“Lama banget sih, Kla. BAB ya?” tanya Oxel sekembalinya aku. Dia tidak tahu saja apa yang sudah terjadi padaku tadi. Tapi karena itu senyum tak henti mengembang di wajahku.
“Segitu leganya udah ngeluarin hajat, Kla?”
Aku mengangguk antusias menanggapi Oxel. Karena dengan satu kalimat yang terlontar dari mulut Ardha sukses membuatku tersenyum senang sampai saat ini. Setelah keteguhannya yang berniat menikahiku, ia memintaku untuk pergi karena semua akan ia urus setelahnya. Aku tidak mengerti maksudnya tapi aku tetap senang.
“Makan, Kla! Keburu dingin.”
Aku mengangguk kemudian melahap makananku dengan semangat. Aku tidak pernah selapar ini.
**
“Om Ardha?” ujarku dan Oxel bebarengan saat keluar dari restoran. Kapan dia keluar? Kenapa terlepas dari pandanganku?
“Maaf, Xel, pinjam calon istriku sebentar.” Ardha menarikku ke sisinya, membuat Oxel takjub.
“Permisi.” Ardha menarikku ke arah mobilnya, meninggalkan Oxel yang terperangah, tak bisa berbuat apa-apa atau pun mencegah kepergianku.
Ardha menyuruhku masuk ke dalam mobilnya, dengan wajah datarnya. Sialnya aku seakan terhipnotis, masuk begitu saja ke dalam mobil itu. Om ganteng pun memacu mobilnya, mengikuti sedan hitam yang berada di depan mobilnya.
“Kita mau kemana, Om?”
“Ke rumah kamu.”
Mataku membola. Astaga, kenapa? Jangan-jangan aku mau dilamar?
Mati aku. Kurasa akan ada perang dunia nanti. Mama paling anti kalau aku berurusan dengan yang namanya cinta kalau masih masa studi begini.
Aku meremas ujung bajuku khawatir. Kurang dari lima menit lagi, aku akan sampai di rumah. Itu membuatku makin cemas saja. Lagian, aku memang mau jadi istri Ardha, tapi bukan sekarang, ditambah lagi kemarin Mama mengungkit mengenai status Ardha yang duda.
“Ayo turun, Kla, kita sudah sampai di rumah kamu.” Ardha melepaskan sabuk pengamannya dan milikku.
“Om,” panggilku menahan lengannya sebelum keluar dari mobil.
“Iya?” tanyanya dengan wajah datar.
“Aku emang bermimpi jadi istri Om, tapi nggak sekarang. Lulus SMA pun aku belum. Ini kecepatan namanya. Lagipula, aku masih mau kuliah, belum mau jadi istri. Dan ... Om juga belum ceritain yang sebenarnya terjadi di restoran tadi.”
Ardha berkedip beberapa kali kemudian tertawa melihatku. Ini pertama kalinya aku melihat dia tertawa. Apa yang terjadi dengan om gantengku ini? Kenapa dia berubah jadi menggemaskan? Atau ini kembarannya?
“Kamu baru begitu sudah ge-er?” tawanya membuat senyumku luntur.
“Maksudnya?”
“Saya masih tidak ada niat untuk memperistri kamu. Saya hanya harus menjauhkan diri dari Cecilia dan perjodohan bodoh dengannya itu. Oza sama sekali tidak suka dengan perempuan itu.”
Ardha menarik nafasnya, “Kamu benar, tadi kita bermain drama. Dan sekarang, saya masih bermain drama dengan mengantar kamu pulang. Siapa juga yang mau melamar kamu? Orang tua saya juga bukan orang tua yang memaksa anaknya untuk cepat menikah.”
“Jadi, maksud Om?”
“Saya meyakinkan mereka kalau kita akan menikah, tapi saat kamu sudah kuliah atau lulus kuliah. Lama-lama juga orang tua saya bakal lupa dengan hubungan buatan yang saya karang ini.”
Aku dibodohi? Jadi benar kalau aku diperalat? Apa gunanya aku senyum-senyum macam orang bodoh seperti tadi? Lebih baik aku membuka hati untuk Oxel kalau begini caranya.
“Paling tidak, ini bayaran atas satu bulan yang saya habiskan bersama anak kecil macam kamu. Sisanya, saya masih akan ikut permainan kamu. Tenang aja.”
Aku menelan ludah dengan susah payah, “Kalau begitu, terima kasih. Aku nggak akan ganggu Om lagi. Satu bulan sisa waktu yang ada, anggap saja sudah habis dalam sehari ini.” Aku keluar dari mobil Ardha.
**
Author’s POV
Ardha memandang sedih Kla yang keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari memasuki rumah. Telfonnya berdering saat itu juga.
“Halo?”
“Kenapa Klatina berlari?”
“Aku menyakitinya, Yah.”
Pria berwajah tampan itu meletakkan kembali telfon genggamnya, kemudian membuka tiga kancing kemejanya yang tadi sempat basah, berusaha melegakan nafas. Ia kembali mengingat perkataan Bu Dee tempo hari yang mendatanginya di mall.
“Tolong jauhi anak saya. Dia masih muda, memiliki masa depan yang cerah, dan masih banyak laki-laki yang akan bertemu dengannya. Jangan sampai dia terikat dengan kamu. Dan satu lagi, Oxel lebih dulu mengenal Klatina.”
Dia memang dijodohkan dengan Cecilia, dan tadi saat pertemuan orang tua dari keduanya, Ardha hendak memutuskan tali perjodohan yang sudah terlaksana sejak Oza berusia 2 tahun. Dulu, pria itu menunda perjodohan dengan alasan menunggu hingga Oza sedikit besar agar mengerti. Tapi, saat ini alasan ia memutuskan perjodohan itu karena Kla.
Kla juga alasan mengapa Ardha mulai tersenyum sebelum tidur malam hanya dengan mengingat wajah menggemaskan cewek itu saat memanggilnya ‘Om’. Namun alasan itulah yang juga membuatnya sedih saat ini.
Memangnya duda tidak boleh jatuh cinta pada gadis seperti Klatina?
**
Sesampainya di rumah, sudah ada Oxel yang menunggu Ardha di teras rumah dengan wajah seakan meminta penjelasan.
“Bisa dijelaskan kenapa tadi Om mendadak ambil Kla terus bilang kalau dia calon istri Om dan ada mobil kakek dan nenek juga di sana.”
Ardha memandang lelah wajah keponakannya, “Iya, Kla calon istri Om, tadi. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Taruhan kami sudah berakhir, dan kamu bisa dekatin dia lagi,” ujarnya tersenyum, menepuk bahu Oxel pelan kemudian berjalan masuk ke rumah.
“Dekatin dia lagi?” ulang Oxel berusaha menghentikan langkah kaki Ardha. “Nggak perlu Om suruh, aku memang selalu dekatin Kla.” Anak SMA itu kemudian permisi dari hadapan Ardha.
“Papa!” teriak Oza membuka pintu dan berhambur memeluk ayahnya. Gadis kecil itu mendengar suara ayahnya tadi, jadi dia langsung berlari ke luar, meninggalkan Mbak Tiwi yang sibuk mengejarnya untuk menyuapi nasi.
“Hai putri kecil Papa.” Ardha mencium dahi Oza lembut.
“Ngomong-ngomong, nenek sihir mana? Biasanya kalau hari Sabtu kan nenek sihir main ke sini.”
“Kok kamu tahu kalau ini hari Sabtu?”
Oza mengalungkan tangan kanannya ke leher Ardha, “Tadi Oza tanya Mbak Tiwi, katanya ini hari Sabtu. Nah, nenek sihir kemarin kesini terus bilang kalau hari Sabtu bakal main ke sini, sama Mas Ocel.”
”Kak Kla nggak bakal main ke sini lagi, Za,” ujar Ardha lemah.
“Kenapa? Papa marah sama nenek sihir?”
Ardha menggeleng kemudian menjawir hidung Oza, “Nggak sayang. Kak Kla sibuk mau ujian, mau belajar, jadi nggak bisa main sama kamu.”
“Kalau sudah belajarnya, bisa main?”
Ardha hanya mengedikkan bahunya.
**
Selama satu bulan sampai ujian tiba, hal yang dilakukan Kla hanya belajar, ke sekolah, dan jalan-jalan bersama Cleva dan Oxel. Ketika Cleva menanyakan bagaimana perkembangannya dan Ardha, cewek itu hanya menjawab kalau dia sudah move on. Berbeda dengan Cleva, Oxel hanya diam karena sedikit mengetahui hubungan sahabatnya dan pamannya itu.
Dee merasakan perubahan Kla yang jarang mau tertawa heboh seperti biasanya. Tapi, dia senang karena sepertinya anaknya itu sudah tidak berhubungan lagi dengan duda beranak satu, Ardha. Kebahagiaan ibu rumah tangga itu juga bertambah ketika tahu kalau Kla selalu kemana-mana bersama dengan Oxel.
Hari-hari dilalui Kla sambil berusaha kembali sebagai dirinya yang dulu, sebelum bertemu Ardha. Dia turut menutup semua perasaan rindunya pada Oza selama ini. Sedikit berhasil, kini ia benar-benar memiliki kehidupan baru, sebagai mahasiswa.
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha