“Lo udah lihat gosip tadi pagi?” ucap gadis berambut sebahu pada temannya yang berkacamata.
“Nggak. Kalo pagi-pagi, keluarga gue jarang nonton TV. Memangnya ada apa?”
Si gadis berambut sebahu melirik ke Tisya yang sedang duduk di bangku kayu. Bangku itu diletakkan persis di samping kiri papan mading sekolah. “Sarah Irawan ketangkep make narkoba di hotel bersama suami orang.”
“Dia mamanya Tisya, kan?” Gadis berkacamata juga ikut memandang ke arah Tisya.
“Ya,” angguk si gadis berambut sebahu. “Kemarin ‘kan dia datang ke sekolah karena Tisya berkelahi dengan Jessica. Katanya sih gara-gara Tisya merebut pacar Jessica.”
“Memang bener kata pepatah, buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya. Emaknya pelakor, anaknya pepacor alias perebut pacar orang,” cebik si gadis berkacamata sambil terkekeh kecil mendengar kalimat terakhirnya.
Tisya menulikan telinganya. Dia tetap fokus membaca novel yang dibeli sore kemarin. Dan baginya, berita yang dibicarakan kedua gadis tersebut sudah exfired. Dia sudah mendengarnya sejak dua hari yang lalu, sejak pihak polisi mendatangi rumahnya. Dia juga sudah sering mendengarkan kata-kata hinaan seperti itu. Bahkan ada yang mengatakan dengan kata yang lebih merendahkan, seperti pelacur atau jalang.
Sebenarnya Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, “Mama”. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, “Jadi artis”. Dan bila diberi kesempatan, bagian tubuh apa yang ingin di operasi plastik? Tisya akan membalas, “Wajah gue. Karena wajah ini mirip dengan Mama. Dan gue sangat membenci Mama.”
Ketika sedang asyik-asyiknya membacanya, tiba-tiba nada peluit terdengar. Tisya kontan melepaskan pandangannya dari novel berjudul Seperti Bekas Paku itu. Dia segera merogoh saku celana. Lalu sesaat kemudian, dia memasukkannya kembali. Tidak berminat untuk membaca. Chat Line itu dari Riko, dari orang yang menyebabkan Sarah datang ke sekolah berbasis International ini.
“Nempel apa?”
Tisya mendongak, dilihatnya dua anak laki-laki yang sedang berdiri di depan papan mading. Yang bertubuh jangkung sedang menempelkan kertas berukuran A4. Sedangkan yang bertubuh sedikit berisi melongokkan kepala, ingin melihat isinya.
“Students Exchange In South Korea,” baca si gemuk.
“Ikutan nggak?” tanya si jangkung.
“Pengen sih ikutan. Tapi saingannya pasti banyak.”
“Yah, lo benar. Lagian mana mungkin kita bisa mengalahkan anak-anak kelas ungulan seperti mereka,” tukas si jangkung sebelum membalikkan badan dan pergi menjauh.
Tisya lantas berdiri, kemudian mendekati papan mading. Dibacanya dengan saksama setiap tulisan pada poster tersebut. Sekonyong-konyong ide itu muncul. Tisya sudah tak tahan lagi. Dia ingin bebas dari rasa belenggu menyakitkan ini. Dia tak ingin orang-orang menghina dan mencaci dirinya lagi. Dan program students exchange tersebut pasti bisa mewujudkannya.
Bisa dikatakan, Tisya sudah nggak waras. Dia mungkin mulai gila. Dia tak ingin berada di Indonesia lagi. Dia juga tak ingin ada orang-orang yang mengenalnya sebagai putri Sarah Irawan—artis yang hidupnya selalu dipenuhi dengan skandal memalukan. Untuk mewujudkannya semua itu, dia harus pergi sejauh mungkin dari kota ini, harus keluar negeri. Makanya dia berniat kabur setelah tiba di bandara di Korea Selatan nanti. [ ]
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA
Salam Alsaeida
Sad...
Comment on chapter Prolog