Eriz mengecek seluruh perkakas dalam kamar. Benda-benda yang mengingatkannya pada cowok itu, dikumpulkan. Eriz tidak sempat membereskan semua bukti kenangannya dengan Ginov karena selama beberapa bulan ia sibuk dengan masalah keluGinov. Mamanya terpukul mengetahui sang suami berselingkuh dan memilih untuk berpisah.
Eriz bukannya tidak sedih diputuskan oleh Ginov, hanya saja ia pintar menyembunyikan lukanya. Di hadapan sang mama yang sedang terpuruk, Eriz harus kuat.
Setelah berbalas pesan dengan Ginov, Eriz baru ingat kalau di kamarnya masih banyak benda-benda dari cowok ituS. Boneka beruang cokelat di atas ranjang, topi Ginov yang lupa ia kembalikan, satu novel teenlit hadiah ulang tahun dari Ginov, dan terakhir foto berbingkai di depan matanya.
“Kenapa foto ini masih di sini, sih?” umpat Eriz sambil menyambar foto di atas mejanya dan memisahkan foto itu dari bingkai.
Ketika semuanya sudah masuk dalam dos bekas air mineral, Eriz membawanya keluar rumah dan meletakkannya di atas tong sampah karena tidak muat. Ia bertolak pinggang memandangi dos itu. Memang sayang jika benda-benda itu dibuang, tapi Eriz lebih sayang sama hatinya.
“Bonekanya kenapa dibuang?”
Eriz mendongak. Bu Riza turun dari mobil sambil menenteng kantong bening. Eriz bisa melihat sayuran apa saja yang dibelinya mamanya. Buncis, wortel, daun bawang dan daun seledri.
“Mama mau buat bakwan?” tanya Eriz.
Bu Riza menunduk ke kantong yang dipegangnya lalu menatap Eriz. “Sup.”
Eriz mengernyit. “Sup pakai buncis? Bukan kentang?”
“Sup ala mama pakai buncis,” jawab Bu Riza asal. “Kembali ke pertanyaan awal. Kenapa belagak kayak orang kaya raya? Buang boneka seenaknya.”
Eriz menghela napas. Sia-sia ia mengganti topik. “Bonekanya penuh kutu. Daripada bikin sakit, mending dibuang.”
“Kutu kamu mungkin yang hinggap di situ. Ambil lagi. Tidak baik buang-buang boneka.”
“Dibuang aja, Ma. Eriz akan beli baru besok.”
“Pakai uang dari mana?”
Eriz berdehem lalu menjawab dengan pelan, “Uang dari mama. Hehe.”
Bu Riza berdecak-decak. Beliau bukan mama yang pelit, tapi ia juga tidak mau anaknya punya kebiasaan boros. Barang bagus dibuang, mana bisa ia membiarkan hal itu. “Erizia, ambil bonekanya cepat.”
Eriz bergeming.
“Erizia!”
Eriz melirik boneka beruangnya. “Itu dari Ginov, Ma.”
Bu Riza terkejut dan hendak berbicara tapi Eriz berlari ke dalam rumah. Mungkin ia takut dipaksa mengambil benda yang ingin dibuangnya jauh-jauh
***
Senin, di jam istirahat. Club Sesat mengadakan rapat pertama kali semenjak Eriz dinobatkan jadi Ketua. Kesempatan itu digunakan Azka membahas siswa kelas sepuluh yang mendaftar jadi anggota baru. Semuanya berjalan lancar hingga Azka membacakan nama-nama yang diterima.
“Interupsi.” Eriz mengacungkan tangan kanan saat nama Gina disebut.
Azka melirik sekilas lalu menjawab, “Interupsi ditolak. Ini bukan diskusi.”
Eriz berdecak sebal. Tak tanggung-tanggung, ia berdiri dari kursi. “Gue mau berhenti sekarang juga dari jabatan ketua.”
Azka mendesah lalu mengejar Eriz yang berjalan ke arah pintu. Ia menggiring cewek itu kembali ke kursinya. “Kita bicara baik-baik, ya Riz. Jangan marah dulu, dong,” ucapnya membujuk.
Eriz bersandar tanpa semangat. “Gue nggak main-main, Kak Azka. Sekali gue tetapkan kalau Ginan ditolak, berarti cewek itu nggak boleh ada di Club ini. Kalian kalau mau protes, berarti siap gantiin gue jadi ketua. Segampang itu kok. Gimana?”
Azka menatap satu-satu anggota lain. Tidak ada yang protes. Mereka tidak kenal Gina, jadi tidak masalah kalau cewek itu ditolak masuk Club Sesat.
Sadar tidak mendapat dukungan, Azka menoleh ke Rifan. Ia menyenggol lengannya sambil berbisik, “Gue bantu lu menang pemilihan nanti kalau berhasil mengubah keputusan Eriz.”
Rifan tersenyum sambil menggeleng. “Gue harus buat dia jatuh cinta sama gue dulu baru bisa mengubah keputusannya. Dan sekarang, itu belum terjadi, Kak.”
“Lu nggak bisa diandalkan.” Azka terpaksa berusaha sendiri. Kasihan Ginan kalau tidak diperjuangkan haknya. Club Sesat bukan milik pribadi Eriz, itu yang harus dipegang teguh dalam melawan ketidakadilan cewek itu.
“Ada yang nggak setuju gue nolak Gina?” tanya Eriz, berada di puncak kekuasaan. Siapa suruh menjadikannya Ketua?
Azka mengangkat tangan.
“Kenapa lagi sih, Kak?” tanya Eriz.
“Gimana kalau kita taruhan balap sepeda entar sore. Yang kalah harus menuruti keinginan yang memang.”
Eriz terdiam lalu bertanya balik, “Kak Azka lupa kalau gue ini juara satu balap sepeda dua tahun berturut-turut?”
Rifan menutup mulut, tawanya tidak boleh meledak sekarang.
Azka menggeram sambil memukul meja. Tidak ada celah untuk mempertahankan Gina. Dengan berat hati, ia bangkit, melempar daftar anggota baru ke hadapan Eriz. “Lu pilih sendiri peserta yang diterima dan ditolak. Gue nggak mau pusing lagi.”
Eriz menerima dengan senang hati. Setelah mencoret nama Ginan dari daftar, rapat dibubarkan. Rifan mendekati Eriz saat anggota lain sudah pergi.
“Saatnya bayar utang,” ucap Rifan.
Eriz berdiri, berjalan bersisian dengan Rifan keluar ruangan. “Katanya semester depan baru dibayar.”
“Setelah gue pikir-pikir, itu kelamaan. Nggak ada yang tahu semester depan kita ketemu lagi atau enggak. Gue mau dibayar sekarang aja.”
Eriz anggap itu lelucon sekalipun Rifan berwajah serius. “Bilang aja lu nggak bawa uang, jadi mau ditraktir es krim,” ucapnya sambil menahan senyum.
“Bukan dibayar pakai es krim. Tapi waktu.” Rifan berhenti dan menatap Eriz lamat-lamat.
“Waktu?”
“Gue mau pindah sekolah. Bulan depan. Sebelum itu, gue mau ngabisin waktu yang tersisa sama lu sebanyak-banyaknya.”
Detik itu, Eriz lupa siapa Rifan dan bagaimana cowok itu selalu berhasil menjahilinya. Rifan benar-benar akan pindah sekolah? Bagaimana dengan pemilihan Ketua OSIS nantin?
Saat Eriz percaya dan hendak menjawab ya, Rifan terbahak-bahak.
“Gue nggak akan maafin lu. Nggak akan!” Eriz memukul lengan cowok itu berkali-kali. Kapan ia berhenti tertipu oleh akal busuk Rifan?
Di sela tawanya, Rifan mengunci leher Eriz sampai tidak bisa melawan. “Kita ke perpustakaan. Bantu gue cari bahan makalah Biologi.”
“Gue ini siswa IPS, Rifannn.” Eriz bersuara susah payah, tapi Rifan tidak peduli. Dibawanya Eriz keluar ruangan sambil diperlakukan seperti penjahat yang hendak kabur.
***
“Kedip, Van. Kedip. Kasihan mata lu, bisa perih lihat Eriz dan Rifan,” bisik Sekhan lalu terkekeh pelan. Mereka di perpustakaan karena tempat itu yang paling adem dan kurang pengunjung. Nyaris seluruh siswa ada di kantin pada jam istirahat. Apalagi tersiar kabar kalau bu kantin menjual jajanan baru.
Eriz dan Rifan melintas di depan mereka sambil ketawa-ketiwi. Ginov panas melihat mereka seakrab itu. Ingin sekali ia memisahkan dua orang itu, tapi Sadya belum kelar dengan materi membosankannya mengenai kampanye.
“Di kelas satu, pendukung kita melebihi target, dan karenanya kita patut waspada. Rifan punya komplotan yang tersebar di setiap kelas satu. Utamanya kelas-kelas akhir. Gue khawatir mereka menggunakan cara licik dengan memaksa yang lain pindah pilihan.” Sadya berbicara sambil kepalanya berkeliling dari Ginov, Sekhan dan Hasbar.
Sebenarnya mereka ada tujuh orang, tapi sisanya sering tidak hadir karena Sadya selalu memakai jam istirahat untuk rapat. Ditambah isi rapatnya dipergunakan hanya untuk mendengar cewek itu bicara panjang lebar.
“Terus?” Hasbar menanggapi kalimat Sadya dengan bosan.
“Jalan yang paling baik adalah melakukan pendekatan pada Ketua Kelasnya. Sebagian siswa malas peduli dengan visi misi calon Ketua OSIS, mereka cenderung ikut-ikut saja dalam memilih kalau tidak mengenal baik calon-calonnya. Ginov memang terkenal di sekolah. Yang jadi masalah adalah Ginov dikenal sebagai pribadi yang baik atau buruk.”
“Ya terus?” Hasbar bertopang dagu.
Namun, Sadya berhenti bicara. Bukan karena Hasbar merespon setengah hati, melainkan matanya yang mendapati Ginov sibuk dengan hal lain.
“Ginov!” bentak Sadya.
Yang tersentak kaget malah Sekhan dan Hasbar. Sedangkan yang jadi sasaran malah terpaku dengan apa yang ditatapnya.
Eriz yang sedang bersenda gurau dengan Rifan di tepi lapangan adalah pemandangan buruk. Tapi sialnya, Ginov justru ketagihan memandangi mereka. Sambil berekspresi marah tentunya.
Semoga hujan lebat segera datang, batinnya. Dengan doa itu, mungkin Eriz dan Rifan akan menyudahi obrolannya.
“Hei, Sad.” Sekhan memanggil. “Lu cewek atau tarzan sih? Bicaranya kalem dikit kenapa? Jantung gue hampir copot dengar suara lu yang kayak Guntur di siang hari.”
Sadya melirik tajam. Dihitung dari pertama dikenalkan oleh Ginov, hubungan Sadya dan Sekhan diibaratkan minyak dan air. Air adalah Sadya dan minyaknya Sekhan. Sekalipun Sadya banyak pengetahuan dan pintar, Sekhan selalu jauh di atasnya. Sebab, Sekhan punya control emosi yang baik.
BUKKK
Kepala Sekhan tertimpa buku yang dilempar Sadya. Cowok itu meringis kesakitan sambil memegangi kepala. “Waahhh, ini kekerasan, Sad.”
Sadya berdiri sambil menggebrak meja. Hasbar buru-buru menahan lengannya. Ia tidak ingin diskusi penting tentang strategi kampanye Ginov berakhir ricuh.
“Sad, sudahhhh.” Hasbar menasihati dengan nada lembut. “Sekhan kalau diladeni terus bisa bikin keriput. Lu mau keriput sebelum punya pacar?”
Kalimat Hasbar yang terakhir menambah kegaduhan. Sadya melotot padanya.
“Dengar tuh, Sad. Jangan emosian terusss,” seru Sekhan dan ketika Sadya menoleh, ia kemudian membentuk tanda pis dengan jari tangan kanannya sambil membuang muka ke samping. Tingkahnya itu menyulut api kemarahan Sadya. Dengan mudah, ia melepaskan diri dan mendekati Sekhan.
Sekhan seketika bangkit dan berlari keluar ruangan. Biasanya, Sadya baru berhenti mengejar kalau bel masuk berbunyi.
“Kepala gue beneran sakit lihat mereka kayak gitu terus.” Hasbar mengeluh lalu duduk di samping Ginov. Karena tidak mendapat tanggapan, ia menyikut cowok itu.
Setelah mengikuti arah mata Ginov, Hasbar berkomentar, “Cocok banget. Rifan dan Eriz.”
Ginov tanpa sadar menahan napas. Kini, matanya melirik Hasbar penuh antisipasi, kata menyebalkan apa lagi yang keluar dari mulut cowok itu setelah ini?
“Mau taruhan nggak, Van?” tanya Hasbar.
“Hem?” Kening Ginov berkerut.
Hasbar menoleh dengan mata berkilat-kilat. “Mereka bakalan jadian dekat-dekat ini atau enggak?”
“Lu mau disunat duakali, Has?” Ginov balik bertanya lalu berdiri.
Hasbar berdecak, menatap kepergian Ginov dengan pikiran bertanya-tanya. Tuh anak kenapa sih?
***
“Gimana, Kak?”
Gina menunggu Azka depan kelasnya. Cowok itu berjanji memberitahu secepat mungkin hasil keputusan Eriz setelah rapat selesai.
Azka menepati janji, tapi dengan wajah mengkhawatirkan. Ginan sebenarnya tidak perlu lagi bertanya. Semua jawaban terpampang nyata di raut wajah Azka.
“Maaf, ya. Gue nggak bisa bujuk Eriz.” Azka merasa sangat bersalah. Apalagi setelah mengatakan itu, Ginan sangat murung. Cewek itu berharap banyak pada bantuan Azka, tapi ternyata takdir benar-benar tidak berpihak padanya.
“Eriz itu keras kepala dan nggak mau diatur,” ucap Azka, berharap dengan menjelek-jelekkan Eriz, perasaan sedih Gina sedikit terobati. “Kalau bukan terpaksa, bukan dia yang gue jadiin ketua Club Sesat. Huft, tuh cewek nggak profesional. Oh ya, kalian ada masalah apa sebenarnya?”
Gina tersenyum miris. “Kakak gue yang bermasalah sama dia, Kak. Tapi mungkin Kak Eriz memang selalu menyangkut pautkan seseorang.”
“Masalah apa?” tanya Azka hati-hati, tak ingin dianggap ikut campur.
“Biasa, Kak. Masalah hati.”
“Ouw.” Azka terkejut. Ia memutar bola matanya sambil berpikir apa kira-kira masalah yang menyangkut hati. Apa itu berkaitan dengan cinta?
Azka tidak yakin dengan pendapatnya, jadi ia bertanya sekali lagi, “Mereka pernah pacaran?”
Gina mengerjap-ngerjap. Baru sadar kalau ia kelepasan bicara rahasia kakaknya. Daripada semakin jauh, Ginan mengganti topik. “Kak, ngobrolnya dilanjut lainkali, ya. Gue mau ke toilet.”
Topik ke toilet adalah satu dari sekian jalan keluar yang berhasil Gina pikirkan sekarang untuk menghindari pertanyaan lain Azka.
***
“Maaf.”
Eriz terbahak, memandangi jalan di depannya tanpa berniat menoleh. Toh dia sudah hapal siapa pemilik suara itu. Karenanya, Eriz kemudian mengecek langit. Mendung. Langit pun tahu bagaimana menggambarkan perasaannya sekarang.
Ginov bergerak ke hadapan Eriz dan berdiri di jalan. Sontak saja Eriz mundur dan tak lupa menarik tangan cowok itu agar ikut naik ke badan jalan.
Ginov yang membiarkan dirinya bergerak sesuai tindakan Eriz, agak kaget. Tidak menyangka bahwa cewek yang dikiranya mendendam, malah peduli dengan keselamatannya. Harapan itu rupanya masih ada. Ginov perlahan tersenyum.
“Lu kalau mau mati, jangan di sini.” Eriz menghentak tangan Ginov yang digenggamnya detik lalu.
Baiklah. Mungkin Eriz tidak sebaik anggapannya. Ginov tersenyum getir. “Gue bukan mau mati, Riz. Gue mau minta maaf sama lu.”
“Lu butuh setengah tahun buat minta maaf?” Alis Eriz terangkat, menantang dengan tatapan tajam. “Orang yang memang tahu dirinya salah, nggak butuh waktu selama itu, Van. Jadi lebih baik jujur kenapa tiba-tiba lu ganggu gue?”
Ginov menelan ludah. “Gue nyari waktu yang pas. Selama ini, gue selalu berencana datang ke hadapan lu, tapi ternyata gue nggak sanggup.”
“Menurut gue ini juga bukan waktu yang pas,” balas Eriz. “Karena permohonan maaf lu nggak dibutuhin dan gue nggak nyiapin tempat penampungan buatnya.”
Eriz berjalan cepat untuk menyeberang tapi belum sampai ke tengah jalan, Ginov menariknya ke pinggir. Sebuah mobil melaju cepat dan hampir menabraknya.
Eriz menatap garang. Membuat Ginov segera melepas tangannya dari lengan cewek itu. “Ada… mobil.”
“Lu baik-baik saja?!” Rifan muncul dan mengambil tempat di antara Eriz dan Ginov.
Eriz mengangguk sambil tersenyum samar.
Ginov membuang muka lalu pergi begitu saja. Tidak tahan melihat kedekatan itu. Terutama saat ia melihat ekspresi Rifan terhadapnya yang penuh kemenangan. Rasanya, ia ingin menarik Eriz sejauh mungkin dari cowok itu. Andai ia bisa.
Sebelum menggenapkan langkahnya jadi enam, Ginov berhenti. Lagi-lagi ia berharap sesuatu yang mustahil. Kemudian, sebelum ia sempat berpikir, kepalanya menoleh ke belakang.
Yang benar saja, batinnya. Eriz dan Rifan tidak ada lagi di tempat tadi.
Gaya bahasanya aku suka banget. Enak banget dibaca ????
Comment on chapter PROLOG