Nayla membasuh mukanya dengan air. Menatap wajahnya melalui cermin besar yang berada di depannya.
"Lo bener Nay! Apa yang lo lakuin sekarang itu udah bener! Lo nggak perlu nyesel!" ucapnya menyemangati diri sendiri.
Gadis itu mematikan keran. Kemudian beranjak keluar.
"Lo ngapain ngelakuin hal bodoh kayak tadi?" pertanyaan itu tiba - tiba terlontar saat Nayla baru saja satu langkah dari pintu toilet. Adit tengah bersandar di tembok dekat pintu masuk toilet dengan menyedekapkan kedua tangan dan satu kaki terangkat ke tembok.
"Lo ngapain ngelakuin hal bodoh kayak tadi, hah?!" ulang Adit dengan menekankan tiap kata yang ia keluarkan. Kini ia sudah berpindah posisi di depan Nayla yang memalingkan wajahnya.
"Apa peduli lo?!" sahutnya dan masih terus memalingkan wajahnya.
"Gue sama sekali nggak peduli sama lo! Gue hanya risih ngeliat tingkah bodoh lo tadi!" ucap Adit sambil tersenyum kecut.
"Nggak usah ikut campur urusan gue! Urusin aja urusan lo sendiri! Urusin juga tuh cewek pujaan hati lo!"
Adit menahan tangan Nayla yang hendak pergi, "Apa maksud lo?!"
"Lepasin gue!" bentaknya sambil menghempaskan tangan Adit. "Asal lo tau ya! Gue benci sekolah ini! Gue benci Natasya! Gue benci lo! Gue benci semuanya! Minggir!"
Adit tak menjawabnya. Ia menatap Nayla tak mengerti.
"Aish.. Gue bilang minggir!" bentaknya. Adit mengalah. Ia menepi dan membiarkan gadis itu berlalu.
"Hei bro!" sapa Alesa tiba - tiba. Kini ia juga merangkul pundak Adit. "Habis diputusin ya? Oh atau jangan - jangan habis ditolak?" lanjutnya berdecak sembari menggeleng - gelengkan kepalanya.
Adit menghempaskan rangkulan Alesa. Kemudian berlalu meninggalkannya.
"Bro! Santai aja! Masih banyak yang lebih cantik!" teriaknya. "Hadeh, bener - bener galau tuh bocah!" katanya pada diri sendiri, menggeleng - gelengkan kepalanya dan kedua tangannya berkacak pinggang.
Alesa mulai melangkahkan kakinya. Menatap sekitar. Masih asing baginya. Ia bersiul untuk memecahkan keheningan. Saat ini sebenarnya masih jam pelajaran. Belum saatnya untuk beristirahat.
Tadi ia mengikuti Adit izin ke toilet. Tapi ternyata Adit tak menuju ke toilet melainkan ke ruang OSIS. Melongok ke kanan dan ke kiri, seperti sedang jinmencari seseorang. Ketika tak mendapati orang yang dicarinya, Adit kembali berjalan menuju kantin. Belum sempat Alesa sampai di kantin, ia melihat Adit mengikuti Nayla menuju toilet.
Alesa tersenyum geli ketika menyadari bahwa ternyata teman sebangkunya itu sedang kasmaran. "Cantik. Bagus juga tipenya."
"Woii!! Bisa lihat nggak sih?!" teriaknya ketika tubuhnya diterjang seorang siswa diikuti gerombolannya.
"Santai bro santai." ucap siswa itu nyengir. Sembari menepuk - nepuk pundak Alesa.
"Kalo punya mata itu dimanfaatin! Jangan buat pajangan doang!" bentaknya kali ini. Darahnya sudah naik pitam. Itulah salah satu kelemahannya, tak dapat mengontrol emosinya.
"Wah wah wah! Lo nggak tau siapa kita?! Lo nggak tahu siapa kita, hah?!" balas siswa itu membentak Alesa tepat di depan wajah Alesa. "Ohh, dia salah masuk sekolah ternyata" ucapnya mengangguk - angguk.
"Heh! Gue kasih tau, SMA Nusantara itu bukan disini! Disini itu S - M - A T - A - R - U - N - A, ngerti lo?!" ucapnya dengan penuh penekanan.
Alesa tersenyum kecut, ia berlalu meninggalkan gerombolan itu. Tetapi tiba - tiba. Brukkk…. Siswa itu menonjok pepilis Alesa. Alesa tidak menerimanya. Ia balas menonjok pelipis siswa itu juga. Mereka bertengkar hebat. Sedangkan gerombolan siswa itu hanya menyorakinya saja.
Di waktu yang sama, Natasya tengah berjalan linglung. Mencoba memahami perilaku Nayla yang tiba - tiba saja berubah begitu saja. Ia melihat gerombolan yang entah sedang mengerubungi apa di dekat toilet perempuan.
Ia buru - buru menghampiri gerombolan itu. Dan ternyata Bima murid kelas XII tengah tersungkur dihajar oleh entahlah ia tak mengenalnya. Natasya mencoba memisahkan diantara keduanya. Namun, yang ia dapati malah mendapat tonjokan dari Bima hingga membuat penglihatannya mulai kabur.
Ia melihat dengan samar, laki - laki yang menghajar Bima itu mencoba membangunkannya. Namun, justru penglihatannya kini malah menjadi gelap. Seketika semua berubah menjadi hitam.
¤¤¤
"Nay!"
Suara Fian mengagetkan Nayla yang hendak keluar dari kelas. Apalagi tangannya diraih pula oleh Fian.
"Nay, kita makan dulu yuk!" ajak Fian dengan mantap.
"Tapi aku mau- "
"Udah, bentar aja kok. Habis itu aku anterin ke tempat bimbel." potong Fian. Tanpa perlu menunggu jawaban dari Nayla ia langsung menarik tangan Nayla menuju parkiran.
----
"Nggak usah khawatir, aku udah ijin mama kamu kok." ucap Fian sambil tetap fokus menyetir.
Nayla terperanjat mendengarnya. Kemudian mengangguk pelan.
"Mau makan dimana Nay?"
"Terserah Kak Fian aja." jawab Nayla tanpa menengok ke arah Fian.
Beberapa menit kemudian Fian menepikan mobilnya. Berhenti di depan sebuah cafe. Setelah turun dari mobil, Fian kembali menggandeng tangan Nayla. Demi melihat tatapan heran Nayla, Fian hanya tersenyum. Menambah keheranan dalam diri Nayla.
Suasana di dalam cafe cukup ramai. Tetapi tidak dengan meja di ujung cafe dekat jendela itu. Hening. Hanya suara rintik hujan yang terdengar.Tak ada percakapan yang menghangatkan suasana. Keduanya telah sibuk dengan pikiran masing - masing.
"Mungkin ini saatnya." batin Nayla. Setelah berpikir panjang, ia menarik nafas dalam - dalam untuk memantapkan hatinya.
"Nay!" panggil Fian. Belum sempat Nayla membuka mulutnya.
"Eh iya?" jawab Nayla seadanya.
Fian kembali tersenyum, entah sudah berapa kian kali ia tersenyum. "Orang - orang pasti berpikir, hujan itu berkorban untuk menciptakan sebuah pelangi, keindahan. Tapi apakah mereka pernah berpikir, bukankah dibalik pengorbanannya ada juga yang tersakiti selain hujan?"
"Orang - orang tertentu merasa senang saat hujan. Ada pula yang merasa rugi karena hujan."
"Kesimpulannya, dibalik keindahan akan ada pengorbanan dan dibalik pengorbanan akan ada hati yang tersakiti." lanjutnya sambil menatap hujan yang semakin deras.
Nayla menundukkan kepalanya. Berusaha menyembunyikan matanya. Entah mengapa air matanya sudah berkumpul ria di pelupuk matanya.
"Awan rela melepas hujan saat awan sudah tak tahan lagi menampung air yang semakin lama semakin banyak. Itu adalah satu hal nyata yang membuktikan bahwa sesuatu hal yang berlebihan itu nggak baik."
"Terlalu mencoba menghindar itu juga nggak baik, Nay!" ucapnya lagi - lagi disertai senyumannya. Tetapi senyuman itu tak terlihat oleh Nayla. Ia masih setia menunduk.
"Aku tahu, kamu mungkin merasa tidak nyaman dengan hubungan kita, karena aku juga pernah merasakan rasa ketidaknyamanan itu, Nay. Aku tidak akan menyalahkanmu karena kekakuanmu ketika kita bertemu. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya. Bukankah lebih nyaman jika kita bersikap biasa saja seperti sebelum kita berpacaran?"
Pandangan Fian kini berpindah ke Nayla. Gadis yang dipandangnya tertunduk makin dalam. Fian menghela nafas sejenak kemudian melanjutkan perkataannya lagi.
"Aku sebenarnya masih ingin mempertahankan kamu. Tapi sepertinya tidak dengan kamu? Aku hanya berharap kamu bisa menganggapku sebagai kekasihmu. Bukan menganggapku seperti halnya kakak kelas yang harus kamu takuti dan harus kamu hormati. Aku tidak perlu itu, Nay. Sama sekali tidak memerlukan itu. Yang aku perlukan hanya kenyamananmu saat bersamaku."
"Apakah pernah kamu menatap mataku, Nay? Sepertinya belum, karena setiap kamu bertemu denganku kamu selalu menunduk. Tidak pernah menampakkan wajahmu."
"Bahkan aku sempat berfikir bahwa sebenarnya kamu tidak mencintaiku. Hanya saja kamu takut untuk menolak perasaanku. Kamu juga pasti sempat berpikiran bahwa aku tidak mencintaiku tetapi hanya merasa kasihan kepadamu. Itu salah Nay. Salah besar. Sama sekali tidak seperti itu."
"Coba saja kamu mau menatap mataku sekaliii saja. Mungkin kamu bisa merasakan bahwa aku sangat mencintaimu, Nay. Bahkan sangat - sangat menyayangimu. Aku tidak tahu apa alasanku mencintaimu. Tetapi cobalah sekarang kamu menatap mataku. Mungkin kamu akan tahu apa alasannya."
"Nay, aku mohon, sekali saja tatap mataku. Aku mohon, Nay." ucap Fian mencoba menekankan setiap kata yang diucapkannya. Matanya pun mulai berair.
Nayla masih tetap menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap mata Fian. Fian meraih tangan Nayla. Menggenggamnya erat. "Nay!!" suaranya mulai mengeras. Membuat Nayla terkejut. Fian lebih terkejut lagi ketika Nayla mendongakkan kepalanya. Matanya sembap. Dipenuhi air mata.
"Nay maafin aku. Aku bener - bener minta maaf. Aku nggak bermaksud bentak kamu tadi." ucap Fian dengan sungguh - sungguh. Merasa bersalah melihat gadis di hadapannya menangis.
Fian beranjak dari duduknya. Berlutut di dekat Nayla dan masih tetap menggenggam tangan Nayla. Seolah - olah enggan melepaskannya.
"Ternyata aku pengecut ya, Nay. Dulu aku yang menjadi sandaranmu ketika kamu menangis. Tapi bahkan sekarang malah aku sendiri yang membuatmu menangis." ucapnya lagi sembari tersenyum getir.
Nayla melepas genggaman tangan Fian. Tangan Nayla mulai mendekati wajah Fian. Mengusap air mata Fian perlahan hingga Fian mendongakkan kepalanya.
Nayla mengambil tas nya. Beranjak dari duduknya kemudian pergi meninggalkan Fian. Fian hanya pasrah. Tak mengejar Nayla. Ia paham bahwa itu jawaban Nayla. Meskipun tidak ada kata - kata yang menjadi tanda bahwa mereka sudah berpisah. Tetapi tindakan Nayla sudah menjadi jawaban yang cukup jelas bagi Fian. Ia tidak dapat memaksa Nayla untuk terus bersamanya. Ini saatnya mereka berpisah. Mungkin ini akan membuat Nayla lebih nyaman. Tidak terganggu dengan bayangan - bayangan Fian.
Fian mulai berdiri dengan lemas. Tiba - tiba punggungnya serasa dihantam. Dua buah tangan melingkar sempurna di pinggangnya. Tanpa aba - aba Nayla memeluk Fian dari belakang. Perlahan Fian mulai tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan Nayla yang melingkar di pinggangnya itu.
Mereka berpelukan cukup lama. Melepas rindu yang terhalang suatu ketidaknyamanan yang menyelimuti. Tidak perduli dengan tatapan - tatapan orang - orang disekitarnya.
"Makasih Nay! Makasih karena kamu sudah memberiku sebuah kepercayaan lagi untuk menjagamu."
"Maaf! Aku minta maaf kak. Aku benar - benar minta maaf karena selalu merasa kaku setiap kita bertemu. Aku selalu bertingkah aneh setiap kita bertemu. Aku juga terlalu bingung harus bersikap bagaimana ketika kita bertemu. Lidahku selalu kelu saat berhadapan dengan kak Fian. Tak mampu berkata walau hanya sekadar untuk say hello." ucap Nayla tanpa ragu.
Fian tertawa mendengar keluh Nayla. “Benarkah? Tidak perlu kamu jelaskan aku sudah tahu itu.”
Nayla melepas pelukannya. Memukul punggung Fian pelan.
"Bukankah aku terlalu tampan hingga membuatmu salah tingkah ketika bertemu denganku?" ucapnya sembari tertawa lepas.
Nayla memonyongkan bibirnya.
"Jangan manyun begitu. Disini terlalu ramai untuk melihat wajah imutmu ketika cemberut."
Mereka tertawa lepas bersama. Rasa ketidaknyamanan itu telah runtuh. Digantikan kebersamaan yang diselimuti kenyamanan.
cant wait next chapter
Comment on chapter Prolog