Sentul, Bogor-Indonesia.
Karina dan Maya sedang berdiri mengikuti antrian pintu masuk. Keduanya terlihat tidak sabar untuk bisa segera masuk ke dalam.
“Kamu tahu Karina, rasanya aku ingin sekali menerobos antrian. Kamu lihat sendiri, ‘kan? Antriannya panjang banget,” celetuk Maya tak sabar.
Karina mengangguk tanpa menoleh ke arah Maya yang berada di belakangnya. “Ya, kamu benar, May.”
“Benarkah? Tapi seperti yang kulihat sekarang kamu tidak seantusias saat kamu pertama kali mengetahui akan diadakannya konser ini.”
“Masa sih?” Karina memutar kepalanya menoleh ke arah Maya. “Itu hanya perasaanmu saja, kamu tahu sendiri betapa aku sangat menantikan konser ini,” lanjutnya lalu kembali ke posisi awal menoleh antrian panjang di depannya.
Maya hanya mengangguk dengan sedikit terpaksa. Sebenarnya ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Karina darinya. Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa membuat Karina memberitahukan apa yang sedang disembunyikan oleh sahabatnya itu.
Karina seakan tak mempedulikan antrian panjang yang ada dihadapannya saat ini. Sorot matanya terus mengitari sekeliling mencari seseorang yang sangat diharapkan kedatangannya. Walaupun sebenarnya ia sendiri tidak yakin seseorang itu benar-benar akan datang.
“Karina!” teriak Maya menyadarkannya untuk fokus pada antrian. “Ayo, majulah ke depan,” pinta Maya. Karina pun segera mendekati Maya yang berada satu langkah di depannya. Meski ia bingung kenapa Maya sudah berada di depannya.
“Kamu ini lagi cari apa sih sebenarnya?” tanya Maya dengan kesal.
“Tidak ada,” jawab Karina begitu cepat.
“Kalau kamu tetap seperti tadi, antrianmu akan diserobot oleh orang lain.” Maya memutar kepalanya sedikit agar ia bisa melihat ekspresi wajah Karina yang terlihat berbeda hari ini dari ekor matanya. “Kamu ini bagaimana sih? Kamu bahkan sampai tidak tahu kalau aku sudah berada di depanmu.” Maya berdecak heran dan menggelengkan kepalanya. Ia belum pernah menghadapi tingkah sahabatnya yang seperti ini.
Karina merapatkan posisinya mendekati Maya, lalu meletakkan tangannya di bahu Maya. Ia memang merasa bersalah karena telah membuat Maya bingung. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia harus bersikap seperti ini. Mengharapkan sesuatu yang tidak pasti dan hanya akan membuatnya kecewa. Namun, ia tidak ingin kalau sikap bodohnya ini diketahui oleh Maya. “Maaf. Tadi aku hanya memperhatikan sekitar kita saja. Ternyata banyak sekali orang yang ingin menonton konser ini.” Karina mencoba tersenyum polos sebisa mungkin.
Maya bisa melihat senyum itu dari ekor matanya. Ia tahu ada sesuatu yang benar-benar disembunyikan oleh sahabatnya itu dibalik senyum polosnya. Namun Maya memilih untuk diam karena ia tahu saat ini dan di tempat antrian panjang ini bukanlah waktu yang tepat untuk bisa mendesak Karina mengatakan yang sebenarnya pada dirinya.
* * *
Karina dan Maya sudah berada di dalam gedung setelah beberapa jam lamanya mereka mengantri. Mereka duduk di kursi bagian depan.
Sebentar lagi konsernya akan dimulai. Orang-orang mulai memadati gedung. Dan Karina masih tetap memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang yang dinantikan oleh Karina.
‘Jangan berharap sesuatu yang tidak pasti, Karin. Dia tidak akan ada disini dan itu tidak mungkin. Lagipula, bagaimana mungkin aku bisa memastikan dia ada disini atau tidak diantara ribuan orang yang ada disini,’ pikir Karina dalam hati.
‘Sudahlah Karina. Lupakan hal itu. Sebentar lagi aku akan melihat idolaku di atas panggung dan itu jauh lebih penting sekarang. Titik.’ Karina mencoba menghibur dirinya sendiri.
Sebagian lampu mulai dimatikan, menandakan konser dimulai. Penonton pun mulai bersorak riang. Termasuk Karina yang mulai tidak sabar melihat Shah Rukh Khan– idolanya tampil di atas panggung yang megah ini. Dekorasi panggung yang mewah dan megah khusus diperuntukkan kepada superstar bollywood ini.
Karina sudah lama menantikan konser ini, karena inilah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk bisa melihat langsung idolanya. Ia pun telah melupakan semua masalah yang terjadi dan matanya mulai berkaca-kaca begitu melihat sang idola muncul dan menyapa para penonton yang hadir disini. Karina pun kemudian menyalakan video cam yang ia bawa untuk mengabadikan momen ini.
Sekitar satu jam sudah konser ini dimulai dan ia pun masih terus tetap merekam sang idolanya yang sedang menari. Penonton pun tidak henti-hentinya bersorak riang. Sang idola berada dipanggung dengan memakai jas dan dasi kupu-kupu yang dilepas. Beliau dengan lembut dan lihainya menarikan ‘Chammak Challo’ di atas panggung.
Walaupun dengan usia yang sudah dikatakan tidak muda lagi, namun sang idola yang satu ini masih terlihat keren dan terlihat berjiwa muda. Tidak ada yang mengingat bahwa superstar yang satu ini telah memiliki seorang istri dan tiga orang anak karena beliau memiliki kharismatik yang luar biasa sehingga begitu terlihat mempesona terutama dimata kaum hawa.
Selesai dengan performance Chammak Challo, sang idola kembali ke backstage. Namun, suara riuh penonton tetap terdengar. Ternyata bukan karena sang idola kembali ke panggung, tetapi seorang pria sudah berada di atas panggung.
“Karin, benarkah yang kulihat di atas panggung itu …,” Maya menghentikan ucapannya begitu melihat ekspresi wajah Karina yang sama tidak percaya sepertinya. Dan itu menandakan apa yang dilihatnya adalah benar. Tidak salah lagi bahwa ia benar-benar melihat seseorang yang ia kenal.
Karina tidak bisa melihat begitu jelas wajah pria tersebut, namun ia yakin bahwa pria itu adalah seseorang yang sedari tadi dinantikan olehnya. Ia sungguh tidak percaya bahwa pria itu telah memenuhi janjinya untuk datang kemari, ke konser ini.
* * *
Saat sang idola sudah tak terlihat di atas panggung, Arshad menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan yang ia miliki untuk bisa naik ke atas panggung. Arshad kemudian menyelinap diantara para penonton. Ia pun segera melompati pagar pembatas dan terus berjalan ke depan naik ke atas panggung. Tidak ada yang memperhatikannya melompati pagar itu.
Suara tawa penonton terdengar riuh. Malik yang masih berada di antara para penonton sangat terkejut melihat temannya itu sudah berada di atas panggung. Dia benar-benar tidak habis pikir temannya akan berbuat begitu.
Tidak mudah bagi Arshad untuk mengutarakan maksudnya. Terlihat ada perbincangan antara Arshad dan beberapa orang di atas panggung, termasuk dengan pihak keamanan. Namun, tidak berapa lama terilhat Arshad menerima microphone yang diberikan oleh sang pemandu acara.
Kini, Arshad telah berada di tengah-tengah panggung. Ia memandang sekeliling penonton yang berada di hadapannya.
“Maaf, kalau aku membuat kalian semua merasa terganggu dengan kehadiranku di atas panggung ini. Mungkin kalian bingung dan bertanya-tanya kenapa aku berada di atas panggung ini.”
Arshad menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Aku berada disini dengan penuh harap agar seseorang yang sedang ingin kutemui mengerti alasan mengapa aku harus melakukan hal ini. Aku yakin dia ada disini dan melihatku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi caranya untuk bisa menemukannya di antara banyak orang yang ada disini. Aku datang kemari untukmu. Kalau kamu tidak ingin menemuiku disini, kumohon temuilah aku setelah konser ini.”
Suasana masih hening, semua pasang mata sibuk mencari siapa sebenarnya seseorang yang dimaksud itu.
Arshad memejamkan matanya sejenak. ‘Ya Allah, jika dia adalah takdirku, maka bantulah aku untuk bisa melihatnya dari sini,’ pinta Arshad dalam hati. Ia begitu terkejut tiba-tiba saja lampu penonton dinyalakan. Ia kemudian tersenyum ke arah sang idola yang berada disampingnya dan sang idola pun membalasnya dengan senyuman sambil mengerlingkan mata ke arahnya. Arshad yakin bahwa sang idola telah membantunya dengan meminta para kru untuk menyalakan lampu.
Arshad segera mencari Karina dengan fokus. Sorot matanya mulai memperhatikan penonton dari sebelah kanannya. Perlahan ia menyusuri satu per satu kursi penonton, berusaha untuk tidak melewatkan sebaris pun. Kini pandangannya terarah pada bangku penonton yang berada di barisan depan.
Pandangannya telah berhenti tepat di barisan pertama di sebelah kiri. Ia memperhatikan dengan baik sosok wanita berhijab yang tertunduk seperti sedang memperhatikan sesuatu di tangannya. Pandangannya tidak ingin beralih ke yang lain, ia tetap terus memperhatikan wanita berhijab itu.
Sebersit keyakinan menyelinap di hatinya bahwa wanita berhijab itu adalah sosok wanita yang dicarinya. Dan keyakinan itu pun semakin penuh ketika ia melihat sosok wanita berhijab itu berdiri dengan cepat dan segera bergegas pergi ke arah pintu keluar.
* * *
“Kamu dengar itu, Karin? Aku yakin seseorang yang dimaksud olehnya itu pasti kamu,” lontar Maya yang tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Karina hanya bisa terdiam, ia tidak menyangka hal ini akan terjadi. Sungguh ia tidak mempercayai semua ini. Ia menunduk mencoba untuk tidak memandang ke arah panggung. ‘Arshad tidak tahu dimana posisiku. Dia tidak boleh menemukanku berada disini.’ Otaknya mulai berpikir apa yang harus dilakukannya.
Maya menyadari tangannya telah dipegang oleh Karina. Dingin. Itulah yang dirasakan oleh Maya. Meski samar, namun Maya masih bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah sahabatnya yang tertunduk seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia tahu apa yang ada dipikiran sahabatnya. “Kamu ingin kita pergi dari sini?” tanya Maya.
Karina mengangguk tanpa menoleh ke arah Maya yang berbicara padanya.
“Tetapi semua penonton disini akan mengira bahwa yang sedang dicari olehnya itu adalah kamu.” Maya berusaha memberitahukan kepada Karina.
“Mereka tidak akan bisa melihat kita dengan jelas. Lagipula, mereka juga tidak tahu apakah seseorang itu aku atau kamu,” tukas Karina.
“Baiklah, kalau begitu kita harus bergerak sekarang,” ucap Maya tegas.
Baru saja Karina ingin menarik tangan Maya untuk beranjak pergi, tiba-tiba saja semuanya menjadi terang. Lampu penonton telah dinyalakan. Spontan kedua sahabat itupun langsung menoleh ke arah panggung.
“Astaga. Di…dia melihat kita. Kamu lihat itu Karin, dia sedang menatap ke a…rahmu,” ucap Maya terbata-bata.
Benar, pandangan mereka akhirnya bertemu. Karina melihat Arshad yang sedang memandangnya penuh harap.
“Aku menemukanmu.” Arshad tersenyum gembira begitu melihat Karina.
Jantung Karina berdegup semakin kencang mendengar kata yang diucapkan oleh Arshad walaupun dalam bahasa hindi. Ia langsung panik dan mengatakan pada Maya, “Ayo, kita segera pergi dari sini.”
“Ruk jaa. Please, ruk jao na, Karin (Berhentilah. Aku mohon, berhentilah, Karin),” pinta Arshad yang melihat Karina sudah berdiri dan melangkah membelakanginya.
Karina masih tetap terus berjalan diikuti oleh Maya yang menemaninya. Dia ingin berbalik, tetapi ia tidak ingin terlalu mudah mengikuti kata hatinya. Pikirannya masih tetap saja menolak untuk tidak segera berbalik. Ia sendiri masih tidak mempercayai hal ini terjadi begitu saja. Sungguh semua ini diluar dugaannya dan sulit untuk diterima oleh akal sehatnya.
Arshad, seorang pemuda asing yang dikenalnya melalui jejaring sosial media–facebook– dan baru dikenal secara langsung selama tujuh hari, memang telah menjadi temannya baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Namun, bagaimana pikirannya bisa menerima kenyataan yang sedang terjadi saat ini? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas dipikiran Karina membuat Karina segera mengambil keputusan yang tepat.
‘Karin, palat na. Palat … Palat na … (Karin, berbaliklah),’ pinta Arshad dalam hati.
Apa yang diharapkan oleh Arshad tidaklah terwujud. Karina tetap meneruskan langkahnya yang diikuti oleh Maya untuk pergi keluar tanpa sekalipun menoleh ke arahnya. Karina terus melangkah keluar sambil terus menggenggam tangan Maya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Maya, ia hanya pasrah mengikuti langkah sahabatnya yang begitu tergesa-gesa.
* * *
Kini Karina dan Maya telah berada di luar gedung. Mereka berdua terdiam beberapa saat. Ia merasa semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Maya juga terlihat bingung harus berbuat apa untuk membantu Karina yang terlihat begitu gelisah.
“Karin, sekarang kita harus bagaimana? Apa sebaiknya kita pulang saja?” tanya Maya memecah keheningan sambil terus berusaha menyeimbangkan langkahnya yang tertinggal beberapa langkah dari Karina yang berjalan begitu cepat.
“Ya, sebaiknya begitu,” ucap Karina dengan suara pelan. Ia masih tetap berjalan dengan cepat.
Melihat kepanikan Karina, Maya segera berusaha menghentikan Karina. “Tunggu, Karin. Tidak ada gunanya kamu berjalan terlalu cepat seperti ini.” Maya segera berdiri di depan Karina dan kini ia sudah berada di hadapan Karina. Ia berhasil menghalangi Karina yang terlihat gugup. Ia hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada sahabatnya itu karena berjalan tidak hati-hati. “Aku tahu kamu sedang terkejut pastinya, ‘kan?” Maya memegang kedua bahu Karina.
Karina mengangguk. “Aku tidak menyangka kalau dia akan datang. Dan terlebih lagi, aku semakin shock waktu dia berada di atas panggung. Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa melakukan hal konyol seperti tadi.” Suara Karina bergetar. Ada nada marah bercampur sedih yang tersirat di dalamnya.
“Ya, sama. Tapi aku salut juga sama dia. Pemuda India itu sampai nekad berbuat seperti itu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti bakalan berbalik dan tersenyum ke arahnya. Dan mungkin dia akan datang menghampiriku dan …,” Maya menghentikan ucapannya begitu ia melihat ekspresi Karina yang menatapnya dengan serius. Baru kali ini ia melihat tatapan marah dari Karina. Mungkin ia benar-benar keterlaluan kali ini.
“Sorry. Aku tidak bermaksud untuk memperkeruh suasana. Tapi aku yakin, dia sampai melakukan hal konyol seperti tadi karena dia pasti telah jatuh cinta padamu.” Maya berusaha memberikan penjelasan dengan hati-hati agar Karina tidak menatapnya lagi seperti tadi.
Karina menyerah. Ia sama sekali tidak ingin berdebat dengan Maya. “Sudahlah, lupakan saja. Sekarang lebih baik kita pulang saja.” Karina mengajak Maya untuk bergegas pulang sebelum Maya melanjutkan ucapannya yang membuat Karina semakin bertambah gegana.
Sebelum mereka melangkah lebih jauh ke arah parkiran, tiba-tiba saja langkah mereka terhenti karena dikejutkan oleh suara teriakan yang memanggil nama Karina. Dan pemilik suara itu berasal dari seorang pemuda yang tidak lain dan tidak bukan adalah Arshad.
“Ruk jao Karina… Please, ruk jaa (Berhentilah, Karina... Aku mohon, berhentilah).” Suara teriakan Arshad semakin terdengar jelas.
Sebelum Karina ingin berhenti dan berbalik, Arshad sudah berada tepat di hadapannya. Maya yang berada di samping Karina kini berpindah posisi di belakang Karina. Sementara itu, Malik masih berjalan mendekat.
Kini Arshad telah berada dihadapan Karina, hanya terpaut beberapa langkah hingga Karina tidak bisa mengelak lagi. Percuma saja kalau ia tetap bersikeras untuk pergi meninggalkan Arshad, mungkin Arshad akan tetap mengejarnya atau bahkan mungkin akan melakukan hal nekad yang lebih tak terduga lagi.
Arshad mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. “Maaf, aku tidak bermaksud untuk menghalangimu. Aku datang kesini untuk mengungkapkan semua hal yang selama ini kurasakan. Jadi kumohon padamu dengarkan aku untuk sekali ini saja,” jelas Arshad dengan penuh harap.
Karina diam tidak bergeming. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Arshad yang menatapnya penuh harap. Namun Maya yang berada di belakangnya memberikan isyarat agar Karina mengabulkan permintaan Arshad.
“Baiklah. Apa yang ingin kamu katakan padaku?” tanya Karina akhirnya mengalah. Jujur, sebenarnya Karina sangat penasaran ingin mengetahui penjelasan dari Arshad.
Arshad menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Karin, aku tidak tahu apa salahku hingga kamu memutuskan komunikasi yang sudah kita jalani selama empat tahun lamanya.” Sejenak ia mencoba untuk mengendalikan pikirannya. “Setahun lamanya kamu menghilang tanpa kabar. Aku tidak bisa menghubungi kamu lagi melalui whatsApp dan juga Skype. Bahkan kamu sudah menghapus jejaring sosial kamu. Kenapa kamu melakukan itu padaku, Karin?”
Karina merasa bersalah karena telah memutuskan komunikasi dengan Arshad. Hal itu berarti ia juga sudah memutuskan tali silaturahim yang telah terjalin selama beberapa tahun lamanya. Ia tidak menyangka kalau ternyata Arshad berusaha untuk menghubunginya. Tapi ia melakukannya untuk kebaikan dirinya dan juga Arshad.
“Karin, aku mungkin terlalu naif karena aku tidak menyadari perasaan yang tumbuh perlahan tapi pasti menyelimuti hati dan pikiranku. Aku benar-benar tidak tahu, sejak kapan rasa cinta ini muncul dan bersemi di dalam hatiku. Tapi yang aku tahu bahwa aku begitu merindukanmu di setiap detik waktu berlalu. Selama satu tahun itu terasa menyiksaku, Karin. ”
Hati Karina semakin bergetar dan jantung kian berdebar kencang. Ternyata, rasa cinta yang tumbuh dihatinya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Kamu telah menghabiskan waktu selama 7 hari bersamaku, setelah itu kamu kembali pergi dan jarak kembali menjadi penghubung diantara kita. Jarak itu membuatku semakin ingin menghabiskan 7 waktu kehidupanku bersamamu.” Suara berat Arshad begitu terdengar penuh ketulusan, membuat siapapun yang mendengarnya tidak akan menyangkal betapa kejujuran yang diungkapkan olehnya benar-benar tidak dapat disangkal lagi.
Karina masih tetap diam seribu bahasa, ia tidak tahu ingin mengatakan apa pada Arshad. Ia tidak ingin menatap Arshad. Ia takut tidak bisa melawan akal sehatnya saat pandangan matanya bertemu dengan mata teduh Arshad.
Karina begitu ingin mengungkapkan semua yang ada dihatinya, namun lidahnya terasa kelu. ‘Satu tahun, tiga bulan dan tujuh belas hari. Selama itu pula aku memang telah memutuskan komunikasi yang terjalin diantara kita. Bukan kamu saja yang tersiksa, tapi aku juga. Aku hanya tidak ingin membawa perasaanku terlalu dalam untukmu karena aku takut untuk bisa menghadapi kenyataan akan cinta yang tak terbalas. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu padaku. Dan aku juga takut untuk mengetahuinya, Arshad.’
Arshad masih belum mendapatkan jawaban dari Karina, namun ia tidak bisa tinggal diam. Ia juga tidak ingin membuat suasana semakin hening. “OK. Fine. Bas hogaya (Sudah cukup).” Arshad mengeluarkan suatu benda yang terlihat seperti sebuah kotak kecil beludru dari saku celananya dan berlutut di hadapan Karina.
Maya menutup mulutnya yang setengah menganga melihat tindakan yang dilakukan Arshad.
Malik bertanya pada dirinya sendiri. ‘Kapan dia membeli kotak cincin itu, ya?’ gumamnya kebingungan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sementara itu, Karina terkejut melihat tindakan Arshad. Pandangannya masih belum terlepas dari kotak kecil yang berada di tangan Arshad. Jantungnya semakin berdegup kencang, membuatnya sedikit sulit untuk bernapas. Ia berpikir bahwa saat ini yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Tidak benar-benar nyata. Ingin rasanya ia berlari kencang pergi ke tempat dimana ia tidak harus terlibat dalam kenyataan ini.
“Karin, tum dikh hai na (Kamu baik-baik saja, 'kan)?” Suara Arshad menyadarkannya kembali dari alam pikiran anehnya. Karina hanya menjawab dengan isyarat sekali anggukan pelan.
“Ms. Karina, aku ingin kamu menjadi teman pendamping hidupku. Aku ingin kamu menjadi penyempurna dalam ibadahku. Aku ingin kamu selalu berada disisiku dalam setiap langkahku. Dan aku ingin disepanjang sisa waktuku, kuhabiskan untuk hidup bersamamu dalam setiap keadaan. Aku mungkin tidak bisa seperti Shah Jahan yang membangun sebuah istana Taj Mahal untuk Mumtaz. Mungkin juga tidak bisa seperti Shah Rukh Khan yang membeli Mannat untuk keluarganya. Tetapi, aku bisa membangun sebuah rumah impian untuk menjadi tempat bagi kita membangun kehidupan dengan lembaran baru.”
Arshad menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. Sulit baginya untuk mengendalikan dirinya dari rasa gugup yang telah menghantui dirinya.
“Karin… Hum ek baar jeete hai, ek baar marte hai, shaadi bhi ek baar hoti hai aur pyar ek baar hi hota hai (Kita hidup hanya sekali, mati sekali, menikah juga sekali ... dan cinta juga terjadi hanya sekali). Aku ingin hidup untuk cintamu, mati dengan cintamu, dan menikah karena cintamu. Terimalah aku sebagai imammu. Aku mungkin tidak bisa menjanjikanmu banyak hal. Namun, aku akan melakukan apapun yang terbaik. Insya Allah.” Arshad mengungkapkan semuanya tanpa ada keraguan sedikitpun.
Ungkapan Arshad membuat hati Karina bergetar. Ia merasa saat ini dunia berputar sangat lambat hingga ia bisa menghitung setiap detik waktu berputar dari degupan jantungnya yang begitu keras. Tanpa terasa cairan hangat mengalir dari pelupuk matanya. Ia segera menghapusnya dan mencoba untuk menahan agar air matanya tidak mengalir.
Tidak hanya Karina, tetapi Maya dan Malik juga merasa bergetar ketika mendengar ucapan dari Arshad. Malik sama sekali tidak menyangka bahwa sahabatnya ini bisa menjadi seorang puitis juga. Bahkan di dalam lubuk hatinya, ia merasa bangga karena memiliki seorang sahabat gentleman dan penuh kesungguhan dengan niatnya.
Maya bisa merasakan bahwa saat ini pasti sahabatnya– Karina, tidak sanggup untuk berkata sepatah kata pun. Rangkaian ucapan kata yang sederhana, namun penuh dengan ketulusan. Membuat hati wanita manapun akan meleleh mendengarnya.
Arshad menyadari belum adanya respon dari Karina, mungkin karena ia tidak menyangka kalau dirinya akan mengatakan hal seperti tadi. Ia sendiri juga sama sekali tidak menyangka kenapa kata-kata itu bisa terucap begitu saja. Ia hanya percaya, bahwa dengan kesungguhan niat maka segala sesuatunya akan terasa mudah untuk dijalani.
Tidak ingin keheningan tercipta lebih lama lagi, Arshad kembali berkata, “Kamu tidak perlu terkejut seperti itu. Aku sudah memikirkan keputusanku secara matang, jauh-jauh hari sebelum aku memutuskan untuk datang menemuimu kemari. Jadi semua yang aku katakan tadi itu berasal dari lubuk hatiku.”
Karina merasa sangat terharu. Ia juga sangat bahagia, karena kini ia sudah tahu bahwa orang yang dicintainya ternyata juga mencintai dirinya. Dan bahkan, sudah menyatakan niatnya untuk melamar dirinya. Meski masih belum terlalu percaya, namun kini ia yakin bahwa yang dihadapannya adalah kenyataan.
“Kenapa kamu ingin menikahiku?” Pertanyaan itu pun akhirnya terlontar dari Karina setelah cukup lama ia hanya terdiam mendengarkan.
“Karena aku mencintaimu.”
“Kenapa kamu mencintaiku?” Karina bertanya kembali.
“Karena hatiku telah memilihmu,” sahut Arshad tanpa berpikir.
“Itu bukan alasan yang tepat,” ucap Karina merasa belum yakin akan kesungguhan Arshad.
Arshad diam sejenak menatap Karina penuh kesungguhan. “Aku tidak tahu alasan apa yang tepat untuk itu. Namun satu hal yang kutahu pasti bahwa cinta adalah anugerah dari Tuhan. Bagaimana aku bisa menolaknya? Yeh pyaar kaise hota hai? Mujhe nahin pata. I just know that there is no reason to love and be loved. And I believe that everything happens for a reason (Bagaimana cinta ini bisa terjadi? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa tidak ada alasan untuk mencintai dan dicintai. Dan aku percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan). Aku memutuskan untuk memilihmu. Dan keputusan itu telah aku pikiran sejak berbulan-bulan yang lalu. Aku telah memohon petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Jawabannya hanya ada satu, bahwa aku harus mendengarkan kata hatiku. Setiap aku menutup mata memohon jawaban, hanya ada satu nama yang terlintas dipikiranku dan hanya ada satu wajah yang terbayang, yaitu kamu, Karina Amelia.”