Mobil berwarna hitam itu telah melewati kiloan meter pematang sawah. mata hitam milik Shinta terfokus pada tumbuhan padi yang perlahan menguning. dalam benaknya ia berpikir apakah jarak dari rumah ke kota itu sangat jauh ?. apa ia akan di buang oleh ayahnya ?. Shinta melirik ayahnya yang sedang fokus dengan setir mobilnya. suasana hening tak berubah sejak mereka berangkat. Nami sendiri tidak ikut. Shinta mendengar jika ayahnya meminta Nami untuk tinggal, menjaga rumah itu sendirian selama mereka pergi.
"papa.. kita mau kemana ?"kata Shinta sambil menatap ayah di sampingnya.
"kota"
"kenapa jauh sekali ?"
"...... nanti saja kau akan tau"
begitulah Aleka. jika di lihat orang dingin, dimata Shinta ayahnya adalah seseorang yang cukup perhatian dalam diam. Aleka sendiri lebih menyukai berbicara dengan orang dikenalnya. Shinta kadang takjub dengan aura yang dimiliki Aleka.
beberapa saat setelah mereka jalan di areal persawah, mereka akhirnya memasuki sebuah desa yang dibilang cukup kecil. jalanan becek yang rata dengan tanah, hewan-hewan yang berkeliaran seenaknya, orang-orang berlalu-lalang dengan kain tradisional menyelimuti tubuh mereka. Ubi jalar, jagung dan Ikatan padi menjadi perhatian utama Shinta. sampai fokusnya sendiri terbuyarkan oleh dentuman kecil di sekitaran mobil mereka
Aleka menepikan mobil di dekat warung kecil. pria itu keluar dari mobil dan berjongkok di dekat pintu sebelah Shinta.
"bannya kempes ?" tanya Shinta setelah menurunkan kaca jendela mobil.
"iya" sahut Aleka yang kini sudah menempelkan Hpnya di telinga. Aleka menelepon sambil memeriksa ban Mobilnya, pria itu memberitau alamat mereka sekarang. "keluar dulu sayang, terlalu lama jika kau terus menunggu di mobil" Pinta ayahnya.
Shinta menuruti. gadis itu menggulung celana panjang dan juga rambutnya. ia mengambil tas selempang berwarna cokelat yang kini sudah berada di bahu kanannya.
"aku bosan" kata Shinta. ia menurunkan bahunya kemudian memasang wajah malas.
"pergilah sesuka mu. setelah kau minum ini" Aleka mengeluarkan kapsul berwarna putih dan biru dari saku pakaiannya.
"apa ini ?" Shinta mengambil kapsul itu.
"pengganti cream penutup sisik"
"sebentar saja papa.. Cream juga bertahan paling lama 3 hari" Shinta memelas.
"tidak."
"ayolah..."
"Shinta" Aleka berkacak pinggang.
"please...rasanya panas minum begituan" Shinta mencari-cari alasan.
"baik. jika orang-orang tau kau bukan manusia, aku tidak akan segan membuangmu"
GLEK !
"jahat.." bisik Shinta.
"tapi aku pasti ok aja kan ?" tanya Shinta. ia belum biasa dengan metode penyamaran sisik pakai kapsul. mau tidak mau Shinta harus meminum kapsul itu. Aleka bisa kena masalah juga kalau orang-orang tau jika bukan manusia normal.
"ingat-ingat sendiri jalan pulangnya" titah Aleka.
"iya ih" Shinta mulai berjalan menyusuri jalan diselimuti rumput di kiri kanannya.
Shinta sempat kaget dengan anjing yang tiba-tiba muncul di sampingnya saat berjalan. warna bulu anjing disini hampir sama dengan tanah. untung saja anjing itu tidak galak. setelah dianggap cukup jauh berjalan lurus. Shinta berbelok dan menemukan rumah rumah penduduk dengan bahan bambu berdiri di kanan dengan orang yang berjualan sayur. matahari sore rasanya tak begitu terik. jadi ia menikmati hawanya.
"MINGGIR !!!" teriak seseorang dari belakang.
karena telat merespon, Shinta terjatuh karena disengol seorang pelari asing dan ia mendapat perawatan rambut gratis berupa telur yang mendarat di kepalanya.
"AKU BILANG MINGGIR !!" pria dengan ikat kepala berwarna putih itu berdiri dengan telur-telur yang membasahi dada, perut hingga kebawah. "PAKEK KUPING MU !" pria itu menjewer telinga Shinta.
"aw.. hei ! maaf ! aku- aduh ! duh ! duh !" Shinta meringis. pertama pria tersebut menjewer telinganya, kemudian ia memaksa untuk membersihkan rambut Shinta dari kulit-kulit telur.
"pergi ke sungai sana !. dasar kutu !" pria itu tak menyelesaikan tugasnya dengan benar. ia malah berlari meninggalkan Shinta dengan keadaan kacau. sial, Shinta tak tega melampiaskan amarahnya. gadis itu mencoba untuk berdiri dengan sempoyongan.
"kau tak apa ?" seorang gadis mendekati Shinta dan membantunya berdiri. "astaga !! te-telur telurnya !!" gadis itu memegang kepalanya sendiri, merasa pusing atas kejadian yang menimpanya saat ini.
"kau lihat gak dia pergi ke arah mana ?!" gadis itu bertanya dengan nada membentak saking kesalnya.
Shinta tak menjawab. ia gemetaran sambil menunjukan arah pria tadi pergi. gadis itu cuma mengangguk, kemudian pergi meninggalkan Shinta yang masih belepotan telur.
"jadi aku harus apa ?" Shinta menatap kakinya yang kotor oleh tanah. ia mendesah dan berjalan ke arah perginya mereka berdua. berharap ia dapat menemukan sungai untuk membersihkan rambutnya.
"PENCURI !!" teriak orang-orang dari belakang Shinta. mereka langsung mendekap tubuh gadis ini dengan sadis.
"bu-bukan aku pencurinya !"
"LIHAT DIA BERBOHONG LAGI !" tunjuk salah seorang wanita.
"PAKAIANNYA AJA ANEH !" tunjuk yang lain.
"BAWA DIA KE PONDOK !!" serus seseorang.
"AYEE !!" mereka bersama-sama mengangkat tubuh Shinta yang tak bersalah.
"tolong !!" teriak Shinta. tetapi mulutnya di tutup dengan kain begitu pula dengan matanya.
ia hanya bisa melihat kegelapan. ia tidak tau harus berbuat apa. tubuhnya terasa panas. sepertinya obat yang ia gunakan sudah mulai bereaksi. ia tidak bisa menutup mata saking takutnya. jarak ayahnya kini cukup jauh. ia harus berusaha sendiri. mencari jalan untuk keluar dari tuduhan ini.