Hampir seharian mereka berempat berkeliling kota Agra. Dan tentu saja sangat seru dan mengasyikkan. Ini adalah pengalaman pertama yang takkan pernah terlupakan baik bagi Karina maupun Maya. Mereka berdua sudah beberapa tahun lamanya bersama, namun belum pernah berpetualang sampai sejauh ini. Setelah mengunjungi Agra Fort, maka berakhirlah perjalanan mereka di Agra. Mereka telah sepakat sesuai rencana untuk kembali ke Mumbai.
Mereka berempat telah duduk di bangku kereta api, begitu beberapa menit berselang terompet kereta api pun berbunyi menandakan kereta api siap berangkat. Arshad dan Malik membantu Karina dan Maya meletakkan barang-barang. Kereta api sudah siap melaju dan kelihatannya di gerbong itu para penumpang telah duduk dibangkunya masing-masing.Maya duduk di dekat jendela dan berhadapan dengan Arshad. Sementara Karina duduk di sebelah Maya dan berhadapan dengan Malik. Maya segera menyandarkan tubuhnya dan menatap ke arah luar jendela. Sepertinya ia sedikit lelah dan mulai menyesuaikan dirinya dengan suasana.
Malik juga sepertinya sedikit kelelahan. Ia juga sama dengan Maya yang menyandarkan tubuhnya, namun ia memasang earphone dan menikmati lagu-lagu yang didengarnya.Berbeda dengan Arshad yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sementara Karina mengeluarkan tab-nya dan menuliskan beberapa catatan, mungkin ia menuliskan sedikit tentang pengalamannya.
Dibalik kesibukan masing-masing, Arshad yang terlihat sibuk dengan ponselnya diam-diam mencuri pandang ke arah Karina dan ia pun tidak bisa menyembunyikan bibirnya yang sedikit membentuk garis lekukan.
‘Kamu ternyata seorang wanita yang cukup periang, ramah dan begitu semangat. Aku sama sekali tidak merasa keberatan jika kamu meminta waktuku 24 jam penuh untuk menemanimu kemana pun kamu ingin pergi melangkah. Kamu tahu tidak? Selama ini aku belum memiliki teman wanita yang begitu bisa mencuri perhatianku. Aku memang memiliki beberapa teman wanita yang cukup dekat denganku dan itupun butuh waktu yang tidak singkat untukku bisa dekat dengan mereka.
‘Namun kuakui hal itu berbeda ketika aku berteman denganmu. Meski hubungan pertemanan kita berawal dari jejaring sosial, namun itu tidak membuatku jenuh untuk berteman denganmu. Bahkan aku tak pernah berpikir untuk mengabaikanmu. Dan sekarang, kamu telah mempercayakan teman dunia mayamu ini untuk menemanimu dan memberikan kesempatan padaku untuk menjadi teman nyata yang sesungguhnya. Tak pernah terbayangkan olehku kalau aku akan mengenalmu dan bertemu denganmu secara langsung seperti ini,’ pikir Arshad dalam hatinya. Ia pun segera mengalihkan pandangan matanya begitu Karina melihat ke arahnya.
Karina merasa bahwa dirinya telah diperhatikan oleh Arshad, namun ia tidak mau ke-geer-an. Ia buru-buru mengganti tab-nya dengan novel yang dibawanya. Ia sedikit mengangkat novelnya yang hampir menutupi wajahnya. Hanya menyisakan kedua matanya saja yang sengaja tidak ia tutupi agar bisa melirik ke arah sekitar.
Hal yang sama pun sebenarnya dilakukan oleh Karina. Ia sesekali mencuri pandang ke arah Arshad. Entah kenapa ia merasa bahwa Arshad terlihat pura-pura sibuk dengan ponselnya.
‘Aku tidak tahu entah apa yang membuatku percaya padamu untuk menemaniku selama berada disini. Aku menitipkan kepercayaanku dan keluargaku padamu, dan sampai detik ini, aku rasa tidak ada penyesalan dalam hal itu. Jujur, sejauh ini aku merasa nyaman berteman denganmu. Berteman denganmu tidaklah seperti berteman dengan orang asing yang hanya kukenal melalui dunia maya. Aku merasa seperti sudah lama mengenalmu dan juga berteman denganmu. Jangan tanya kenapa bisa begitu. Karena aku juga tidak bagaimana harus menjawabnya. Entahlah,’ ucap Karina dalam hati, ia pun sibuk dengan pikirannya sendiri.
Saat keduanya sedang disibukkan dengan curi-curi pandang, ketika itu pula datang seorang pemuda yang duduk tepat disebelah Arshad. Pemuda itu sebelumnya memastikan nomor bangku dengan yang tertera di tiketnya.
Arshad melirik pemuda yang baru duduk disebelahnya itu dengan tatapan yang asing. Karina melirik sekilas wajah pemuda itu dari balik novelnya. Tampak bukan seperti pemuda hindustan. Terlihat dari warna kulitnya dan hidungnya yang tidak terlalu tinggi. Maya dan Malik masih sibuk dengan dunia mereka sendiri. Tampaknya mereka berdua tidak mempedulikan kedatangan pemuda tersebut.
Karina memperhatikan Maya yang sedari tadi hanya menatap ke arah jendela. “May, kamu baik-baik saja, ‘kan?”
Maya mengalihkan pandangannya dan menjawab dengan sekali anggukan. Seolah tidak puas dengan jawaban singkat dari Maya, Karina pun mengeluarkan obat dari dalam tasnya. “Ini, minum obatnya dulu. Kamu pasti lagi mabuk darat.”
“Makasih, ya.”
“Ya sudah, kamu tidur saja. Nanti kalau sudah mau sampai aku bangunkan.”
Setelah meminum obatnya, Maya pun menyandarkan kepalanya di dinding kereta dan menutup wajahnya dengan ujung hijabnya. Begitu melihat Maya sudah mulai tertidur, Karina pun melanjutkan membaca novelnya.
“Hai, Assalamu’alaikum,” ucap pemilik suara yang ternyata berasal dari pemuda yang baru datang tadi.
Karina tidak langsung merespon, ia hanya menatap pemuda itu dengan heran dan memastikan siapa yang disapa oleh pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat. “Aku Rio. Mahasiswa dari Universitas Mumbai dari Indonesia.”
Karina baru sadar bahwa dirinyalah yang disapa oleh pemuda itu. Ia pun membalas uluran tangan pemuda itu lalu tersenyum dan menjawab salamnya.
“Maaf, bukan bermaksud untuk lancang ataupun mengganggu kamu. Aku hanya ingin berkenalan dengan kamu karena aku senang ada orang yang berasal dari negara yang sama denganku,” ucap Rio seraya tersenyum lagi. Sepertinya ia orang yang sangat ramah karena sedari tadi ia tidak hentinya untuk tersenyum.
“Oh, begitu. Aku tadi sedikit kaget karena aku pikir kamu tidak bicara denganku.”
Pemuda itu pun tertawa pelan. Hal itu membuat Karina jadi sedikit kikuk karena ia tahu kalau hanya dia dan Maya yang berasal dari Indonesia dibangku itu. Dalam pikiran Karina, ternyata dugaannya benar bahwa pemuda itu bukan berasal dari India. Namun ia sedikit tidak menyangka kalau ternyata pemuda itu berasal dari negara yang sama dengannya.
“Kamu datang kesini sebagai pelajar atau turis?” tanya Rio.
“Mungkin bisa dibilang sebagai turis. Aku dan temanku hanya berkunjung ke Mumbai selama satu minggu,” sahut Karina.
Obrolan demi obrolan mengalir dengan hangat. Topik pembicaraan mereka dimulai dari seputar perkuliahan Rio di India. Karina sangat tertarik dengan pembicaraan ini karena ia memang berniat untuk melanjutkan S2 di India. Ia ingin tahu tentang hal apapun yang berkaitan dengan perkuliahan di India.
Dibalik pembicaraan antara Karina dengan pemuda yang bernama Rio itu, ternyata ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dengan seksama.
“By the way, kita sudah ngobrol cukup panjang tapi aku belum tahu nama kamu,” ucap Rio yang baru menyadari bahwa sejak tadi gadis yang menjadi teman ngobrolnya itu belum memperkenalkan dirinya.
“Oh, ya? Maaf, aku begitu tertarik dengan pembicaraan ini sampai-sampai aku lupa memperkenalkan namaku,” kata Karina sambil tersenyum. “Namaku Karina dan yang disampingku ini adalah sahabatku, Maya,” tambahnya.
Pemuda yang bernama Rio itupun mengangguk.
“Dia tidak terbiasa dengan perjalan darat yang cukup panjang seperti ini. Jadi aku memintanya untuk istirahat saja,” jelas Karina tanpa diminta, karena sepertinya ia mengerti dari aura wajah pemuda itu yang menyiratkan pertanyaan mengenai Maya.
“Kamu sahabat yang penuh pengertian, ya. Menurutku, di jaman sekarang ini orang seperti kamu itu seperti limited edition. I mean sulit dijumpai.”
Sepasang alis Karina saling bertaut. “Aku rasa aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Mungkin aku bersikap seperti ini karena aku punya prinsip dalam hidup bahwa aku harus memperlakukan orang lain dengan baik sebagaimana aku ingin diperlakukan baik terhadap orang lain. Make it simple.”
“Pemikiran sederhana tetapi penuh dengan makna. Jujur saja, aku sangat menyukai seseorang yang memiliki prinsip baik dalam hidupnya. Terutama seorang wanita, karena menurutku tidak banyak wanita yang memiliki prinsip dalam hidupnya. Dan menurut sepengetahuanku, sebagian besar wanita hanya mengandalkan perasaan dan emosinya saja di dalam hidupnya. Aku harap kamu tidak tersinggung dengan ucapanku,” kata Rio dengan cukup hati-hati.
“Tenang saja, aku cukup menerima pemikiran seseorang secara rasional. Karena setiap orang punya hak yang sama dalam menyampaikan pendapatnya. Tetapi khusus dalam hal ini, menurutku setiap laki-laki selalu saja punya pemikiran yang sama mengenai wanita,” ucap Karina sedikit santai untuk mencoba mencairkan suasana.
Pembicaraan diantara keduanya mulai sedikit lebih serius.
“Sepertinya dalam hal ini aku perlu meluruskannya. Bukan hanya sebagian besar saja wanita yang mengandalkan perasaan dan emosinya. Semua wanita memang seperti itu. Sepandai apapun wanita menggunakan logikanya terhadap sesuatu hal, tetap saja ia tidak bisa tidak menyangkut-pautkan hal tersebut dengan perasaan dan emosinya. Karena memang seperti itulah sifat lahiriah yang dimiliki oleh setiap wanita,” jelas Karina panjang lebar. Ia mendesah pelan. “Dan perlu diingat bahwa hal itu bukanlah suatu kelemahan, melainkan suatu keistimewaan,” lanjut Karina.
“Aku memang tidak terlalu mengerti mengenai hal itu. Itu sebabnya, aku hanya berpendapat secara umum saja,” ucap Rio, sepertinya ia tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam pembicaraan yang cukup serius ini, karena ia pikir Karina adalah sosok wanita berpendidikan yang memiliki sudut pandang berbeda dari kebanyakan wanita lainnya. Ia pun berusaha untuk mencari topik pembicaraan lainnya agar suasana bisa lebih rileks. “Karina, apa kalian hanya berdua saja?”
“Ya, kami memang datang berdua. Tapi, kami punya teman baik disini. Mereka duduk tepat disebelah kamu,” kata Karina yang menunjuk Arshad dan Malik.
Malik sepertinya masih menikmati lagu yang ia dengar dari headphone-nya, tapi kali ini dengan mata terpejam. Karina tidak bisa memastikan apakah Malik tertidur atau tidak. Sedangkan Arshad, ia terlihat memejamkan matanya juga. Namun Karina tahu, bahwa Arshad sama sekali tidak tidur.
“Oh, syukurlah kalian punya teman baik. Yah, setidaknya ada orang yang bisa kalian percaya untuk menemani kalian selama berada disini. Tadinya kupikir, mereka berdua bukan teman kalian. Karena aku tidak melihat kalian saling bicara satu sama lain,” ucap Rio, sekilas ia melihat Arshad dan Malik yang tertidur.
“Tadinya kami sempat mengobrol sebelum mereka berdua kelelahan sampai bisa tertidur seperti itu,” ucap Karina, mengambil dua botol air mineral dari dalam tasnya. Satu ia berikan pada Rio, namun Rio menolaknya dengan halus karena ia sendiri sudah memiliki minuman. Karina pun kembali menyimpan botol air mineral ke dalam tasnya.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Aku yakin kamu datang kesini tidak hanya untuk berlibur, tetapi juga untuk suatu tujuan, bukan?”
Karina mengangguk pasti. “Ya, kamu benar. Dan aku berharap semoga tujuanku bisa tercapai.”
“Aku do’akan semoga kamu bisa mencapai tujuanmu,” ucap Rio seraya diiringi senyum tulus.
* * *
Kini mereka berlima telah turun dari kereta api. Matahari di Mumbai sudah mulai menghilang dari pandangan. Menandakan adzan Maghrib akan segera berkumandang. Suasana distasiun masih saja tetap sangat ramai.
Sebelum berpisah, Karina memperkenalkan Rio dengan ketiga temannya. Malik dan Maya mengucapkan terima kasih pada Rio karena mereka baru tahu kalau Rio telah menemani Karina selama perjalanan. Sementara Arshad tidak berkomentar apapun. Ia hanya mencoba untuk tersenyum. Namun, ada yang sedikit berbeda dengan sikap Arshad. Tidak ada yang tahu penyebabnya.
“Nice to meet you guys,” ucap Rio pada ketiganya.
“Me too,” balas Malik. Namun Arshad hanya membalasnya dengan anggukan dan tersenyum sekenanya. Sedangkan Maya juga ikut tersenyum penuh.
“Karina, sepertinya kamu juga harus lebih peka dengan seseorang yang sekarang sedang dekat denganmu,” ucap Rio sambil tersenyum jahil.
Karina hanya mengernyitkan dahi.
“Mungkin kamu tidak mengerti maksudku, tetapi aku yakin cepat atau lambat kamu pasti akan mengerti maksudku.”
Karina masih terdiam, ia sama sekali tidak memahami maksud ucapan Rio.
Lalu Rio menghampiri Arshad yang masih diam menatapnya.
"Can I say something? Aaj, woh sirf ek ajnabee hoon. Lekin kal, kaun jaanata hai ki sabkuchh badal jayega. (Hari ini, dia hanyalah orang asing. Tetapi hari esok, siapa yang tahu semuanya akan berubah)." Ucap Rio setengah berbisik pada Arshad. Lalu ia pun tersenyum seraya menepuk pelan pundak Arshad. Tidak ada yang tahu apa maksud dari senyumannya itu. Namun satu hal yang pasti, Arshad sungguh tidak merasa nyaman dengan sesuatu yang baru dikatakan oleh Rio padanya.
“Okay, see you all. Khuda hafiz*,” ucap Rio memberi salam perpisahan.
“Khuda hafiz,” ucap Malik dan Arshad hampir bersamaan.
-----------
* Ucapan atau salam perpisahan dalam bahasa Urdu