Kamu bukti nyata pengkhianatan. Mendekat dengan rayuan. Menetap dengan harapan. Kemudian tiba waktu untuk pergi, kamu kekang aku dengan kenangan. Maka biarkan aku membenci.
“Lu kenal Jean?”
Ginov bersuara pelan di samping Eriz. Cewek itu meletakkan buku yang dibacanya.
Sudah setengah jam mereka duduk di perpustakaan kota, dan ini pertama kali Ginov bertanya. Padahal sebelumnya, Eriz yang sering melakukan itu.
Tapi karena Ginov hanya bergumam tidak jelas, Eriz menyibukkan diri dengan buku dan mendiamkan cowok itu.
Kalau diingat-ingat, semakin lama mereka menjalin hubungan, Ginov semakin berubah.
Cowok itu kebanyakan diam dan Eriz sering mendapatinya senyam-senyum menatap layar ponsel.
“Kenal,” jawab Eriz sambil menoleh. “Dia anggota cheers, kan?”
Ginov mengangguk. Sekitar sepuluh detik ia diam sebelum menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. “Gue suka sama dia. Gue suka sama Jean, Riz.”
Rentetan kata itu terucap mulus dari bibir Ginov. Eriz mengerjap, menunggu kelanjutan kalimat tadi tanpa mengalihkan sedikit pun matanya.
Serius? Ini serius?
Dalam hati, Eriz mengerang frustrasi, menyadari bahwa Ginov tak akan meralat pengakuan tadi.
“Sejak kapan?” Eriz bertanya dengan suara kecil saat ia sudah menguasai diri. Mungkin saja Ginov bercanda, sedang mengujinya atau… iseng.
“Sudah lama,” jawab Ginov cepat. Kemudian bersandar, menatap lurus ke depan, tepat ke lemari buku-buku kesehatan. “Gue nggak bilang karena nggak mau nyakitin elu. Tapi katanya, berpura-pura tidak terjadi apa-apa sama saja dengan,—“
“Jadi selama ini lu pura-pura cinta sama gue?!” potong Eriz dengan suara meninggi. “Gitu maksud lu?”
Sebagian orang yang semula larut dalam bacaannya, memindahkan perhatiannya ke Eriz.
Biasanya mereka menegur kalau ada yang ribut, tapi sekarang tak ada satu pun yang bicara, seolah mengerti bahwa Eriz sudah cukup kacau tanpa perlu diganggu lagi.
Ginov menegakkan tubuh, menatap Eriz dengan ekspresi panik. “Enggak, enggak gitu, Riz.”
Eriz menutup buku dengan kasar lalu berdiri. Sambil menahan air matanya yang menumpuk agar tidak tumpah, ia buru-buru berjalan ke lemari terdekat dan menyelipkan buku yang belum diselesaikannya.
Eriz tidak peduli lagi buku tadi memang berasal dari lemari itu atau bukan. Yang harus ia lakukan sekarang adalah pergi secepat mungkin dari sana.
Eriz mengambil tasnya di lemari penitipan barang lalu berhenti sejenak di dekat pintu. Bodohnya, ia menoleh lagi ke arah Ginov yang ternyata hanya duduk tenang di kursinya sambil berkutat dengan ponsel.
Mungkin Ginov yang dikenalnya adalah topeng semata. Sedikit pun Eriz tidak pernah menduga kalau cowok itu setega ini. Eriz menguatkan hati dan melangkah pergi dari sana dengan tangan terkepal. Kakinya berjalan terus tanpa tahu ke mana tujuan akhirnya.
Begitu sampai di tepi jalan, Eriz berhenti. Ia menatap jalur kendaraan yang padat dengan pandangan kosong. Lalu ia teringat sesuatu.
Eriz memutar badan dan berjalan kembali ke arah perpustakaan.
Di depan perpustakaan ia berpapasan dengan Ginov yang baru saja keluar.
Eriz tidak mengulur waktu dan langsung bertanya, “Lu tetap memilih Jean meski gue bilang dia hanya manfaatin elu?”
Ginov tersenyum miring. “Tentu saja. Karena gue nggak percaya dia seperti itu.”
Sejenak Eriz merasa ada gumpalan yang amat mengganggu dalam dadanya. Mendobrak, mengacau di sana, seolah meminta diberi jalan keluar agar bisa menghantam wajah Ginov.
“Gue salah apa?” tanya Eriz walau ia lebih ingin mengakhiri percakapan ini.
Ginov mengangkat sebelah alis, menatap Eriz tanpa menampakkan sedikit pun rasa bersalahnya di wajah.
“Lu nggak salah, Riz. Hanya ….” Ia menggantung kalimatnya sambil mengernyit.
“Hanya bego,” sambung Eriz, tersenyum getir.
“Bego karena percaya sama omongan dan janji sampah lu?”
Ginov melirik ke sembarang arah, berupaya menghindari tatapan Eriz yang terus mengikutinya.
Ternyata gue memang bego. Eriz membatin, memilih pergi sebelum setan-setan mempengaruhinya agar memohon-mohon pada Ginov, sebab ia belum sanggup diputuskan secepat ini.
Dalam upaya keluar dari perpustakaan, Eriz mendengar dering ponselnya. Rupanya dari Azka. Eriz menjawab panggilan itu sambil melambatkan langkah.
“Kak Eroz di rumah sakit…” ucap Azka lirih.
Mengira dibercandai, Eriz bertanya, “Ngapain? Mau ngelamar jadi dokter di sana?”
Sejak dulu, Eros bercita-cita jadi dokter, tapi takdir menyeretnya ke jurusan lain. Untuk membuat jengkel sang kakak, Eriz sering mengungkit kata ‘dokter’.
Azka diam sejenak lalu terdengar seperti menarik napas panjang. “Parah…”
Suara Azka bergetar. Eriz refleks berhenti, menyadari ada yang tidak beres dari cara cowok itu berbicara.
“Kecelakaan…”
“Dan sekarang… belum sadar.”
___________________
:) bagian ini sudah kurevisi tapi akan direvisi lagi kok. Hehe. Pokoknya revisi terus sampai bagus.
Kalau ada kritik, silakan ditulis yaaaaa.
Gaya bahasanya aku suka banget. Enak banget dibaca ????
Comment on chapter PROLOG