Hari ini untuk pertama kalinya aku deg-degan saat masuk sekolah. Kenapa sih, Kla? Cuma Oxel, kok, ngapain deg-degan?
Sekarang, aku sudah seperti orang yang ketahuan mencuri. Aku jalan dengan perlahan menuju kelasku yang letaknya di sudut. Aku menoleh ke kiri dan kanan, berharap tidak ada orang yang sedang kuhindari.
“Hoi Kla!” Cleva datang dari arah belakang, merangkulku tiba-tiba, membuat jantungku yang tadi deg-degannya jalan di tempat jadi berlari. Aku mengusap dada, berharap deg-degannya reda.
“Ngapain jalan kayak maling gitu?”
“Keliatan banget kayak malingnya ya?” tanyaku polos. Kupikir hanya aku sendiri yang berpikir kalau cara jalanku seperti pencuri.
Cleva mengangguk, “Kenapa emangnya? Lagi nyari orang?” Cleva mengedarkan pandangan, seperti mencari seseorang, “Ah ketemu!” teriaknya.
“Apa sih, Va?”
“Kamu nyari Oxel kan? Biasanya gitu.” Cleva melambai-lambaikan tangannya ke arah Oxel yang ternyata sedang berjalan menuju arahku dan Cleva. Cowok itu baru keluar dari kelasku.
“Oxel sini! Dicariin Klatina.”
Aku menutup mulut Cleva, “Enak aja. Aku nggak nyari dia, kok.”
Mati aku. Aku belum siap ketemu Oxel. Kemarin memang aku percaya diri mengeluarkan kalimat sok bijak dan hebat, padahal lututku gemetaran. Tambah lagi sekarang bertemu dengan Oxel. Bisa gila aku.
Oxel membalas sapaan Cleva, setengah berlari ke arah kami, “Kemana aja sih kalian? Jadi nggak pesanan kalian kemarin? Besok loh pensi kita.”
Aku hanya mengangguk saja karena merasa canggung dengan Oxel.
“Jadi, kok, Xel. Makasih ya, udah mau bantu cari tempat jual kue tradisional.” Cleva memberikan cengirannya. Ya tentu saja, kan Cleva dan Oxel biasanya bertengkar sendiri, pas ada butuh, jadilah si Cleva sok manis.
“Oxel, kamu ke mana sih dicariin dari tadi? Kita butuh dekor panggung, buat kelas kita.” Risabelle tiba-tiba datang ntah dari mana dan ngamuk-ngamuk tidak jelas.
“Santai aja kali, Mbaknya, aku udah panggil tukang dekor, kok, jadi kita nggak begitu repot,” jawab Oxel tenang.
“K-kalau gitu, aku sama Cleva ke kelas dulu. Thanks ya, Xel.” Aku menarik lengan Cleva menjauh dari Oxel, sebelum tingkat degupan jantungku makin naik.
“Iya sana gih, siapin kelas kalian baik-baik kalau nggak mau kalah!”
Rasanya ingin berbalik dan mencakar wajah Risabelle. Cewek itu merasa bakal menang karena mereka dapat tema panggung super star, sedangkan kelasku dapat tema kuliner. Risabelle jelas senang, karena dia pernah mengikuti kelas model saat SMP dan di kelasnya ada sekelompok cowok ganteng, termasuk Oxel, yang jadi most wanted boys di sekolah. Yah, mereka satu tim basket dengan Oxel.
Pensi kali ini, diadakan bulan Maret karena diundur. Katanya, sekalian refreshing untuk anak kelas dua belas. Refreshing apanya kalau malah dibikin perlombaan kelas begini? Pusing iya. Lombanya per-angkatan, jadi kelas sepuluh lawannya ya dari kelas sepuluh, begitu juga kelas dua belas. Tapi, ada juara umum, yakni juara keseluruhan dari satu sekolah. Jadi sekitar 20 kelas, dipilih satu yang terbaik.
Aku hanya berharap, kelasku bisa menang juara dua di lomba per angkatan. Terlalu muluk-muluk kalau mau berharap juara satu, apalagi juara umumnya. Biarlah si Risabelle yang berharap, aku jangan.
“Kla, ingat kan kalau kita kerja sama dengan mall Kertajaya punya om Ardha?”
Aku mengangguk, masih sibuk dengan catatan makanan apa saja yang belum kupesan untuk acara besok. Aku memutar bola mataku, menghela nafas, bingung. Aku lupa kalau yang namanya pensi, pasti ada pertunjukkan bakat. Ini efek panggung utama belum dipasang, jadi aku lupa.
Maria, si balerina kelas, mengalami cedera dua hari yang lalu. Saat berlatih untuk pensi, dia malah terkilir dan butuh waktu dua minggu untuk penyembuhan. Sedangkan pensinya besok. Dan wali kelas kami tercinta, Bu Berta, memintaku untuk solo. Aku belum berlatih. Bagus.
“Va, kita masih belum dapat kabar bagian prasmanan. Coba kamu tanya Helga, sudah disiapin nggak orang-orangnya, kostumnya juga sudah siap semua atau belum.”
Cleva mengangguk. Hari ini memang seharian penuh, kami diminta mempersiapkan pensi, jadi tidak belajar. Asik sih, tapi ribet.
“Kla, kamu mending latihan aja dulu sama Pablo, biar urusan ngedata serahin ke aku.” Widy, cewek berkacamata di kelasku, yang terkenal hobi main di warnet, mengambil catatan yang sejak tadi kupegang, lalu mendorongku pelan, meminta agar aku pergi saja untuk latihan.
“Oke, Wid, thanks.”
******
Sekitar dua jam aku berlatih bersama Pablo, manusia yang akan mengiringiku bernyanyi dengan gitarnya. Sekarang, aku cuma butuh sedikit istirahat. Aku memilih melangkahkan kakiku ke tenda kelasku di lapangan utama sekolah, yang biasa digunakan untuk upacara dan saat ini sedang dipasang panggung utama. Tenda-tenda kelas disusun di depan panggung utama, dan tenda kelasku dapat tempat strategis, yakni di depan panggung, tapi agak ke kiri sedikit.
Aku bisa melihat panggung dengan jelas nantinya, dan teman-temanku pasti bisa melihat performaku nanti dengan jelas pula.
“Wah, spanduk mall si Om ganteng ada fotonya,” ujarku terpana dengan spanduk lebar yang dipasang di dinding sekolah, di lantai dua, menggantung.
Pasti dia yang kasih sponsor untuk acara ini, makanya wajah gantengnya terpampang. Aku tersenyum geli, mengingat akan jadi istrinya nanti. Hihihi.
“Wih, ganteng banget ya cowok yang di banner.” Sekelompok manusia berjenis perempuan berdiri centil di sebelahku. Tampaknya, stan mereka akan berada di sebelah kanan kelasku.
“Lihat tuh, alisnya, tebal banget. Suami idaman nggak sih? Model ya dia?” tanya seorang cewek dengan bandana ungu. Sudah jelas mereka tingkatnya di bawahku, karena aku kenal semua anak kelas dua belas.
“Bukan model, dia itu yang punya mall nya. Ganteng, kan? Aku pernah lihat aslinya loh,” ujar si kacamata dengan penuh percaya diri.
Bangga ya cuma baru ketemu? Aku, sudah pernah ke rumahnya. Kalian kalah, deh!
“Aduh, anak kelas sepuluh, baru lepas putih-biru udah ngayalin si Ardha.”
Aku mengerutkan dahiku, memasang wajah tidak suka. Yap, Risabelle datang. Tunggu dulu, dia kenal Ardha? Berarti dia tahu dong kalau kemarin Ardha pernah ke sini dan pulang denganku?
“Eh, Kak Risa,” si kaca mata menjadi salah tingkah, kemudian bersikap sesopan mungkin, “Ardha ... si pemilik mall, Kak?”
Risa melirikku sekilas sebelum mulai menjawab pertanyaan adik kelas itu, “Iya, Ardha yang punya mall. Aku juga pernah lihat, kok.”
“Di mana, Kak?”
Dasar adik kelas kurang nutrisi otak, tergiur sekali dengan cerita Risabelle. Dia juga bertemu Ardha saat om ganteng itu kesini saat Bu Berta menahan handphone-ku.
“Ya di mall, lah.”
Apa? Di mall?
“Kalian tahu kan, Papaku itu distributor barang branded di mall Kertajaya, dan Mamaku punya cafe di mall itu. Jadi, sudah jelas kalau aku sering lihat si Ardha, bahkan kami akrab.”
Aku mengerutkan dahiku. Aku tahu pekerjaan orang tua Risabelle, dan dia memang tidak bohong, tapi apa iya dia jujur soal akrab dengan Ardha? Apa aku harus tanya langsung ke Ardha?
“Kenapa liatin aku kayak gitu, Kla? Iri ya, nggak bisa dekat sama cowok ganteng? Mentok-mentok, dekatnya sama Oxel. Dekat sama cowok lain, eh malah om-om.” Risabelle mendekat ke arahku.
“Ah ternyata stan kelas kalian di samping stanku,” tunjuk Risabelle pada stan bertenda biru dengan panggung kecil untuk peraga, di sebelah kiri tenda kelasku. Ah sial.
Aku yang tidak mau mencari ribut, memilih pergi ke kelas. Biarkanlah manusia aneh itu berpikiran negatif atau memamerkan kehidupannya lagi dengan orang lain, asal jangan denganku. Rasanya, aku ingin berbisik ke telinganya kalau yang dia sebut om-om itu cowok ganteng yang dia umbar-umbar tadi.
*****
“Besok Om datang ke pensi sekolahku, ya?” Aku menyeruput jus jeruk yang ada di hadapanku sampai habis.
“Bisa nggak sih minumnya pelan aja?” Ardha memandang sekelilingnya, mungkin takut ada yang melihat cara minumku yang rakus.
“Maaf deh. Ayo jawab pertanyaanku!”
“Iya, saya datang. Kan saya tamu, sekaligus jadi pembuka acaranya besok.”
Aku hanya ber-oh ria.
“Besok tolong jangan sok akrab dengan saya, ya?”
Aku menatapnya penuh protes, “Kok gitu? Om kan gebetanku. Lagian aku juga pengen tunjukkin ke Risabelle dan semua orang kalau aku juga kenal sama seorang Ardha Valeriano, anak pemilik Kertajaya Group.”
“Saya mau terima tantangan kamu bukan untuk jadi gebetan kamu, apalagi suami. Saya cuma mau membuktikan kalau saya ini laki-laki yang seleranya bukan anak sekolahan kayak kamu. Lagian juga, untuk apa kamu pamer segala kalau kenal sama saya? Di sekolahnya saja, Oxel nggak pernah bilang kalau dia juga salah satu pewaris Kertajaya Group.”
Aku memberenggut kesal, “Karena Oxel itu sudah populer, nggak perlu si kerta kerto itu.”
“Eh, Kertajaya itu nama Kakek saya.”
Aku menutup mulut, “Maaf, Om.”
Aku mengutuk diriku sendiri. Maaf, Kakek, cucu menantumu ini tidak tahu.
“Lagian si Anabelle itu siapa sih?”
Ternyata bukan aku, Oxel, dan Cleva saja yang mendengar nama Risabelle itu mirip Anabelle. Bukan versi manusia, tapi boneka yang menyeramkan.
“Yang benar Risabelle. Itu rivalku, anak sekelas Oxel. Dia bilang kalau dia akrab sama Om, kenal gitu, ke anak-anak kelas sepuluh. Kayaknya dia pamer ke semua anak deh, bukan ke anak kelas sepuluh aja. Soalnya muka Om terpampang nyata di spanduk di sekolah. Ganteng pula,” ujarku berapi-api.
“Kenapa mereka nggak bilang ya kalau wajah tampan saya bakal dipamerkan begitu?”
Cih, lagaknya!
“Jadi, benaran aku nggak boleh sapa Om kayak biasa?”
Ardha menggeleng cepat, “Tolong jangan sapa saya, sama sekali. Anggap kita nggak pernah kenal.”
“Oxel?”
“Kalau Oxel sudah jelas tidak akan mengganggu omnya. Dia mengerti betul masalah itu. Dan soal Risabelle, saya tidak kenal dengan anak itu, sama sekali. Kenal saja nggak, kok ngaku-ngaku akrab dengan saya? Gila itu.”
Memang, aku kecewa dengan keputusan Ardha untuk tidak mengenalku di sekolah besok, tapi aku lega karena si manusia aneh, Risabelle, ternyata hanya pembohong ulung. Baiklah, lebih baik aku fokus untuk menghafal lirik lagu yang akan kunyanyikan besok. Ah, lagu itu!
“Intinya kamu jangan tegur saya, pura-pura tidak kenal. Titik.”
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha