Setelah merasa cukup puas melihat Mannat secara langsung, dan berkeliling melihat rumah para aktor ternama Bollywood lainnya yang berada disekitar Mumbai, mereka berempat akhirnya memutuskan untuk pergi ke salah satu bioskop di Mumbai.
“By the way, kita harus menonton film yang selain genre horor. Kalian setuju, kan?” ujar Malik membuka pembicaraan begitu sampai di bioskop.
Mereka berempat berhenti sejenak untuk merundingkan film apa yang akan mereka tonton.
“Ya, aku setuju. Aku sangat tidak menyukai film horor dan juga action,” sambung Maya.
“Aku sangat menyukai film action diantara semua genre film.” Arshad angkat bicara.
“Dan kamu, Karina. Kenapa dari tadi belum juga bersuara?” tanya Malik heran.
Karina yang sedari tadi diam dan heran melihat celoteh teman-temannya satu per satu, kini unjuk gigi juga setelah Malik menanyakannya.
“Aku sudah tahu kalian tidak menyukainya, jadi aku pikir tidak ada gunanya juga aku mengatakan pendapatku,” ujar Karina santai.
“Kamu ingin menonton film horor, ya?” tanya Arshad pada Maya.
Belum sempat Karina menjawab, Maya sudah terlebih dahulu memotong. “Itu sudah pasti Arshad. Itu sebabnya aku tidak mau bertanya padanya.”
Karina hanya tersenyum kecil.
“Jadi film apa yang harus kita tonton sekarang?” tanya Karina pada ketiga temannya.
Mereka bertiga terdiam sejenak. Sibuk dengan kebingungan masing-masing.
“Pokoknya, aku tetap tidak ingin nonton film horor, karena sangat menyeramkan,” tukas Maya.
Karina hanya bisa menatap sahabatnya Maya, ia sudah mengerti dengan keinginan sahabatnya itu.
“Aku juga setuju dengan Maya. Tadi aku sudah mengatakannya dari awal. Maaf ya, Karina” ujar Malik merasa sedikit tidak enakan pada Karina karena telah menolak untuk tidak menonton film horor.
Lalu Karina, Maya dan Malik bersamaan menatap Arshad yang belum berkomentar.
“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Arshad kebingungan.
“Kamu belum mengatakan kalau kamu mau menonton film horor atau tidak?” Maya mencoba menjelaskan.
“Tidak,” sahut Arshad cepat. “Itu karena aku lebih suka nonton film action,” sambungnya.
Malik tertawa ke arah Arshad. “Temanku yang satu ini sebenarnya sama sepertiku,” ujar Malik sambil merangkul bahu Arshad dan masih tertawa kecil.
“Awas saja kalau kamu sampai mengatakannya pada mereka,” bisik Arshad tepat ditelinga Malik.
Karina tersenyum geli melihat Arshad yang sedang berusaha mengancam Malik untuk tidak memberitahukan bahwa sebenarnya ia juga takut menonton film horor.
‘Pemuda yang dua ini, mengakunya lelaki macho. Tapi, menonton film horor saja takut,’ ucap Karina dalam hati. Ia berusaha untuk menahan tawanya.
“Jangan mencoba untuk ikut tertawa seperti dia,” ucap Arshad seperti memberikan perintah kepada Karina.
“Okay, guys. Aku akan mengalah. Tapi seandainya pilihan yang tersisa hanya film horor, kita harus tetap menontonnya. Bagaimana?” tanya Karina kepada ketiga temannya.
“Terserah padamu saja,” ucap Maya pasrah.
Arshad dan Malik pun hanya mengangguk pelan.
Setibanya diloket, Karina tersenyum penuh kemenangan. Karena ternyata tiket yang banyak tersisa hanyalah film horor. Sementara film lainnya hanya tertinggal satu tiket saja, bahkan ada ang telah habis. Tidak mungkin mereka menunggu sampai sekitar 3 jam lagi. Sementara saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam.
Arshad, Malik dan Maya pun tidak punya pilihan lain selain mau tidak mau akhirnya menonton film horor.
***
Film Bollywood horor terbaru ini mendapat ulasan positif dari penonton dan kritikus Bollywood. Wajar saja membuat keadaan penonton di dalam terasa menegangkan.
“Aaahhhkk…” teriak Arshad yang berada di sebelah kiri Karina. Sontak teriakan Arshad membuatnya mengalihkan pandangan dari layar.
Teriakan Arshad membuat orang-orang disekitar mereka pun berkomentar dan menyuruh Arshad untuk tidak berisik. Arshad pun menyadari kalau ternyata teriakannya cukup kuat hingga terdengar sampai barisan ke depan. Keadaan di bioskop cukup ramai, dan mereka duduk di barisan ketiga dari depan. Tentunya hal itu membuat mereka cukup dekat dengan layar.
“Kya hua (ada apa)?” Karina langsung bertanya pada Arshad yang sedang mengibaskan pelan tangan kanannya.
“Tanganku sudah digigit olehnya,” celetuk Arshad menunjuk Malik yang tepat berada di samping kirinya. “Kamu pikir tanganku ini popcorn apa?” kesal Arshad seraya memegangi tangannya.
Malik tidak berkata apapun, ia hanya memegang telinga kirinya sebagai tanda permintaan maaf, sementara tangan kanannya masih memegang popcorn. Tanpa menggubris lagi, ia pun kembali menonton film.
Karina yang melihat mereka berdua pun mencoba menengahi. “Sudahlah, tanganmu tidak terluka kan Arshad?”
“Sedikit. Tetapi tetap saja sakit. Lihatlah ini, pasti memerah.” Arshad memperlihatkan jemarinya yang terkena gigitan Malik.
“Tidak mungkin aku bisa memastikan merah atau tidaknya, disinikan gelap” ujar Karina yang tetap memperhatikan tangan Arshad tanpa memegangnya. Terlihat bekas gigitan di dekat jemari kelingking Arshad.
“Kamu benar.”
“Ya, sudah. Nikmati saja dulu filmnya, sebentar lagi juga sudah mau selesai. Ini, ambil saja punyaku,” ucap Karina memberikan popcornnya pada Arshad. Karina yakin Arshad lebih membutuhkan popcornnya, setidaknya untuk menghilangkan ketegangannya.
Arshad hanya menurut.
Karina masih bisa jelas melihat ekspresinya walaupun hanya diterangi cahaya yang terpantul dari layar film. Ia pun segera mengalihkan pandangannya dari Arshad begitu menyadari getaran itu terbesit lagi dalam dadanya. Ia tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi setiap kali ia memandang wajah Arshad cukup dekat seperti ini, tapi ia selalu berusaha untuk tidak memikirkannya.
Karina pun melihat Malik yang masih dengan ekspresi wajah tegangnya sambil memakan popcorn tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
‘Pantas saja tangan Arshad digigit olehnya, dia bahkan tidak menyadari bahwa yang dipegang adalah tangan Arshad dan bukan popcorn. Arshad juga tidak menyadari kalau tangannya dipegang oleh Malik. Ternyata mereka lebih terbawa dengan alur cerita daripada aku yang entah kenapa tidak terlalu fokus dengan apa yang aku tonton saat ini’ pikir Karina dalam hati.
***
Lebih dari dua jam pun telah berlalu, mereka berempat sudah keluar dari bioskop dan bergegas ingin pulang. Mereka berempat berjalan bersamaan dan tidak banyak bicara.
Malik kelihatannya masih penasaran dengan apa yang dilakukan Maya selama menonton film tadi. ‘Apa benar dia memang menonton filmnya? Kalau pun benar, lalu kenapa dia tidak berteriak sekalipun, ya? Padahal dia bersikeras untuk tidak ingin menonton film horor karena takut,’ Malik sibuk bertanya pada pikirannya sendiri.
Sementara itu, Karina merasa ponselnya bergetar. Ia pun mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kecilnya dan melihat layar ponselnya tertera sebuah pesan . Karina mengernyitkan dahi melihat nama si pengirim pesan. Ia pun segera mengalihkan pandangannya ke Arshad yang berada tidak jauh di sebelah kirinya.
Karina tidak bisa melihat ekspresi wajah Arshad karena tertutupi oleh Malik yang berada tepat disebelahnya. Meski begitu, Karina bisa melihat Arshad memegang ponsel ditangan kanannya. Tanpa bertanya langsung untuk sekedar memastikan, Karina pun segera membuka pesannya. Apa kamu benar-benar menyukai film horor?
Karina segera membalas pesan tersebut. Tentu saja. Kenapa?
Aku hanya tidak menyangka kalau gadis seperti dirimu bisa punya selera yang berbeda.
Karina sedikit tidak mengerti arah pembicaraan yang dimaksud oleh Arshad. Maksudnya?
Maksudku, biasanya kebanyakan para gadis sangat menyukai film romantis daripada film horor.
Karina melirik Arshad yang tersenyum menatap ponsel dari ekor matanya. Aku menyukai keduanya. Karena menurutku, keduanya bisa membuatku masuk ke dalam suasana yang cukup menegangkan dan tentunya juga selalu bisa membuatku penasaran dengan endingnya.
Sementara itu, Malik bergerak pindah tepat di sebelahnya Maya yang sedari tadi berada di sebelah Karina. Sepertinya ia ingin menghilangkan rasa penasarannya. “Maya, apa sebenarnya kamu memang menonton film itu?” tanya Malik dengan nada pelan.
Maya mendengus pelan. Ia tidak menyangka kalau Malik akan menanyakan hal itu lagi padanya. “Ya, tadi itu sebenarnya… aku tidak menonton filmnya. Aku tadi hanya memejamkan mata dan mendengarkan musik,” ucap Maya terbata-bata. Ia sebenarnya sedikit malu untuk mengatakan hal itu pada Malik. Karena selama ini hanya Karinalah yang mengetahuinya. Tetapi, entah kenapa ia bisa berkata jujur pada Malik.
Alis Malik berkerut samar. “Itu kamu lakukan sejak awal film diputar hingga selesai?”
Maya mengangguk. Begitu melihat Malik hendak tertawa, Maya pun menghentikan langkahnya dan membuat Malik juga ikut berhenti. “Kenapa harus tertawa?” tanya Maya kesal sambil berkacak pinggang.
Malik pun segera berusaha untuk menghentikan tawanya. “Harusnya tadi aku lihat bagaimana ekspresi wajahmu saat seperti itu.” Lalu ia pun tertawa kembali.
“Apa kamu akan terus menertawakanku seperti itu?” ketus Maya dengan melipat kedua tangannya di atas dada.
Malik menghentikan tawanya, ia merasa bersalah. “Baiklah, sekarang aku sudah tidak tertawa lagi,” ucapnya dengan memasang raut wajah yang merasa bersalah.
Maya masih tetap dalam posisi yang sama dan tetap diam sambil menunggu Malik bicara. “Maaf. Aku hanya tidak habis pikir kamu melakukannya. Karena aku pikir, setakut-takutnya seorang gadis menonton film horor, paling tidak mereka akan tetap menontonnya meski diiringi dengan teriakan yang cukup membuat terapi telinga.”
“Berarti kamu sering membawa kekasihmu menonton film horor, ‘kan? Sampai kamu bisa tahu hal seperti itu,” ucap Maya bernada sindiran.
“Tidak,” jawab Malik begitu cepat. “Aku bisa tahu karena aku sering melihatnya di dalam film. Lagipula, aku sudah bilang kalau aku juga takut. Jadi, aku akan selalu menghindari yang namanya menonton film horor bersama siapapun itu. Dan yang tadi itu karena aku sudah tidak punya pilihan lain,” lanjutnya menutupi kegugupannya.
Kini, gantian Maya yang menertawakan Malik. “Kalau aku merasa takut, itu wajar karena aku seorang wanita. Tapi kalau kamu? Seorang lelaki takut nonton film horor?” tanya Maya masih bernada sindiran. Sementara Malik hanya menyipitkan matanya memperhatikan Maya yang tertawa puas karenanya.
***
Setibanya dikamar, Arshad segera membuka jaket jeans miliknya dan menggantungkannya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dengan posisi berbaring dan bersandarkan kedua tangan di kepala, ia pun tersenyum kembali mengingat hal-hal yang terjadi selama satu harian ini. Terutama saat berada di dalam bioskop tadi.
Selama hampir dua jam, Arshad tidak bisa memfokuskan pandangannya ke layar. Ada satu hal yang membuatnya benar-benar tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mencuri-curi pandang, yaitu ekspresi wajah Karina.
Dengan hanya diterangi cahaya dari layar, Arshad ternyata melirik Karina dari ekor matanya dan sesekali menoleh ke arah Karina. Entah kenapa Arshad begitu penasaran melihat wajah Karina yang tampak serius dan tanpa guratan ketakutan sedikit pun. Karena hal itulah, ia pun sampai-sampai tidak menyadari saat hendak mengambil popcorn dari Malik yang ada malahan tangannya dipegang dan digigit oleh Malik. Arshad sampai tidak habis pikir kenapa ia bisa sampai sekonyol itu hanya untuk memandang wajah Karina.