Dalam rasa senangku, ada penyesalan. Aku menyesal bertemu denganmu hari ini, karena lagi-lagi aku merasakan sakit yang lama. Dan jujur, aku rindu memasukkanmu ke cerita yang terukir dalam hariku.
Kla menghela nafas panjang karena menerima nasib untuk satu kelas dengan Risabelle. Kenapa cewek itu harus sama dengan Kla masuk ke jurusan Ekonomi Manajemen? Dia kan anak IPA, kenapa tidak masuk ke bagian saintek atau yang lainnya yang masih berhubungan dengan IPA.
“Eh ada Klatina.” Suara itu. Kla menoleh dengan malas.
“Ngapain sih kamu ambil Manajemen?”
Risa terkekeh, “Biar bisa kerja di kantor, gitu. Kamu jangan galak-galak dong, kita kan sudah dua tahun sekelas.”
Kla menaikkan sebelah alisnya, “Nggak peduli.”
Risa menyipitkan matanya, “Sombong banget sih, udah sukur cewek populer ini masih mau ngajak kamu ngobrol. Nyesel, deh.” Cewek yang rambutnya sudah memiliki warna biru diujungnya itu bergerak mencari tempat duduk di kelas, dan berusaha mencari perhatian anak-anak di kelas itu, seperti biasa. Menyebalkan, pikir Kla.
Kla mencari tempat duduk yag strategis untuk nanti menyimak dosen dengan seksama. Cewek itu bertekad untuk lulus kuliah dalam waktu tiga setengah tahun, maka dari itu ia mengikuti perkuliahan serajin mungkin.
“Ardha Valeriano? Duda ganteng yang punya mall Kertajaya, kan?”
Nama itu. Kla sedikit tertegun. Sudah lebih dari dua tahun ini, dia tidak pernah mendengar nama itu. Bahkan, Oxel yang keponakannya saja enggan membahas. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah tampak tua? Bagaimana Oza? Sudah sekolah belum ya? Pertanyaan demi pertayaan memenuhi kepala Kla.
“Ngomong-ngomong, kenapa dengan Ardha?” tanya Kla pada Alya yang tadi menyebut nama duda itu.
“Ck masa itu aja nggak tahu sih Kla?” kali ini Risa menyahut dari dua bangku di belakang Kla. “Dulu perasaan Mas Ardha juga pernah deh ke sekolah kita. Jangan-jangan kamu nggak tahu?” Risa memainkan ujung rambutnya yang sedikit ikal.
“Kamu kenal Ardha? Kok manggilnya Mas?” tanya Yola, cewek berkacamata, teman Alya membahas Ardha tadi.
Risa kembali menunjukkan senyum sombongnya, “Jelaslah, aku kan anak dari pemilik cafe di mall itu dan anak distributor juga di sana. Jadi, pasti kenal. Bahkan Mas Ardhanya juga pernah negur aku pas di sekolah.”
Mata Alya berbinar, takjub dengan pernyataan Risabelle, sedangkan Kla memutar bola matanya bosan. Selalu itu. Dan menambah-nambahi perihal kejadian di sekolah. Padahal jelas-jelas dia yang menyapa Ardha.
“Jadi, jawaban pertanyaanku tadi apa? Kenapa sama si Ardha itu?” tanya Kla tak sabaran.
“Dia bakal ngadain kuliah umum di prodi kita.”
“Oh,” jawab Kla singkat, padahal jantungnya sudah tidak karuan. Kuliah umum? Berarti, dia akan bertemu lagi dengan om gantengnya?
“Itu wajib loh. Kalau nggak, Pak Anton bakal gagalin kita di mata kuliah beliau.”
Desahan beberapa anak laki-laki di kelas membuat Alya terkikik geli. Kalau yang perempuan jangan ditanya. Sampai malam pun, mereka siap untuk mengikuti kuliah umum itu.
****
Selama kuliah umum, Kla berusaha menghindari tatapan Ardha. Cewek itu takut kalau pria itu mengenalinya. Namun, Kla juga tak henti memandangi duda anak satu itu. Tidak banyak berubah, hanya saja Kla merasa tatapan Ardha tampak menyedihkan. Pria itu juga kini memiliki bulu halus yang rapi di wajahnya.
“Sekian kuliah dari saya, semoga materi yang saya berikan dapat berguna untuk Anda sekalian. Terima kasih.”
Tepuk tangan meriah, terlebih dari kalangan perempuan, diberikan pada Ardha. Pria itu undur diri, keluar dari aula dan melayani beberapa mahasiswi yang dari bagian jurnalistik kampus untuk diwawancarai.
“Hen, temanin aku ke toilet, yuk?” panggil Kla pada teman sekelasnya, Hena.
“Ayo.” Hena menoleh sebentar ke arah temannya, “Nara, aku nemenin Kla dulu ya. Kamu tunggu di luar aja, nanti aku langsung ke luar aula.”
Tanpa diduga, sekembalinya dari toilet, Kla dan Hena berpapasan dengan Ardha. Kla membeku seketika karena pria itu menatap tepat ke arah matanya.
“Kla?”
“Ardha?”
Cewek itu sudah tidak berniat memanggil pria tersebut dengan embel-embel Om. Dia merasa sudah bukan anak kecil lagi.
Hena melongo kaget karena temannya mengenal pemberi kuliah umum pada mereka hari itu.
“Saya ke sini untuk kuliah umum–“
“Iya, aku tau. Aku salah satu mahasiswa yang ikut kuliah umum kamu. Aku juga nggak berkhayal kalau kamu ke sini untuk cari aku kok, Ar.” Kla tersenyum kecut. “Permisi.”
Cewek itu menarik tangan Hena, mengajaknya pergi dari sana, meninggalkan Ardha yang masih ingin bertanya mengenai kabar cewek menggemaskan yang dulu mengejarnya itu. Ardha menarik sudut bibirnya melihat punggung Kla yang menjauh. Cewek itu sudah dewasa sekarang, sudah bukan anak SMA yang merengek menyatakan cinta padanya.
Padahal, sempat tadi Ardha ingin jujur kalau ia kalah taruhan. Bahkan sebelum taruhan itu dimulai.
****
Kla menyoret-nyoret bukunya dengan bentuk awut-awutan. Kenapa dia harus bertemu Ardha? Dua tahun sudah berniat move on, luntur begitu saja hanya karena sapaan. Mau sekuat apa pun tembok yang dibangun, jika menyangkut orang yang membuat kita jatuh cinta, maka akan runtuh juga.
“Kla, udah lama ya?” sebuah panggilan menyadarkan Klatina, membawa cewek itu kembali ke tempat semula. Bangku kantin.
“Eh, nggak kok. Aku juga baru ke sini jam 11 tadi, Xel.”
Oxel mengecek jam tangannya, sudah pukul 11.40. Biasanya terlambat sepuluh menit saja, cewek itu akan ceramah panjang lebar, mengalahkan ceramah dosen.
“40 menit loh, Kla, telatnya.”
Kla melirik sekilas ke arah Oxel, “Iya, nggak papa. Pesan, gih. Aku mau es teh sama nasi ayam penyet, ya,” ujarnya kemudian memasukkan buku yang tadi dicoretnya ke dalam tas. Cewek itu tadi berniat menulis puisi sambil menunggu, tapi malah membuat coretan tak jelas sambil memikirkan hal yang tak jelas pula.
Menulis puisi saat ini sudah menjadi hobi baru Kla sejak kejadian ia menolak Ardha untuk bermain drama pembatalan perjodohan itu. Maksudnya adalah untuk mencari kesibukan dan berusaha move on.
“Kla, kamu sudah mau jawab pertanyaanku minggu kemarin? Ini sudah pas satu minggu, loh.” Oxel yang sudah selesai memesan kembali duduk di depan Kla.
“Kalau aku minta waktu lagi, apa kamu marah, Xel?” Kla memang dulu sempat grogi setelah Oxel menyatakan perasaannya, tapi hal itu hilang seiring berjalannya waktu, dan membuat perasaannya seperti sedia kala, tanpa si grogi atau sebangsanya.
Oxel menghela nafas, “Apa hak aku untuk marah? Itu kan hak kamu untuk jawabnya kapan. Tapi, Kla, jangan menyalahgunakan hak itu. Tiap manusia punya waktu dan batas untuk menunggu.”
“Kenapa kamu masih nunggu aku sampai sekarang kalau gitu? Batas waktu kamu kapan sih?”
Oxel tertawa, mengacak pelan rambut Kla, “Kok bahasan kita jadi serius gini? Nggak asik, tau! Udah, kalau belum bisa jawab, aku bakal nunggu kamu. Lagi.”
“Ayo pacaran!”
Oxel hendak mengatakan sesuatu, bentuk ungkapan keterkejutannya akan ajakan Kla, namun pelayan kantin menginterupsi itu karena pesanan mereka sudah siap.
“Makan dulu, Xel.”
****
“Kla, kamu yakin pacaran sama Oxel?” tanya Cleva tidak percaya. Kenapa mendadak begini? Padahal di awal tahun kuliah, saat Cleva mati-matian memaksa sahabatnya itu untuk menerima cinta Oxel demi melupakan om gantengnya, Kla menolak mentah-mentah dengan alasan tidak niat menjadikan Oxel pelarian.
“Yakin. Kenapa?”
Wajah Kla tidak menunjukkan keyakinan. Ada yang salah, pikir Cleva.
“Kla, kalau memang belum bisa ngelupain, jangan dipaksa. Sejatinya, ngelupain nggak bisa semudah itu. Aku nggak percaya kamu bisa buka hati untuk Oxel.”
“Kamu sendiri dulu yang suruh aku untuk terima Oxel demi ngelupain Ardha.”
“Itu kan dulu, Kla, awal kuliah, gara-gara aku pikir kamu cuma suka sekedarnya sama Ardha. Toh itu sudah lama. Aku sadar kalau kamu emang jatuh cinta sama Om Ardha.”
Kla menggeleng, “Percuma kalau cuma mencintai. Mending aku pindah ke lain hati, kan? Kalau mentok di dia terus, mau jadi apa masa depan percintaanku?”
“Terserah kamu, Kla, asal janji untuk bahagia. Move on kalau nggak bahagia, percuma.”
Kla meresapi kalimat terakhir yang diujarkan Cleva. Sahabatnya itu sudah berubah sejak kuliah. Lebih dewasa. Buktinya, tiap kalimat yang ia ucapkan, dengan lihai merasuki pikiran Kla.
Dalam pikiran Kla, ada satu orang yang akan bahagia atas semua ini, selain Oxel. Mama. Dee pasti bahagia kalau Kla dan Oxel memiliki peningkatan dalam hubungan. Padahal, menurutnya, bahkan jadi sahabatnya pun, Oxel sudah memiliki tempat yang spesial di hati Kla.
“Nenek sihir?” panggilan familiar itu membuat Kla tersentak. Sendok yang sejak tadi ia pegang, terjatuh begitu saja.
Cleva mengernyit karena seorang anak kecil berseragam putih merah memanggil sahabatnya dengan sebutan nenek sihir. Kla langsung menoleh, mendapati Oza ada di belakangnya. Anak itu sudah lebih tinggi dari terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya pun juga lebih panjang dan dikuncir satu. Wajah Oza semakin mirip dengan ayahnya, kecuali di bagian mata, yang tampak sedikit sipit, mengikuti ibunya.
“Oza? Kamu kok ada di sini?”
Oza menunjuk ke seorang perempuan yang menggendong balita, duduk tak jauh dari tempat Kla dan Cleva duduk. Itu Cecilia.
“Oh, kamu sama Cecilia. Kamu sudah sekolah sekarang?”
Tidak menjawab, Oza memeluk leher Kla, membuat cewek itu tertegun.
“Oza rindu nenek sihir. Oza nungguin setiap Sabtu tapi nggak datang,” ujar anak kecil itu dengan nada sedih.
Kla membelai lembut rambut Oza, membuat Cleva terharu dengan pemandangan yang ada di depannya ini. Cleva merasa, perjalanan Kla dulu hanya tinggal sedikit lagi, karena anak dari duda keren itu sudah berhasil ia curi perhatiannya.
“Oza, kamu ngapain peluk orang kayak gitu?” Cecilia mendekati tempat Kla karena menyadari Oza tidak ada di sekitarnya, tapi malah terlihat memeluk orang asing.
Setelah Oza melepas pelukannya, Cecilia sadar kalau orang yang dipeluk oleh Oza adalah Kla.
“Kamu?” ujar Cecilia takjub melihat siapa yang ada di hadapannya.
“Iya, aku. Kakak sekarang sudah punya anak? Wah lancar ya kehidupannya dengan Ardha.”
Mata Cecilia membola mendengar Kla memanggilnya kakak dan memanggil Ardha tanpa embel-embel Om.
“Iya, hidupku lancar dan aku sudah punya anak, tapi ini bukan–“
“Selamat ya kalau begitu.” Kla mengalihkan pandangannya pada Cleva, “Va, aku kayaknya udah kenyang. Ayo pulang!” ajaknya kemudian pamit pada Cecilia dan Oza.
Oza menatap sedih punggung Kla yang keluar dari tempat makan itu.
“Tante, jangan bilang Papa kalau Oza ketemu sama nenek sihir, ya?” pinta Oza sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
“Iya, Tante janji,” ujar Cecilia sambil tersenyum, mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Oza.
*****
“Ma, aku sekarang punya pacar,” ujar Kla mengumumkan saat makan malam, membuat aktivitas kedua orang tuanya terhenti.
“Siapa? Bukan duda, kan?” tanya Dee sedikit sinis pada anaknya.
“Oxel.” Kla berdiri, karena ia sudah selesai dengan makanannya. Mata Dee berbinar bahagia mendengar nama Oxel.
“Harus ya kamu kayak gitu, Ma? Apa salahnya sih jatuh cinta sama duda? Toh dia jadi duda bukan karena cerai. Dia juga nggak setua itu, kok,” Nathan menatap bingung istrinya.
“Ya karena Papa itu laki-laki, nggak ngerti gimana panasnya gosip ibu-ibu tetangga kalau tahu anak kita nikah sama duda. Biarpun Ardha itu kaya, punya mall, punya ini itu, tapi dia duda. Sudah punya anak pula. Mama nggak mau anak kita dikatain penggaet duda kaya demi harta.”
Nathan menghela nafas, “Kalau semua orang tua punya pemikiran kayak Mama, bisa-bisa anak-anaknya bakal milih jadi perawan tua. Orang jatuh cinta kok diatur-atur. Dulu, lagaknya nggak mau ngatur, sekarang malah ikut campur.”
“Papa apaan sih? Malah ngebela anaknya yang naksir sama duda!”
“Lah, Papa bukan ngebela, tapi cuma menyampaikan opini. Nggak ada yang salah dalam mencintai. Kita juga belum tahu, kan, perasaan Ardhanya gimana. Kalau Ardhanya juga suka sama Kla gimana? Mama dosa tau, misahin orang yang sama-sama cinta kayak gitu.”
Kla menahan emosi mendengar perdebatan kedua orang tuanya. Salah sendiri karena bukannya langsung masuk kamar, malah menguping pembicaraan antara mama dan papanya. Baru saja cewek itu hendak melangkahkan kaki, pernyataan Dee mengurungkan niatnya.
“Mama suruh Ardha untuk jauhi Kla ....” Dee menceritakan semua yang ia lakukan demi menjauhkan Ardha dari Kla.
Nathan menatap lekat istrinya yang tak berani menatap balik, “Kok kamu tega, Ma?”
Air mata jatuh begitu saja dari mata Kla. Sudah ia hapus berulang kali, tapi tetap jatuh lagi. Ia berlari masuk kamar, mengunci diri dan menangis dalam diam. Ia tidak terisak, karena tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata saja yang deras mengalir, dengan tatapan kosong dan tanpa ekspresi.
Jadi selama ini dia menjauhi Ardha karena perbuatan ibunya sendiri? Mau menyesal pun sudah kepalang tanggung. Ardha sudah bahagia bersama Cecilia. Jadi, untuk apa? Di sisi lain, dia bahagia, karena cintanya yang dulu, tidak sendirian.
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha