Malang, Februari 2017
Tepatnya 2 bulan yang lalu aku menerima tawaran Adi untuk menjadi kekasih. Meski belum sepenuhnya aku melupakan bagaimana detak jantungku berdebar saat bertemu Yasser namun kepalaku mengangguk saat itu. Aku tidak lagi mengikuti bagaimana kelanjutan hubungan Yasser dengan Ranti. Terakhir kali yang kutahu Ranti tidak lagi berangkat kuliah bersama dengan Yasser sebelum semester satu berakhir.
Aku menyusuri lorong menuju kelas sendirian. Seperti biasa, kupasang headset ditelingaku untuk menikmati musik siang itu sebelum memulai mata kuliah pertama di semester genap awal. Benar hari itu adalah hari pertama setelah liburan panjang pergantian semester. Aku masih dengan project bersama Alfia yang sebentar lagi memasuki tahap akhir dan penilaian. Alfia telah menungguku di kelas bersama tim yang lain yang sudah mulai berdiskusi.
“Ayu. Apa kabar?”
“Sangat baik, Al. Ah, sampai mana tugas kita?”
“Ayu, please. Ini baru awal semester. Kamu gak kangen sama aku? Tugas saja yang ada dipikiranmu?”
“Diam dan makanlah ini. Aku membawanya dari Bandung”
“Wah. Terima kasih Ayu sayang”
“Ayu keluar dulu ya, gerah disini”
Alfia mengangguk mengiyakan. Aku belum melihat teman mainku saat itu, bahkan sampai siang mereka tidak datang ke kelas. Kurasa mereka tahu kelas akan kosong dihari pertama masuk setelah liburan panjang. Bahkan untuk seminggu pertama.
Hari itu berlalu lebih cepat dari yang kuduga, kuputuskan untuk pulang lebih awal dan mengistirahatkan tubuhku. Punggungku benar-benar rindu dengan kasur kamar kost yang tidak begitu luas. Tiba-tiba ponselku berbunyi, Adi memanggilku mengajakku untuk makan malam bersama yang lainnya. Aku menolak, karena bersama disini bukan hanya aku dengan Adi namun bersama Yasser, Ranti, Kumala dan Dewi. Kurasa aku belum siap menemui mereka semua atau hanya sekedar malas untuk bangun dari kasur kamarku yang nyaman.
Beberapa menit kemudian ponselku kembali berbunyi, tidak hanya sekali namun berkali-kali. Ternyata Kumala membuat obrolan grup yang beranggotakan aku, Kumala, Dewi, Ranti, Adi, Tino dan Yasser. Mereka membujukku untuk ikut makan malam bersama. Bahkan Adi membujuk akan mentraktirku makan dan membelikanku es krim. Hanya itu yang dia tahu dariku. Dia tidak tahu aku lebih menyukai permen kapas daripada es krim ataupun donat daripada makanan. Mungkin Yasser yang tahu. Dan benar. Lagi-lagi aku memikirkannya bahkan ketika aku adalah kekasih Adi. Tino ikut merayuku dengan janji akan memberiku rekaman lagunya yang tidak semua orang tahu. Ya benar, Tino kembali menjadi bagian dari kami setelah beberapa kali menjauh.
Dengan berat hati aku mengiyakan ajakan mereka. Aku bergegas mengganti pakaian dan mencuci wajahku dengan sabun wajah milikku. Tanpa riasan aku menemui Adi yang telah menungguku didepan gerbang. Kami berdua berangkat menyusul yang lainnya yang telah sampai ditempat makan di pusat perbelanjaan tempat makan pertama yang kami kunjungi saat pertama kali berkumpul di pusat perbelanjaan.
“Seharusnya kalian mengajak Alfia juga”, kataku.
“Tidak, dia akan memenuhi meja ini dengan makanannya sendiri”, kata Kumala.
“Haha”
“Lu mau nyoba ini, Yas? Lu pernah bilang kalau lu suka …”
“Tidak, terima kasih”, sela Yasser.
“Hmm sok cuek”, kata Dewi.
“Tau tuh, ntar nyariin”, kata Kumala.
“Kalian bertengkar?”, tanya Tino.
“Kayak anak kecil saja”, kata Adi.
“Apaan sih kalian. Kita baik-baik aja, ya kan Yas?”, kata Ranti.
“Iya”
“Syukurlah”, kataku.
Aku tahu Ranti berbohong. Dari caranya berbicara meskipun kami baru berteman selama beberapa bulan aku sudah dapat mengenalinya. Caranya menyembunyikan emosi dan menahan rasa bersalahnya. Aku tahu dia sedang memiliki hubungan dengan pria lain. Bukan Yasser. Tapi yang aku baca dari wajah Ranti, dia tidak mengetahui bahwa Yasser pun memiliki wanita lain.
Kami telah selesai dengan makan malam kami. Tino mengajak kami untuk main kerumah barunya. Orang tuanya membelikannya rumah untuk ditempati selama kuliah di Malang. Tino berencana mengajak kami untuk tinggal satu rumah karena rumahnya cukup luas dengan empat kamar yang cukup ditempati dua orang untuk setiap kamarnya. Aku yang pertama menolak tawaran Tino. Begitupun teman wanita yang lain. Adi mengiyakan ajakan Tino menjadi satu rumah, bahkan Yasser berniatan untuk bergabung dan meninggalkan rumahnya yang hanya berjarak enam kilometer dari kampus.
“Bagaimanapun tidak baik hidup dalam satu rumah pria dewasa dan wanita dewasa seperti kita”, kata Dewi.
“Haha. Pak RT saja mengijinkan saat aku bertanya”, kata Tino.
“Pokoknya gak mau”, kata Kumala.
“Siapa juga yang memaksa”, kata Tino.
“Haha”
“Gua jadi pingin beli rumah juga. Terus penghuninya kita berempat. Haha”, kata Ranti.
“Apaan? Kagak ada yang bakal nugas. Haha”, kata Dewi.
“Ayu lah yang nugas, kita bobok. Haha”, kata Kumala.
“Haha. Aku ikut tidur dengan kalian”, kataku.
“Haha”
Sebelum hari semakin malam, kami memutuskan untuk ke rumah baru Tino. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rumah Tino lebih luas dari yang aku bayangkan. Kamarnya pun kurasa jika diisi tiga kasur sedang akan muat disana bersama lemari dan meja belajar. Bahkan dilantai dua terdapat tempat santai untuk sekedar berjemur atau menjemur pakaian, juga terdapat ruang olahraga dan sebuah kamar. Kalian bisa bayangkan seberapa kayanya keluarga Tino di Bogor.
“Jika malam ini terlalu larut, kalian bisa tidur disini. Biar kumintakan ijin ke pak RT sebelah rumah”, kata Tino.
“Sekarang sudah jam 10:17 kalian tidak punya tempat lain selain rumah ini dan rumahku”, kata Yaseer.
“Akan mengganggu jika selarut ini datang kerumahmu, Yas”, kataku.
“Lu mau tidur disini Ay?”, kata Ranti.
“Kalian mau tidur di hotel?”, tanyaku.
“Gak. Mahal”, kata Kumala.
“Ya sudah, pilih saja kamarnya”, kata Tino.
“Ayo Kum, kita paling depan”, ajak Dewi.
“Gua sebelah kalian”, susul Ranti.
Aku masih terdiam, aku belum mengantuk dan tidak ingin tidur lebih awal malam itu. Aku menatap kearah tangga. Aku ingin pergi kesana, tetapi Tino sudah pergi meninggalkan aku, Adi dan Yasser. Tino menemui Pak RT yang rumahnya berada disebelah rumah Tino.
“Ayo kita ke kamar Tino”, kata Adi.
“Ay, kau tidak mau masuk ke kamar?”, tanya Yasser.
“Ah, hehe aku menunggu Tino saja”
“Baiklah kita semua menunggu Tino kembali”, kata Adi.
Aku duduk di lantai berkarpet tepat didepan televisi. Yasser dan Adi duduk diatas sofa yang kujadikan tempat bersandar untuk punggungku. Beberapa menit kemudian Tino kembali dengan membawa beberapa bingkisan. Kurasa selain pergi ke rumah Pak RT dia juga pergi ke mini market untuk membelikan kami camilan dan minuman.
“Kalian tidak pergi tidur? Aku rasa aku mendengar mereka mendengkur. Haha”, kata Tino
“Kami menunggumu kembali”, kata Yasser.
“Kalian lapar?”
“Ah tidak”, kata Adi.
“Iya”, kataku dan Yasser.
“Haha. Mau kubuatkan mie instant?”
“Tentu”, kataku dan Yasser.
“Wah, kalian kompak sekali”, kata Adi.
“Haha”
Sembari menunggu Tino membuatkan mie instant, aku, Adi dan Yasser menonton televisi dan membuka beberapa camilan yang dibeli Tino. Aku meminum soda dan memakan jelly, sedangkan Adi menikmati keripik kentang yang sejak awal hingga hampir habis berada di dekapannya. Yasser hanya meminum kopi kemasan botol dan menggigit biscuit yang diambilnya dari toples diatas meja.
“Sudah selesia”, kata Tino.
“Aku kenyang”, kataku.
“Aihs, bantu aku menghabiskannya. Kau yang memintanya tadi”, kata Yasser.
“Ssstt, pelankan suaramu. Ini sudah lewat tengah malam”, kata Adi.
“Kita habiskan bersama”, kata Tino.
“Ay, pergilah tidur. Kamu bisa sakit nanti”, kata Adi.
“Boleh aku tidur diatap?”, kataku dan Yasser.
“Haha. Kalian ingin tidur berdua? Silahkan. Haha”, kata Tino.
“Enak saja”, Adi memukul kepala Tino.
“Ah, aku disini saja”, kataku.
“Selesai makan pergilah keatas”, kata Yasser.
“Ehem”
“Hem”
Tenggorokanku terasa kering saat mendengar Yasser membiarkan aku memakai kamar atas. Adi terdiam dan melanjutkan makan malamnya yang kedua. Tino tertawa kecil seolah dia sedang menertawakan perasaanku yang sedang sulit dikendalikan. Selesai makan aku belum ingin pergi tidur, bahkan ketika jam telah menunjukkan pukul 1:09 dini hari. Adi bahkan telah tertidur di sofa depan televisi. Tino sudah memasuki kamar untuk tidur lebih dulu, tersisa aku dan Yasser.
Aku menguap tapi aku tidak ingin tidur. Yasser yang menyadari itu, tanpa permisi menarik tanganku dan membawaku menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia membukakan pintu kamar lantai atas dan menyuruhku untuk masuk. Aku menurutinya dan menutup pintunya. Beberapa saat aku tidak mendengar Yasser menuruni anak tangga. Kuputuskan untuk keluar dari kamar. Dan benar dia masih berada disana, di luar kamar tanpa atap memandang kearah langit dengan bintang-bintang yang menajubkan.
Aku melangkah kembali ke tempat tidur namun bukan untuk tidur. Kuambil selimut dan kubawa keluar kamar. Kututupkan selimut pada tubuh Yasser yang dalam posisi duduk menghadap ke langit. Seketika dia menatapku karena terkejut. Aku pun memutuskan untuk duduk disampingnya.
“Kau belum tidur?”, tanyanya.
“Aku juga ingin melihat hujan bintang sebentar lagi”
“Hujan bintang?”
“Iya, jika kau melihatnya terus menerus, pada sekitar pukul 3 pagi akan ada banyak bintang yang bergerak”
“Bagaimana bisa?”
“Entahlah, mungkin mereka mulai mengantuk. Haha”, kataku.
“Haha. Atau mungkin mereka sedang mengejar maling ayam”
Tak lama akhirnya aku membaringkan tubuhku menghadap ke langit. Tanpa permisi Yasser melakukan hal yang sama denganku, tepat disamping kananku. Dia membagi segaian selimut untukku. Kami berada dibawah selimut yang sama memandang langit yang sama. Tetapi aku rasa pandangan kami berbeda.
Tiba-tiba aku mendengar hal yang aneh. Yasser yang semula baik-baik saja terdengar napasnya seolah sedang flu. Seketika kutatap kearahnya. Aku mendapatinya menutup matanya. Dia menangis. Aku memalingkan wajah darinya, kututup mataku berpura-pura telah tertidur agar dia tidak merasakan ketidaknyamanan jika aku melihatnya menangis. Ternyata aku ketahuan. Beberapa menit kemudian napasnya terdengar lega, dia duduk dan melemparkan selimutnya kearahku.
“Berhentilah berpura-pura tidur”, katanya.
“Ah. Maafkan aku”
“Kenapa harus meminta maaf?”
“Itu..”
“Aku yang seharusnya meminta maaf padmu”
“Iya?”
“Aku menangis dihadapan wanita. Haha. Kau melihat hal yang tidak seharusnya. Maafkan aku untuk itu”
“Aku tidak berpikiran seperti itu”
“Aku dicampakkan oleh Ranti”
“Aku tahu”
“Apa terlihat jelas?”
“Tidak, kurasa hanya aku yang menyadarinya”
“Tapi aku juga memiliki wanita lain”
“Aku tahu”
“Bagaimana kau bisa tahu? Kau penguntit?”
“Aku melihatmu makan ditempat makan saat membeli buku”
“Oh, aku sudah ketahuan sejak lama. Apa kau memberitahu Ranti?”
“Untuk apa? Ranti sudah memiliki kekasih sejak belum mengenalmu”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku adalah Ayu”
“Oh, kau benar”
“Turun dan tidurlah disini dingin”, kataku.
“Kau tidak akan memberi tahu siapapun karena aku menangis kan?”
“Itu tidak akan membuatku kaya”
“Aku tidak bisa meninggalkan kekasihku”
“Jangan meninggalkan seseorang demi orang lain. Itu akan membuat orang lain menjadi terlihat jahat bagi seseorang”
Aku meninggalkannya tanpa permisi. Kubiarkan dia memakai selimut yang berasal dari tempat tidurku. Kubuka lemari dan kutemukan selimut yang lainnya. Kupaksakan mataku untuk terpejam karena hari sudah semakin pagi. Meskipun hari itu hari sabtu aku ingin bangun pagi dan pergi berlari memutari lingkungan rumah Tino yang terlihat ramah.
Tepat pukul 5:00 aku terbangun dari tidurku, kubasuh mukaku dengan air hangat yang tersedia di dapur lantai bawah. Aku mencoba mengetuk semua pintu kamar berharap akan ada yang terbangun. Namun aku tidak mendapatkan satu orang pun, bahkan Adi yang tertidur di sofa tidak dapat kubangunkan dengan suara ketukan pintu yang mengelilingi ruang televisi.
Akhirnya aku pergi keluar rumah sendirian. Kutemui wajah-wajah baru yang menyambutku dengan senyuman ramah. Meski baru pertama kali bertemu, kami saling menyapa walau hanya melalui senyuman diwajah. Begitu indahnya bersosial dilingkungan yang sedikit jauh dari ramai kota. Jarak rumah Tino dengan pusat kota lebih dari 13km. Itu berarti jarak rumah Tino 10 km dari kampus, hanya selisih 4 km lebih jauh dengan jarak rumah Yasser ke kampus. Tapi kenapa Yasser mengingkan tinggal dirumah yang lebih jauh? Akupun tidak tahu alasannya.
Kakiku sudah cukup jauh membawa diriku dari rumah Tino. Setelah melewati pertigaan kecil aku tidak menemukan jalan untuk meneruskan perjalananku. Jalan buntu. Akhirnya aku berbalik arah dan kembali berlari melewati jalan yang sebelumnya kulalui. Bertemu dengan orang yang sebelumnya telah menyapaku atau orang baru lainnya yang baru saja melintasi jalan yang sama denganku. Aku menuju rumah Tino bersamaan dengan siswa sekolah dasar yang berangkat sekolah. Untuk siswa sekolah dasar memang hari sabtu tetap memiliki jadwal sekolah. Aku menyapa mereka dengan senyuman dan lambaian tangan. Mereka antusias membalas lambaian tanganku, salah satu diantaranya bahkan tertawa lebar. Aku turut bahagia sembari berlalu meninggalkan mereka yang berjalan kaki. Namun langkahku terhenti.
“Awas”, teriakku.
“Hiks hiks… huaaaaa….”
Aku berlari menuju pemilik suara tersebut. Siswa sekolah dasar yang terjatuh dari sepedanya karena melewati jalanan yang sedikit rusak. Aku rasa ban sepeda anak itu tergelincir oleh pasir jalanan dan bebatuan yang terbuka dari aspal yang rusak atau memang ukuran sepeda yang digunakan terlalu besar dibandingkan tubuh anak kecil itu. Dia semakin mengencangkan suara tangisannya, atau mungkin karena aku semakin dekat kearahnya. Ternyata bukan hanya aku yang menghampirinya.
“Kamu gakpapa, dek?”
“Emaakkk”
“Haha. Biar kuantar pulang ya?”
Pria yang kunali. Tino. Dia menyingkarkan sepeda anak sekolah dasar itu dan berusaha menggendong anak tersebut. Aku tersenyum melihat bagaimana caranya mencoba menenangkan anak laki-laki yang sedang berada didekapannya saat itu. Tino menyadari keberadaanku karena arah yang dia tuju adalah ke arahku.
“Ah? Ayu?”
“Oh. Tino. Haha boleh aku ikut mengantarkannya pulang?”
“Kalau begitu, kamu bisa membawakan sepadanya?”
“Tentu saja. Kau duluan”
Aku berlari kecil menuju sepeda anak kecil itu dan membawanya berjalan berdampingan dengan diriku. Tino menyamakan langkah denganku. Anak laki-laki itu sudah berhenti menangis. Luka dilututnya terlihat cukup sakit dengan darah yang masih belum berhenti keluar. Aku mulai khawatir lukanya akan terinfeksi bakteri.
“Tino, tunggu”
“Kau antar dia dengan sepeda ini, apa tidak bisa?”
“Aku tidak tega mendudukannya dikursi belakang”
“Kau lihat lukanya? Dia bisa terinfeksi nanti”
“Baiklah aku akan mengantarnya dengan sepeda ini”
“Kirim lokasinya nanti aku akan menjemputmu”
“Baiklah. Hati-hati”
Aku hanya mengangguk dan bergegas menuju rumah Tino yang cukup jauh. Aku rasa Tino juga sering melakukan berolahraga pagi, bisa dilihat tubuhnya memang terlihat sehat. Butuh waktu hampir lima belas menit aku berlari menuju rumah Tino. Rumah masih terlihat sepi, kurasa mereka masih membersihkan diri atau bahkan tidur. Aku meraih tasku yang masih berada di ruang televisi. Adi tidak kutemukan disana, hanya saja aku telah mendapatkan kunci sepeda motor miliknya yang akan kugunakan menjemput Tino. Kuambil beberapa lembar uang tunai dan kartu kredit untuk dimasukkan kedalam saku celanaku. Tanpa mengganti pakaianku yang sedikit basah karena keringat, aku bergegas mengeluarkan sepeda motor Adi keluar dari garasi rumah Tino.
Kukendarai sepeda motor Adi meninggalkan rumah Tino menuju jalan raya. Sebelum menuju lokasi yang telah dikirim oleh Tino aku pergi ke sebuah apotek untuk membeli bebrapa obat luka. Aku berpesan kepada Tino untuk membersihkan luka anak kecil yang terjatuh dari sepedanya. Tino mengiyakan, karena saat itu ibu dari anak itu sedang tidak ada dirumah. Setelah memebeli obat dan beberapa makanan anak-anak aku segera menuju ke rumah anak laki-laki yang sedang bersama Tino.
“Kamu sudah sampai?”
“Dimana dia?”,tanyaku.
“Dia ertidur setelah menangis cukup lama saat aku membersihkan lukanya”
“Asst, aku tahu itu akan terasa sakit. Apalagi dia masih sangat kecil”
“Itu obat untuknya?”
“Ah, iya. Biar aku yang melakukannya”
Aku memelankan langkah kakiku memasuki rumah anak sekolah dasar yang telah terlelap dikursi panjang ruang tamu. Kulihat luka dilutut dan betisnya telah bersih. Tino membersihkannya dengan baik. Lukanya memang tidak terlalu dalam namun cukup lebar. Kuoles sedikit demi sedikit salep pada luka dilututnya yang lebih dalam dari luka dibetisnya. Kutatap wajah laki-laki kecil yang sedang menahan rasa perih, meskipun dia sedang tertidur dahinya sedikit mengerut. Aku tersenyum, menganggapnya menggemaskan. Kututup lukanya menggunakan kain kassa dan mengobati luka yang lainnya. Didahinya pun terdapat sedikit goresan namun cukup kutempelkan plaster disana.
“Huh. Akhirnya selesai juga”, kataku.
“Ah. Iya. Kau melakukannya dengan baik”
Aku tersenyum kearah Tino. Aku tahu selama aku merawat luka anak kecil itu, dia dengan serius memandangiku atau lebih tepatnya caraku merawat luka pada anak kecil. Tetapi aku tidak tahu kenapa saat aku menatapnya dan memberikannya senyum, dia terlihat sedikit gugup seolah ketahuan sedang melakukan suatu kejahatan. Apa dia masih menyukaiku? Mungkin.
“Kapan ibunya akan kembali?”,tanyaku.
“Mungkin sebentar lagi”
“Kita tunggu saja diluar, bagaimana?”
“Ah tentu”
Kamipun meninggalkan anak itu tertidur diatas kursi panjang ruang tamu sendirian. Aku dan Tino duduk di kursi panjang depan rumah. Kutinggalkan bingkisan susu, roti dan beberapa makanan kesukaan anak-anak diatas meja ruang tamu. Meskipun telah selesai mengobati lukanya aku tidak berniat pulang sebelum menemui keluarga anak itu. Memastikan mereka mampu merawat luka dan mengatasi demamnya jika saja terjadi.
“Kenapa kamu mengambil jurusan jurnalistik?”,tanya Tino.
“Karena aku suka, hanya kampusnya saja yang seharusnya bukan disini. Haha”
“Kenapa tidak mengambil kesehatan? Ayu terlihat baik disana?”
“Ah, tidak juga. Tanganku bahkan masih bergetar. Haha”
“Coba lihat. Ah, iya. Kau gugup?”
“Tidak, meskipun hanya luka kecil jika itu berdarah aku akan merasa haus. Haha”
“Benarkah? Kau vampire?”
“Kau takut? Haha”
“Haha”
Tiba-tiba aku mendengar suara anak kecil menangis. Tanpa berpikir panjang aku segera memasuki rumah. Kuletakkan tanganku didahi anak laki-laki itu, aku merasa panas. Keringatnya mulai membasahi tubuhnya, kulepaskan seragam yang masih digunakannya. Tak lama kemudian ibunya datang. Dengan khawatir beliau berdiri tepat disampingku, menangis dan meminta penjelasan. Aku masih terdiam dan fokus mengompres dahi anak itu dengan air hangat. Tino mencoba menjelaskan sepengetahuannya kepada ibu anak laki-laki kecil. Anak itu sudah mulai tenang dan kembali tidur setelah aku melekatkan penurun panas didahinya.
Aku keluar menemui ibu anak laki-laki kecil itu yang sedang duduk berdua bersama Tino. Beliau terlihat lebih tenang meski air matanya masih terus mengeluarkan air mata. Saat aku berada diambang pintu, seketika beliau berdiri dihadapanku menanyakan keadaan anaknya seolah aku adalah dokter. Aku mengubah wajah gugupku dengan senyumku seperti hari-hari biasanya. Dan ibu anak laki-laki itu terlihat tidak asing bagiku. Bisa jadi beliau adalah salah satu orang yang kutemui saat lari pagi sebelumnya.
“Bagaimana keadaan anak saya mbak?”
“Ah, anak ibu sudah tertidur. Lukanya juga tidak terlalu parah. Tolong ibu ganti kain pembalutnya setiap pengolesan salep luka dua kali sehari. Oleskan pada sekitar lukanya ya bu, jangan langsung pada lukanya. Ibu bisa kan?”
“Setiap pagi dan sore mbak? Setelah mandi?”
“Iya ibu pagi dan sore. Untuk hari ini sebaiknya jangan memandikannya dahulu. Saya rasa dia sedang demam”
“Anak saya demam mbak?”
“Ibu jangan khawatir, hal ini biasa terjadi saat anak kecil baru saja terjatuh. Mungkin dia hanya sedikit terkejut, kelihatannya dia belum pernah terjatuh seperti ini. Benar bu?”
“Ini hari pertamanya menaiki sepeda ke sekolah mbak”
“Pantas saja dia tidak mahir, apalagi sepedanya itu kan ukuran orang dewasa”, kata Tino.
Seketika aku menatap kearah Tino dengan tatapan tajam. Aku melotot kepadanya. Seketika Tino merasa bersalah mengatakan hal itu setelah melihat ibu anak laki-laki itu tertunduk lesu. Aku rasa beliau merasa bersalah dengan kondisi anaknya saat itu. Dilihat dari rumah yang mereka tinggali, ibu anak laki-laki itu tidak melahirkan anaknya dalam status kaya. Tetapi melihat bagaimana caranya menangis dan mengkhawatirkan anaknya, dia adalah ibu yang penuh dengan kasih sayang kepada keluarganya. Seketika aku mengingat ibuku yang berada di Bandung. Mungkin dia akan secemas itu saat aku terjatuh dari sepedaku, atau mungkin meninggalkanku dirumah sakit.
“Kami ijin pamit ibu. Setelah 8 jam jika adek masih demam, penurun panas di dahinya diganti dengan yang baru ya bu. Semuanya ada dikantong kresek obat diatas meja. Kami pamit bu. Permisi”
“Tunggu mbak. Mbak pasti belum sarapan kan? Mari masuk sarapan dulu”
“Ah tidak perlu ibu. Rumah saya tidak jauh dari sini. Saya penghuni baru didekat rumah Pak RT”, kata Tino.
“Iya bu, saya teman Tino. Kebetulan bermalam disini semalam”
“Oh mas Tino. Pacarnya ya? Sampai menginap segala, hehe”.
“Ah bukan bu. Kami tidak hanya berdua dirumah bu”, kata Tino.
“Iya ibu tahu, sini masuk rumah”
“Tidak perlu bu. Terima kasih banyak tapi kami harus segera pulang”, kataku.
“Ah kalau begitu tunggu sebentar”
Aku sedikit terkejut dengan sikap ibu anak laki-laki itu yang berubah dengan cepat. Dia terlihat bersemangat dan ramah. Aku rasa itulah perwujudan terima kasihnya karena aku telah merawat anaknya meskipun ucapan yang sesungguhnya belum kudengar darinya. Tak lama dia keluar membawa bingkisan kantong plastic berwarna hitam. Terlihat penuh dan berat, beberapa helai daun keluar dari kantong kresek tersebut.
“Ini buat mbak dan mas Tino yang telah menolong anak saya”
“Ah, ibu. Tidak perlu repot-repot bu”,kataku.
“Iya bu, saya rasa tidak akan ada yang bisa memasaknya”,kata Tino.
“Oh, kalau begitu biar ibu masakkan terlebih dahulu ya?”
“Ah, jangan bu. Kami sudah terlalu banyak merepotkan. Biar saya saja yang memasaknya untuk Tino dan yang lainnya”,kataku.
“Oh, iya. Jangan sungkan seperti itu mbak. Saya yang sudah merepotkan mbak dan mas Tino. Terima kasih banyak ya mbak, ada bingkisan makanan segala, hehe”
“Kami ijin pamit ya, bu. Permisi”, kata Tino.
Aku hanya tersenyum dan membungkukkan badan memberi salam kepada ibu anak laki-laki itu. Kuserahkan kunci sepeda motor kepada Tino. Tak lama kemudian kami meninggalkan rumah keluarga anak laki-laki yang ditolong oleh Tino.
“Orang disini baik-baik ya?”,kataku.
“Tentu saja, aku tidak mau tinggal dilingkungan yang menyebalkan seperti di kota. Kau lihat bukan, disini masih banyak pepohonan hanya saja jalanan dan bangunan sekolah sedikit memperihatinkan”.
“Sekolah? Benarkah?”
“Iya, bahkan terkadang mereka harus berbagi kelas dengan tingkatan kelas lain saat musim hujan beberapa kelas tergenang. Dan aku pernah mendengar mereka kekurangan guru pengajar”
“Apa sekolahnya tidak terdaftar di pusat pemerintahan?”
“Mana mungkin tidak terdaftar. Itu adalah sekolah satu-satunya di desa ini, bahkan desa sebelah ada yang bersekolah disini karena sekolah di desanya terlalu jauh. Mereka tinggal di perbatasan”
“Lalu?”
“Ya mereka lebih memilih sekolah disini”
“Bukan. Maksudku bagaimana tanggapan pemerintah? Minimal kepala desa”
“Aku baru tinggal disini Ayu. Bagaimana aku bisa tahu banyak?”
“Kau terlihat tahu banyak hal tadi”
“Iya aku mendapatkan informasi dan melihatnya sebelum aku pindah kesini. Aku berniat jika kalian semua mau tinggal bersama denganku disini kita dapat membantu sebagai guru pengajar cadangan. Tapi entahlah”
“Baik, aku mau”
“Ya?”
“Aku mau tinggal disini. Jika Ranti, Dewi dan Kumala juga menginginkannya. Atau setidaknya kita harus memiliki saksi penduduk desa ini untuk mengawasi kita”
“Haha. Jangan khawatir. Semalam aku sedikit lama dirumah Pak RT sebenarnya Pak RT ingin memberikan pengurus rumah untuk rumahku jika kita semua tinggal bersama”
“Hm. Pantas saja kau bilang Pak RT bahkan telah memberikan ijin jika kita tinggal seatap meski bukan keluarga”
“Haha”
Sesampainya dirumah, semua telah berkumpul diruang televisi. Mereka terlihat tenang melihat televisi atau yang lainnya sedang memainkan ponselnya. Adi adalah orang pertama yang berdiri saat aku memberikan salam, berjalan menuju kearahku dengan kesal.
“Kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel?”,kata Adi.
“Bukankah aku sudah meninggalkan pesan? Ponselku mati saat disana dan …..”
“Ayo kita pulang!”
Adi menggandengku keluar rumah dan kembali masuk untuk mengambil barang-barangnya yang tertinggal juga tasku. Tanpa disuruh aku kembali masuk kedalam rumah. Teman-temanku yang lainnya hanya memandangi Adi yang sedang terlihat sangat marah. Mungkin dia cemburu saat tahu aku kembali bersama Tino. Yang Adi tahu Tino pernah menyukaiku, atau mungkin masih. Mengetahui aku masih berada diruang televisi Adi kembali menggenggam pergelangan tanganku, bahkan lebih erat. Aku kesakitan dan berusaha melepaskannya. Tino mulai tidak tenang dan menghentikan ulah Adi.
“Adi sakit. Tolong lepaskan tanganku”, kataku.
“Bro, Ayu kesakitan”, kata Tino.
“Lu diem ya”, kata Adi.
Ini pertama kalinya aku melihat Adi semarah itu. Bahkan dia merubah gaya berbicaranya menjadi seperti Ranti. Aku mencegah Tino untuk ikut campur dan memberikan isyarat bahwa aku akan baik-baik saja.
“Lu jangan nyakitin Ayu gua ya. Awas lu”, kata Ranti.
“Sudah biarkan mereka menyelesaikan masalahnya”, kata Yasser tetap tenang sembari menonton televisi.
Aku menerima ajakan Adi untuk pulang. Namun langkahnya berhenti didepan pintu. Dia melepaskan tanganku dengan kasar. Aku menerimanya dan memberikan senyuman kepada matanya yang menatapku dengan kemarahannya. Kuraih tangannya dan mendudukkannya di kursi depan rumah Tino. Aku berjalan kearah sepeda motor miliknya dan mengambil minuman yang semulanya dingin namun menjadi panas karena mesin sepeda motor. Kubukakan botol minuman tersebut, kuletakan disisi meja tempat dia duduk. Beberapa saat kemudian dia meminumnya tanpa menatapku sedikitpun. Kujaga senyumku agar tetap berada diwajahku yang belum mandi saat itu. Jujur aku mulai lelah dengan kebiasaan Adi yang seperti ini. Pencemburu. Kalian akan tahu sisi yang lainnya tentang Adi dibagian ini dan seterusnya. Tunggu saja.
“Sudah?”,kataku. Dia hanya mengangguk. Matanya terlihat sedikit lebih teduh.
“Aku tadi pagi pergi berolahraga dan tidak sengaja bertemu dengan Tino. Dia menolong anak sekolah dasar yang terluka. Aku bergegas pulang untuk mengambil uang dan kembali membantu Tino. Ayu salah?”
“Kenapa ponselmu sulit dihubungi?”
“Sebelum pergi menggunakan sepeda motor, bukankah aku telah memberitahumu ada urusan yang mendesak?”
“Harus mematikannya?”
“Ponselku kehabisan daya saat berada dirumah anak itu”
“Baiklah”
“Ada yang ingin aku bicarakan dengan mereka. Bisa kita masuk kedalam rumah?”, kataku.
“Aku tunggu disini”
“Kau juga. Kita”
Tanpa menjawab apapun Adi menerima ajakanku untuk kembali memasuki rumah Tino. Kumala dan Dewi sibuk menduga-duga apa yang terjadi padaku dan Adi. Sedangkan yang lain sibuk dengan pemikirannya sendiri. Saat aku memasuki rumah, Ranti dengan segera menghampiriku. Dia meraih tanganku dan mengkhawatirkan pergelangan tanganku yang masih memerah.
“Ay, lu gakpapa kan?”, katanya
“Aku baik-baik saja”
“Aihs, pria menyebalkan itu membuat tanganmu merah. Kau tidak kesakitan?”, kata Kumala.
“Tinggalkan saja dia Ay”, kata Dewi.
“Bisakah kalian tidak mencampuri urusan orang lain?”, kata Yasser.
Aku tersenyum dan menunjukkan keadaankku yang baik-baik saja kepada ketiga temanku yang sudah berhasil membuatku duduk bersama mereka. Adi memutuskan untuk tetap berdiri diambang pintu ruang televisi. Aku menyuruhnya masuk dan berkumpul. Aku memisahkan duduk dari ketiga teman perempuanku dan duduk dikarpet dengan bersandar disofa seperti kebiasaanku saat menonton televisi dirumah. Akhirnya mereka semua berkumpul dan duduk merapat kepadaku meskipun ketiga teman perempuanku masih tetap duduk diatas sofa.
Aku dan Tino menceritakan kejadian tadi pagi juga keinginan Tino untuk membantu pendidikan didesa itu. Tino menjelaskan bagaimana peran kami dibutuhkan sebagai guru pengajar sekolah dasar dan dukungan yang diberikan oleh Pak RT. Wajah teman-temanku terlihat begitu antusias mendengarkan penjelasan Tino. Bukannya ikut serius aku merasa geli melihat raut wajah mereka yang terlihat begitu polos. Aku tertawa dan merusak suasana yang cuku tenang.
“Haha”
“Ih, Ayu. Orang lagi serius juga”, kata Kumala.
“Tau nih, malah ketawa”, kata Dewi.
“Hahaha. Maaf-maaf. Lanjutkan Tino”
“Jadi aku ingin menawarkan kepada kalian untuk tinggal disini dan seperti yang aku jelaskan tadi, menjadi pengajar.”kata Tino
“Iya, Tino benar. Ayu bersedia jika salah satu dari kalian atau kalian semua mau tinggal disini. Akan lebih bagus lagi jika kita bisa mengajak teman-teman yang lain, apalagi jika jadwal kuliah kita berbeda. Kita bisa menjadwalkan untuk pendidikan formal pagi di sekolah ataupun nonformal dirumah. Sepertinya halaman teras rumah ataupun ruang tamu bisa digunakan sebagai kelas tambahan”, kataku.
“Itu bukan ide yang buruk. Lagi pula mata kuliah kita tidak terlalu sulit di semester ini bukan? Selain itu kita bisa membuat artikel mengenai desa ini agar lebih mendapatkan perhatian dari pusat dan segara terpenuhi kebutuhannya”, kata Yasser.
“Yasser benar, setelah desa ini bisa mandiri kita sudah tidak perlu membantu banyak. Jika jumlah guru bertambah kita cukup menjadi pendamping belajar mereka saat sore atau malam hari”, kataku.
“Dewi dan aku setuju. Disini juga terlihat jauh dari pusat kota, padahal jarak sesungguhnya tidak terlalu jauh”, kata Kumala.
“Bisa nih kita buka toko murah juga. Kan belum ada disini toko besar yang memenuhi kebutuhan. Dengan membeli barang grosiran di kota kita bisa menjualnya murah disini, jadi mereka juga dapat menghemat”, kata Dewi.
“Pintar juga Dewi. Keuntungan dari jualan, bisa kita gunakan untuk membeli peralatan mengajar mereka dirumah. Bagaimana?”, kata Tino.
“Wah kalian keren banget pemikirannya. Gua mau juga dong”, kata Ranti.
“Jadi kalian benar-benar mau pindah kerumahku? Biar kukabari orang tuaku agar menambah peralatan…”
“Ayu dan aku tidak ikut bergabung”, kata Adi.
“Adi?”, kataku.
“Lu apa-apaan sih. Ini itu keinginannya Ayu. Orang tuanya juga pasti mendukung. Lu bukan siapa-siapa Ayu ya. Sebentar lagi kalian juga akan putus”, kata Ranti.
“Ranti!”, kataku.
“Jaga ya mulut lu”, kata Adi.
“Oh sekarang lu gua ngomongnya. Ayu terlalu baik buat lu. Kekanaka banget sih”, kata Ranti.
“Udah teman-teman, niat kita baik jangan berantem”, kata Kumala.
“Iya nih. Adi lu kenapa sih jadi kayak gini?”, tanya Dewi.
“Sudah selesai, kan? Ayo kita pulang”, kata Adi.
Tanpa menunggu jawabanku, Adi menggandeng tanganku, membantuku untuk berdiri dan membawaku keluar rumah. Aku memberikan senyumku kepada teman-temanku untuk membuat mereka tidak khawatir. Adi melangkah tanpa menengok ke belakang. Dikendarainya sepeda motor dengan kecepatan sedang. Aku rasa dia sengaja agar aku mengajaknya berbicara, namun aku hanya memilih untuk diam. Bahkan senyumanku yang biasa kuberikan padanya, hilang. Entah kemana aku menaruh senyumku, dia menatapku melalui kaca spion dan aku hanya meliriknya sekilas. Seketika dia meningkatkan kecepatan sepeda motornya.
Beberapa menit kemudian kami telah sampai. Tanpa sepatah katapun setelah aku turun dari sepeda motornya, Adi melaju meninggalkanku bahkan tanpa menatap ataupun berpamitan. Ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal ini bersama Adi, bahkan sebelum kami resmi menjadi kekasih Adi pernah meninggalkanku di pusat perbelanjaan sendirian karena merasa kesal dengan banyaknya pria yang menatapku saat bersamanya. Tetapi aku tetap berusaha menyukainya untuk segera melupakan seseorang yang seharusnya tidak pernah kuberika perasaanku padanya. Yasser. Sampai saat aku bersama Adi pun, jantungku tetap tahu dimana detaknya melaju cepat. Maafkan aku Adi.
Aku berlajan menuju kamarku, ponselku berbunyi namun aku mengabaikannya. Aku berniat untuk melihat pesannya saat aku sudah berada didalam kamarku. Saat aku memasuki kamar kutemui kamarku yan begitu berantakan. Iya aku lupa membersihkannya sebelum pergi. Aku memutuskan untuk membersihkan kamarku sebelum membersihkan diriku dari keringat yang memberikan aroma pada tubuhku. Tidak lama kamarku sudah rapi kembali dengan aroma bunga mawar.
Ponselku berdering, bukan lagi pesan tetapi panggilan suara. Aku membaca nama yang tertera dilayar ponselku. Segera kuangkat telpon darinya untuk memulai pembicaraan.
“Ayu, kamu dimana?”
“Ada di kost. Kenapa Tin?”
“Kamu sudah sarapan? Ini teman-teman baru selesai masak sayuran dari ibu tadi”
“Belum, aku ingin mandi”
“Mau diantarkan apa makan bersama disini?”
“Ah, tidak Tino. Aku bisa membelinya nanti. Aku mandi ya”
“Baiklah, aku akan menjemputmu sebentar lagi”
“Loh? Tino. Halo Tin…”
Segera aku mengirim pesan untuk Tino untuk tidak menjemputku. Bukan karena aku tdak ingin kembali ke rumah Tino, saat itu aku berpikir jika Tino menjemputku dan Adi mengetahuinya dia akan semakin marah. Meskipun aku tidak mencintai Adi aku tidak bisa seenaknya melukai perasaannya bukan? Membuatnya marah tidak akan menyelesaikan masalah, aku juga mengkhawatirkan pertemanan Adi dengan Tino. Tidak akan nyaman jika mereka tidak saling menyapa didalam kelas yang sama.
Setelah membersihkan diri kurebahkan tubuhku diatas tempat tidurku yang nyaman. Kuraih ponselku dan terdapat beberapa pesan disana. Setelah membaca sebuah pesan, aku bergegas keluar kamar menuju ruang tamu. Dan benar, mereka semua telah menungguku didepan untuk sarapan bersama. Aku sedikit cemas namun aku begitu bangga memiliki mereka.
“Ya ampun Ayu, kamu itu mandi atau apa sih lama banget”, kata Dewi.
“Lu tau Ay? Dari tadi Dewi gak bolak-balik ketuk pintu kamar lu terus balik kesini lagi”, kata Ranti.
“Haha”
“Maaf, hehe”, kataku.
“Udah yuk makan” kata Dewi.
“Haha”
“Adi tahu? Dia tidak ingin makan bersama kita?”, tanyaku.
“Sudahlah, habiskan makananmu”, kata Yasser.
Sepertinya memang Adi tidak mengetahui mereka datang ke kostku. Namun perasaanku kembali hangat, senyumku kembali datang tanpa diminta. Aku menikmati makanan yang mereka buat, meski seingatku masakan mereka tidak pernah seenak waktu itu. Hanya waktu itu aku merasakan masakan mereka sangat lezat, namun tidak untuk masakan-masakan mereka sebelum ataupun sesudahnya. Mungkin itu hanya perasaanku atau memang karena cara mereka yang berbeda.
Selesai makan kami tidak membahas sedikitpun mengenai tinggal bersama dan mendirikan toko murah. Kami hanya membicarakan beberapa hal yang tidak penting untuk sekedar tertawa bersama. Tidak lama mereka pamit untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Aku pun kembali sendiri dan memutuskan untuk tidak keluar kamar seharian itu. Meski beberapa pesan dari Adi mengajakku untuk keluar dan berbicara berdua. Aku hanya membacanya dan tidak membalasnya agar dia juga dapat berpikir mengenai perasaanku, bukan hanya aku yang harus mengerti Adi, dia juga harus bisa mengerti sedikit saja posisiku.
Aku kembali memikirkan keadaan di desa rumah Tino. Aku mencoba untuk memilih kata yang tepat untuk meminta ijin kepada kedua orang tuaku. Beberapa saat setelahnya aku menekan ponselku untuk melakukan panggilan suara. Ibu. Namun beberapa kali aku melakukan panggilan suara, tidak ada jawaban untukku. Akhirnya aku menuliskan sebuah pesan untuk ibuku.
“Ma, Ayu ingin tinggal bersama teman-temanku. Kami bertujuan untuk membantu sebuah desa tertinggal disini. Lokasinya hanya 10km dari kampus. Sebentar lagi sepeda motor Ayu sampai kan? Teman Ayu ada Ranti, Dewi, Kumala, Tino, Yasser dan Adi. Kami sudah mendapatkan dukungan dari warga, jadi mama dan ayah jangan cemas jika kami tinggal bersama. Kami akan menjaga diri dengan baik. Boleh, kan?”
Tersemat dua centang pada pesan yang kukirimkan kepada ibuku. Aku ragu beliau akan membalas pesanku, tapi setidaknya pesanku akan dibaca bukan? Aku sudah dewasa dan aku bisa mengambil keputusan sendiri. Itu yang aku pikirkan setiap saat aku tidak mendapatkan pendapat dari orang tuaku. Mungkin saja mereka sibuk, tetapi yang aku tahu mereka akan mendukungku apapun yang aku lakukan. Karena mereka percaya kepadaku. Iya kan, ma?
Penunggu hati yang terlantar
Cerahmu sudah mulai samar
Tawamu tak lagi lukisan tegar
Namun senyummu tetap terpancar
Sekuat apa dirimu bersabar?
Bagaimana bisa kau bertumpu akar?
Sedangkan pondasimusedang tercakar
Terluka dan tak terlindungi pagar
Hati yang sedang terdampar
Dari tempat mana kau terlempar?
Apa kau tak merasa lapar?
Berteman sepi lemah terkapar
Kau telah ditunggu oleh sadar
Menyiram bunga yang tak lagi mekar
Apakah kau siap untuk berlayar?
Meninggalkan ombak yang tak ada kabar
nice story!! :)
Comment on chapter Kamu Siapa?