gadis berambut panjang itu sedang duduk di pinggir kasurnya. menatap kulit tangannya yang kini sudah tak mulus lagi. ia mengusapnya perlahan-lahan, merasakan sisik-sisik ikan tumbuh lagi. sebelumnya Nami yang merupakan pembantunya, telah mengoleskan banyak cream untuk menghilangkan sisik itu. tapi hasilnya hanya sementara. mata Shinta menatap sayu ke arah luar jendela. melihat langi-langit yang berwarna merah ke kuningan. hari telah berganti lagi, tapi ia belum juga mendapat jawaban, untuk apa ia bersyukur untuk hidup sebagai seekor monster di dunia manusia.
"Shinta.. mau saya olesi lagi ?" Nami tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan menggegam botol cream di tangannya. Shinta hanya mengangguk untuk merespon. Nami pun melakukan pekerjaanya. berlahan-lahan mengoloesi sisik dengan benda kental itu.
bagi Shinta, Nami sudah ia anggap sebagai kakak. jadi tak jarang Shinta juga meniru perilaku Nami. tapi sejak Shinta berumur 17 tahun. Nami memintanya untuk mencari jati dirinya sendiri. Shinta yang polos, ia tak tau apa yang harus ia lakukan. dalam pikiran gadis berambut panjang ini hanya terdapat bagaimana cara berperilaku baik dengan teman-teman dan mendengarkan perintah ayahnya untuk hidup sebagai manusia normal.
Shinta tau, jika ia keluar dengan sisik di sekujur tubuhnya seperti sekarang, teman-temannya pasti akan menghindarinya. sesuatu yang aneh dan tak wajar, tak sepantasnya hidup di dunia manusia. begitu pikirnya. ia juga tak pernah bertemu dengan manusia normal selain Nami.
Shinta termenung, mengingat bahwa ia terlahir dengan kondisi yang sama seperti ayahnya.
"Nami, apa ibu punya sisik ?" Shinta mengambil sedikit cream dan mengoleskannya di pipi.
"tidak.. Nona Fera tak memiliki sisik"
"jadi ini salah ayah ?"
"kenapa anda berkata begitu ?"
"aku benci diriku, berarti aku membenci ayah. aku hidup di waktu yang salah saat ayah mempunyai kutukan. coba saja aku hidup saat ayah tak punya kutukan. aku gak bakalan begini kan ?" tanya Shinta polos.
"tidak juga,, "
"kenapa ? apa aku dijadikan sebagai bahan uji coba terus aku bersyukur dengan kondisi ku sekaran ?"
"anda memang harus mensyukuri setiap hal yang telah anda dapatkan."
"tapi aku aneh Nami, aku tidak mirip manusia normal. aku punya kekuatan yang bisa menyakiti siapa pun." Nami berhenti mengolesi bagian lengan dan kaki Shinta. ia menarik tangan Shinta dan mengolesinya di telapak lengan gadis tersebut.
"Nami.. aku juga ingin jadi manusia normal.aku ingin jadi seperti ibu, seperti dirimu, seperti orang-orang di televisi. dengan hidup tak bergantung pada kekuatan yang dianggap semu oleh manusia."
"jangan jadi manusia normal. mereka itu lemah"
"mereka tidak terlihat begitu. hidup mereka bahagia. hanya ada sedikit masalah, mereka bisa selesaikan. lalu mereka... mereka... hidup bahagia"
"pfttt...itu hanya sementara saja"
"apa maksud mu ?" Shinta memiringkan kepalanya tak mengerti dengan ucapan Nami. di sisi lain Shinta tau jika Nami berniat untuk tertawa meledeknya. tapi Nami terus saja menahan-nahannya agar tidak terlalu keras.
"apa yang lucu ?" tanya Shinta lagi.
"maaf, tapi otak mu terlalu sempit Nona." Nami menyelesaikan kegiatan oles-mengeloesnya. ia berdiri, lalu membersihkan tangannya dengan sapu tangan.
"otak ku....sempit ?. tapi kata ayah di dalam kepala ada ruangnya kok."
"nona.. belajarlah untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. dengan begitu kau akan mengerti ucapan saya" Nami berjalan keluar. meninggalkan Shinta yang menatap penasaran.
"Nami tunggu !!!" Shinta mencoba menyusul Nami tapi ia tak bisa, karena harus menunggu sampai creamnya kering.
kini Shinta hanya menunduk. memikirkan perkataan Nami. mungkin Nami ada benarnya. ia tak tau apa-apa. ia mungkin hanya tau sedikit. berikutnya, Shinta merencanakan sesuatu agar bisa lebih dekat dengan seorang manusia normal yang bisa membantunya.
tapi ia berpikir lagi, apa ia harus mempercayai setiap perkataan yang manusia normal ucapkan ?
Shinta melirik 3 tumpukan buku di dekat tempat tidurnya, ia mengambil salah satunya. Shinta melihat sebuah catatan kecil diatas tumpukan buku itu.
jangan selalu mengurung diri.
aku telah memilihkan buku yang akan membantumu jadi lebih dewasa.
sisanya akan ku berikan nanti.
berpikirlah dengan sudut pandang yang berbeda, sayang.
PAPA
Shinta terdiam. ia pun melakukan perintah dari catatan itu, dari pada itu ia tidak tau cara berinteraksi dengan manusia sampai ia menerapkan saran Nami padanya.