Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love You, Om Ganteng
MENU
About Us  

Ini kencan pertama Kla dan Oxel. Cowok yang sudah berstatus mahasiswa itu sekarang sudah menunggu sang pacar di restoran ayam cepat saji yang memiliki ikon bapak tua berjenggot putih. Oxel tak henti tersenyum sejak Kla mengajaknya untuk mengikat hubungan yang lebih serius. Pacaran.

Jadi begini rasanya? Oxel belum pernah pacaran sama sekali. Mungkin pernah, tapi hanya satu hari, itu pun gara-gara disuruh Kla. Mau menerima ajakan jalan oleh perempuan pun karena Kla. Selama ini cowok yang sudah memiliki tindik di telinga kiri itu selalu memperhatikan Kla yang sering gonta ganti pacar.

Bukan hanya sekali Oxel merasa cemburu, tapi hampir setiap hari. Apalagi saat Kla jadian dengan Joseph untuk pertama kali. Rasa cemburu terhebat yang pernah Oxel alami adalah saat Kla jatuh cinta dengan pamannya. Atau mungkin hal itu masih terjadi sampai sekarang?

“Hai, Xel, udah lama?” sapa Kla dengan mata bengkak, bekas menangis tanpa suara semalaman.

Oxel yang awalnya tersenyum, merubah raut wajahnya menjadi khawatir, “Kla? Kamu kenapa? Kenapa kamu pucat? Mata kamu juga sembab. Kamu ... nangis?” tanyanya hati-hati.

Karena dicecar pertanyaan seperti itu, Kla kembali mengingat pengakuan ibunya semalam. Matanya kembali berkaca-kaca. Oxel semakin panik.

“Mungkin kita tunda dulu kencan ini. Kamu mau cerita?” Oxel berdiri, mengajak Kla keluar dari restoran ayam tersebut. Tanpa penolakan, cewek itu mengikuti arah jalan Oxel.

Oxel membawa Kla duduk di tempat yang tak jauh dari restoran ayam tadi, berusaha menenangkan sahabat yang sudah berganti status jadi pacarnya itu.

“Kla, kamu kenapa? Ada masalah apa? Risabelle buat ulah yang berbahaya ke kamu?” tanya Oxel masih berhati-hati.

Kla menggeleng, “Aku nggak bisa cerita ke kamu,” ujarnya bergetar.

Dengan lembut, Oxel membawa Kla ke dalam pelukannya, menenangkan cewek itu, dan membisikkan kata-kata yang menenangkan.

“Kamu kalau belum mau cerita nggak papa, aku tunggu. Nggak mau cerita pun nggak papa. Sini biar aku peluk sampai kamu lega. Nanti kita beli eskrim.”

Hati Kla terasa hangat. Ia lupa kalau selama ini ia memiliki sahabat sebaik Oxel. Kenapa dia harus sakit hati mengingat Ardha kalau ada Oxel? Perlahan, Kla melingkarkan tangannya di pinggang Oxel, memeluk cowok itu, kemudian menangis sesenggukan. Suaranya baru dapat dikeluarkan setelah memiliki sandaran. Akhirnya, dia tidak menangis dalam diam.

“Iya, Kla, keluarin aja, nggak papa. Menangis emang salah satu cara untuk meringankan beban di hati dan kepala.” Oxel mengusap-usap punggung Kla.

 

**

“Maaf ya, Xel, baju kamu sampai basah kayak gitu,” ujar Kla penuh penyesalan melihat kaos berwarna cyan yang dikenakan Oxel basah di bagian dada.

“Iya, nggak papa. Mentok-mentok aku dikira habis nyusuin sapi.” Oxel tertawa sambil mengibas-ngibaskan bajunya.

“Ih, jangan gitu. Masa pacarku dikira nyusuin sapi?” Kla tertawa, ntah karena memang lucu atau dia berusaha menyembunyikan kepedihannya.

Oxel tersenyum lebar, sangat senang mendengar Kla mengakuinya sebagai pacar.

“Ya udah, kalau gitu, pacar, ayo dong kita jalan-jalan.” Oxel merangkul bahu Kla, mengajaknya masuk ke dalam mall yang ada di dekat mereka.

Langkah Kla terhenti menyadari mall yang hendak mereka masuki adalah Kertajaya. Pikiran-pikiran Kla mengenai pemilik mall itu dibuangnya jauh-jauh kemudian mengambil lengan Oxel yang tadi di bahunya untuk dirangkul, mengajak pacar barunya itu segera masuk ke sana.

“Ayo, kita beli baju dulu untuk kamu,” ujar Kla semangat, walau matanya masih tampak sembab.

**

Sudah satu jam lebih Kla dan Oxel bermain di arena bermain. Kla menikmati keseruan itu, dengan tujuan melupakan semua masalah yang sudah membebaninya selama dua tahun ini. Paling tidak, sakit selama dua  tahun ini, tak dia rasakan sendirian. Hanya saja, dia sedih, kenapa Ardha harus mengalah secepat itu? Kenapa dia memilih bersama dengan Cecilia pada akhirnya?

“Ah! Kita kalah, Kla. Kamu sih malah melamun. Mikirin apa sih?”

Kla meletakkan senjata mainan yang ia pegang ke tempatnya kemudian lagi-lagi merangkul lengan Oxel, “Ayo ke toko buku di lantai dua! Aku mau beli buku tulis.”

“Untuk?”

“Ya untuk nulis, Xel, masa untuk bungkus gorengan.”

Sambil menunggu Kla yang memilih novel, padahal niat awal hanya membeli buku tulis, Oxel melihat-lihat pensil warna. Dia lupa kalau pernah berjanji pada Oza untuk membelikan anak kecil itu pensil warna yang baru karena Oza akan mengikuti lomba mewarnai.

“Kamu di sini, Xel?”

Oxel berbalik, mendapati Ardha dan Oza di sana. Oxel mengerutkan dahinya, ngapain mereka di sini? Tapi, ini kan memang mall milik keluarganya, dan Ardha adalah pamannya, jadi wajar kalau mereka ada di sini.

“Iya.”

Semenjak dua tahun ini, hubungan Oxel dan Ardha sedikit tidak baik. Oxel memilih menjauhi Ardha dan hanya akan bermain dengan Oza jika Ardha sedang bekerja. Oxel juga hanya menjawab seperlunya jika Ardha mengajaknya bicara, seperti saat ini.

“Oza mau beli itu, Mas. Abis, Mas Oxel katanya janji mau beliin, sudah satu minggu Oza tunggu nggak dibeli juga. Lombanya kan besok, Mas.” Oza mengambil pensil warna yang dipegang Oxel sejak tadi.

Oxel tersenyum, mengacak pelan rambut Oza, “Maafin Mas, ya? Mas lupa, soalnya kemarin banyak praktik kuliah, jadi nggak sempat buat ke toko buku. Lagian, Papa kamu kan yang punya mall ini, tiap hari pasti ke sini, kenapa nyuruh Mas sih yang beli?”

Oza seakan berbisik menjawab pertanyaan Oxel, “Papa nggak ngerti mana pensil warna yang bagus untuk dipakai, Mas.”

Oxel tersenyum miring, “Papa kamu juga nggak tau mana perempuan yang bagus untuk dimiliki, Za,” bisiknya tak terdengar.

“Ngomong-ngomong kamu ke sini sama siapa, Xel?”

Oxel akhirnya menyadari kalau dia ke sini bersama Kla. Bagaimana kalau Kla bertemu Ardha? Bagaimana kalau pacar barunya itu malah kembali menyukai Ardha dan meninggalkannya?

“Oh aku ... aku sama–“

“Sama pacarnya.” Kla tiba-tiba muncul di balik punggung Oxel sambil tersenyum, tepatnya ke arah Oza.

“Pacar?” ulang Ardha.

Oxel meragkul bahu Kla, “Iya, kami sudah resmi pacaran.”

“Pacar itu apa, Pa?” tanya Oza polos pada ayahnya, dengan wajah khawatir. Gadis kecil itu takut, Oxel benar-benar mengambil Kla darinya dan dari ayahnya.

“Pacar itu, kalau ada dua orang sama-sama suka, terus mereka pacaran deh,” jawab Kla dengan senyum manisnya.

“Bagus kalau kalian akhirnya bisa bersama, saya senang. Semoga bahagia ya, langgeng juga.”

Kla mengangguk antusias, “Iya. Aku bahagia sama Oxel, kok. Dia manusia yang mau nunggu aku sampai balas perasaan dia, tanpa pemaksaan. Dia juga sabar untuk nungguin aku move on dari manusia yang dulu nggak pantas untuk dapatin hati aku.”

Ardha menatap mata Kla yang sembab. Di pikirannya, mulai timbul pertanyaan. Kenapa dengan cewek itu? Kenapa di setiap kata yang dia ucapkan mengandung emosi?

“Oxel, aku udah pilih novelnya. Ayo bayar! Aku juga lapar, makan yuk?” ajak Kla penuh minat.

Oxel tersenyum, mengangguk, “Ayo.”

Tangan Kla ditahan  oleh sepasang tangan mungil. Oza.

“Kak, ayo main ke rumah! Oza janji nggak panggil nenek sihir lagi. Oza kangen, Kak,” ujar anak 6 tahun itu dengan mata yang berkaca-kaca.

Kla tidak tega kalau melihat Oza menangis nantinya. Dia  melepaskan genggaman tangan anak kecil itu, melirik sekilas ke arah Ardha yang kaget dengan tindakan anaknya.

“Maaf, Oza, kakak sekarang sibuk kuliah. Kakak nggak bisa main-main kayak dulu lagi.”

Tampak kekecewaan di mata Oza, “Kalau gitu, Kakak bisa datang kan ke lomba mewarnai Oza besok jam 11 di sini?”

Kla berpikir sejenak, apakah dia ada jadwal kuliah besok. Tidak. Baiklah.

“Oke, Kakak bisa kalau liat kamu lomba mewarnai besok, bareng Mas Oxel.” Kla melirik Oxel, “Bisa kan, Xel?”

Oxel menggeleng pelan, “Kamu aja, Kla, aku ada praktikum besok dari jam 10 sampai jam 3.”

Kla manggut-manggut, “Ya udah, besok Kakak ke sini, oke?” Kla mengangkat lima jarinya, mengajak Oza untuk tos, yang langsung cepat disambut anak itu.

“Oke, Oza tunggu.”

 

**

Haruskah ku beri peringatan

Bahwa hati bisa patah

Rasa boleh berubah

Namun ku sadar

Namanya selalu ada dalam rasa

Kla menutup buku kumpulan puisi miliknya, memasukannya ke dalam tas lalu pergi menuju mall Kertajaya.

Sesampainya di mall tersebut, banyak anak seusia Oza bersama orang tua mereka di sana. Kla mengedarkan pandangan, mencari di mana Oza. Kla menemukan gadis kecil tersebut di sudut sebelah kanan dekat eskalator menuju lantai atas, sedang duduk diam sambil membawa peralatan mewarnainya, menatap iri ke anak-anak yang bersama orang tua mereka.

Kla mendekat kemudian menepuk pelan bahu Oza, “Hei, ngapain liat mereka?” tanyanya penasaran.

“Boleh aku panggil nenek sih– maksudnya Kakak dengan sebutan Mama?”

Kla tertegun. Dulu, inilah saat yang dinatikan olehnya. Dipanggil Mama oleh Oza. Dulu, Kla sangat tergila-gila dengan ayah dari gadis kecil itu dan dengan semangat penuh ingin menjadikan Oza anaknya. Ntah kenapa, perasaan itu masih ada sampai saat ini, namun banyak hal yang harus diperhitungkan sekarang.

“Boleh?” taya Oza lagi, karena Kla tak menjawab, hanya diam saja menatap kosong ke arah Oza.

“Tapi, kamu kan sudah punya Mama baru, Za.” Kla tidak enak hati jika ia mengizinkan Oza memanggilnya mama. Hal itu bisa membuat Cecilia merasa tak dihargai.

“Mama baru? Siapa?” Oza terlihat bingung.

“Cecilia.”

Oza menggeleng cepat, “Tante Cecilia itu tante Oza. Nikahnya sama Om  Arga, adik Papa.”

Kla melongo. Jadi, kemarin yang dia lihat itu, keponakannya Ardha, bukan anaknya? Hati Kla terasa lapang, seakan beberapa beban yang memadatinya menghilang. Kelegaan yang luar biasa dirasakan oleh cewek itu. Senyumnya pun melebar. Tapi, kembali redup saat mengingat pernyataan ibunya dan statusnya sebagai pacar Oxel saat ini.

“Jadi, boleh Oza panggil Mama?”

Kla menepuk dahinya, lupa dengan pertanyaan Oza karena terlalu asyik dengan pikiranya sendiri.

“Boleh, sayang.”

Oza memeluk haru Kla. Dari lantai atas, Ardha memperhatikan interaksi keduanya. Senyum tipis menghiasi wajah pria itu. Ia terharu menemukan Kla yang benar-benar telah dewasa. Pria itu berusaha untuk menahan hatinya, karena Kla sudah menjadi milik Oxel.

“Oza, kamu sama siapa itu?” tanya seorang anak laki-laki bermata belo pada Oza.

Kla terkejut dengan perubahan sikap Oza saat anak laki-laki itu datang. Gadis kecil tersebut memasang wajah masam.

“Ini Mamaku,” jawab Oza sambil mendengus.

“Hah? Mana mungkin! Kamu kan nggak punya Mama. Aku sering lihat Papa kamu sendirian, kok,” ujar anak laki-laki itu ngotot dengan tampang menyebalkan.

Kla tertawa kecil melihat ekspresi kedua anak kecil di hadapannya itu. Tapi, di saat bersamaan, dia juga kasian karena ternyata Oza selama ini iri dengan teman-temanya yang memiliki ibu.

“Aku punya Mama.” Oza memeluk Kla.

“Nggak, Oza. Kamu nggak punya Mama,” bantah anak laki-laki tersebut.

“Pokoknya ini Mama aku!” tangis Oza pecah seketika, membuat anak laki-laki itu kaget, mungkin tidak menyangka bahwa Oza akan menangis.

Kla langsung berlutut dan memeluk Oza, menepuk-nepuk bahu gadis kecil itu, “Sssh, tenang, Oza. Jangan nangis, sebentar lagi lombanya mau dimulai. Mama di sini, untuk kamu.”

Kla beralih menatap anak laki-laki yang membuat Oza menangis, “Nama kamu siapa?” tanyanya lembut.

“Romeo,” jawab anak itu pelan.

“Nah, Romeo, jangan gitu lagi ya sama Oza. Oza punya Mama, kok.” Kla tersenyum, “Ayo sini baikan sama Oza.”

Kla melepas pelukannya dari Oza yang sudah mulai berhenti menangis. Oza berbalik menatap dengan penuh kebencian ke arah Romeo.

“Oza, maafin aku, ya? Aku nggak tahu kalau kamu ternyata punya Mama.” Romeo mengulurkan tangannya, meminta maaf.

Oza menggeleng, “Nggak,” ujarnya, kemudian menarik Kla tanpa menoleh ke arah Romeo yang kecewa.

**

Oza duduk di posisi yang sudah ditentukan panitia lomba mewarnai, dan tempatnya ternyata bersebelahan dengan Romeo. Gadis kecil itu kesal bukan main. Kla yang melihat dari luar lingkaran lomba, bersama orang tua yang lain, hanya bisa tertawa melihat raut wajah Oza yang kesal dan wajah Romeo yang tampak sangat bersalah sudah membuat Oza menangis.

“Kenapa kamu ketawa sendirian? Disangka gila baru tau rasa. Saya nggak mau kalau orang-orang pikir kamu gila. Kamu kan tadi ngaku kalau kamu itu Mamanya Oza. Bikin citra saya buruk saja.”

Kla melirik ke sumber suara di sebelah kanannya dengan wajah sebal, “Oh, maaf kalau begitu, Pak Ardha Valeriano,” tegasnya.

Terjadi keheningan selama beberapa menit atara keduanya, sampai Ardha buka suara.

“Kamu ... apa kabar?”

Hati Kla terasa sedikit sesak mendengar pertanyaan yang sarat akan perhatian itu. Sejujurnya, cewek itu ingin sekali memeluk Ardha saat itu juga. Semua kenangan mendadak berputar di kepalanya. Kenangan ketika pertama kali bertemu, saat Ardha membantunya mengambil handphone yang ditahan Bu Berta, dan saat dia mengajak pria itu taruhan.

“Ayolah, Om! Kasih aku waktu sampai satu minggu sebelum ujian nasional untuk bikin Om suka sama aku. Kalau aku gagal, aku bakalan menjauh dan nggak dekatin Om lagi. Cuma sekitar 2 bulan kok.”

“Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu.”

“Kalau suka, gimana?”

“Ya berarti saya sudah gila.”

“Gimana rasanya jadi gila, Ar?” Kla menatap Ardha yang berdiri di sebelahnya.

Pria tersebut bingung dengan pertanyaan Kla, “Apa maksud kamu? Ck! Padahal saya sudah memperlihatkan simpati saya sebagai kenalan yang sudah dua tahun tidak bertemu, kamu malah tanya gimana rasanya jadi gila. Apa-apaan pula itu, kamu nggak panggil saya dengan embel-embel Om? Kamu kan pacar keponakan saya, harusnya manggilnya Om, bukan nama. Nggak sopan.” Ardha membuang pandangan ke arah lain, karen jujur dia tidak sanggup melihat bola mata Kla.

“Aku tanya, gimana rasanya jadi gila?” Tidak ada ekspresi di wajah Kla. Cewek itu menatap datar Ardha.

“Sepertinya kabar kamu baik, ya? Kuliah kamu juga kelihatannya lancar. Baik-baik ya sama keponakan saya. Dia itu jarang jatuh cinta, walau dari kecil anaknya memang sudah ramah dan banyak teman. Jadi, kamu jangan sia-siakan dia.”

Kla menghela nafas, “Taruhannya ... aku yang menang, kan?” tanyanya lagi tanpa menyerah walau Ardha selalu mengelak dengan mengatakan hal yang lain.

“Sepertinya saya harus periksa keadaan gudang,” ujar Ardha setelah melirik jam tangannya dan pergi dari hadapan Kla.

Kla mengejar Ardha, selagi masih ada waktu. Masih ada sisa 50 menit untuk lomba mewarnai yang diikuti Oza. Cewek itu mendahului langkah Ardha dan berdiri tepat di hadapan pria tersebut, menghalangi jalan.

“Kenapa kamu ikutin saya?”

“Taruhan. Aku yang menang atau kamu?”

Tanpa ekspresi, Ardha berjalan melewati Kla, sedikit menumbur bahu cewek itu.

“Jawab Ardha!” bentak Kla penuh emosi, membuat langkah pria berjas itu terhenti dan beberapa orang di mall menatap mereka.

Ardha berbalik. Karena mereka memiliki jarak, pria itu menjawab dengan meninggikan sedikit volume suaranya.

“Kamu yang menang. Bahkan sebelum taruhan itu dimulai.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Vnimu

    Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • emirah

    Tanggung jawab diriku langsung berangkat kerja tanpa tidur sedikit pun gara2marathon cerita ini huhu

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • dede_pratiwi

    nice story

    Comment on chapter Prolog
  • emirah

    Wah nih story ko bikin senyum-senyum sendiri ya padahal baru baca prolognya doang~

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
MY MERMAN.
610      450     1     
Short Story
Apakah yang akan terjadi jika seorang manusia dan seorang duyung saling jatuh cinta?
Summer Whispering Steam
4375      1334     1     
Romance
Nagisano Shizuka, Okinawa, angin laut yang lembut dan langit biru yang luas, kedai kopi yang menjadi persinggahan bagi siapa saja yang ingin beristirahat sejenak dari kesibukan dunia. Dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta”, selamat datang di Nagisano Shizuka. Yuki, sang manajer, menjalankan kedai ini bersama rekan-rekannya—Estrella, Arlend, Hayato, dan lainnya. Hari-hari ...
The Second Lady?
447      323     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?
An Hourglass from the Opus Kingdom
480      278     3     
Science Fiction
When a girl, rather accidentaly, met three dwarfs from the Opus Kingdom. What will happen next?
Cadence's Arcana
6235      1621     3     
Inspirational
Cadence, seorang empath, tidak suka berhubungan dengan orang lain. Ketika dia kalah taruhan dari kakaknya, dia harus membantu Aria, cewek nomor satu paling dihindari di sekolah, menjalankan biro jasa konseling. Segalanya datar-datar saja seperti harapan Cadence, sampai suatu saat sebuah permintaan klien membawanya mengunjungi kenangan masa kecil yang telah dikuburnya dalam-dalam, memaksanya un...
Kisah Alya
318      230     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
Janji-Janji Masa Depan
15085      3504     12     
Romance
Silahkan, untuk kau menghadap langit, menabur bintang di angkasa, menyemai harapan tinggi-tinggi, Jika suatu saat kau tiba pada masa di mana lehermu lelah mendongak, jantungmu lemah berdegup, kakimu butuh singgah untuk memperingan langkah, Kemari, temui aku, di tempat apa pun di mana kita bisa bertemu, Kita akan bicara, tentang apa saja, Mungkin tentang anak kucing, atau tentang martabak mani...
Zona Erotis
758      498     7     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....
Teman
1427      666     2     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Return my time
305      260     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.