Read More >>"> Love You, Om Ganteng ((Masih) Pensi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love You, Om Ganteng
MENU
About Us  

Pembukaan pentas seni sekolahku cukup meriah, dengan tarian penyambutan khas, kemudian penampilan band sekolah. Sampai tiba saatnya Ardha naik ke panggung untuk membuka acara dengan pelepasan balon warna warni. Aku bisa melihat mata terpana dari seluruh siswa, guru, dan karyawan sekolah.

Kenapa pesona Ardha harus sekuat ini sih? Apa ini namanya pesona DUREN ANTU? Duda keren anak satu. Aku melirik ke kiri, ke tenda kelas Risabelle dan Oxel. Mata cewek jadi-jadian itu seakan mau keluar saking terpesonanya melihat Ardha. Cih dasar chili-chilian.

Karena melirik ke tenda kelas itu, aku jadi turut terpana dengan sosok kece di panggung mininya. Itu Oxel, dengan pakaian yang aku tidak tahu  bagaimana menjelaskannya. Kesannya kasual, tapi ntah kenapa ketika dipakai Oxel jadi luar biasa. Begitu pula dengan model yang lain, termasuk Risabelle. Tidak dapat dipungkiri, cewek itu cantik sekali, belum lagi rambutnya yang kecokelatan khas bule dan keriting gantung, serta mengenakan pakaian untuk performa solo dance membuatnya sangat keren.

“Kla, ayo siap-siap di belakang panggung! Kelas kita di nomor urut dua untuk penampilan kelas. Kamu setelah Risabelle.” Widy memberikan kertas bertuliskan angka dua dengan peniti untuk disangkutkan di bajuku.

Kenapa hari-hariku harus terkontaminasi dengan Risabelle?

“Baiklah, terima kasih kepada Pak Ardha, selaku penyokong dana pensi ini sekaligus pemilik mall Kertajaya, atas sambutannya. Silakan duduk di tempat yang telah kami sediakan.” Pemandu acara mempersilakan Ardha untuk turun dari panggung. Saat dia turun dari panggung, kami berpapasan.

Ingat Kla, tidak boleh menyapa, tidak boleh merasa kenal. Buang muka! Oke, buang muka.

Jadilah aku berjalan ke belakang panggung tanpa mengindahkan Ardha yang barusan lewat di sampingku. Kok jadi sedih ya?

“Sekarang, saatnya acara inti yang pertama, yaitu Bonaventura’s talent show!” ujar pemandu acara dengan semangat, diikuti tepuk tangan riuh semua siswa di sekolah. Kurang lebih 500 orang, walau aku yakin tidak semua bersorak. Luar biasa berisik!

“Mari kita sambut Risabelle dengan solo dance-nya!”

Aku menghela nafas, berusaha meredakan gugupku. Tadi biasa saja, dan aku juga sering ikut kontes bernyanyi, tapi ntah kenapa, tampil di dalam kandang sendiri lebih menakutkan. Karena, banyak yang mengenalmu, dan rasanya aneh.

Pablo terlihat santai saja. Jelas dia santai, karena dia merupakan salah satu personil band cafe terkenal di kota ini, bahkan band mereka sudah ada fanbasenya. Aku? Aku cuma sering ikut kompetisi bernyanyi, mentok-mentok dapat juara tiga.

Solo dance Risabelle membuat kakiku bergetar. Cewek itu memang luar biasa. Di luar tingkah menyebalkannya, Risabelle bukanlah cewek dengan IQ rendah dan tidak memiliki bakat, seperti tokoh-tokoh antagonis pada umumnya. Dia Risabelle, manusia berprestasi yang menjadi juara umum berturut-turut di sekolah, ketua ekskul pemandu sorak, mantan model cilik, dan jago dance.

Anak sekeren Risabelle kenapa menyebalkan ya? Atau saat proses pembuatan Risabelle, cairan percaya diri dan menyebalkan terlalu banyak masuk ke adonannya? Jadilah dia anak yang kelewat percaya diri dan menyebalkan.

“Kla, jangan gugup, ya. Aku tahu kamu bisa. Risabelle jangan diacuhin. Dia emang keren dance-nya, tapi kamu juga keren kok kalau nyanyi.” Oxel tiba-tiba sudah ada di sebelahku, memberi semangat. Dia mengacak pelan rambutku sambil tersenyum.

DEG!

Sialan, malah tambah deg-degan. Wajahku memanas. Aku salah tingkah! Bagaimana ini?

“Itu tadi penampilan dari Risabelle, kelas XII IPA 1.”

Risabelle sudah selesai?

“Selanjutnya, dari kelas XII IPS 3, ada Klatina dan Pablo.”

Tepuk tangan riuh dari seluruh siswa membuat semangatku menyala. Atau karena dukungan Oxel, ya?

“Awas salah lirik,” bisik Risabelle saat turun dari panggung dan melewatiku.

Aku memberi isyarat pada Pablo untuk naik ke panggung.

Dari atas panggung, aku bisa melihat Ardha dengan jelas, dan posisinya berada di depanku. Tepat selurusan dengan posisiku berdiri. Aku beralih ke tenda kelasku, ada Cleva di sana melambai-lambaikan tangan, dengan Oxel di sebelahnya yang terlihat sudah mencomot jajanan yang sedang dijajakan oleh teman-temanku. Dan Risabelle, di tenda kelasnya, menatapku dengan tatapan meremehkan khasnya. Tunggu dulu, Oxel kenapa cepat sekali sudah ada di stan kelasku, padahal tadi masih di belakang panggung utama bersamaku.

“Baik, Klatina dan Pablo sudah siap sepertinya. Kita sambut penampilan dari kelas XII IPS 3!”

Sekali lagi, tepuk tangan riuh itu kudengar. Kalau tidak salah lihat, Ardha tersenyum ke arahku. Atau mataku yang salah. Saat bertepuk tangan tadi, dia tersenyum! Apa dia memberiku semangat? Baiklah, lagu ini spesial untuk kamu, Ardha, om ganteng gebetanku, calon suamiku.

Aku menarik nafas, bersiap melantunkan syair dari lagu, karena Pablo sudah memulai intronya.

 

Dia hanya dia di duniaku

Dia hanya dia di mataku

Dunia terasa telah menghilang

Tanpa ada dia di hidupku

Aku bernyanyi menatap langsung ke arah Ardha, namun mataku menangkap pergerakan aneh dari Oxel. Dia melambai-lambai pelan, kemudian aku melihatnya tersenyum. Anak itu kenapa sih? Kan aku jadi ingat pengakuannya kemarin kalau begini.

 

Sungguh sebuah tanya yang terindah

Bagaimana dia merengkuh sadarku

Tak perlu kubermimpi yang indah

Karna ada dia di hidupku

Kuingin dia yang sempurna

Untuk diriku yang biasa

Kuingin hatinya kuingin cintanya

Kuingin semua yang ada pada dirinya

Kuhanya manusia biasa

Tuhan bantuku tuk berubah

Tuk miliki dia tuk bahagiakannya

Tuk menjadi seorang yang sempurna untuk dia

 

Aku menatap Ardha dalam-dalam, ntah kenapa lagu ini pas sekali. Aku memang menginginkan dia, tapi dia terlalu sempurna, untuk aku yang biasa saja. Aku menarik nafas, bersiap dengan bait terakhir dari lagu, masih dengan tatapanku ke arah Ardha.

 

Kuingin dia yang sempurna

Untuk diriku yang biasa

Kuingin hatinya kuingin cintanya

Kuingin semua yang ada pada dirinya

Kuhanya manusia biasa

Tuhan bantuku tuk berubah

Tuk miliki dia tuk bahagiakannya

Tuk menjadi seorang yang sempurna untuk dia

Untuk dia ...

 

Aku mengakhiri lagu itu dengan senyuman hangat ke arah Ardha yang menontonku tanpa ekspresi, biar dia tahu kalau lagu ini untuknya. Semua bertepuk tangan riuh, bahkan lebih heboh dari tepuk tangan untuk Risabelle tadi. Aku berhasil.

Setelah turun dari panggung dan menuju ke tenda kelasku, aku memeluk Cleva erat.

“Kamu keren Kla!” ujar Cleva, melepas pelukanku.

“Iya, kamu keren banget tadi.” Oxel ternyata belum kembali ke tenda kelasnya.

Aku tersenyum membalas perkataan Oxel, “Makasih, Xel.”

Oxel memelukku secara tiba-tiba kemudian berbisik pelan, “Aku jadi tambah suka.”

Apa ini? Aku jadi merinding mendengar perkataan Oxel.

“Kamu ngapain masih di sini? Sebentar lagi mau mulai penilaian tenda kelas, sana jaga panggung kalian!” amuk Cleva pada Oxel. Mulai lagi mereka.

“Sensitif banget sih, Va.” Oxel mencomot kue lapis yang ada di stan kelasku.

“Eh, comot terus, bayar enggak, mentang-mentang bantuin. Lagian nanti pas guru, karyawan atau tamu undangan mau makan, keburu habis gimana?”

Aku tertawa renyah melihat wajah sewot Cleva.

“Santai kali, Va, masih banyak gitu makanan di stan kalian,” ujar Oxel membela diri.

“Nah, ini stan khusus makanan, Pak, dari kelas saya.”

Bu Berta tiba-tiba datang menuju stan kelasku, bersama dua guru penilai dan Ardha. Dia ngapain ikut?

“Oxel, kamu ngapain di sini? Kamu kan di sebelah kelasnya.” Bu Berta sepertinya memarahi Oxel, tapi dengan nada yang lembut. Pasti pencitraan di depan Ardha.

“Lapar, Bu. Show off butuh tenaga,” lagi-lagi Oxel membela diri.

Mulutku yang sejak tadi terbuka karena tertawa mendadak tertutup rapat karena Ardha sedang menatapku.

“Bisa saya minta satu piring kue yang menurut kamu enak?”

Itu Ardha barusan memintaku? Serius?

“Kla, ayo suguhkan kuenya! Kok malah bengong?” Bu Berta  menepuk pelan lenganku, membuatku sadar kalau Ardha memang memintaku menyiapkan kue.

Aku mengambil piring kecil yang sudah kami sediakan di stan, kemudian mengambil dua jenis kue, yakni brownies dan nagasari. Aku sengaja mengambil satu kue tradisional dan satu modern. Kenapa menyuruhku sih? Di stan ini ada tiga anak bertugas prasmanan. Tugasku hanya mengawasi dan memastikan kue masih layak dipajang.

“Ini O– Pak. Silakan.” Aku gugup sekali, padahal biasanya aku sepeti tidak tahu malu kalau sudah ada di dekat manusia ganteng ini. Selain gugup, aku juga gregetan, karena sekarang harus berakting tidak mengenalnya sama sekali.

Ardha tampak menikmati kuenya. Airi, teman sekelasku yang bertugas di bagian prasmanan, sudah menyiapkan minum. Es cendol.

“Kla, kamu tadi habis nyanyi kan belum minum. Yuk duduk di sana, sekalian minum.” Oxel menarikku menjauh dari muka stan kelas. Dia mengajakku duduk di dalam, agak ke belakang, yang terdapat beberapa bangku untuk penjaga stan. Anak-anak kelas yang lain duduk di kursi tenda di dekat panggung utama untuk menyaksikan penampilan bakat, ada juga yang berkeliling untuk mengunjungi stan lainnya. Intinya kalau mereka tidak ada kerjaan –tidak bertugas menjaga stan atau ikut pertunjukkan bakat–, dua hal itu yang mereka lakukan.

“Makasih, Xel.” Aku mengambil air mineral yang diberikan oleh Oxel tadi. Aku memang mau minum, hanya saja kedatangan guru dan Ardha membuatku membeku di sana tadi.

“Oxel! Dicariin malah ke sini? Kamu tau kan kalau kamu itu jadi model di sana, bukan ngurusin Klatina di sini.”

Itu Risabelle.

“Iya, Anabelle. Aku bentar lagi ke sana. Lagian, Dino, Marcel, Jacob, Vando, semua kan hadir, ganteng-ganteng. Nggak harus ada aku juga tenda kelas kita penuh tuh anak-anak minta foto. Lagian, kelewat rame nanti roboh panggung mininya.”

Sahabatku satu ini kenapa suka sekali membela diri?

Risabelle hendak merutuk, namun niat itu diurungkannya karena matanya menangkap Ardha yang sedang menghabiskan es cendol pemberian Airi tadi. Ah, chili mulai beraksi. Hatiku mulai panas.

Berani taruhan, dia pasti akan sok akrab dengan om gantengku. Ah, seandainya Ardha mempersilakan aku berbuat sesukaku, dijamin aku yang sudah kecentilan sekarang dan akan memberitakan pada semua siswa di sini kalau manusia ganteng pemilik mall Kertajaya dan pemberi sponsor di sekolah ini adalah gebetanku. Kuulangi, GEBETANKU.

“Mas Ardha?” panggil Risabelle dengan lembut manja, membuatku mau muntah.

Ardha menatap datar ke arah miss Anabelle itu.

“Mas ingat aku nggak? Aku anaknya Pak Gideon, salah satu distributor yang kerja sama dengan mall Kertajaya. Anaknya Bu Naomi juga, pemilik cafe Andante.” Risabelle melebarkan senyumnya, mencari perhatian. Kumohon, Ardha, jangan buka pintu untuk mak lampir itu!

“Oh, Pak Gideon? Kamu anaknya?” tanya Ardha dengan nada ramah.

Sepertinya ada bunyi patah lagi. Oke, itu hatiku. Kenapa om gantengku bisa sebegitu ramahnya dengan orang yang baru pertama ia temui? Atau mereka memang sudah pernah bertemu?

“Ingat aku kan, Mas? Aku Risabelle. Kita pernah ketemu pas pembukaan cafe Mamaku.”

Ardha tampak mengingat-ingat, kemudian tersenyum, “Nggak.”

“Hahaha.” Sungguh aku tidak bisa menahan tawaku melihat ekspresi kecewa Risabelle dan senyum Ardha yang malah bertolak belakang dengan jawabannya. Semua mata mengarah padaku, begitupula Risabelle yang melirikku kesal. Namun bukan Risabelle namanya kalau menyerah. Dia merubah air mukanya jadi ramah lagi dan kembali menoleh ke Ardha.

“Ah, nggak papa kalau Masnya nggak ingat, yang jelas Mas kenal sama Papa.” Risabelle menekan kata papa. Seakan memamerkan kalau Ardha mengenal keluarganya. Heh mak lampir, Ardha bahkan makan malam denganku di rumahku asal kau tahu!

Ardha tersenyum mengangguk-angguk, “Salam sama Pak Gideon, ya, Risabelle.”

Om, aku itu cemburu di sini! Kenapa kamu ramah banget sih sama si mak lampir menyebalkan itu? Seingatku, dia belum pernah menyebut namaku selembut itu. Tunggu, memangnya dia pernah menyebut namaku? Kenapa aku jadi sedih ya?

“Ayo, Pak Ardha, apa mau ikut ke stan yang lain? Atau Bapak punya stan tujuan sendiri? Karena dua guru penilai mau lanjut menilai ke stan lain,” ujar Bu Berta ramah sekali.

“Baik, Bu. Mari.”

Ardha dan ketiga guruku pergi ke stan berikutnya, di sebelah kelasku, tempat anak kelas sepuluh kemarin yang menggilai om ganteng. Kurasa Bu Berta di sini menjadi pengawal Ardha, karena dia hanya memperkenalkan tiap stan, tidak ikut menilai. Lagipula, wali kelas dilarang menilai, jadilah hanya dua guru sebagai penilai inti dan ada beberapa guru juga ikut menilai hanya saja kami tidak tahu siapa guru penilai selain dua guru itu. Sengaja dirahasiakan.

“Udah sana kamu pulang kandang, Xel, sekalian bawa boneka Anabelle-nya. Di sini numpang genit aja,” ujarku seraya berdiri, mencari satu jenis kue yang ingin kucicip sejak tadi. Padamaran. Ya, menghilangkan hati sedih dan galau itu dengan makanan.

“Iri ya nggak kenal sama cowok seganteng Ardha?” Risabelle menyenggol bahuku dengan bahunya.

Aku nyaris tertawa kencang mendengar pertanyaan manusia genit itu. Iri? Kalau kamu dengar kebenarannya, kamu yang jelas iri.

“Nggak, makasih,” jawabku singkat sambil membuang daun pisang tempat kue padamaran yang sudah habis kumakan ke tempat sampah.

Risabelle mengangkat bahunya acuh lalu menarik Oxel menjauh dari stan kelasku.

 

*******

 

Sekitar pukul empat sore, acara sekolahku akhirnya benar-benar selesai. Stan kelasku tidak mendapat juara apa pun, tapi semua kue yang dijual habis tak tersisa, dan aku mendapat juara dua untuk lomba unjuk bakat. Risabelle menduduki posisi ke tiga, sedangkan posisi pertama diduduki oleh anak kelas sepuluh yang bermain drama musikal. Aku akui mereka keren. Stan kelas Risabelle dan Oxel mendapat juara satu se-angkatan. Jelas saja, dekorasi mereka luar biasa, ditambah lagi penampilan cowok-cowok kece dari kelas mereka di panggung mini-nya.

“Sepertinya mau hujan.” Ardha tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku jadi menghentikan kegiatanku.

Aku menengadah ke langit, kemudian tersadar akan sesuatu, “Om kok masih di sini?”

Aku menutup mulutku cepat, memeriksa ke kiri dan kanan, kalau-kalau ada yang mendengar aku memanggilnya om, “Maksudnya, Bapak kok masih di sini, nggak balik ke mall?”

“Kamu memang sedekat itu ya dengan Oxel?” tanya Ardha balik, tanpa menjawab pertanyaanku.

“Sedekat apa, gimana maksudnya ya O– Pak?” Aku memukul pelan kepalaku karena nyaris memanggilnya om lagi.

“Itu sampai dia berani pegang kepala, peluk kamu, perhatian, bahkan barusan lebih memilih bantu beresin stan kelasmu daripada kelasnya sendiri. Pengkhianat kecil itu.”

Apa aku yang terlalu percaya diri atau memang pertanyaannya seperti pria yang menginterogasi pacarnya?

“Iya sih, aku sama Oxel emang dekat banget. Bahkan dulu dikira pacarnya gara-gara Oxel rela bolos jam pelajaran untuk jaga aku di UKS pas sakit.”

“Kamu pulang dengan saya.”

Orang ini kenapa sih? Kemarin nyuruh jangan menegur, biar tidak ada yang mengira aku mengenalnya. Sekarang malah berdiri denganku di bawah tenda kelas dan mengajakku pulang bersama.

“Kamu pulang dengan saya. Itu bukan ajakan, tapi perintah.”

“Tapi aku sudah janji mau pulang bareng Cleva naik angkutan umum.”

“Saya antar Cleva sekalian.”

Aku menurut saja, tidak mau cari masalah karena wajahnya tampak lebih serius dan menyeremkan dari biasanya. Kenapa sih?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Vnimu

    Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • emirah

    Tanggung jawab diriku langsung berangkat kerja tanpa tidur sedikit pun gara2marathon cerita ini huhu

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • dede_pratiwi

    nice story

    Comment on chapter Prolog
  • emirah

    Wah nih story ko bikin senyum-senyum sendiri ya padahal baru baca prolognya doang~

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Laci Meja
447      295     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
ZAHIRSYAH
5280      1627     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.
When I Met You
591      329     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
DELUSION
3699      1348     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
282      194     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Dear You
13548      2273     14     
Romance
Ini hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Tentang bagaimana mensyukuri hidup. Tentang bagaimana mencintai dan menyayangi. Dan, tentang bagai...
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Code: Scarlet
20853      3824     15     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
karachi
618      362     0     
Short Story
kisah elo
Maroon Ribbon
450      314     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.