Jam pelajaran ke lima sudah dimulai sejak 15 menit yang lalu. Namun, Bu Novita belum juga datang ke kelas. Biasanya ia akan datang tepat waktu. Bahkan sebelum bel berbunyi ia sudah menunggu di luar kelas.
Kelas tak ricuh seperti saat jam kosong biasanya. Mereka sibuk menorehkan cat air ke buku gambar. Berbeda dengan Adit. Ia malah menenggelamkan wajahnya di atas meja. Natasya dan Nayla sedang berada di ruang OSIS untuk melakukan rapat.
Tiba - tiba tanpa mereka sadari, Bu Novita masuk ke dalam kelas tanpa membawa apapun. Di belakangnya seorang laki - laki berjalan dengan kedua tangan ia sembunyikan ke dalam saku celananya.
Laki - laki itu memang memakai seragam putih abu - abu. Namun, dengan logo sekolah yang berbeda. Semua mata langsung tertuju kepada laki - laki itu. Hanya Adit yang bersikap biasa saja. Bahkan ia sama sekali tak perduli.
"Mohon perhatiannya!" kata Bu Novita membuka pembicaraan.
"Hari ini ada yang berbeda dari biasanya. Tidak perlu saya jelaskan kalian pasti sudah paham maksud saya. Baik langsung saja, silahkan perkenalkan nama kamu." perintahnya kemudian melangkah ke belakang dan mempersilahkan laki - laki itu untuk memperkenalkan dirinya.
"Kenalin, gue Alesa." ucapnya disambut tepukan meriah seisi kelas, kecuali Adit. "Udah cukup dari gue. Menurut gue yang paling penting dari sebuah perkenalan adalah nama." ucapnya dengan wajah datar, tetapi mampu membuat murid perempuan di kelas itu melongo.
"Cukup?" tanya Bu Novita memastikan. "Oke, apakah ada yang mau ditanyakan?" tanya Bu Novita kepasa seisi kelas di sela - sela ia berjalan menuju depan kelas.
Cantika, siswi paling genit di kelas mengangkat tangannya untuk melempar sebuah pertanyaan. Belum sempat ia mengucapkan satu kata pun Alesa sudah angkat bicara, "aa bolehkah saya duduk? Saya tidak menerima pertanyaan disini karena saya bukan narasumber dan mereka juga bukan wartawan."
"Waaaaaaaaa" ucap seisi kelas kompak. Entah karena kesal ataukah kagum?
Bu Novita hanya menghembuskan nafasnya kesal karena lagi - lagi ia mendapati murid yang kurang menghargainya. Sedangkan Cantika malah menangis karena merasa ditolak Alesa. Tara teman sebangkunya mencoba menenangkannya.
"Kamu duduk di sana! Di sebelah siswa yang sedang bermimpi ria itu." perintah Bu Novita sambil menekankan kata 'sedang bermimpi'.
Adit menyadari itu. Namun, ia tak menggubrisnya. Masih setia menenggelamkan kepalanya. Tanpa Natasya baginya tak ada yang menarik di dalam kelas.
Alesa mengangguk - anggukkan kepalanya kemudian langsung menuju tempat duduknya karena merasa pegal berdiri sedari tadi. "Hei! Mimpi apaan sih? Seru banget kayaknya. Ikutan deh." kata Alesa sambil tersenyum menyeringai. Ia ikut menenggelamkan kepalanya.
"Oke tambah satu lagi perusuh di kelas kalian." kata Bu Novita dengan lemas diikuti gelak tawa seisi kelas.
¤¤¤
"Cukup disini aja rapat kita kali ini. Setelah beres - beres kalian boleh istirahat dulu. Tapi kalo udah nggak sabar mau balik ke kelas juga boleh kok." kata Fian tersenyum simpul.
"Hahaha, itu mah elo kali'. Kita - kita mah nongkrong dulu, ya nggak?" ujar Ali pengurus OSIS kelas XII.
Fian tertawa juga menggeleng - gelengkan kepalanya, "Bener banget lo mah. Ya udah gue ke kelas duluan. Sorry nggak bisa bantu beres - beres."
"Santai bro." sahutnya.
"Sya, anterin ke toilet yuk!" ajak Nayla.
"Oh oke. Temen - temen gue sama Nayla ke toilet dulu ya. Nanti kesini lagi kok"
"Udah kalian nggak usah kesini lagi. Palingan bentar lagi juga kelar kok. Kalian langsung ke kelas aja atau kalau mau ke kantin juga boleh." jawab Ali.
"Ah ya makasih kak."
Nayla menarik tangan Natasya dan mengajaknya berlari. "Apaan sih, Nay? Kalo kebelet lo duluan aja gih. Gue takut jatuh, sepatu gue dah licin nih."
"Gue kebelet ngomong sama Kak Fian."
"Loh katanya mau ke toilet?"
"Menurut lho?"
"I see but I'm so hungry."
"Habis urusan gue kelar gue traktir deh."
Mendengar ucapan Nayla kini malah Natasya yang menarik tangan Nayla. Membuatnya bingung sendiri melihat Natasya yang menjadi semangat mendengar kata 'traktir'.
"Kak! Kak Fian!" panggilnya sambil ngos - ngosan.
"Ada apa? Kok sampe ngos - ngosan gitu?"
"Hehe.. Ini Nay mau ngomong sama Kak Fian."
"Oh ya? Ada apa Nay?"
Nayla gelagapan. Seolah - olah semua pertanyaan yang ada dipikirannya tadi hilang seketika, "Eee.. Eeee.. Nggak ada apa - apa kok."
Lagi - lagi ia menarik tangan Natasya dan berlari. "Eee.. Maaf kak kita duluan."
Fian malah bingung sendiri melihat tingkah mereka. "Ah ya baiklah." jawabnya sambil mengangkat bahunya.
¤¤¤
1 tahun yang lalu…
Perpustakaan hening. Semua murid mungkin sudah pulang karena memang saat ini sudah saatnya mereka pulang.
Seperti biasa, Fian bertugas mengunci semua ruangan di sekolah ini. Termasuk perpustakaan.
Ia mengunci pintu perpustakaan sambil bersiul ria. Ketika sudah melangkah meninggalkan perpustakaan, tiba - tiba ia mendengar seseorang menangis.
Ia memutar badannya pelan. Memastikan apa yang ia dengar. Kemudian mengintip ke dalam melalui jendela. Tak ada siapa - siapa disana. Akhirnya ia memutuskan untuk membukanya lagi.
Fian mengitari rak buku mencari sosok yang tengah menangis. Suara tangisan itu terdengar semakin jelas ketika ia berada di rak buku ilmiah. Ia melihatnya. Gadis yang tengah duduk di lantai dengan memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepalanya disana. Gadis itu menangis, sesenggukan pula.
Laki - laki yang baru saja menjabat sebagai ketua OSIS itu mendekat. Ia langsung memeluk gadis itu. Tak perduli siapa sebenarnya yang tengah menangis itu. Ia tak mengenalnya. "Keluarin semua tangisan lo. Gue siap menampung semua air mata lo."
Gadis itu, Nayla, juga tak perduli siapa yang memeluknya. Ia mengeraskan tangisannya dan mulai menyandar di bahu Fian.
20 menit.. Tangisan Nayla mulai mereda. Ia melepas pelukannya. "Makasih. Gue harus pergi."
"Kemana? Lo yakin mau pergi dengan mata sembab kayak gitu?"
Nayla menggelengkan kepalanya. "Tapi gue harus pergi sekarang." ia melirik jam tangannya, "5 menit lagi gue terlambat."
"Oke.. Kalau gitu biar gue yang anter. Seenggaknya lo bisa berlindung di badan gue biar mata sembab lo nggak terpublikasikan."
Nayla tersenyum kemudian mengangguk pelan.
¤¤¤
"Nay."
"Nay." Natasya melambai - lambaikan tangannya tepat di depan wajah Nayla. Namun, Nayla masih saja melamun.
"Woiii!!" teriak Natasya sambil menggebrak meja. Membuat Nayla terlonjak. Bahkan membuatnya menjadi pusat perhatian sekarang. Semua orang yang berada di kantin itu dibuatnya terkejut juga kesal karena mengganggu aktivitas makannya.
"Apa sih Sya?" tanyanya.
"Lo dengerin gue nggak sih? Gue tu dari tadi udah cerita panjang lebar, eh elonya malah ngelamun."
"Gue mau putus sama Kak Fian." ucapnya dengan menjeda setiap kata yang ia ucapkan.
"Haa???" tanya Natasya dengan tatapan tak mengerti.
Nayla hanya mengangguk pelan dan menundukkan kepalanya.
"Lo yakin? Emangnya Kak Fian punya salah apa sampe lo mau mutusin dia?" tanyanya lagi. Benar - benar tidak mengerti dengan ucapan Nayla.
"Gue bener - bener mau putus sama dia." kata Nayla, bahkan ia tak mengganti panggilan Kak Fian menjadi dia.
"Alasan lo mau mutusin dia?"
Nayla menggelengkan kepalanya. "Gue nggak ngerti. Gue bener - bener nggak ngerti Sya. Gue sama dia udah 1 tahun pacaran. Tapi apa lo tahu? Gue sama dia nggak bener - bener pacaran."
"Gue nggak ngerti apa maksud lo."
"Gue sama dia nggak bener - bener pacaran Sya!" ucapnya bergetar juga mulai meneteskan air matanya yang sejak tadi menumpuk di pelupuk matanya. "Apa lo nggak nyadar kalo gue sama dia hanya sebatas kakak kelas dan adik kelas. Status gue sama dia memang berpacaran. Tapi.. Gue dan dia sama sekali nggak pernah komunikasi. Bahkan setiap gue sama dia ketemu di sekolah gue sama dia hanya saling menyapa kemudian melanjutkan kegiatan masing - masing. Gue capek Sya! Gue bener - bener capek! Terkadang gue mikir kalo dia itu cuma kasihan sama gue. Kasihan melihat gadis lemah yang selalu nangis di pojok ruang perpustakaan setiap pulang sekolah. Dia hanya meminjamkan bahunya untuk menjadi sandaran gue nggak lebih." curah Nayla, bahkan ia menghilangkan kata kita dan malah menggantinya dengan 'gue sama dia'.
Natasya memeluk Nayla dan mengelus - elus punggung Nayla pelan. "Gue ngerti sekarang. Gue tahu maksud lo. Tapi lo harus pertimbangin dulu keputusan lo. Lo ngomong baik - baik sama Kak Fian. Jangan langsung ambil keputusan secara sepihak kayak gini. Apa pernah lo mikir kalo Kak Fian juga ngerasain apa yang lo rasain? Pastinya Kak Fian juga ngerasain hal yang sama kayak apa yang lo rasain. Bahkan lo sendiri yang selalu menghindar tiap ketemu Kak Fian. Apa itu salah Kak Fian?"
Natasya menghela nafas sejenak, "Coba deh lo inget - inget hal yang membuat lo jatuh cinta sama Kak Fian. Kak Fian tu dah berusaha buat lo bahagia. Tapi lo sendiri yang menghalangi kebahagiaan itu. Apa menurut lo Kak Fian nggak tersiksa dengan hubungan kalian berdua selama setahun ini? Kak Fian tu dah bener - bener sabar sama kelakuan lo. Kelakuan kaku lo sebagai pacar. Mungkin kalo Kak Fian itu orang lain, dia pasti udah mutusin lo sejak dulu."
"Jadi maksud lo gue yang salah?" ucap Nayla melepas pelukannya.
"Nggak bukan gitu maksud gue."
"Tapi yang gue tangkep lo nyalahin gue! Gue tahu Sya, gue tahu kalo lo tu sebenarnya suka sama Kak Fian dari dulu! Makanya lo belain Kak Fian! Dan pastinya dalam hati lo yang paling dalam, lo pasti berharap gue sama dia bener - bener putus dan lo bisa ngegantiin posisi gue. Iya kan?! Lo nggak ada bedanya sama sampah Sya! Mulai sekarang nggak ada lagi yang namanya sahabat. Gue benci sama lo!" bentaknya kepada Natasya. Beranjak dari kursi kemudian meninggalkan Natasya yang menampilkan wajah tak percaya juga air mata yang mulai menghiasi wajahnya.
Nayla hampir menabrak Adit yang entah sejak kapan berada di belakangnya. Ia menatap Adit sejenak. Matanya buram tertutupi air mata. Kemudian berlalu meninggalkannya.
¤¤¤
cant wait next chapter
Comment on chapter Prolog