Aku masih termangu bingung di tempat dudukku sambil menopang dagu dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya membolak-balikkan buku tanpa niat membaca sama sekali. Masih memikirkan kegiatan apa yang harus aku lakukan di semester ini. Semester terakhir di saat-saat SMA. Oke, mungkin kalian akan langsung berteriak ‘LES’ secara serentak. Tapi sori-sori saja, otakku sudah cukup jenius kalau hanya diisi dengan pengulangan materi UN dari semester satu. Yah..bukannya mau nyombong sih.. tapi teman-temanku nggak menyangkal hal itu kok! Karena dengan kejeniusanku ini tak dinyana lagi aku selalu menyabet peringkat pertama dari kelas satu. Jadi, ketimbang aku memikirkan pelajaran yang itu-itu saja, akan lebih baik jika aku mengisi waktu luangku dengan hal baru yang berguna untuk jiwa dan raga. Oke, sepertinya aku mulai lebay. Saat sedang nikmat-nikmatnya berpikir, tiba-tiba saja aku merasa tepukan pelan di bahuku. Aku menoleh dan mendapati Sri sohibku di SMA ini menyunggingkan senyum paling menawannya, aku nyengir garing.
“Kenapa lo? Pagi-pagi udah ngelamun?” Tanyanya seraya meletakkan ransel dan pantatnya di kursi sebelahku. Aku masih membolak-balikkan bukuku dengan malas. “Oh iya! Entar lo pulang bisa sekalian anterin gue ke kafe nggak?” TING! Punggungku langsung menegak. Aku memandang Sri dengan mata berkaca-kaca (oke, tak seperti itu kenyataanya) dan merangkum pipinya dengan kedua tanganku, Sri nampak kaget. “Lo kenapa sih?” Tanyanya dengan mulut ikan mas koki akibat rangkuman tanganku.
“Terimakasih Tuhan! Karena telah mengirimkan sahabat seperti Sri ini. Walaupun agak aneh, dia berguna Tuhan..!.” jawabku nggak nyambung. Dengan segera jidatku terkena toyorannya.
“Oh... jadi lo minat mau ikut gue kerja part time di kafe gue?” Ujar Sri setelah kuceritakan perihal tingkah absurd-ku di kelas tadi pagi.
“Kafe Bos lo!” Ralatku dengan mengaduk jus jeruk di hadapanku. Dia cuma melengos.
“Lagian kenapa sih? Lo kan nggak kekurangan suatu apapun. Kalau lo mau, lo bisa bangun kafe sendiri. Beda sama gue.” Kata Sri selanjutnya. Aku menyipitkan mata.
“Lo nggak lagi ngeluh kan Sri?” Merasa aneh dengan kata-katanya. “Iya, gue tahu. Tapi kan itu duit bokap gue, bukan punya gue.” Lanjutku kemudian.
“Tapi kan menurut orang tua lo, harta mereka adalah harta lo juga.” Sri mulai mengeluarkan statement. Aku mengerjap-ngerjapkan mata merasa aneh.
“Lo bener mengenai hal itu, tapi gue juga kan harus belajar Sri. Siapa yang tahu masa depan?” Balasku dengan statement juga. Sementara Sri menatapku dengan senyum mengembang.
“Gue tahu kok, lo pasti bakal jawab kaya gitu.” Katanya kemudian. Aku mendengus.
“Emangnya gue segampang itu ditebak ya?!” teriakku dengan geram. Sementara Sri terkikik geli.
“Hmm..” dia berpikir sejenak. “ sedikit.” Lanjutnya sambil mengacungkan ibu jari dan telunjuk bersamaan membentuk huruf U dengan mata menyipit sebelah. Aku mendesis.
Oke, jadi benar Sri adalah teman plus sebagai sahabatku sejak kami sama-sama menginjakkan kaki di SMA ini yang dulunya merupakan peradaban asing bagi kami. Karena aku membutuhkan proses adaptasi yang sangat cepat, jadilah aku mengandalkan kemampuan-sok-kenal-sok-deket-ku kepada Sri dan langsung saja kami menjadi begitu akrab. Apalagi saat itu aku dan Sri berada pada satu kelompok MOS. Hingga saat ini di kelas tiga SMA aku dan Sri masih menjalin persahabatan dengan baik. Kami saling mengunjungi rumah satu sama lain, bahkan menginap di salah satu rumah dari kami terkadang menjadi kegiatan rutin di malam minggu. Walaupun Sri bukan berasal dari keluarga yang berada seperti kebanyakan temanku di sekolah, namun dia memiliki kepribadian yang baik dari kebanyakan temanku yang lainnya. Sehingga aku semakin merasa nyaman bermain dan bersahabat dengannya. Dan seperti yang sudah dikatakan, bahwa ia bekerja sebagai karyawan di sebuah kafe yang meurutku lumayan terkenal. Walaupun hanya bekerja part time, semua ini ia lakukan untuk membantu perekonomian keluarganya. Sedangkan aku, masih berlindung di ketiak orang tuaku. Malu sih.. mengakuinya, kalau kepribadiannya memang jauh lebih baik dibandingkan aku. Tapi, aku bangga mempunyai sahabat sepertinya.
“Tuh kan, bengong lagi!” kali ini dia mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku berkedip lalu tersenyum dan melanjutkan meminum jus jerukku yang hampir habis.
“Tapi benar kan? Kalo kafe di tempat lo kerja ada lowongan part time?” tanyaku sekali lagi dan di jawab Sri dengan anggukan kepala. “Syukur deh, untung aja lo bilang kalo pekerja part time di situ ada yang keluar, jadi gue bisa masuk” lanjutku. Sementara Sri memandangku aneh. “Ups.. sorry. Bukan maksud gue bahagia dalam penderitaan orang lain. Tapi bukan salah gue kan kalau orang itu mengundurkan diri, sementara gue butuh pekerjaan? ”ujarku bela diri. Sri hanya melengos. “Gue rasa, gue berjodoh deh sama kafe itu!” kataku kemudian yang membuat Sri memandangku dengan tatapan udah-mulai-gila-kayaknya-ini, dan membuatku hanya nyengir kuda.
*
Aku dan Sri sudah berdiri di depan kafe yang bertuliskan Dreamy Cafe besar-besar, kafe tempat Sri bekerja. Letaknya cukup strategis, berada di pinggir jalan protokol seperti ini sih sudah pasti ramai binggo. Dan sudah dapat dipastikan aku bakalan sibuk seharian. Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Sri menoleh padaku dan mengisyaratkan padaku untuk masuk. Saat Sri akan membuka pintu, pintunya justru terbuka terlebih dahulu dan menampakkan sosok malaikat sempurna dengan senyuman termanis di dunia ini. Kenapa aku harus lemah dengan sebuah senyuman sih? Sri hampir terlonjak mundur dan menabrakku karena kaget.
“Hai Sri, udah datang? Yuk masuk!” suara si malaikat merdu banget, kemudian dia mengalihkan pandangan padaku, dilanjutkan dengan menatap Sri dengan pandangan meminta jawaban. Sri hanya nyengir lalu menggandengku masuk, dan membuat si malaikat langsung menyingkir dari pintu. Sementara aku berjalan dengan pandangan melihat ke bawah.
“Mas Risky, kenalin ini temanku yang bakalan nggantiin mbak Ery.” Sri memulai perbincangan ini. Mas Risky yang kukira namanya adalah malaikat tersenyum padaku, dia mengenakan semacam celemek di pinggangnya, mungkin semacam identitas karyawan di kafe ini, penampilannya yang segar tentu memanjakan pandanganku. Bahkan kemeja hitam yang dikenakannya terlihat sangat mahal dan berkelas dimataku, hampir saja aku meneteskan air liur kalau dia tidak segera mengulurkan tangannya untuk menyalamiku. Sebenarnya aku agak kikuk mengenai situasi ini. Bagaimana tidak, seorang prince charm gitu loh. Namun kuputuskan menjabat tangannya, ketimbang aku dikenal dengan anak-baru-sok-keren-yang-masih-SMA-dan-bau-kencur.
“Aura,” kataku singkat di sela-sela jabatan tangan kami. Aku masih menggenggam tangannya yang besar dan hangat. Lalu dengan segera aku melepaskannya. Mas malaikat hanya tersenyum manis (menurutku). Setelah resmi menjabat tangannya kemudian aku mulai memperhatikan se-isi kafe ini, keadaanya masih sama dengan yang terakhir kali saat aku mampir ke sini untuk melihat Sri bekerja. Desain interior yang minimalis ini sekali lagi memanjakan mataku, ruangan yang tidak terlalu besar ini di penuhi dengan meja kayu panjang yang mengkilap karena dipernis dengan sangat apik. Begitupun kursinya, kursi-kursinya didesain memanjang disesuaikan dengan mejanya. Hanya ada beberapa meja dan kursi kayu yang didesain untuk pelanggan pasangan, selebihnya dikhususkan untuk sekelompok orang. Sedangkan bagian atapnya yang transparan dihiasi dengan lampion-lampion besar yang bagus. Akan terlihat bersinar jika malam tiba karena lampionnya akan menyala dan memancarkan sinar yang indah. Di dekat pintu masuk terdapat meja kasir dengan kursi serta mesin kasir diatas meja kayu yang didesain dengan apik, ada bunga krisan ungu dalam vas yang diletakkan diatasnya. Tak jauh dari meja kasir terdapat counter pemesanan yang juga terdapat etalase untuk beberapa makanan ringan. Selain itu di beberapa sudut ruangan terdapat tumbuhan hidup yang sengaja diletakkan untuk menambah kesan kesegaran.
Setelah puas menikmati kesegaran se-isi ruangan kafe ini, aku mulai mengalihkan pandangan pada Sri yang masih menatapku dengan alis terangkat sebelah. Sedangkan mas malaikat tadi sudah tidak ada diantara kami. Lalu dengan gerakan cepat Sri menarikku menuju pintu dibelakang counter, hampir saja aku jatuh terseret kalau saja sistem saraf refleks-ku tidak bagus. Saat ini aku sudah masuk ke sebuah ruangan yang kalau dilihat-lihat dari bentuk dan isinya adalah dapur. Walaupun ukuran ruangan ini tidak terlalu besar, namun sangat rapi dengan peralatan masak seperti pemanggang, oven serta alat-alat memasak sederhana lainnya yang omong-omong aku tidak begitu tahu tersusun dengan rapi. Ehem.. baiklah ku akui bahwa aku tidak begitu mahir dalam urusan memasak, walaupun dalam urusan rumah tangga lainnya aku nggak bisa dibilang buruk sih. Sedangkan disebelah kiri dapur ini terdapat pintu yang tertuliskan “Ruang Ganti”. Lalu di sebelah kanan dapur terdapat pintu juga yang bertuliskan “toilet”, tentu ini untuk karyawan kan? Tidak mungkin pengunjung memakai toilet ini juga, karena mereka akan melewati dapur kafe. Sri menarikku ke ruang ganti, di dalamnya terdapat beberapa loker yang saling memunggunggi. Di sebelah kiri untuk karyawan laki-laki sedangkan yang kanan untuk karyawan perempuan, tentu saja aku yang sebelah kanan, begitu juga Sri.
“Kok lokernya ada empat Sri?” tanyaku mengenai loker di bagian karyawan perempuan yang berjumlah empat.
“Iya, yang nomor 1 punya mbak Lana, nomor 2 mbak Asti, 3 aku, lo di nomor 4.” Jawabnya singkat. Aku mengangguk mengerti.
“Mbak Lana itu yang megang bagian menghidangkan makanan yang dipesan pengunjung. Alias sebagai juru masak bareng sama mas Risky yang tadi.” Sri melanjutkan menjelaskan. “Sedangkan mbak Asti sebagai barista-nya sama mas Anca, juga buat segala jenis minuman yang ada itu mereka yang bakal handle.” Lanjutnya seraya mengganti seragamnya dengan pakaian yang sudah dia persiapkan untuk kerja, tak ketinggalan celemek hitam terpasang dengan anggun di pinggangnya. “Tapi itu juga bukan berarti kita bakal enak-enakan aja, kalau mereka lagi crowdid banget yah.. kita harus bantu.” Untuk kesekian kalinya aku mengagguk mengerti. “Sedangkan gue, lo dan mas Raka bakal jadi distributor alias menyalurkan makanan kepada para pelanggan yang terhormat. Dan mas Egi yang memegang urusan kasir.” Sri mengakhiri penjelasannya.
“Terus gue sekarang ngapain?” tanyaku bingung mengenai tugas hari perdanaku di sini. Yang ditanya justru mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi dan menyunggingkan senyum mengerikan. Auhh... perasaanku tidak enak.
*
Aku masih termangu bingung di tempat dudukku sambil menopang dagu dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya membolak-balikkan buku tanpa niat membaca sama sekali. Masih memikirkan kegiatan apa yang harus aku lakukan di semester ini. Semester terakhir di saat-saat SMA. Oke, mungkin kalian akan langsung berteriak ‘LES’ secara serentak. Tapi sori-sori saja, otakku sudah cukup jenius kalau hanya diisi dengan pengulangan materi UN dari semester satu. Yah..bukannya mau nyombong sih.. tapi teman-temanku nggak menyangkal hal itu kok! Karena dengan kejeniusanku ini tak dinyana lagi aku selalu menyabet peringkat pertama dari kelas satu. Jadi, ketimbang aku memikirkan pelajaran yang itu-itu saja, akan lebih baik jika aku mengisi waktu luangku dengan hal baru yang berguna untuk jiwa dan raga. Oke, sepertinya aku mulai lebay. Saat sedang nikmat-nikmatnya berpikir, tiba-tiba saja aku merasa tepukan pelan di bahuku. Aku menoleh dan mendapati Sri sohibku di SMA ini menyunggingkan senyum paling menawannya, aku nyengir garing.
“Kenapa lo? Pagi-pagi udah ngelamun?” Tanyanya seraya meletakkan ransel dan pantatnya di kursi sebelahku. Aku masih membolak-balikkan bukuku dengan malas. “Oh iya! Entar lo pulang bisa sekalian anterin gue ke kafe nggak?” TING! Punggungku langsung menegak. Aku memandang Sri dengan mata berkaca-kaca (oke, tak seperti itu kenyataanya) dan merangkum pipinya dengan kedua tanganku, Sri nampak kaget. “Lo kenapa sih?” Tanyanya dengan mulut ikan mas koki akibat rangkuman tanganku.
“Terimakasih Tuhan! Karena telah mengirimkan sahabat seperti Sri ini. Walaupun agak aneh, dia berguna Tuhan..!.” jawabku nggak nyambung. Dengan segera jidatku terkena toyorannya.
“Oh... jadi lo minat mau ikut gue kerja part time di kafe gue?” Ujar Sri setelah kuceritakan perihal tingkah absurd-ku di kelas tadi pagi.
“Kafe Bos lo!” Ralatku dengan mengaduk jus jeruk di hadapanku. Dia cuma melengos.
“Lagian kenapa sih? Lo kan nggak kekurangan suatu apapun. Kalau lo mau, lo bisa bangun kafe sendiri. Beda sama gue.” Kata Sri selanjutnya. Aku menyipitkan mata.
“Lo nggak lagi ngeluh kan Sri?” Merasa aneh dengan kata-katanya. “Iya, gue tahu. Tapi kan itu duit bokap gue, bukan punya gue.” Lanjutku kemudian.
“Tapi kan menurut orang tua lo, harta mereka adalah harta lo juga.” Sri mulai mengeluarkan statement. Aku mengerjap-ngerjapkan mata merasa aneh.
“Lo bener mengenai hal itu, tapi gue juga kan harus belajar Sri. Siapa yang tahu masa depan?” Balasku dengan statement juga. Sementara Sri menatapku dengan senyum mengembang.
“Gue tahu kok, lo pasti bakal jawab kaya gitu.” Katanya kemudian. Aku mendengus.
“Emangnya gue segampang itu ditebak ya?!” teriakku dengan geram. Sementara Sri terkikik geli.
“Hmm..” dia berpikir sejenak. “ sedikit.” Lanjutnya sambil mengacungkan ibu jari dan telunjuk bersamaan membentuk huruf U dengan mata menyipit sebelah. Aku mendesis.
Oke, jadi benar Sri adalah teman plus sebagai sahabatku sejak kami sama-sama menginjakkan kaki di SMA ini yang dulunya merupakan peradaban asing bagi kami. Karena aku membutuhkan proses adaptasi yang sangat cepat, jadilah aku mengandalkan kemampuan-sok-kenal-sok-deket-ku kepada Sri dan langsung saja kami menjadi begitu akrab. Apalagi saat itu aku dan Sri berada pada satu kelompok MOS. Hingga saat ini di kelas tiga SMA aku dan Sri masih menjalin persahabatan dengan baik. Kami saling mengunjungi rumah satu sama lain, bahkan menginap di salah satu rumah dari kami terkadang menjadi kegiatan rutin di malam minggu. Walaupun Sri bukan berasal dari keluarga yang berada seperti kebanyakan temanku di sekolah, namun dia memiliki kepribadian yang baik dari kebanyakan temanku yang lainnya. Sehingga aku semakin merasa nyaman bermain dan bersahabat dengannya. Dan seperti yang sudah dikatakan, bahwa ia bekerja sebagai karyawan di sebuah kafe yang meurutku lumayan terkenal. Walaupun hanya bekerja part time, semua ini ia lakukan untuk membantu perekonomian keluarganya. Sedangkan aku, masih berlindung di ketiak orang tuaku. Malu sih.. mengakuinya, kalau kepribadiannya memang jauh lebih baik dibandingkan aku. Tapi, aku bangga mempunyai sahabat sepertinya.
“Tuh kan, bengong lagi!” kali ini dia mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku berkedip lalu tersenyum dan melanjutkan meminum jus jerukku yang hampir habis.
“Tapi benar kan? Kalo kafe di tempat lo kerja ada lowongan part time?” tanyaku sekali lagi dan di jawab Sri dengan anggukan kepala. “Syukur deh, untung aja lo bilang kalo pekerja part time di situ ada yang keluar, jadi gue bisa masuk” lanjutku. Sementara Sri memandangku aneh. “Ups.. sorry. Bukan maksud gue bahagia dalam penderitaan orang lain. Tapi bukan salah gue kan kalau orang itu mengundurkan diri, sementara gue butuh pekerjaan? ”ujarku bela diri. Sri hanya melengos. “Gue rasa, gue berjodoh deh sama kafe itu!” kataku kemudian yang membuat Sri memandangku dengan tatapan udah-mulai-gila-kayaknya-ini, dan membuatku hanya nyengir kuda.
*
Aku dan Sri sudah berdiri di depan kafe yang bertuliskan Dreamy Cafe besar-besar, kafe tempat Sri bekerja. Letaknya cukup strategis, berada di pinggir jalan protokol seperti ini sih sudah pasti ramai binggo. Dan sudah dapat dipastikan aku bakalan sibuk seharian. Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Sri menoleh padaku dan mengisyaratkan padaku untuk masuk. Saat Sri akan membuka pintu, pintunya justru terbuka terlebih dahulu dan menampakkan sosok malaikat sempurna dengan senyuman termanis di dunia ini. Kenapa aku harus lemah dengan sebuah senyuman sih? Sri hampir terlonjak mundur dan menabrakku karena kaget.
“Hai Sri, udah datang? Yuk masuk!” suara si malaikat merdu banget, kemudian dia mengalihkan pandangan padaku, dilanjutkan dengan menatap Sri dengan pandangan meminta jawaban. Sri hanya nyengir lalu menggandengku masuk, dan membuat si malaikat langsung menyingkir dari pintu. Sementara aku berjalan dengan pandangan melihat ke bawah.
“Mas Risky, kenalin ini temanku yang bakalan nggantiin mbak Ery.” Sri memulai perbincangan ini. Mas Risky yang kukira namanya adalah malaikat tersenyum padaku, dia mengenakan semacam celemek di pinggangnya, mungkin semacam identitas karyawan di kafe ini, penampilannya yang segar tentu memanjakan pandanganku. Bahkan kemeja hitam yang dikenakannya terlihat sangat mahal dan berkelas dimataku, hampir saja aku meneteskan air liur kalau dia tidak segera mengulurkan tangannya untuk menyalamiku. Sebenarnya aku agak kikuk mengenai situasi ini. Bagaimana tidak, seorang prince charm gitu loh. Namun kuputuskan menjabat tangannya, ketimbang aku dikenal dengan anak-baru-sok-keren-yang-masih-SMA-dan-bau-kencur.
“Aura,” kataku singkat di sela-sela jabatan tangan kami. Aku masih menggenggam tangannya yang besar dan hangat. Lalu dengan segera aku melepaskannya. Mas malaikat hanya tersenyum manis (menurutku). Setelah resmi menjabat tangannya kemudian aku mulai memperhatikan se-isi kafe ini, keadaanya masih sama dengan yang terakhir kali saat aku mampir ke sini untuk melihat Sri bekerja. Desain interior yang minimalis ini sekali lagi memanjakan mataku, ruangan yang tidak terlalu besar ini di penuhi dengan meja kayu panjang yang mengkilap karena dipernis dengan sangat apik. Begitupun kursinya, kursi-kursinya didesain memanjang disesuaikan dengan mejanya. Hanya ada beberapa meja dan kursi kayu yang didesain untuk pelanggan pasangan, selebihnya dikhususkan untuk sekelompok orang. Sedangkan bagian atapnya yang transparan dihiasi dengan lampion-lampion besar yang bagus. Akan terlihat bersinar jika malam tiba karena lampionnya akan menyala dan memancarkan sinar yang indah. Di dekat pintu masuk terdapat meja kasir dengan kursi serta mesin kasir diatas meja kayu yang didesain dengan apik, ada bunga krisan ungu dalam vas yang diletakkan diatasnya. Tak jauh dari meja kasir terdapat counter pemesanan yang juga terdapat etalase untuk beberapa makanan ringan. Selain itu di beberapa sudut ruangan terdapat tumbuhan hidup yang sengaja diletakkan untuk menambah kesan kesegaran.
Setelah puas menikmati kesegaran se-isi ruangan kafe ini, aku mulai mengalihkan pandangan pada Sri yang masih menatapku dengan alis terangkat sebelah. Sedangkan mas malaikat tadi sudah tidak ada diantara kami. Lalu dengan gerakan cepat Sri menarikku menuju pintu dibelakang counter, hampir saja aku jatuh terseret kalau saja sistem saraf refleks-ku tidak bagus. Saat ini aku sudah masuk ke sebuah ruangan yang kalau dilihat-lihat dari bentuk dan isinya adalah dapur. Walaupun ukuran ruangan ini tidak terlalu besar, namun sangat rapi dengan peralatan masak seperti pemanggang, oven serta alat-alat memasak sederhana lainnya yang omong-omong aku tidak begitu tahu tersusun dengan rapi. Ehem.. baiklah ku akui bahwa aku tidak begitu mahir dalam urusan memasak, walaupun dalam urusan rumah tangga lainnya aku nggak bisa dibilang buruk sih. Sedangkan disebelah kiri dapur ini terdapat pintu yang tertuliskan “Ruang Ganti”. Lalu di sebelah kanan dapur terdapat pintu juga yang bertuliskan “toilet”, tentu ini untuk karyawan kan? Tidak mungkin pengunjung memakai toilet ini juga, karena mereka akan melewati dapur kafe. Sri menarikku ke ruang ganti, di dalamnya terdapat beberapa loker yang saling memunggunggi. Di sebelah kiri untuk karyawan laki-laki sedangkan yang kanan untuk karyawan perempuan, tentu saja aku yang sebelah kanan, begitu juga Sri.
“Kok lokernya ada empat Sri?” tanyaku mengenai loker di bagian karyawan perempuan yang berjumlah empat.
“Iya, yang nomor 1 punya mbak Lana, nomor 2 mbak Asti, 3 aku, lo di nomor 4.” Jawabnya singkat. Aku mengangguk mengerti.
“Mbak Lana itu yang megang bagian menghidangkan makanan yang dipesan pengunjung. Alias sebagai juru masak bareng sama mas Risky yang tadi.” Sri melanjutkan menjelaskan. “Sedangkan mbak Asti sebagai barista-nya sama mas Anca, juga buat segala jenis minuman yang ada itu mereka yang bakal handle.” Lanjutnya seraya mengganti seragamnya dengan pakaian yang sudah dia persiapkan untuk kerja, tak ketinggalan celemek hitam terpasang dengan anggun di pinggangnya. “Tapi itu juga bukan berarti kita bakal enak-enakan aja, kalau mereka lagi crowdid banget yah.. kita harus bantu.” Untuk kesekian kalinya aku mengagguk mengerti. “Sedangkan gue, lo dan mas Raka bakal jadi distributor alias menyalurkan makanan kepada para pelanggan yang terhormat. Dan mas Egi yang memegang urusan kasir.” Sri mengakhiri penjelasannya.
“Terus gue sekarang ngapain?” tanyaku bingung mengenai tugas hari perdanaku di sini. Yang ditanya justru mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi dan menyunggingkan senyum mengerikan. Auhh... perasaanku tidak enak.
*