Aleka telah memarkir mobilnya di basement. lalu ia meminta Shinta untuk mengeluarkan barang-barang. mereka sudah sampai di tujuan pertama. dari luar sebuah Apartemen menjulang tinggi, menampilkan dirinya sebagai bangunan berlantai 5 yang lebar berhiaskan bata merah. membedakan dirinya dengan bangunan di sekitar yang lebih di dominasi warna cokelat, putih maupun orange.
Shinta mengikuti langkah kaki ayahnya, setelah keluar dari lift yang memberitau dirinya kalau sudah sampai di lantai 3 bangunan tersebut. Aleka menghirup nafas panjang dan berhenti di sebuah pintu yang tak jauh dari tangga. Shinta kini memperhatikan ayahnya tengah kesulitan membuka kunci pintu.
setelah berhasil, keduanya masuk ke dalam ruangan yang tak sesempit pikiran Shinta. Dekorasi yang di dominasi warna biru, putih dan hitam memenuhi ruangan. sebuah meja kerja terdapat di pojok ruangan yang berhasil menyita perhatian Shinta. gadis itu segera meletakan tasnya, kemudian berniat untuk membersihkan meja tersebut. tapi sebelum itu, Aleka berhasil menghadang anaknya.
"jangan sentuh meja papa" pria itu menatap tajam anaknya.
"oke, kalau enggak berantakan"
"semakin kreatif, semakin berantakan" sahut Aleka. hal itu berhasil mengundang tatapan mengancam dari Shinta, yang kini tak bisa banyak berkata-kata.
"ya udah,kamarnya sebelah mana ?" Shinta mengambil tasnya dan Aleka.
Ayahnya menunjukan jalan menggunakan dagu ke sebuah celah diantara rak-rak buku besar. dari luar terlihat double bed berwarna biru. Shinta baru tau jika ayahnya ini pencinta warna biru. saat Shinta masuk, pemandangan luar tampak jelas dari jendela kamar yang tak terlalu lebar. pencahayaan yang cukup, ditambah beberapa pot yang berada di pojok ruangan, menyuguhkan sedikit kesegaran di tengah kota. mata Shinta akhirnya terfokus pada lipatan baju sebuah sekolah di atas kasur.
"ini.. punya siapa ?" Shinta bertanya dan mengalihkan pandangannya ke pintu masuk.
Aleka sedikit mengintip kemudian berkata "punya mu. mulai besok kau baru bisa bersekolah. gak jauh kok."
"se-kolah ? seperti novel-novel yang papa kasi ?"
"iya" sahut Aleka dari balik rak pembatas ruangan.
"waw.. apa aku akan punya pacar ?" Shinta mengambil baju sekolahnya. karena tidak ada respon dari Ayahnya, Shinta yang giliran menuju ruang tamu yang menyatu dengan dapur itu."papa ?" Shinta berharap Aleka akan menjawab pertanyaannya yang polos tadi. tapi Aleka malah menyibukan diri dengan merapikan berkas-berkasnya kedalam kardus.
"papa kok gak nyaut sih ?" Shinta mengeluarkan nada kecewa.
"entaran aja."
"boleh ku bantu ?"
"masukin aja baju-baju di koper ke lemari." saran Aleka.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Shinta cuma bisa diam saat melihat jejeran gedung-gedung dan sebuah lapangan di tempat yang bernama sekolah. maklumlah, sedari kecil dia hanya bisa melihat tempat itu dari buku bacaan. sebenarnya ia bisa mengevaluasi anaknya dan membuat rapor sendiri. tetapi akan lebih baik bila menyekolahkan anaknya, karena Aleka sedikit khawatir bila Shinta nantinya memiliki sifat Antisosial .tidak sulit baginya untuk memasukan anaknya ke sebuah sekolah di kota Mina, lagi pula kota tersebut dikenal agak bebas dalam hal pendidikan.jadi masalah adiminstrasi Aleka tak perlu khawatir.
Shinta yang bengong, kini menatap Aleka yang masih ada di dalam mobil. "aku harus apa ?"
"pergilah ke ruang guru dan temui wali kelas 11 IPS 3. setelah itu, cobalah untuk mengobrol dengan manusia normal lain, jangan membuat mereka tersinggung dan terakhir ingat pulang tepat waktu" ucap Aleka sambil menghitung dengan jari-jari tangannya.
"bagaimana kalau aku tidak bisa ?" Shinta tampak gugup dan memegang erat tali tas ransel miliknya.
"usaha dulu terus jangan lupa minum kapsulnya lagi kalau tiba-tiba gatal." Aleka perlahan menaikan kaca jendela mobil. "terus kalau hujan, jangan lupa kapsulnya juga di minum. sampai jumpa" ucap Aleka terakhir sebelum kaca mobil benar-benar tertutup.
Shinta masih menatap gedung sekolah dari luar, disaat langit masih berwarna kuning kemeraahan, anak-anak sekolah baru saja berangkat dari rumahnya. berbeda dengan Shinta yang sekarang sudah berada di sekolah dan mencoba menghafal denah sekolah. mencari tempat yang beranama ruang guru di salah satu gedung-gedung berlantai 3.
"wah.. rajin amat liatin denah, nyari ruang apa ?" Seorang anak laki-laki berambut merah dengan jaket hitam tiba-tiba berdiri di samping Shinta.
"e-eh ?! itu.. ruang guru" jawab Shinta setengah kaget.
"anak baru ya ?, pindahan dari mana ?, mau ku anterin ?" tanya anak itu sambil menjabat tangan Shinta. "betewe, panggil aja aku Hardian. aku bisa jadi pemandumu" lanjut anak itu.
"i-iya iya" Shinta mencoba tersenyum ramah, walau ia agak ketakutan.
"santai sis..aku gak bakalan makan orang !" seru Hardian, yang kini berjalan mendahulu Shinta menuju sebuah gedung. "sini ! anggep aja lagi PLS,cuman bedanya sama atlet voli ganteng." kata Hardian sambil menunjukan pose peace, saat mengetahui Shinta yang masih diam di tempat dan memegang roknya.
"cepetan ! nanti yang lain dateng !" kata Hardian sambil menarik lengan baju Shinta. "jangan lelet-lelet !" titah Hardian.
kini Shinta cuma bisa berkata iya atau ok, untuk menjawab pernyataan seadanya dari orang aneh yang baru saja di kenalnya. Shinta pikir orang ini bisa saja begitu agresif dan membahayakan, sehingga ada tanda bahaya jika jarak antara mereka begitu dekat.
"di sini ruang guru, terus di sebelah sana ada ruang Tata usaha. di sebelah sana ada toilet lagi, terus ada loker juga. aku sih makek loker buat nyimpen sepatu olahraga." jelas Hardian. dia kembali berjalan menuju gedung paling timur.
"sampai disini aja ya, udah tau kan dimana kelas mu ?" tanya Hardian.
Shinta cuma bengong, mengingat semua penjelasan Hardian tadi. yang terlintas di pikirannya hanya Hardian yang menunjuk gedung-gedung dan ruangan dari lapangan.
"mungkin inget" Kata Shinta sedikit ragu.
"yah... kalau gitu ambil ni." Haridan memberikan lipatan kertas pada Shinta. setelah di buka di dalamnya berisi nama sosial media dan nomor ponsel milik Pria itu.
"udah ya ?. jugaan masih anak baru, cari aja wali kelas mu. biasanya jam segini udah ada guru yang masuk. salah satu dari mereka aja tanyain, kalau gak tau mukak wali mu" saran Hadiran, sambil membenarkan posisi tasnya.
" makasi" Shinta melambaikan tangan. Hardian melakukan hal serupa, sebelum ia berjalan dengan cepat ke lantai 2 gedung tersebut.
jadi begini rasanya ketika memiliki seorang teman ?. apa teman itu semuanya mirip dengan Hardian ?. apa mereka akan sering ngomel-ngomel seperti Haridan ?. saat Shinta berjalan menuru ruang guru, ia melihat sudah banyak orang-orang yang memakai pakaian yang sama dengannya masuk lewat pintu gerbang.
apa semua orang dapat ia percaya nantinya ?