Di sinilah aku sekarang, di sebelah om ganteng yang masih memasang wajah dinginnya. Cleva duduk di kursi belakang, membuatnya tampak seperti anak yang dijemput oleh orang tuanya. Aku sebenarnya sangat senang, bahkan senyum di wajahku tidak bisa kutahan. Kalau aku berpikiran positif mengenai perasaan Ardha, kurasa dia sudah mulai mau buka hati untukku.
“Om, rumahku pagar merah di depan,” tunjuk Cleva pada sebuah rumah yang termasuk besar di antara rumah di sekitarnya.
Sesampainya Cleva di rumah, dan setelah dia berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada om ganteng, suasana di dalam mobil makin kacau. Ini pertama kalinya aku merasa salah tingkah. Sejak tadi, aku berpikir apa iya om ganteng menyukaiku? Dan itu membuatku benar-benar grogi.
“Tumben kamu jinak?”
Aku menoleh sebentar, lalu membuang pandangan ke luar, “Capek.”
Helaan nafas dari Ardha terdengar lelah. Aduh, kenapa sih dari kemarin nggak pernah grogi, sekarang mendadak begini? Aku kan jadi bingung harus gimana sekarang. Ayo dong, Kla, mana kamu yang biasanya heboh dan nggak tau malu?
Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sampai akhirnya mobil om ganteng berhenti di depan sebuah toko roti yang tampak lucu. Toko roti itu berwarna soft pink dan cream. Dia mengajakku ke sini tanpa bilang?
“Ayo turun! Ini toko roti favoritku dan Nadine. Sudah lama tidak ke sini.” Om ganteng turun dari mobil kemudian melangkah masuk toko, meninggalkanku yang masih duduk dengan perasaan grogi. Tunggu dulu. Kalau dia memang sudah memiliki perasaan, pasti saat ini dia membukakan pintu mobil dan mempersilakanku keluar dengan manisnya.
Aku mikir apa sih? Om ganteng itu mungkin memang benar. Tidak mungkin untuknya jatuh cinta denganku yang masih anak SMA. Tapi, bukannya aku sudah bersedia menerima konsekuensinya? Paling tidak, nikmati saja satu bulan waktu sisa untuk bersamanya. Walau aku kalah, aku masih punya kenangan yang dapat kusimpan sampai nanti kan?
Sebuah panggilan masuk di ponsel membuyarkan pemikiran anehku.
Future Husband calling
Aku mengangkat kepalaku, melihat om ganteng yang berdiri di pintu masuk toko roti sambil menempelkan ponselnya ke telinga. Om ganteng menunjuk ke arah ponselnya, lalu menunjuk diriku, seakan memberi isyarat untuk mengangkat.
“H-halo?”
“Keluar dari mobil.”
Tuut ... tuut ...
Cuma mau bilang itu?
**
“Kamu di antar siapa, Kla?” Mama menghentikan langkahku untuk memasuki dapur.
“Sama Om Ardha, Ma,” ujarku pelan. Aku menyerahkan beberapa roti yang aku beli tadi bersama om ganteng.
“Oxel mana?”
Aku mengerutkan dahi, “Ya aku nggak tau, Ma. Emangnya aku baby sitter dia?”
Mama menghela nafas pelan, “Kan Mama sudah kasih mandat ke dia untuk jagain kamu. Kenapa kamu malah pulang sama Omnya sih? Kamu mau dikira ada hubungan sama Ardha? Kayaknya kalian tambah akrab aja.”
“Mama memang senang lihat Ardha. Masih muda sudah sukses, mukanya juga di atas standar. Tapi, dia itu duda, Kla, punya anak pula. Kamu pasti mengerti arah pembicaraan ini.”
Aku tersenyum kecut, “Tenang aja, Ma. Om Ardha nggak mungkin suka sama aku. Lagipula, nggak mungkin anak kecil kayak aku bisa disukai sama pria dewasa kayak dia, kan?”
“Ya sudah. Kamu istirahat sana, terus belajar. Ujian sebentar lagi. Belum lagi ujian masuk perguruan tinggi. Oxel katanya bakal kuliah di tempat yang sama dengan kamu. Mama jadi lega kalau ada Oxel.”
Senyum di wajah Mama dapat kuartikan sebagai lampu hijau bagi Oxel. Aku tahu, Mama pasti sangat ingin aku dan Oxel memiliki hubungan lebih dari teman. Selama ini aku hanya diam karena takut menghancurkan keinginan Mama, tapi sekarang aku sudah lelah dengan semua perlakuan Mama yang seakan mempromosikan Oxel padaku.
“Ma, selain nggak boleh sama duda, aku rasa ada lagi yang nggak dibolehin.”
“Apa?”
“Maksa orang untuk jatuh cinta.” Aku menelan ludahku, “Aku tahu kalau Mama sadar soal perasaan aku sama Om Ardha, tapi aku juga ngerti kalau selama ini Mama usaha buat dekatin aku dengan Oxel.”
Aku berusaha menahan emosiku, “Jadi, Ma, biarin semuanya mengalir. Mama nggak pernah dipaksa untuk dekat sama Papa, kan? Jadi, biarin semuanya mengalir. Kalau sudah ditakdirkan, walau aku belum jatuh cinta sama dia, pasti nantinya aku jatuh ke pelukannya. Begitu juga sebaliknya.”
Aku pikir Mama bakal meledak, tapi aku salah. Mama malah memelukku hangat.
“Kamu sudah besar, ya? Maaf, mungkin Mama salah, tapi Mama cuma mau kamu dapat yang lebih baik, Kla. Ingat pesan Mama, kejar dulu pendidikan–“
“Nanti jodoh bertemu pada waktunya,” lanjutku memotong perkataan Mama.
Tapi, Ma, aku harap jodohku itu Ardha.
***
Oxel sudah menunggu di ruang tamu saat ini, sedangkan aku masih memperhatikan diriku di cermin. Apa pakaianku aneh? Atau dandananku berlebihan? Kenapa rasa grogiku pada Oxel datang lagi? Ini semua pasti gara-gara pengakuannya waktu itu.
“Oke, Kla, Oxel itu sahabat kamu. Jangan grogi!” Aku menyambar tas mungil berbentuk boneka, menggantungnya di bahuku, kemudian bergegas keluar kamar.
“Aku udah siap ... Xel.”
Baiklah, ini pertama kalinya aku merasa Oxel itu menarik. Dia padahal hanya mengenakan kaos putih yang dipadankan dengan sweater hitam, celana jeans hitam dan sneakers putih. Cowok itu menaikkan sebelah bibirnya menyadari kedatanganku.
“Udah, Non? Lama banget sih, biasanya juga kalau pergi sama aku, dandan nggak sampai sepuluh menit.” Oxel melirik jam tangannya, “Dua puluh menit. Kamu ngapain aja, Kla?”
Aku berusaha melawan segala rasa gugupku sekarang dan menarik tangan Oxel mengajaknya pergi.
“Ma, aku pergi dulu.”
“Tante, aku bawa anaknya.”
**
Hari ini aku dan Oxel berencana untuk belajar bersama. Iya, aku dan Oxel memang beda jurusan, tapi kegiatan belajar bersama ini dengan beberapa anak IPS dan IPA. Jadi, kami akan berkumpul di rumah Widy. Sialnya, baru setengah jalan, rencana belajar bersama dibatalkan karena Widy harus ikut ayahnya ke luar kota untuk menjenguk kakeknya yang sakit.
“Yah, udah setengah jalan gini, malah dibatalin,” sungut Oxel dengan pandangan fokus ke depan.
Aku yang duduk di belakangnya tersenyum, “Nggak papa, Xel, mending cari makan, yuk? Biar dandananku nggak mubazir,” ujarku setengah berteriak agar suaraku tak tertelan angin.
Tanpa mengatakan persetujuannya, Oxel membelokkan motornya ke arah sebuah restoran spesial menyajikan ayam dengan berbagai menu. Aku menarik lebar senyumku. Aku suka ini.
Setelah memilih tempat duduk yang kurasa nyaman, aku dan Oxel mulai memesan. Sambil menunggu pesanan datang, aku mengedarkan pandanganku bosan dan mendapati sosok familiar yang baru saja memasuki restoran. Aku membolakan mataku. Itu Ardha bersama Cecilia?
Wanita yang seperti biasa memakai baju yang membuat lekuk tubuhnya terlihat itu bergelayut macam monyet di lengan Ardha. Sialan! Oxel menyadari kekesalanku, hendak membalikkan tubuhnya, melihat siapa yang aku lihat.
“Oxel!” panggilku cepat membuatnya menghentikan gerakan berbaliknya dan fokus padaku.
“Iya, Kla?”
Aku bingung harus bicara apa, karena mataku masih mengekori arah jalan Ardha dan Cecilia. Mereka menuju ke ruang privasi di restoran. Ruangan di mana hanya akan ada dia dan Cecilia di dalam sana.
Wajahku memanas membayangkan apa yang akan terjadi di dalam sana. Dengan naluri alamiku, aku berdiri dengan sekali sentakan, membuat kursi yang tadi kududuki nyaris jatuh ke belakang.
“Kla?” Oxel tampak agak cemas melihat perubahan sikapku.
“E-eh, maaf, aku kebelet pipis. Bisa ... jaga tasku?” ujarku asal lalu melemparkan tas kecil berbentuk boneka pada Oxel dan langsung bergerak menuju ruangan privasi restoran ini.
Setibanya di depan ruangan di mana Ardha dan Cecilia masuk tadi, aku memilih menguping terlebih dahulu, berusaha mencuri dengar apa yang terjadi di dalam sana. Aku mengerutkan dahiku ketika tak mendengar apa pun.
Ah lagi pula apa peduliku? Dengan begini, aku sudah yakin kalau Ardha memang tidak ditakdirkan untukku, begitu pul sebaliknya. Mungkin memang dia lebih memilih Cecilia yang seksi, pandai, dan dewasa untuk mengurusnya dan Oza. Toh, Oza juga tidak begitu menyukaiku bukan?
Aku menurunkan bahuku dengan lesu, hendak kembali ke mejaku tempat Oxel menunggu. Aku menatap Oxel dari belakang. Bukankah selama ini hanya ada dia yang selalu menemaniku? Dalam senyum maupun ringisan yang terjadi selama ini. Apa aku harus membuka hatiku untuk Oxel?
CKLEK.
Suara pintu terbuka dari belakangku, membuatku refleks berlari kecil menuju ke balik dinding tak jauh dari ruangan itu. Itu Cecilia. Dia tampak memanggil pelayan, mengatakan sesuatu sambil memberikan uang dan kemeja. Itu kemeja Ardha! Ada apa ini?
Setelah Cecilia kembali masuk ke ruangan, aku mengejar pelayan yang tadi membawa kemeja om gantengku, ah ralat, hanya om ganteng saja.
“Mbak, itu kemejanya kenapa ya?” tanyaku.
“Oh, ini, tadi ada mbaknya yang dari ruang 03 itu minta dikeringin kemejanya, mungkin punya suaminya. Kayaknya basah,” ujar pelayan itu mengangkat kemeja Ardha yang memang tampak basah lalu permisi.
Tunggu dulu. Kalau kemejanya dibawa pelayan, Ardha pakai apa? Jangan bilang ...
BRAK!
“Eh perempuan genit, kamu mau ngap– ain ...?” Aku menelan ludahku karena beberapa pasang mata menatapku penuh kejut. Aku tidak salah ruangan kan? Benar, buktinya itu ada om ganteng dan Cecilia. Tapi, siapa dua pasang suami istri yang bersama mereka?
“Klatina?” Ardha berdiri dari duduknya dengan mengenakan kaos putih polos. Ah, benar juga, pasti dia mengenakan kaos di dalam kemejanya. Sial, kenapa aku berpikir si tante genit itu akan menelanjanginya?
Ardha bergerak menujuku. Kalau saat ini aku membuka mulut, kurasa liurku akan berjatuhan di sana sini karena melihat duda seksi di hadapanku dengan kaos putih yang pas di tubuh. Kulihat rahangnya mengeras. Apa dia marah? Oh tidak, ini salahku. Bagaimana kalau orang-orang di ruangan ini adalah mitra bisnisnya? Dan gara-gara manusia sepertiku, ia akan rugi besar dan citranya akan buruk?
“Maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Sepertinya saya salah ruangan. Maaf,” ujarku menunduk hendak berlari dari tatapan mematikan Ardha.
“Kalau salah ruangan, kenapa saya kenal kamu?” Ardha menahan lenganku.
Aku menegang karena tanganku ditahan oleh Ardha. Aku melirik tak enak ke arah dua pasang suami istri yang tampak berumur di ruangan ini. Tampak pula wajah kesal dari Cecilia, karena sepertinya kedatanganku hanya mengganggu waktunya.
“Maaf, Om, jangan marah, aku cuma salah paham sedikit tadi,” ujarku melemah, menurunkan tangannya yang mencekalku, walau tak ada hasilnya.
“Om, Kla janji nggak bakal ganggu Om lagi, maaf banget.” Aku makin ketakutan karena tatapan tajam Ardha.
Dengan sekali sentakan, ia membawaku ke dalam ruangan itu dan memperkenalkanku pada sepasang suami istri yang duduk di seberang Cecilia.
“Ayah, Ibu, ini Klatina, perempuan yang selama ini aku bicarakan.”
Mataku membola. Mati aku. Jadi, ini kakek dan neneknya Oza? Calon mertua –eh maksudku mantan calon mertuaku. Aku menunduk memberi salam pada mereka berdua. Jangan-jangan Ardha selama ini menceritakan kegilaanku yang selalu mengejar-ngejarnya? Mati aku.
”Lupain taruhan kita yang bersisa satu bulan itu, Om. Aku bakal pergi dari kehidupan Om,” ujarku tegas sebelum Ardha mulai buka suara.
Ardha berpaling menghadapku, menatap mataku tajam.
“Apa maksud taruhannya Ardha?” tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di samping Cecilia.
“Bukan apa-apa,” ujar Ardha lalu melepaskan tanganku. Ada rasa kecewa saat om ganteng melepas tanganku.
“Kamu cerita apa ke Ayah dan Ibu soal cewek genit itu?” tanya Cecilia sedikit marah. Kurasa ia masih menahan emosinya karena ada kedua orang tua Ardha.
Ardha membuka pintu, seakan mempersilakan aku untuk keluar. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, membisikkan kalimat yang mengejutkanku.
“Kedatanganmu padahal sempat membuatku bersyukur.”
Aku menengadah kaget, “Maksud Om?”
Ardha menatap mataku lekat, “Pilih. Kuperkenalkan pada orang tuaku atau keluar dan kita tidak akan bertemu lagi?”
Baru kali ini Ardha berbicara tidak formal padaku. Aku tersentak. Apakah ini buah dari penantian berhargaku? Apakah om ganteng ini membalas perasaanku? Atau mungkin ini seperti di cerita yang pernah kubaca? Ia hanya memanfaatkanku untuk melarikan diri dari perjodohan.
Kalau dilihat dari keadaan saat ini, kurasa opsi terakhir yang kupikirkan benar. Dia pasti akan dijodohkan dengan Cecilia, maka dari itu dia bersyukur karena aku datang.
Aku tersenyum getir, “Om mau memanfaatkan aku?” tanyaku membuat Ardha sedikit terkejut. Ketahuan, eh?
“Aku–“
“Maaf, Om. Aku nggak bisa kalau Om terpaksa melakukan ini untuk menghindari pertunangan dengan Cecilia. Kisah Om persis dengan drama, dan aku nggak ada niat untuk masuk ke dalam drama itu. Maaf sudah membuang waktu Om selama ini.”
Rahang Ardha kembali mengeras, kemudian kembali menggenggam tanganku, membawaku tepat ke depan orang tuanya.
“Aku hanya mau menikah dengan anak ini.”
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha