Semalam adalah hari yang paling membahagiakan bagi Karina sekaligus hari yang cukup melelahkan. Rasa lelah yang tertutupi dengan kebahagiaan yang sangat sulit untuk dilukiskan, bahkan cukup sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana tidak? Harapan seorang penggemar untuk bisa bertemu dengan idolanya telah terwujud. Meskipun tidak bisa bertemu secara langsung, namun bagi Karina itu sudah lebih dari cukup.
Melihat wajah yang tersenyum dari sang idola walau hanya beberapa menit saja sudah membuat Karina merasa bahagia. Ucapan terima kasih dari sang idola meski tidak terdengar jelas karena suara histeria dari para penggemar lainnya dan hanya bisa dilihat dari gerakan bibir sang idola, lambaian tangan dari sang idola menyapa para penggemarnya, dan beberapa kali flying kiss yang diberikan oleh sang idola kepada para penggemarnya.
Euforia itu masih dapat dirasakan oleh Karina. Bahkan ia masih sulit percaya bahwa semalam ia telah berada di Mannat dan melihat sang idola. Sungguh, sejujurnya ia masih ingin berada disana lebih lama lagi. Berharap kalau sang idola akan lebih lama lagi berada di atas pagar besi hitam itu untuk menyapanya, lebih tepatnya menyapa para penggemarnya.
Semua itu mungkin memang sudah berlalu, tetapi tidak dengan kenangan akan momen spesial itu. Baik kenangan yang tersimpan rapi dalam ingatan Karina, maupun kenangan yang berhasil diabadikan oleh Malik melalui video cam miliknya.
* * *
Karina dan Maya tidak tidur semalaman. Mereka berdua menghabiskan waktu disepanjang malam untuk berbincang mengenai euforia yang terjadi saat berada di Mannat. Maya juga tidak kalah bahagianya sama seperti Karina. Bahkan Maya sempat berkata pada Karina bahwa ia ingin sekali menyingkirnya para penggemar lainnya agar pusat perhatian sang idola hanya tertuju pada dirinya dan Karina saja.
Baru saja rasanya mereka bisa tertidur sebentar, namun Karina terbangun mendengar suara ketukan pintu. Saat membuka mata, Karina pikir suara ketukan itu bukan berasal dari pintu kamar mereka, lama kelamaan suara ketukan itu semakin terdengar keras hingga Karina segera tersadar dan bangun dari tidurnya.
Sebelum ia beranjak membukakan pintu, ponselnya berdering. “Halo,” sapa Karina tanpa melihat nama penelepon di layar ponselnya.Karina tidak jadi beranjak dari tempat tidurnya karena ia sudah tidak mendengar suara ketukan lagi.
“Assalamu’alaikum, Karin. Kalian baik-baik saja, ‘kan? T…t…tidak terjadi sesuatu pada kalian?” tanya si penelepon dengan nada suara yang terdengar panik.
Karina tersentak kaget. Ia seperti mengenal suara si penelpon. Dan ternyata benar, ia memang mengenalnya saat ia melihat nama si penelpon di layar ponselnya. “Wa’alaikumsalam. Ada apa Arshad? Kenapa suara kamu terdengar begitu panik?”
“Kamu harus jawab dulu pertanyaanku. Apa yang terjadi pada kalian?” Arshad bertanya dengan nada suara yang masih terdengar panik.
“Kami tidak apa-apa. Tidak ada sesuatu yang terjadi pada kami,” sahut Karina dengan nada lirih. Ia masih mengantuk.
“Syukurlah.” Arshad menarik napas cukup dalam dan mengembuskannya secara berat. “Kalian membuat kami cemas dan panik. Kami pikir telah terjadi sesuatu pada kalian. Tapi ternyata tidak. Syukurlah.”
Karina mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti. “Kenapa kalian harus panik dan mencemaskan kami?”
“Karin, aku sudah menelponmu berkali-kali. Tetapi tetap saja tidak ada jawaban darimu. Aku juga sudah mengetuk pintu kamar kalian dengan keras, tetapi tetap saja kalian tidak membukakan pintu bahkan sama sekali tidak terdengar sahutan dari dalam,” jelas Arshad.
“Benarkah?” tanya Karina.
“Tentu saja itu benar,” sahut Arshad cepat.
“Maaf, kami tertidur. Karena tadi kami baru bisa tidur selesai sholat subuh,” ucap Karina pelan.
“Pantas saja. Tetapi sekarang kalian harus segera bangun. Kalian tidak ingin ketinggalan pesawat, ‘kan?”
“Pesawat?” tanya Karina kaget. Ia pun memutar ingatannya. “Astaghfirullah,” ucap Karina sembari menepuk dahinya begitu ia ingat bahwa hari ini adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia. Ia pun melihat jam dan waktu mereka sudah tidak banyak untuk segera bersiap-siap.
“Baiklah. Aku tutup telponnya, ya. Kami baik-baik saja dan kami akan segera bersiap-siap,” ucap Karina seraya menutup telponnya.
Kemudian ia segera membangunkan Maya yang masih tertidur pulas. “May… Maya… Ayo, bangunlah, May!”
Maya hanya bergumam dan belum membuka matanya. “May, bangunlah. Nanti kita bisa ketinggalan pesawat,” ucap Karina lagi. Kali ini Karina sedikit lebih keras menggoncang tubuh Maya agar Maya bisa segera bangun dari tidurnya.
Maya pun bangun dari tidurnya dan mengucek-ucek matanya. Maya kelihatan seperti anak kecil yang sulit dibangunkan ketika hendak pergi di hari pertama ke sekolah setelah liburan yang cukup panjang. “Pesawat? Memangnya kita mau kemana?” tanya Maya masih setengah sadar.
“Kita akan pulang, Maya. Balik ke Indonesia.” Karina pun segera beranjak dari tempat tidur dan mulai membereskan barang-barangnya.
“Indonesia? Berarti hari ini adalah jadwal kita pulang?” Sepertinya Maya sudah tersadar dari tidurnya hingga ia sudah bisa berpikir.
“Ya, Maya. Ini sudah hampir jam sebelas, kita sudah tidak punya banyak waktu. Nanti kita bisa ketinggalan pesawat. Ayo, bangunlah!” desak Karina seperti seorang ibu yang membangunkan putrinya untuk berangkat ke sekolah.
“Kamu benar. Aku mandi dulu. Kalau tidak, aku bisa tertidur lagi nantinya,” ucap Maya, ia pun mulai sadar dan panik, lalu langsung bergegas ke kamar mandi, sementara Karina masih sibuk mengemasi barang-barangnya.
Karina teringat dengan ucapan Arshad barusan tadi bahwa Arshad telah menelponnya berkali-kali. Ia pun memeriksa ponselnya dan ternyata benar, sebanyak delapan belas kali Arshad menelponnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia heran pada dirinya sendiri karena tidak biasanya ia bisa tertidur pulas seperti tadi hingga tidak mendengar nada dering ponselnya, bahkan suara ketukan pintu.
* * *
“Apa sudah tidak ada lagi yang tersisa?” tanya Malik pada Karina yang terlihat memperhatikan barang-barang mereka di dalam bagasi mobil Malik.
“Tidak ada. Semuanya sudah ada di dalam bagasi,” sahut Karina.
“Baiklah,” kata Malik sembari menutup bagasi mobilnya.
Mereka berempat kemudian masuk ke dalam mobil dan Malik pun segera menyalakan mobilnya, mobil pun akhirnya melaju menuju bandara. Arshad yang berada di samping kemudi menoleh arloji di tangan kirinya. “Mungkin sekitar dua puluh menit kita bisa sampai di bandara. Masih ada waktu yang tersisa sebelum chek in. Apa lebih baik kita makan terlebih dahulu teman-teman?” Arshad bertanya pada ketiga temannya.
“Ya, itu lebih baik,” sahut Maya dengan begitu semangat.
Karina hanya bisa menoleh ke arah Maya yang kelihatan begitu lapar. Sebenarnya, ia sendiri juga merasa lapar. Ia dan Maya hanya memakan sepotong roti karena mereka sudah tidak sempat lagi untuk memesan makanan.
Arshad hanya tersenyum melihat kedua tamu istimewanya itu. Arshad punya pertanyaan yang masih pending kepada keduanya. Namun, ia pikir ini bukan waktu yang tepat melihat wajah kedua tamu istimewanya itu yang masih dalam keadaan sedikit lelah. Mungkin keduanya butuh asupan energi alias makan terlebih dahulu.
* * *
Malik menepikan mobilnya di salah satu restoran yang terdekat dengan bandara. Kali ini Maya dan Karina memesan menu yang sama seperti yang dipesan oleh Arshad dan Malik.
Karina dan Maya sepertinya tidak ingin menunda waktu lagi dengan memilih menu makanan yang akan memperlambat waktu penyajian dan membuat perut mereka keroncongan lebih lama lagi. Tidak ada yang memulai percakapan hingga makanan pun dihidangkan di meja mereka. Keempatnya hanya menikmati makanan mereka masing-masing.
“Sebenarnya, apa yang telah terjadi pada kalian? Sampai-sampai Arshad menjadi panik dan juga ikut membuatku panik,” ucap Malik yang akhirnya membuka pembicaraan begitu selesai meneguk minumannya.
Karina yang baru menyelesaikan satu suapan terakhirnya hanya bisa diam menikmati santapan sisa makanannya. Sementara Maya menikmati minumannya hingga tersisa separuh lagi. Keduanya sama-sama tidak ada yang menjawab pertanyaan Malik.
Arshad hanya memandangi ketiga temannya, terutama Malik yang terlihat masih menunggu jawaban dari Karina dan Maya.
“Hei, para gadis, aku bertanya pada kalian berdua. Tapi kenapa tak satu pun dari kalian yang menanggapi pertanyaanku,” ucap Malik dengan nada suara yang begitu pelan nan lembut namun terkesan sedikit kesal.
Kedua gadis itu hanya saling bertatapan satu sama lain. Sepertinya mereka berbicara dengan isyarat mata.
“Malik, seharusnya kamu tidak perlu menanyakan hal itu. Salah satu diantara mereka akan menceritakannya tanpa diminta karena salah satunya sudah berjanji padaku untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Jadi, kita tunggu saja sampai ada yang berbicara,” kata Arshad setengah berbisik namun dengan nada yang cukup keras.
Karina tahu bahwa secara tidak langsung Arshad menyinggung dirinya yang berhutang penjelasan padanya. Karina pun akhirnya angkat bicara karena ia juga merasa sedikit bersalah telah membuat Arshad dan Malik menjadi panik dan khawatir dengan keadaan mereka.
Wajar saja kalau mereka seperti itu, terutama Arshad. Dia telah menelpon Karina berkali-kali namun tak satu pun dijawab, hingga Arshad memutuskan untuk langsung menemui Karina. Begitu berada di depan pintu, Arshad mengetuk pintu berkali-kali juga hingga ia hampir saja ingin mendobrak pintu kalau saja Karina tidak mengangkat telpon dari Arshad lagi.
Mendengar penjelasan dari Karina, Arshad tidak langsung memberikan tanggapan. Sebaliknya, Malik begitu antusias menanggapinya. “Kalian ini ternyata bisa juga ketiduran sampai lupa untuk bangun tidur lagi. Kalau saja terjadi sesuatu bagaimana? Pasti kalian orang terakhir yang bisa menyelamatkan diri.”
“Huusshh… Jangan bicara seperti itu, Malik. Kami juga nggak sebegitu banget tidurnya. Kalau sampai lupa bangun itu sih sudah kelewatan,” gerutu Maya.
“Aku memang sedikit mendramatisir keadaan saja. Sejujurnya, memang hal itulah yang ada dipikiranku saat itu,” ucap Malik dengan mengembangkan senyumnya pada Maya yang kesal dengan ucapannya.
Karina hanya bisa tersenyum kecil mendengar ucapan dari Malik yang terlalu jujur dan apa adanya. Sedangkan Maya hanya memandangi Malik dengan ekspresi wajah yang menyiratkan kekesalan karena Malik telah berpikiran aneh menurut Maya.
“Tapi kalian tenang saja. Kalau ada sesuatu yang terjadi pada kalian berdua, masih ada aku yang senantiasa siap siaga untuk memberikan bantuan. Karena aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada kedua tamu istimewaku ini,” ucap Malik dengan tulusnya dan mencoba untuk tidak terlalu serius lagi.
Ucapan Malik akhirnya memecahkan tawa ketiganya, karena ucapannya itu terkesan untuk mencari pengalihan agar perkataannya yang sebelumnya tidak dibahas lagi. Dan sebenarnya, hal yang membuat ketiganya tertawa adalah mimik dan ekspresi wajah Malik yang sungguh terlihat polos dan lucu, pun juga nada bicaranya yang terkesan sok seperti pahlawan yang akan beraksi menyelamatkan orang lain.
* * *
Bandar Udara Internasional Chhatrapati Shivaji, Mumbai, India.
“Karin, waktu satu minggu ini terasa berlalu begitu cepat, ya? Rasanya baru saja kita tiba di bandara ini. Dan sekarang, kita harus berangkat dari bandara ini untuk kembali pulang ke Indonesia. Benar ‘kan?” tanya Maya membuka pembicaraan.
“Kamu benar, May. Perputaran waktu memang tidak akan pernah terasa berlalu begitu cepat. Maybe sometimes, kita harus merencanakan untuk datang kembali ke sini.”
“Aku setuju, Karin. Oh ya, saat aku melihat ekspresi Arshad sedari tadi, sepertinya aku rasa dia tidak ingin membiarkan kita cepat pulang. Lebih tepatnya, dia seperti tidak merelakan kamu untuk kembali pulang ke Indonesia.”
Karina mengernyitkan dahinya tanpa memberi komentar apapun.
“Karin, yang kukatakan itu benar. Aku berkata sesuai dengan feeling-ku.”
“Maya…. Berhentilah berkata sesuai dengan feeling-mu. Aku tahu kalau feeling kamu itu hampir 89,99 persen selalu tepat. Tetapi untuk kali ini, aku yakin 89,99 persen feeling kamu itu akan meleset.”
“Ya ampun, Karin. Kenapa juga harus 89,99 persen? 89,99 persen itu ‘kan sama saja dengan 90 persen. Tapi ya sudahlah, itu terserah padamu saja.”
“Ya, memang terserah padaku,” ucap Karina cepat.
“Tapi kali ini mungkin kita bisa membuktikannya bahwa 89,99 persen feeling-ku ini tidak akan meleset,” ucap Maya dengan penuh keyakinan.
“Bukti? Bagaimana bisa?” tanya Karina.
Baru saja Maya ingin mengatakannya, tiba-tiba saja Karina langsung mengalihkan perhatian. “Itu mereka sudah mendekat.”
Arshad dan Malik datang mendekati Karina dan Maya. Mereka berdua tadinya pergi ke toilet. Lalu mereka berempat duduk di kursi tunggu sembari menunggu waktu penerbangan.
“Karin, kamu mau tahu tidak?” Maya menanyakan hal tadi dengan nada suara setengah berbisik.
“I don’t know and I don’t wanna know,” ucap Karina dengan cuek.
“Apa kalian sedang membicarakan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu?” tanya Malik yang berada di dekat Karina mengetahui Karina dan Maya terlihat berbisik.
“Kuch nahin (Tidak ada),” sahut Karina singkat.
“Kami membicarakan hal yang hanya dimengerti oleh wanita saja,” timpal Maya.
“Sungguh, memang tidak ada yang bisa mengerti wanita,” gumam Arshad. Meskipun Arshad berbicara dengan nada pelan, Karina dan Maya masih bisa mendengarnya dengan jelas dan hal itu membuat Maya membuka suara. “Itu memang benar, Arshad.”
Arshad pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia jadi sedikit kikuk karena ketahuan mengomel dan ia hanya bisa memamerkan senyumannya kepada Maya dan Karina.
“By the way, kapan-kapan kalian harus mengundang kami datang berkunjung ke Indonesia. Benar ‘kan, Arshad?”
“Ya, itu benar. Dengan begitu kita bisa seperti reuni kembali,” sahut Arshad semangat.
“Itu terserah kalian saja kapan ingin datang berkunjung. Kalian bisa katakan saja pada kami dan kami akan menerima kedatangan kalian dengan tangan terbuka. Benar ‘kan, Karin?” tanya Maya meminta pendapat Karina.
“Tentu saja,” sahut Karina.
“Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kami berikan pada kalian berdua. Bisa dibilang ini hadiah kenang-kenangan dari kami berdua untuk kedua tamu istimewa kami,” ucap Malik seraya mengeluarkan sebuah kotak hadiah yang berukuran tidak kecil kepada Karina dan Maya.
Maya menerima kotak hadiah itu dengan tatapan penasaran mengenai sesuatu yang ada dibalik kotak hadiah itu.
“Kami sengaja memberikan hadiah itu kepada kalian berdua agar kalian tidak akan melupakan kami sesampainya disana,” kata Arshad dengan penuh kejujuran.
“Ya, Arshad benar. Hadiah itu sebagai pengingat bahwa kalian telah memiliki teman yang baik hati, tidak sombong dan tentunya berwajah tampan dari negara Bollywood ini,” ucap Malik penuh percaya diri. Kali ini, Malik tetap saja tidak bisa lepas dari sikap narsisnya itu. Mungkin memang sudah bawaan dari lahir.
Maya sepertinya tidak bisa tinggal diam menanggapi sikap narsisnya Malik itu. “Ya, baiklah. Kalian juga tentunya tidak akan bisa melupakan kunjungan dari kedua tamu istimewa kalian yang ramah, baik, lembut plus imut ini,” ucap Maya seraya mengembangkan senyum terimutnya kepada kedua pemuda India itu. Ia sepertinya tidak ingin kalah narsisnya dengan Malik.
Keduanya hanya bisa tertawa. Masing-masing dari mereka ternyata sudah bisa saling mengenal karakter teman-temannya. Kehangatan yang mengalir dari pertemanan mereka telah menciptakan kenyamanan sehingga tidak ada yang perlu merasa canggung lagi. Terutama Maya dan Malik. Keduanya tidak hentinya menciptakan suasana tawa bahagia.
Beberapa menit kemudian terdengar suara dari bagian informasi untuk menginformasikan kepada penumpang dengan tujuan keberangkatan negara Indonesia untuk segera bersiap-siap untuk berangkat. Karina dan Maya segera bergegas diikuti oleh Arshad dan Malik yang mengantarkan mereka.
Seperti ada yang memerintah, keempatnya melangkah dengan pelan. Bahkan langkah kaki mereka dapat terdengar seiring detik waktu berjalan. Meski baru beberapa waktu terjalin kebersamaan diantara mereka, namun ikatan pertemanan yang terjalin dinatara keempatnya seperti sudah lama terjalin. Arshad dan Malik tidak bisa mengantarkan Karina dan Maya hingga ke dalam. Itu sebabnya mereka pun berpamitan.
“Terima kasih banyak, kalian berdua sudah mengantarkan kami sampai disini,” ucap Maya dengan tulus.
Arshad dan Malik terlihat mengangguk pelan.
“Terima kasih juga atas semua kebaikan yang pernah kalian lakukan selama kami berada disini. Kalian sudah membuat kami seperti merasakan tinggal di negara kami sendiri. Lain waktu, datanglah berkunjung ke negara kami agar kami bisa membalas semua kebaikan kalian,” ucap Karina menambahkan.
“Tentu saja. Itu sudah menjadi rencana kami ke depannya,” sahut Malik.
“Kalian juga tidak perlu menganggap semua yang kami berikan ini secara berlebihan. Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban kami untuk memberikan yang terbaik pada kedua tamu istimewa kami. Benar ‘kan, Malik?” tanya Arshad pada Malik.
“Ya, Arshad benar. Sudahlah, kami tidak ingin mendengar ucapan terima kasih lagi. Itu sudah cukup. Bukankah tidak ada kata maaf dan terima kasih dalam persahabatan?” tanya Malik pada Karina dan Maya.
Karina dan Maya tersenyum mendengar ucapan tulus dari Malik. Bahkan Arshad juga ikut tersenyum dan ia sedikit tidak menyangka kalau sahabatnya yang satu ini terrnyata bisa juga mengeluarkan kata-kata bijak di saat yang tepat pula.
“Baiklah, kalau begitu kami harus segera berangkat. Good bye!” kata Karina.
“Karin, kabhi alvida naa kehna (jangan katakan selamat tinggal). Kita tidak tahu kapan kita akan bertemu kembali, jadi katakan dengan ….”, ucap Malik.
“Hum hain raahi pyaar ke (Kita adalah musafir cinta),” sambung Arshad cepat.
“Phir milenge chalte chalte (KIta akan bertemu lagi di jalan),” lanjut Malik tidak kalah semangat.
Keduanya menirukan dialog antara Raj dengan Taani dalam film Rab Ne Bana Di Jodi. Karina dan Maya pun melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam dan perlahan-lahan mulai menjauhi Arshad dan Malik.
‘Harus kuakui, langkahku terasa berat saat kuharus pergi jauh darimu. Bahkan aku sampai takut untuk berpaling melihat wajahmu. Karena aku takkan mampu melawan hasratku untuk datang menghampirimu. Entahlah, aku tak tahu apa yang telah terjadi padaku. Mungkin ini karena kebaikan yang telah kamu berikan padaku, hingga aku terikat untuk membalasnya,’ ucap Karina dalam hati, ia bergelut dengan pikirannya sendiri sembari melambaikan tangan tanda perpisahan.
‘Jangan berpaling ke arahku. Apalagi sampai melempar senyum padaku. Karena aku takut aku takkan mampu melepasmu pergi meninggalkanku. Aku tak tahu, mungkin kau juga takkan tahu kapan waktu akan mempertemukan kita kembali seperti ini. Seperti saat-saat yang telah kita lalui selama sepekan ini. Tapi aku yakin kita akan bertemu kembali. Aku pastikan kita akan bertemu kembali, Karin,’ ucap Arshad dalam hatinya sembari masih memperhatikan Karina berjalan menjauhi dirinya.
* * *
Seminggu yang lalu di tempat ini, aku menunggu kedatanganmu. Dan hari ini, di tempat yang sama pula aku juga mengantarmu kembali. Aku merasa begitu senang dengan kedatanganmu ke negeriku. Tentu saja aku membuka tangan lebar untuk menyambut kedatanganmu. Aku tak tahu apakah yang telah kulakukan selama kamu disini sudah membuatmu bahagia. Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk itu. Semoga saja aku tidak mengecewakanmu.
Perlahan kamu melangkah pergi menjauh dariku. Ingin rasanya tangan ini untuk menggapaimu untuk bisa menghentikan langkahmu. Kuakui, aku tidak berdaya untuk melakukannya. Apa alasanku untuk menahan kepergianmu? Aku tak punya alasan apapun untuk membuatmu tetap berada disini.
Kamu telah berhasil mendapatkan tujuanmu, lalu apa yang bisa kuperbuat agar kamu tidak segera kembali pulang? Logikaku memang mengatakan tidak ada. Tetapi, hati kecilku mengatakan ada sesuatu yang telah terjadi padaku dan alasan itulah yang ingin kukatakan padamu agar kamu bisa tetap berada disini, bersamaku. Aku menyesali ketidakberdayaanku untuk mencegah kepergianmu. Tetapi, aku juga menyesali kebodohanku yang terlalu berharap pada suatu hal yang tak pasti.
Keramaian orang berlalu lalang di tempat inilah yang menjadi saksi bisu keheningan yang tercipta diantara kita. Di tempat inilah kupandangi dirimu yang semakin lama semakin menjauh, menghilang dari pandanganku. Meski kini kamu tak lagi bersamaku. Bisa kupastikan kenangan tentangmu akan selalu bersamaku.
Aku tak tahu kapan waktu akan mempertemukan kita kembali. Tetapi aku selalu berharap waktu itu akan datang kembali. Waktu dimana kamu dan aku kembali bertemu, kita saling berhadapan, saling berbicara, bercanda, dan tersenyum. Aku akan selalu berdoa kepada Sang Pemilik waktu agar Dia bisa memberikan waktu itu lagi untuk kita. Aku berharap, sesampainya kamu disana, kamu tidak akan melupakan aku yang disini pernah membahagiakanmu, Karin.