“Kayaknya Arda marah beneran sama gue, deh, Yan.” Aku berkata sambil mengaduk-aduk milkshake strawberry.
“Enggak. Si Arda cinta banget malah sama elo.” Dika menyahut dengan suara tidak jelas karena sedang mengunyah ramen.
Harap dicatat: ramen yang Dika rampas dariku. Karena saat Lyana dan Dika datang tadi aku sedang membuat ramen di dapur. Dan saat ini, Dika dan Lyana duduk manis di meja makan rumahku dan dengan lahapnya menyantap ramenku. Semangkuk berdua. Dangdut banget nggak, sih?
Agak-agak nggak rela juga sih, melihat ramenku dimakan mereka berdua. Sengaja aku menambahkan banyak wortel kesukaanku, cabe rawit lima buah, daun bawang, daging, sosis ayam, telur. Paket lengkap. Harus bayar berapa tuh kalau beli di restoran? Dasar Lyana dan Dika menyebalkan. Bukannya pelit. Tapi nggak rela.
“Ck… cinta pala lo? Mana ada orang cinta diajak ngomong diem aja?” Aku menjawab dengan kesal.
“Ya kali dia lagi sariawan. Positive thinking aja, Ra.” Ini barusan yang ngomong Lyana. Pengen deh, rasanya pukul kepalanya pakai sandal jepitku.
“Bisa gitu, ya, orang sariawan ngebentak gue?” Aku berkata dengan sinis.
“Kalo dia nggak cinta sama lo?” Dika menggantung kalimatnya untuk menyesap es jeruknya. Dapat dari menjarah kulkasku. Kemudian menatapku dan melanjutkan, “?mana mungkin dia rela deketin Ralin cuma buat nyelidiki tuh cewek terlibat sama foto kemaren itu atau enggak?”
“Yakin lo, dia deketin Ralin cuma buat itu? Setau gue dia deketnya dari sebelum foto itu kesebar deh. Dan mengingat… adegan di café itu?” Hatiku tiba-tiba nyeri saat mengingat kejadian di café antara Arda dan Ralin dulu itu.
“?ah, udahlah.” Aku mengibaskan tangan. Berharap Dika pun mau menyudahi perdebatan tentang Arda.
“Nanti deh. Biar gue minta Arda jelasin ke elo sendiri.” Dika menyahut.
“Nggak usah. Kalo dia mau jelasin, ya pasti dia jelasin. Kalo dia nggak mau jelasin, ya berarti dia emang nggak mau ini jelas.”
“Terserah lo deh, Ra.” Dika masih menjawab dengan suara nggak jelas. Masih sibuk mengunyah ramenku.
Lyana hanya mengangguk-angguk sambil menerima suapan dari Dika. Duh, romantis banget. Serasa dunia milik berdua. Yang punya rumah dianggap nggak ada. Dasar bocah-bocah sableng!
Aku hanya diam sambil mengamati dua manusia yang sedang makan ramen dengan gaya makan orang pulang bertapa dua bulan itu. Lapar apa doyan, sih?
“Non, Tara.” Bik Yati berjalan menghampiriku dengan raut panik.
“Kenapa, Bik?” Aku menatapnya bingung.
“Itu… anu….”
“Itu, apa anu?” Dika menanggapinya dengan senyum tertahan. Yang malah membuat Lyana terbahak sampai tersedak kuah ramen. Aku menepuk bahu Lyana pelan melihat ekspresi Bik Yati yang semakin panik.
“Anu Mas….” Bik Yati mengucapkan dua kalimat itu dalam satu rangkaian, sehingga terdengar seperti satu kata.
“Hah? Anu gue?” Dika semakin menggoda Bik Yati. Lyana memukul lengannya gemas.
“Bukan! Mas Rafa ada di depan.”
“HAH?” Aku dan Lyana berteriak bersamaan kemudian saling pandang.
“Iya. Sekarang di teras. Lagi di ajak ngobrol sama Bapak sama Ibu.” Lanjut Bik Yati.
Aku sudah menceritakan pada orangtuaku soal foto sialan yang beredar di sekolah kapan tau itu. Siang tadi, sepulang sekolah aku datang ke butik Mama bersama Lyana dan Dika. Yang nggak tahu kebetulan atau apa, ternyata Papa ada disana.
Awalnya sih, mereka mengira kalau aku memang melakukan hal itu. Sempat marah dan membentakku. Tapi berkat bantuan dari Dika dan Lyana yang membantu meyakinkan mereka, akhirnya Mama dan Papa mempercayaiku. Yang jadi masalah sekarang adalah, kenapa Rafa muncul di rumahku malam-malam begini?
Aku langsung berdiri dari dudukku dengan diikuti Lyana dan Dika. Kemudian dengan cepat berjalan ke arah teras. Dari ruang tamu, samar-samar aku bisa mendengar suara Mama yang lumayan keras.
“Tante kecewa sama kamu, Rafa.” Itu yang dikatakan Mama saat aku tiba di ambang pintu. Rafa tidak menjawab apa-apa. Hanya menunduk dalam. Papa dan Mama serempak menoleh ke arahku begitu mendengar langkah kaki.
“Kenapa, Ma?” Aku bertanya pada Mama. Mendengar suaraku, Rafa mengangkat wajahnya. Aku tersentak melihat wajah Rafa yang merah padam. Matanya berkaca-kaca. Terlihat lelah. Aku juga bisa melihat penyesalan dari matanya.
“Masuk kamu!” Mama berkata dengan keras.
“Tante. Saya mohon, Tan, saya mau ngomong sama Tara sebentar saja.” Rafa memohon pada Mama. Miris mendengar Rafa berkata begitu. Mau tidak mau aku jadi nggak tega juga.
Mama dan Papa saling pandang, kemudian bersamaan menatapku. Aku mengangguk samar untuk menyetujui permintaan Rafa. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Mama dan Papa masuk ke dalam rumah dengan diikuti Lyana dan Dika.
Aku duduk di kursi depan Rafa dengan enggan. Jujur saja, aku sendiri malas untuk bertemu dengannya. Hanya saja, aku rasa aku memang perlu bicara dengannya.
Aku menatap Rafa yang ternyata juga sedang menatapku. “Mau ngomong apa?” Aku bertanya dengan sinis. Mengalihkan tatapanku dari Rafa. Mencoba untuk tidak terpengaruh dengan tatapan memelasnya itu.
“Aku?” Rafa berhenti sejenak untuk menarik napas. “?aku minta maaf. Untuk segalanya.” Kata Rafa akhirnya. Aku hanya diam. Menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Mulai besok, aku tinggal sama Eyang di Jogja.” Rafa melanjutkan. Dan kalimatnya yang itu berhasil membuatku menoleh untuk menatapnya.
Itu artinya dia akan benar-benar pergi dari hidupku. Tidak akan menggangguku lagi. Seharusnya aku senang. Tapi, kenapa aku merasakan aneh? Seperti merasa kehilangan. Bukan. Bukan karena aku masih mencintainya.
Biar bagaimana pun juga, sebelum kami pacaran Rafa adalah sahabatku. Sejak SMP kami satu sekolah. Beberapa kali satu kelas. Bahkan saat aku mengalami patah hati untuk pertama kalinya sampai membuatku sedih berhari-hari, Rafa-lah yang menghiburku. Memberiku semangat. Rafa juga orang pertama yang mengenalkanku pada cinta.
Rafa menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Lalu berkata, “Ya udah. Aku pamit, ya. Sekali lagi maaf untuk segalanya.”
Rafa berdiri. Aku ikut berdiri. Dia menatapku lama. Aku pun hanya mampu membalas tatapannya. Banyak yang ingin kukatakan. Saking banyaknya, aku sampai tidak tahu harus berkata apa.
Separuh hatiku merasa lega, separuh hatiku seperti tidak rela. Tanpa terduga, Rafa berjalan menghampiriku kemudian memelukku. Erat. Pelukan yang dulu sering aku terima. Pelukan hangatnya yang diam-diam pernah kurindukan. Tapi kali ini, pelukan perpisahan.
Perpisahan? Benarkah ini perpisahan? Benarkah ini akhir dari segala keterlibatanku dengan Rafa?
“Maaf, ya, Ra. Aku sayang sama kamu.” Rafa berbisik lirih. Mengusap pelan kepala bagian belakangku.
Aku tidak membalas pelukannya, juga tidak menolak pelukannya. Aku hanya diam. Menangis pun tidak. Hanya menyesali akhir dari segala kebersamaan kami?dari sebelum pacaran, selama pacaran, dan setelah berpisah?yang begitu menyakitkan. Sekali lagi, aku mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa kujadikan alasan untuk menahannya. Tidak ada!
“Baik-baik, ya, Raf. Aku harap kamu bisa kembali kayak Rafa yang dulu.” Aku berkata sama lirihnya.
Kali ini, aku mengangkat tangan kananku untuk mengusap sekilas punggungnya. Rafa mengecup pelan puncak kepalaku. Kemudian melepas pelukannya. Dia menatapku. Aku balas menatapnya. Matanya berkaca-kaca. Hampir membuat kewarasanku hilang karena tidak tega dan memeluk tubuhnya yang terlihat ringkih.
“Kamu juga. Jaga diri baik-baik. Bye, Tara.” Lirih Rafa mengatakan itu. Suaranya terdengar parau.
“Bye, Raf.”
Aku mengamati Rafa. Mulai dari dia membalik badan. Berjalan pelan menuruni tangga dengan wajah tertunduk, sampai masuk ke mobil, dan akhirnya mobilnya menjauh meninggalkan halaman rumahku. Saat itu juga aku merasakan air mataku menetes. Bukan karena aku masih mencintai Rafa. Terlebih karena aku sedih. Sedih atas semua akhir yang begitu menyakitkan ini.
Ceritaku dengan Rafa, kini telah usai. Tidak akan ada lagi kita di antara kami. Yang ada hanya aku dan kamu. Kami bukan lagi ‘bersama’. Sekarang kami adalah ‘sendiri’. Cerita yang telah kami tulis dulu, aku akan tetap menyimpannya. Dia punya tempat tersendiri dalam hati dan kenanganku. Sebagai temanku. Sebagai orang yang pernah menjadi teman terdekatku, sahabatku.
Aku tidak akan berusaha untuk menghilangkan segala tentangnya. Baik manis atau pun pahit. Seiring berjalannya waktu, aku atau pun Rafa akan terbiasa. Terbiasa berjalan sendiri. Terbiasa menghiklaskan. Terbiasa merelakan. Yang perlu kami lakukan sekarang adalah, menerima.
---
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU