menikmatinya. Sangat”

“Lisa menyesali perbuatannya padamu”

“Terima kasih telah menghiburku”

“Dia ingin memberikanmu ini”

“Kau tidak perlu melakukannya sejauh ini”

“Apa yang kau bicarakan?”, katanya.

“Kau bahkan memberikanku hadiah agar aku merasa lebih baik karena Lisa. Ini saja sudah cukup”

Entah apa yang aku bicarakan aku juga tidak memikirkannya. Seketika Yasser memukul kepalaku dengan tangannya, sedikit keras. Aku terkejut dan sedikit kesakitan. Hari itu pertama kalinya dia melakukannya. Jika kuingat itu sangat manis bagiku. Kepalaku disentuh olehnya, meski bukan sentuhan yang lembut. Haha

“Aw”

“Kau tidak waras?”, katanya.

“Kau memukulku?”, kataku.

“Aku harusnya memukulmu lebih keras”

“Apa?”

“Ini, Lisa memberikannya padamu”, katanya sembari memberikan kotak kecil berwarna merah muda kepadaku.

Seketika aku bangun dari tidurku dan menatap kotak yang berada ditangan Yasser. Aku hanya terdiam karena tidak percaya. Seketika Yasser terbangun dari baringannya. Dia memukulku untuk kedua kalinya, hanya saja lebih keras dari sebelumnya.

“Aw. Sakit”

“Kau masih ingin mengatakan ini dariku?”

“Benarkah? Lisa? Kenapa? Bagaimana bisa?”

“Bukalah. Mungkin isinya bisa menjawab pertanyaanmu”

“Apa isinya?”

“Bagaimana aku bisa tahu?”

“Hehe kau berkata seolah kau sudah melihat isinya”, kataku.

“Bukalah”

Seketika kuraih kotak ditangan Yasser. Aku segera membukanya. Seketika aku mataku membulat melihatnya. Dahiku mengkerut. Mobil mainan? Aku mengeluarkannya dari kotak dan menunjukkannya kepada Yasser yang sudah mencoba mengintipnya sebelumnya.

“Mobil mainan?”, katanya sedikit terkejut.

“Dia ingin membelikanku mobil?”

“Tidak ada pesan atau yang lainnya?”

“Ah, sebentar. Ini dia”

Kalo aku udaH gede naNti, aku blikann yang sunguhann

Aku masih benar-benar ingat bagaimana penulisannya. Karena sampai saat aku menulis kisah ini, kertas itu masih berada padaku. Kusimpan bersama kenangannya yang sedikit melukaiku jika harus mengingatnya. Namun kalian harus tahu, sebenarnya itu bukan hadiah untukku. Meskipun awalnya aku sangat terharu menerimanya dari Lisa, namun aku menyesal. Sangat menyesal. Kalian akan memahaminya jika kalian melanjutkan membaca kisah yang kutulis ini.

“Manisnya”, kataku.

“Boleh aku melihatnya?”, kata Yasser.

“Tentu”, kuberikan kertas itu padanya.

“Ejaannya berantakan. Apa kau tidak mengajarnya dengan baik”

“Ck. Kau ini. Mereka masih kelas 3 sekolah dasar. Apa kau sudah bisa menulis sajak saat itu?”

“Haha baiklah. Kau terlalu senang mendapatkannya”

“Ini benar-benar manis”, kataku.

“Baiklah. Kita harus segera pulang. Kurasa sebentar lagi aku akan membeku disini”, katanya.

“Ikut”

“Haha”

Yasser membantuku untuk berdiri. Dia pun mengambil tasku yang tertinggal ditempat duduk ayunan. Kami berjalan menuruni anak tangga yang kurasa bertambah jumlahnya. Haha. Karena saat aku menaikinya mereka terasa lebih sedikit. Beberapa kali aku bersin karena kedinginan. Tiba-tiba Yasser melepaskan jaketnya dan menggantungkannya dibahuku. Aku menatapnya sekilas lalu dia melewatiku. Berjalan selangkah didepanku.

“Terima kasih”

Dia hanya mengangkat tangan kanannya seolah melambai kearahku. Aku berusaha menyamai langkahnya yang semakin cepat saat menuruni anak tangga. Karena kakiku yang terlalu ceroboh, kaki kananku tersandung oleh kaki kiriku. Aku menjatuhkan tubuhku dan membenturkan lututku dilantai. Yasser menghentikan langkahnya dan berbalik kearahku untuk membantuku berdiri.

“Kenapa kau seceroboh ini?”, katanya.

“Tidak perlu membantu jika hanya ingin mengomeliku”, kataku.

Dia melepaskan tangannya yang menopang tubuhku untuk berdiri. Seketika tubuhku tidak imbang dan hampir terjatuh kembali namun Yasser dengan cepat menolongku.

“Berapa berat badanmu?”, katanya.

“Kenapa tiba-tiba….”

Tanpa menunggu aku menyelesaikan ucapanku Yasser mengangkat tubuhku. Dia menggendongku dengan kedua tangannya. Aku hanya menatapnya dengan tidak percaya. Apa yang dia lakukan? Dan sialnya jantungku kembali berdetak secepat saat pertama kali mengenalnya. Ah tenanglah jantung, jika aku sedekat itu bukankah kemungkinan Yasser mendengarkan detak jantungku? Bagaimana menurut kalian? Ah yang benar saja, aku saat itu masih menjadi kekasih Adi.

Sesampainya dirumah, Yasser membantuku untuk turun dari sepeda motor. Aku berusaha menyembunyikan rasa sakitku dan mencoba berjalan sendiri, melepaskan pegangan Yasser. Kusamarku jalanku yang sedikit pincang agar teman-temanku tidak mengkhawatirkanku. Selain itu aku juga melihat sepeda motor Adi ada di garasi. Kurasa dia menungguku didalam rumah. Dan benar, dia masih berada didepan televisi. Sendirian.

“Adi belum tidur?”, kataku.

“Dari mana saja?”, katanya.

Sebelum menjawab pertanyaannya aku berjalan perlahan kearahnya. Yasser mengetahui keberadaan Adi, dia memilih untuk meninggalkan aku bersama Adi dan kembali kekamarnya. Aku duduk disamping Adi. Dia menungguku untuk menjawab pertanyaannya. Wajahnya terlihat dingin dari sebelum-sebelumnya. Aku merasakan hubunganku dengannya tidak akan bisa bertahan lama.

“Adi mau kubuatkan kopi?”

“Jawab, Ay”

“Aku baru saja keluar bersama Yasser, gak lama kok. Ini juga belum terlalu malam, bukan? Kau ingin pergi bersamaku?”

“Jaket?”

“Diluar dingin”

“Yasser gak kedinginan. Atau kau memeluknya dari belakang?”

“Apa?”

“Kau pikir aku tidak tahu? Ay, aku ini….”

Tanpa menunggu Adi menyelesaikan ucapannya, aku menamparnya. Aku rasa tamparanku tidak pelan, pipinya memerah seketika dan dia terdiam. Aku segera menginggalkannya, bahkan dengan kakiku yang pincang. Aku bahkan sempat terjatuh, namun segera bangun sebelum Adi menolongku dan bergegas memasuki kamarku dan menguncinya dari dalam. Bahkan aku tidak yakin dia akan menolongku saat terjatuh dan membantuku untuk memasuki kamar. Dia bahkan tidak mengetuk pintuku setelahnya. Yang kuingat malam itu adalah aku mengetahui pemikirannya terhadapku. Dia tidak pernah mempercayaiku. Dengan siapa aku pergi dia selalu membebaniku dengan kecurigaan. Meski pada awal hubungan kami dia selalu berkata membebaskanku pergi dengan siapapun asalkan aku memberi kabar dan berpamitan.

Jika aku memikirkannya sekarang, saat itu memang aku juga melakukan kesalahan karena tidak berpamitan kepada Adi. Namun aku memang sengaja melakukannya karena menang saat itu kami sedang bertengkar. Aku berpikir tidak harus meminta persetujuannya untuk mengobati luka yang dia termasuk pembuatnya. Biarkanlah, itupun sudah berlalu. Usah kupikir lagi, bukan?

Sebelum tidur aku mematikan lampu dan menyalakan lilin diatas meja dekat dengan tempat tidurku. Aku ingin membakar semuanya agar abu itu dapat menyuburkan tanah. Haha. Bodohnya aku mengetik ini semua sesukaku. Biarlah. Asal aku menyukainya aku akan melakukannya.

 

Jika kau melihatku bersama sisi gelapku

Apakah kau masih ingin menemaniku?

Jika kau turut larut didalamnya

Bisakah kau memberikanku penerangan?

Jika kau tidak memiliki cahaya

Bisakah kau membuatnya?

Kumohon

Nyalakan apinya!

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    nice story!! :)

    Comment on chapter Kamu Siapa?
Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6668      1494     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1305      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
injured
1218      657     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Hati Yang Terpatahkan
1846      839     2     
Romance
Aku pikir, aku akan hidup selamanya di masa lalu. Sampai dia datang mengubah duniaku yang abu-abu menjadi berwarna. Bersamanya, aku terlahir kembali. Namun, saat aku merasa benar-benar mencintainya, semakin lama kutemukan dia yang berbeda. Lagi-lagi, aku dihadapkan kembali antara dua pilihan : kembali terpuruk atau memilih tegar?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...