Tisya menghela napas panjang. Satu hari lagi kembali terlewati. Satu hari lagi dia kembali merasakan yang namanya sendirian. Satu hari lagi dia kembali menyelami kesepian. Bel terakhir baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Kelas unggulan ini hampir kosong. Hanya ada tiga orang yang tersisa, termasuk dirinya. Tisya masih berada di sini bukan karena ada yang masih dikerjakan. Dia hanya ingin menghindari Celin dan ketiga temannya. Mereka pasti sudah berada di depan gerbang sekolah. Seperti dua hari belakangan ini.
“Mal, gue duluan ya,” ucap Nando dengan mengangkat sebelah tangannya.
Sosok yang dipanggil Mal—atau Gamal—itu juga mengangkat sebelah tangannya sambil berujar, “Ya. Hati-hati!”
Sekarang hanya ada Tisya dan Gamal di dalam kelas. Meskipun mereka teman sekelas, mereka tak pernah sekalipun berbicara. Selama ini Tisya selalu membatasi dirinya untuk berinteraksi dengan orang-orang. Bukan karena dia nggak ingin mempunyai teman. Tapi karena dia—bisa dikatakan sedikit—trauma.
Waktu masih SMP, dia memiliki teman yang cukup dekat. Dan saat ibunya tahu kalau anaknya berteman dengan Tisya, ibu itu datang ke sekolah dan melarang Tisya untuk berteman dengan anaknya. Panyebabnya gara-gara Tisya anak dari Sarah Irawan. Dia takut jika Tisya memberikan pengaruh buruk. Sejak hari itu, Tisya memutuskan untuk menjauh dari teman-teman sekelasnya. Tanpa memiliki teman terlihat lebih baik untuknya, terutama baik untuk jiwa dan otaknya.
Diliriknya jam di pergelangan kanan. Kini sudah hampir satu jam sejak bel pulang berbunyi. Tisya memutuskan untuk berdiri. Sebaiknya dia melihat apakah Celin dkk masih di gerbang sekolah.
Tisya kembali menghela napas panjang untuk kesekian kalinya hari ini. Mobil Celin masih terparkir apik di depan gerbang sekolah, meskipun dia tak melihat wujudnya. Tisya kini memilih untuk duduk di lantai koridor. Sebaiknya dia menunggu lagi hingga mobil merah itu tidak terlihat. Atau kalau dia tetap berkeinginan untuk melewatinya, mungkin dia akan berakhir seperti hari kemarin, dengan kepalanya sakit karena rambutnya ditarik-tarik kasar dan beberapa lebam di tubuhnya karena aksi brutal Celin.
Perbuatan Celin dan teman-temannya termasuk pembulian. Tisya bisa saja melaporkan ke pihak Komnas Perlindungan Anak. Tapi Tisya nggak ingin. Dia cukup memahami alasan tindakan Celin. Anak mana yang tidak berang kalau rumah tangga orang tuanya diusik orang ketiga. Apalagi dari berita di TV, Papa dan Mama Celin dikabarkan akan bercerai dan penyebabnya karena Mamanya, Sarah Irawan.
Mata Tisya melirik ke parkiran siswa. Hanya terdapat sebuah mobil dan dua buah sepeda motor di sana. Kalau dia ingin segera pulang, mungkin dia bisa menumpang dengan salah satu dari mereka. Celin pasti nggak akan mencegatnya di gerbang sekolah nanti.
Setelah menunggu hampir lima belas menitan, Tisya mendengarkan langkah kaki yang mendekat. Dia spontan menoleh, didapatinya sosok jangkung dan memiliki alisyang tebal sedang berjalan. Melihat sosok itu, niat Tisya jadi ciut. Dia memang jarang berinteraksi dengan teman sekelasnya, tapi bukan berarti dia nggak mengamati.
Dari penglihatannya, Gamal tipikal cowok dingin yang susah didekati. Dia juga jarang mau berkomunikasi dengan anak-anak cewek, selain bukan karena tugas atau kegiatan sekolah. Bahkan tiga hari yang lalu, Tisya nggak sengaja melihat Gamal menolak Amanda dengan kata-kata pedas dan tatapan merendahnya. Padahal Amanda merupakan salah satu primadona di SMA Binus International. Banyak anak-anak cowok berharap menjadi pacarnya.
Tisya mendongak ke atas. Langit tampak mendung. Kemudian dia menoleh ke gerbang sekolah. Mobil merah itu masih di posisinya. Dia nggak tahu harus sampai kapan bersembunyi di sini.
“Gamal!” panggil Tisya. Setelah berpikir cukup keras, Tisya memutuskan untuk mengikuti rencananya.
Merasa dipanggil, Gamal menoleh ke sumber suara. Matanya memindai saksama raut wajah Tisya.
“Gue boleh minta tolong?”
Alis Gamal sedikit terangkat. “Apa?”
“Gue boleh nebeng sama lo?”
Sekali lagi Gamal memindai wajah Tisya. Setelahnya dia langsung membalikkan badan dan lantas pergi. Sementara bahu Tisya terjatuh lunglai. Sudah diduganya. Gamal pasti akan menolak. Mana mungkin cowok itu akan memberikan tumpangan, mengingat bagaimana sikap dinginnya selama ini.
“Jadi ikut nggak lo?
“HAH?” Tisya memasang wajah melongo.
“Ikut ato nggak?”
Kepala Tisya cepat-cepat mengangguk. Dia segera mensejajarkan langkahnya dengan Gamal. Mereka berjalan dalam keheningan—mulut saling mengatup rapat—hingga berhenti di sebuah mobil Toyota Yaris berwarna putih.
“Gue bukan supir,” celetuk Gamal ketika Tisya membuka pintu di belakang kemudi.
Ditutupnya lagi pintu itu dan segera membuka pintu di samping kemudi. Sesuai dugaan Tisya, Celin dkk memang tak mencegatnya. Bahkan mereka tidak menyadari keberadaannya yang ada di dalam mobil Gamal. Tisya menghela napas lega. Kemudian dia menoleh ke samping kanannya, Gamal tampak fokus mengemudi.
“Turunin aja gue di Indomart simpang tiga,” ucap Tisya.
Gamal terlihat tetap berkonsentrasi dengan setir mobilnya. Seolah kata-kata Tisya hanya angin lalu.
“Turunin aja gue di Indomart simpang tiga,” sekali lagi Tisya mengulang ucapannya dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya.
Gamal masih tak mengindahkan. Dia justru menaikkan sedikit kecepatan mobilnya hingga mereka sudah melewati Indomart tersebut. Tisya hendak mengulang kalimatnya lagi, tetapi mobil itu sudah berhenti di halaman sebuah apotik. Tanpa mengatakan apa-apa, Gamal meninggalkan Tisya sendirian di dalam mobil. Lima menit berselang, dia sudah kembali menduduki kursi kemudi. Di tangannya sudah terdapat sebuah kantong plastik berlogo apotik Harapan Bunda.
“Ambil!” sodor Gamal.
Kening Tisya kontan mengerut. “Untuk apa?”
“Untuk luka di siku lo.”
Tisya refleks menengok ke sikunya. Memang ada lecet-lecet dan luka menganga yang tidak terlalu besar di sana. Pasti gara-gara dorongan Celin kemarin. Tapi dia sungguh nggak menyadarinya. Dia nggak merasakan sakit apapun.
“Thanks.” Tisya terpaksa mengambil kantung plastik itu. Gamal sudah terlanjur membelinya. “Turunin aja gue di depan bimbel GE,” imbuhnya lagi saat matanya menangkap bangunan tingkat dua dengan papan bertuliskan Ganesha Education.
Gamal menepikan mobilnya tanpa merespon. Tisya segera melepaskan seat belt-nya.
“Thanks ya Mal. Kalo besok-besok lo butuh bantuan, bilang aja ke gue,” ucap Tisya berbasa-basi.
Gamal tak memberikan masih betah dalam kebungkamannya.
“Thanks sekali lagi, Mal,” ucap Tisya sebelum membuka pintu.
Baru saja Tisya hendak menutup pintu, tiba-tiba dia masuk ke dalam mobil lagi dan segera menempati kursi di samping Gamal. “Boleh gue nebeng sekali lagi?” Tisya mengatupkan kedua tangannya di depan dada. “Please!”
Tanpa berkomentar apa-apa, Gamal menyalakan mobilnya. Tisya langsung menghela napas lega. Tadi dia melihat Riko yang keluar dari pintu Ganesha Education. Tapi untunglah cowok berambut angular fringe itu tidak melihatnya. Untung juga mobil Gamal masih belum pergi. Kalau nggak, dia pasti kebingungan harus bersembunyi di mana. Riko masih mengejar-ngejarnya hingga sekarang. Tisya sungguh tak ingin bersinggungan dengan cowok itu.
“Rumah lo di mana?” tanya Gamal tanpa memandang lawan bicaranya.
“Kenapa?” Tisya mengernyitkan alis.
“Gue antar lo sampe rumah.”
Cukup lama Tisya terdiam sebelum menyebutkan alamat rumahnya. Sebaiknya dia memang menerima tawaran itu. Kalau dia meminta turun di tempat lain lagi, mungkin dia akan bertemu dengan orang-orang tak terduga seperti tadi. “Di Jagakarsa Raya Blok Aren.”
^_^
Tisya mengenyit heran pada mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Dilirik jam pergelangan tangan, masih jam enam sore kurang sepuluh menit. Tidak biasanya Sarah pulang jam segini. Dia selalu pulang larut malam atau pagi buta. Bahkan ada kalanya dia nggak pernah pulang hampir semingguan. Setelah itu akan ada berita di TV kalau dia sedang berpergian dengan seorang laki-laki.
“Thanks banget ya Mal, udah mau nganter gue,” ungkap Tisya sambil melepaskan tali seat belt.
“Ya,” sahut Gamal singkat.
Sekali lagi Tisya mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil Gamal. Setelahnya mobil putih itu perlahan-lahan mulai menjauh. Kemudian dia segera masuk ke dalam rumah. Saat melewati ruang keluarga, sayup-sayup dia mendengarkan suara yang sangat familier di balik kamar di samping tangga. Ternyata memang benar Sarah sudah pulang.
Baru saja Tisya hendak menapaki anak tangga pertama, pintu kamar itu terbuka, menampakkan sosok Sarah dengan sebuah koper besar.
“Kamu udah pulang, Sya?” tanya Sarah ketika mata mereka saling bertemu.
Tisya membalas dengan anggukan singkat.
“Selama seminggu, Mama mau ke Bali. Kamu baik-baik di rumah, ya?!”
“Mama pergi dengan Om Adrian?” tanya Tisya dengan tatapan sendu. Kali ini dia sangat berharap Sarah akan menyanggahnya.
Sarah mengangguk antusias. “Mama memang pergi dengannya. Memangnya kenapa?”
“Apa Mama nggak kasihan dengan keluarga Celin? Apa Mama nggak malu? Apa Mama nggak merasa hina saat dianggap pelakor sama orang-orang?” tanya Tisya dengan berteriak. Mendengar jawaban Sarah yang seolah kepergiaannya dengan Adrian bukanlah sebuah masalah, emosi Tisya tiba-tiba membuncah. Lantas matanya berkaca-kaca. Dia kembali berteriak lantang sebelum berlari menaiki tangga, “Apa Mama nggak kasihan denganku? Gara-gara Mama, aku dibuli Celin. Gara-gara Mama, aku takut keluar rumah. Gara-gara Mama, aku nggak punya teman. Gara-gara Mama, aku pingin cepat mati.”
BRAK!!! Tisya membanting kasar pintu kamarnya. Dia menelungkupkan tubuhnya ke atas kasur. Manik mata yang tadi berkaca-kaca, kini sudah mengalir deras dan membasahi seprai. Dia menangis tersedu-sedu. Lalu kepalanya terpaksa mendongak ketika mendengar suara mesin mobil. Dia segera bangun dan mendekati jendela.
Dibuka sedikit tirai yang menutup jendela. Sekarang air matanya semakin deras menetes. Sarah memang nggak pernah mau mendengarkan ucapannya. Meskipun Tisya sudah berteriak lantang seperti itu, Sarah tetap pergi, tetap meninggalkannya sendiri di rumah besar ini.
“Aku benci Mama,” lirih Tisya di sela-sela isak tangis. [ ]
Terima kasih sudah membaca
Nantikan terus bab selanjutnya.
Salam,
Alsaeida
Sad...
Comment on chapter Prolog