"loh.. gak pulang ?" Shinta kembali sambil membawa tasnya. ia mendapati Hardian sedang bersandar di pintu gerbang.
"enggak dijemput ?" tanya Hardian balik.
"ini baru mau telpon papa" Shinta mengambil ponselnya dan menempelkan di telinganya.
"boleh pulang bareng ? aku juga pengen ngomong sama papa kamu. siapa tau kenal" Hardian menarik pelan Shinta ke dekat trotoar, membawa gadis itu menjauh dari lingkungan sekolah.
"eh..um.." Shinta berkedip. ia masih menunggu Ayahnya mengangkat telponnya. Shinta masih memikirkan tentang perkataan Hardian, apa ada hal yang begitu penting ?. apa seorang teman akan berkunjung ke rumah temannya yang lain saat pertama kali kenal ya ?. ini hal yang wajar atau enggak ?. Shinta pun menanggut, ia mencoba percaya pada Hardian, mengingat Hardian telah membantunya mengenal lingkungan sekolah pagi ini.
"kok baru nelpon ? kemana aja tadi ?"
"tadi telpon Shinta ketinggalan di kelas, hehehe.. Papa bisa jemput Sekarang ?"
"ini papa lagi di jalan emang mau jemput kamu"
"pa.. bole ga kalau Shinta ngajak temen ke rumah ?"
"perempuan ? laki-laki ?"
"laki-laki"
"ngapain ?"
Hardian mengambil ponsel Shinta.
"halo om. maaf sebelumnya. tapi saya mau kasi tau sesuatu yang penting. ini buat jaga-jaga"
"... oke. tapi udah kasi tau orang tua mu ?"
"saya tinggal sendiri, jadi gak masalah"
TUT~
Hardian mengrenyit, ia menatap ponsel Shinta. Aleka memutuskan sambungan ponselnya. Shinta hanya tersenyum tipis. ayahnya memang biasa begitu, alasan hemat pulsa adalah hal yang sering ia dengar.
Shinta mengambil ponselnya, tetapi tangannya bergetar. ia sedikit kedinginan. udara Kota berbeda dengan udara kota, mengingat ini adalah hari pertamanya berada di kota Mina.
"hm.. kak Hardian. masalah yang tadi..." ucap Shinta sambil menatap jalanan yang lenggang. sebenarnya, bahu Hardian sudah cukup lelah membawa 2 tas berat setiap hari Senin ,Selasa dan Kamis. sehingga ia ingin cepat-cepat pulang. untuk hari ini ia maklumi. karena ia ingin menjaga anak baru. (sekalian modus sih)
"itu yang bunuh-bunuhan"
"oh.. itu bener kok. yang mana buat kamu bingung ?" tanya Hardian.
"bener ga itu terjadi 3 tahun lalu"
"ga, tepatnya 2 tahun lalu. karena itu terjadi akhir Desember pas tanggal 31" jelas Hardian.
"eh darimana kamu tau berita ini ?" Hardian bertanya sambil menurunkan tas olahraganya.
"temenku yang ngasi tau. terus, bener ga kalau pembunuhnya Ratna Lesmana"
"Ratna Lesmana ? hmmm" Hardian menopang dagunya.
"menurut mu ada hubungannya sama keluarga keluarga Lesmana ya ?" Hardian balik bertanya.
"temen ku bilangnya gitu, katanya dia sumpel polisi pakek uang gitu"
"bisa aja sih"
"terus, pelakunya ketangkep ga ?" tanya Shinta polos.
"enggak lah !"
"kok gitu ?"
"kan kamu bilang tadi, disumpel pakek uang"
"polisnya makan uang ?"
"ya lord.. polosnya" -Hardian
"orang-orang disini kok aneh ya ?" -Shinta
Hardian hanya geleng-geleng kepala. sementara yang satunya hanya menatap ke langit sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir.
"oh ya, kau gak mau kenalan lebih jauh sama Gintong dan Leon ?" Hardian berkata sambil menjentikan jarinya. sesungguhnya, ia ingin mencari tau mengenai keluarga Lesmana. tetapi orang baru seperti Shinta lagaknya tak mengetahui apa pun yang di perlukan oleh Hardian.
"boleh.. tapi.. aku gak tau kak Gintong sama Leon suka apa" Shinta tampak tersenyum tipis.
"gak usah manggil kakak juga, dia itu seangkatan sama kamu."
"ohh... hmm Kak Hardian"
"kenapa ?" Suara Hardian kedengaran rendah.
"kenapa masih disini ?"
"gila.. hitungan sepersekian detik bisa lupa" -Hardian
PIM ! PIM !
Mobil Aleka berhenti sempurna di hadapan kedua anak tersebut. Hardian tak langsung masuk, saat bertatapan dengan Aleka.
"aa.. mungkin lain kali saja." Hardian mengusap kepala belakangnnya dengan ragu-ragu.
"ngapain ?"
"Gintong nyuruh aku pergi ke supermarket buat beliin clay" Hardian mengeluarkan senyum kikuk.
"oh, aku ada bilang apa tadi ya ?.. ka-kalau gitu.. sampai besok" Shinta menutup pintu mobil, dari luar terlihat samar-samar Aleka sedikit tersenyum sambil melirik ke arah Hardian. Aleka sedikit mengangguk sebelum pintu benar-benar di tutup oleh Shinta.
gila.. itu om om maskulin amat. -Hardian.
bukannya Hardian modus, dia hanya membantu Shinta untuk menjaga dirinya. Hardian tau betul kondisi kota Mina yang tak aman seperti saat ini. bahkan sekolah saja bukan tempat yang benar-benar aman untuk berdiam diri. Hardian mengangkat tasnya lalu beranjak pergi,selama melewati trotoar ia meliat deretan gedung-gedung berlantai 2 sudah menyalakan lampunya, membuat suasana kota di malam hari semakin terasa.
tapi sayang, kota ini sangat sedikit populasi wanitanya. terutama wanita berusan di atas 20 tahun ke atas. penculikan besar-besaran terjadi beberapa bulan terakhir, banyak orang menuding bahwa keluarga Lesmana adalah pelakunya. sementara polisi memilih bungkam. kejahatan pemerkosaan terjadi di beberapa tempat. sangat beresiko jika membawa seorang gadis muda seperti Shinta kemana-mana tanpa pengawasan.kurang lebih begitulah keadaan di kota saat ini.
saat ia sampai di halte bus terdekat,Hardian mengambil ponselnya sambil melihat jadwal kedatangan bus. terkadang Hardian mengutuk dirinya karena lupa untuk menyewa sepeda koin (sepeda yang bisa di pinjam di pusat kota, bayaraanya 1 uang koin). setidaknya dengan begitu ia bisa sedikit mengatur keuangannya.
DRRTT DRRTTT DRR
ponsel hardian bergetar, menampilan nama Gintong di layarnya.
"nape ?"
"jalan yuk, males dirumah"
"huh ? aku baru pulang, kapan-kapan aje ye ?"
"gini nih, pasti gegara nungguin anak baru"
"iya lah !"
di tempat Hardian berdiri, sebuah Bus sudah hampir mendekati Halte.
"ya elah Har, bentar doang"
"sepenting apa emang sampe aku harus ikut ?"
"ada game baru di paystation"
"eh seriusan ?!"
bus sudah berhenti dan Hardian masuk ke dalamnya.
"dikira dah boong"
"gassss..."
orang-orang di bus melirik Hardian saat ia berdesis mengatakan 1 kata itu. anak laki-laki itu langsung cengo sambil menganggut-manggut malu, lalu mencari tempat duduk paling belakang, sekalian menyembunyikan wajahnya.
"beneran ? ku tunggu di MataSurya mall, bareng Leon"
"seep. 20 menit dan aku nyampe duluan"
panggilan telpon terputus. Hardian mengambil jaketnya di tas ransel berwarna hitam yang ia bawa. ya begini lah hidup di kota sendirian sebagai bujangan (what the- ?!) bukan-bukan! . ini memang kebiasaan alami laki-laki. jarang betah dirumah, hobinya nerong paling ke tempat main game. terutama Hardian, di sela-sela sekolah masih sempat untuk menghibur diri sampai tengah malam. Hardian sendiri memang kurang betah dirumah sejak ibunya hilang tiba-tiba. berkat 2 junior itu, Hardian sedikit merasa lebih baik. pergaulan antara ketiganya gak terong-terong amat. malah mereka sempet-sempetnya bersaing walau beda tingkat.
disisi lain Hardian juga pengen di cap sebagai Senior yang baik, di sisi lain para adik kelas terutama perempuan menikmati pemandangan saat Hardian masuk kelas mereka.