Setelah berjalan kaki selama lima menit, aku dan Sia sampai di rumahku. Ibu seperti biasa sedang menyapu halaman. Ia berseru senang melihat Sia datang berkunjung.
" Apa kabar kamu nak? Lama nggak kesini." Ibu menyapa sambil memeluk Sia. Sia tersenyum lebar,
" Iya bu, maaf ya baru bisa datang sekarang. Katanya om habis sakit ya? Sudah sehat?" Ucap Sia memulai percakapan.
" Iya Sudah, om lagi ada di dalam. Ayo masuk." Ibu menggandeng Sia masuk kedalam rumah. Ayah sedang menonton televisi saat kami masuk. Lantas tersenyum melihat Sia datang.
" Apa kabar om? Sudah sehat?" Sia mengambil tempat di samping ayah setelah menyalami tangannya.
" Sudah, om sudah sehat." Balas ayah.
" Ibu ambilkan minum dulu ya?" Sia mengangguk. Ibu segera menuju dapur. Sedangkan Sia kembali berbincang dengan ayah. Aku mengikuti ibu ke dapur. Membantu menyiapkan minuman, " Bu," Ibu bergumam, kedua tangannya masih sibuk membuat kopi untuk ayah.
" Jangan bilang apapun tentang tawaran pelatihan itu ke Sia ya bu. " Ucapku pelan.
Gerakan tangan ibu terhenti, ia menatapku, " Kamu belum bilang ke Sia?"
Aku menggeleng, " Aresh nunggu waktu yang pas, lagi pula jadwalnya belum pasti."
Ibu mengangguk singkat, " Iya, nggak papa. Tapi jangan terlalu lama ya, dia juga harus tahu."
Aku mengangguk, " Iya bu, pasti Aresh kasih tahu."
Setelah itu aku membantu ibu membawakan nampan minuman untuk ayah dan Sia. Aku dan ibu ikut bergabung untuk berbincang.
" Kamu sudah makan nak?" Ibu bertanya pada Sia.
Sia mengangguk, " Sudah bu, sama Aresh juga."
" Kamu kelas berapa sekarang nak?" Ayah mengambil topik lain.
" Mau naik kelas dua SMA Om." Jawab Sia singkat.
Aku berdecak, " Dasar ribet, bilang aja kelas satu SMA."
Sia mendengus, menatapku tajam. Nggak usah komentar.
Percakapan berlangsung hingga tiga puluh menit kemudian. Aku mengantar Sia pulang sekalian mengambil mobilku yang masih berada di rumah Sia. Ia beberapa kali mengeluh capek berjalan kaki. Lantas berseru marah saat aku memaksa meneruskan berjalan.
" Capek tahu! Dari tadi jalan terus." Sia kembali mengomel, Ia duduk di trotoar jalan.
" Sebentar lagi malem Ya', kasian Arham sama Risty di rumah sendirian."
Sia mendengus, " Istirahat sebentar doang, badanku itu nggak sekuat kamu yang tiap hari latihan."
" Mau aku gendong?"
Sia langsung menatapku, " Apa?"
Aku langsung berjongkok membelakanginya, memintanya naik di punggungku.
" Nggak usah, nanti malah kamu yang capek. Duduk aja sini." Tolaknya.
" Aku tahu maksud kamu dari tadi bilang capek. Ayo naik, sebelum kakiku keram kelamaan nunggu kamu."
Sia akhirnya naik kepunggungku. Aku kembali berjalan.
" Kamu makin kurus Ya'." Ucapku setelah hening beberapa saat.
" Masa sih? Aku jarang nimbang berat badan. Kalau capek bilang ya, jangan dipaksa."
" Bukannya kamu kepengen tadi?"
" Iya sih, aku pengen digendong sama kamu tadi. Tapi sekarang jadi ngerasa bersalah." Sia menyandarkan kepalanya di pundakku.
Aku tersenyum miring, " Kenapa?"
" Aku takut bikin kamu capek. Kerjaan kamu tetep lebih banyak dari aku. Aku udah sering ngerepotin kamu." Jawab Sia.
Aku terdiam sejenak, " Tanpa sadar kamu lebih sering bantu aku Ya'." Aku berkata lirih. Sia tetap diam, seperti menungguku melanjutkan bicara. " Aku nggak pernah merasa terbebani sama kamu Ya'. Adanya kamu, buat aku punya seseorang yang bisa aku lindungi. Jadi penyemangat hidup. Itu kamu menurutku Ya'."
Langkahku terhenti, Sia juga diam. Ia mengangkat kepalanya. " Makasih kak, akan aku ingat."