“Yaaa, gue telat.”
Eriz mengernyit sebentar lalu mendongak. Yang benar saja, Ginov itu tidak ada kegiatan lain selain berkeliaran di sekitarnya?
Jika sebelumnya Eriz hilang nafsu makan saat Ginov muncul, kali ini ia bersikap tenang dan tetap melanjutkan makan nasi gorengnya.
“Maaf ya, lama. Gue habis ngerjain sepuluh soal matematika yang susah banget. Makanya ngambil sebagian jam istirahat.”
Eriz menggeram sambil buang muka. Ia mengunyah makanan dengan tenaga penuh lalu bertanya, “Yang ngarepin lu di sini siapa? Nggak ada tuh.”
Ginov tersenyum kecil, menarik kursi di depan Eriz lalu duduk. “Yerin ke mana?”
Sok akrab banget sih.
Eriz mengedikkan bahu lalu meraih air mineralnya. Kalau ia menuruti suasana hatinya yang memburuk seketika, lama-lama berat badannya turun dua kilo karena ia pasti berhenti makan. Makanya, Eriz bertahan.
Nggak baik buang-buang makanan.
Nasihat kakaknya tiba-tiba terngiang. Eroz adalah orang yang paling anti menyisakan makanan. Saat Eroz masih hidup, Eriz sering memilih makan sendiri karena sadar dengan kebiasaannya menyisakan makanan.
Perhatian Eriz kemudian teralihkan ke sosok cowok yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Ginov yang menyaksikan itu mengerjap kaget. Berani banget cowok itu dekat-dekat mantannya.
“Datang juga, lu,” ucap Eriz, membiarkan Rifan tetap di sampingnya dengan jarak kurang dari sejengkal.
Ginov melotot padanya. Ini serius? Eriz tidak terganggu sama sekali dengan Rifan?
“Kan elu yang minta.” Rifan menarik mangkok Eriz yang masih ada dua butir baksonya. “Kebetulan, gue lapar.” Ia menyantapnya dengan cepat.
Ginov semakin tercengang.
Eriz mendorong gelas airnya ke Rifan dan disambut cowok itu dengan senang hati. “Makasih,” ucapnya lalu menghabiskan air itu.
Kepalan Ginov menguat di bawah meja. Hilang kesabaran, Ginov kemudian berdehem keras-keras.
“Kenapa lu? Batuk?” Rifan bertanya. Sungguh cowok yang tidak peka.
“Lu ada urusan apa sama mantan gue?” tanya Ginov langsung. Giliran Eriz yang melotot tajam padanya.
Rifan melirik Eriz kemudian kembali menatap Ginov. Bukannya menjawab, ia melayangkan pertanyaan baru. “Lu mantan yang keberapanya?”
Ginov mengernyit. Sedangkan Eriz menginjak kaki Rifan hingga cowok itu meringis.
“Banyak ngomong,” gumam Eriz.
Rifan berdesis pada Eriz. Kakinya sakit sekali habis diinjak. Ia lalu menatap Ginov lagi. “Ah, mantan Eriz kan cuma dua. Nah, lu mau tahu siapa mantannya selain lu?”
“Rifan, gue bilang berhenti ngomong!” bentak Eriz, marah besar. Tidak ada lagi toleransi untuk kebiasaan Rifan yang suka ikut campur masalahnya. Ia muak, kesal dan tidak tahan berada di kantin itu lagi.
Rifan menyentuh tengkuknya, menatap Eriz sambil tersenyum seadanya. “Gue hanya bercan…”
“Bercanda nggak kayak gitu,” potong Eriz. Ia bangkit, menuju kasir. Setelah membayar makanannya, ia langsung pergi.
***
Rifan menyandar, memainkan ponsel dengan gaya santainya. Di depan sang rival, ia selalu bisa tenang seolah di antara mereka tidak ada perselisihan. Namun, itu jika Ginov tetap diam.
Lain ceritanya jika Ginov sudah buka mulut dan membahas hal-hal yang sensitif seperti…
“Gue baru putus enam bulan, lu sudah dekat banget sama Eriz. Salut gue sama pergerakan lu.”
Rifan tersenyum miring, mengalihkan pandangan dari ponsel ke Ginov. “Lu baru putus beberapa hari dari Jean, sudah berani minta balikan ke Eriz. Lu lebih hebat, Ginov.”
Balasan telak mengenai Ginov. Raut wajahnya berubah jengkel.
“Setidaknya gue nggak ngambil mantan pacar lawan,” ucap Ginov sambil melirik ke samping.
Rifan menggertakkan giginya. Kalimat Ginov sudah sangat jauh. Ia menyimpan ponsel lalu meletakkan dua kepalan tangannya ke meja.
“Lu nggak penasaran mantan pacar Eriz yang satu lagi?”
Pancingan yang bagus. Ginov tidak hanya membelalak kaget, tapi rasa penasarannya membuncah. “Siapa?” tanyanya langsung.
“Gue.” Azka muncul dari belakang Ginov sambil membawa sepiring nasi goreng.
Rifan menepuk jidat. Boleh ia menghilang detik ini? Ke mana pun, terserah. Yang jelas ia pergi dari sekitar Azka untuk mempersiapkan diri. Azka pasti marah karena ia membiarkan Ginov tahu informasi yang harusnya tetap jadi rahasia.
Ginov tersenyum hambar ke arah kotak tisu. Semuanya jelas. Alasan kenapa Eriz bersama Azka semalam sudah terjawab.
Tapi ada yang membuat Ginov berpikir lagi. Rifan menyebut Azka sebagai mantan. Itu artinya….
Ginov memutar kepala ke samping. Azka duduk di dekatnya dan bersiap menyantap nasi gorengnya.
“Jangan khawatir,” ucap Azka sambil mengangkat sendok. “Gue hanya mantan.”
Mendengar itu, Rifan berdiri dengan gerakan hati-hati. Baiknya ia melarikan diri saja.
“Temui gue di ruangan Club Sesat,” ucap Azka, menghentikan langkah Rifan.
***
Ruangan Club Sesat tidak pernah dikunci. Rifan menunggu Azka di dalam sambil menatap tulisan di papan tulis.
Ketua : Erizia Sagita.
Wakil : sementara dicari.
Sekretaris : Fisya (kabur)
Bendahara : Godar
Tatapan Rifan terhenti sejak awal di baris pertama. Cewek beruntung yang mengira dirinya malang. Rifan refleks tersenyum lalu menoleh ke samping saat terdengar suara langkah.
Azka memasukkan kedua tangan ke saku celana sambil berjalan ke dalam ruangan. Begitu duduk di samping Rifan, ia langsung berkata, “Lu masih ingin menang dalam pemilihan?”
“Apa gue perlu menulisnya di depan supaya lu percaya?” Rifan bertanya balik sambil dagunya bergerak ke arah papan tulis.
“Jadi kenapa?”
Rifan mengembuskan napas. “Gue penasaran dengan reaksinya. Dan ternyata mirip bayangan gue.”
“Tindakan lu berefek pada pemilihan nanti. Bukannya gue sudah memperingatkan?” tanya Azka. Mencium ada yang berubah dari sikap Rifan. “Lu. Bisa kehilangan suara sebanyak tiga puluh persen. Eriz nggak akan memberi lu ampun saat dia tahu ulah lu.”
“Lu selalu sesantai ini saat bicara bagaimana memanfaatkan Eriz?” Rifan cukup terkesima dengan kebiasaan Azka memaksimalkan sifat tidak pedulinya. “Dia mantan lu. Oke, mantan memang bukan orang yang spesial lagi. Gue paham. Tapi yang lu lakuin ini keterlaluan.”
Azka menatap lurus papan tulis. “Kenapa memangnya? Lu suka sama dia sekarang?”
Rifan membanting badan ke belakang. Sejenak ia memejamkan mata, mengharap ada jeda untuk ambisi yang membutakannya selama ini. Ketua OSIS.
“Gue berhenti dari rencana lu,” ucap Rifan saat matanya membuka.
Azka tidak menanggapi.
“Gue berubah pikiran. Eriz lebih menarik dibanding jabatan Ketua OSIS.”
Detik selanjutnya Azka bangkit dan melayangkan tinjunya ke wajah Rifan. Sandiwara ini berakhir. Azka menyerah. Ia bisa berpura-pura jahat pada Eriz, tapi tidak rela membiarkan cewek itu direbut oleh orang lain.
Rifan menyeka sudut bibirnya yang luka akibat hantaman keras kepalan tangan Azka. Ia memaksa dirinya berdiri. “Lu sendiri yang bikin gue suka sama dia.”
Azka menahan geram sambil mengepal kuat di kedua tangan. Tak bisa ia berkata-kata untuk membalas kalimat Rifan.
Rifan maju dan berhenti dua jengkal dari Azka. Dengan wajah sedikit hancur, Rifan menyinggingkan senyum jail. “Ahhh, lu kelewatan banget. Gue nggak nyangka bakalan langsung dihajar.”
Kemarahan Azka berganti kebingungan.
Rifan tersenyum semakin lebar. “Heeei. Gue bercanda. Ber-can-da.”
Azka bergeming, masih menatap Rifan tanpa suara.
Rifan menghela napas, menoleh ke arah lain, lalu dengan ekspresi tidak berdosa, ia berkata, “Hutang budi gue terlalu banyak ke lu. Jalan untuk berkhianat seolah tertutup rapat. Eriz baik, dan mungkin lebih cocok buat gue tapi…”
Rifan sengaja memenggal kalimatnya dan melirik Azka yang mendengar penuh keseriusan. “Tapi hanya itu,” tambahnya kemudian. Berbeda dengan yang ada di hatinya.
Azka menunduk sambil bertolak pinggang.
“Ginov nggak akan tinggal diam setelah tahu hubungan lu dan Eriz. Kalau gue jadi lu, gue nggak akan buang waktu dengan jadi aktor payah. Cinta ya cinta. Ngapain ditutup-tutupi?” Rifan mengubah topik selagi ada kesempatan. Ia menepuk bahu kanan Azka saat hendak menuju jalan keluar.
Rasanya seperti baru turun dari permainan roaler coaster. Rifan memberi selamat pada dirinya dalam hati karena mampu mengucapkan kalimat yang menyinggung dirinya sendiri.
Azka berputar, menatap Rifan yang berjalan pelan menjauhinya. Ketika cowok itu hilang dari pandangan, Azka tersenyum kecut. “Gue nggak sebodoh bayangan lu.”
Gaya bahasanya aku suka banget. Enak banget dibaca ????
Comment on chapter PROLOG