Read More >>"> Alice : The Circle Blood (Chapter 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Alice : The Circle Blood
MENU
About Us  

Chapter 3

Happy Read!

```

“Sepertinya aku sedang bermimpi!” Victoria menampar pelan kedua pipinya seolah mencari kebenaran dari kata-katanya. “Yah, sepertinya aku sedang bermimpi.” Kali ini dengan nada seolah meyakinkan diri sendiri.

Alice di sampingnya hanya dapat menggeleng kepala melihat reaksi yang dilakukan sahabatnya itu. “Vic, kau sedang tidak bermimpi dan berhenti memukuli dirimu seperti orang tidak waras.” Alice menarik kedua belah tangan Victoria dan menahannya di samping tubuh perempuan itu.

Mereka sudah tidak lagi berada di ruang Altra. Setelah Prof Cotillard mengumumkan nama-nama anggota baru, Jaster dan Rage segera menarik mereka pergi dari ruangan itu, tidak ingin mendengar lebih pengumuman yang menurut mereka begitu tidak masuk di akal. Sekarang mereka berada di lapangan berumput di belakang bangunan University, yang di mana jarang ada murid yang tahu akan keberadaan tempat itu. mereka sudah sering datang ke tempat itu, bahkan Finnick dan Marion pun merasa nyaman berada di tempat itu hingga sebuah gubuk sederhana mereka bangun untuk menjadi tempat berlindung dan beristirahat jika sewaktu-waktu mereka sedang bosan berada di halaman sekolah.

Ivy mengamati tingkah laku Victoria dan Alice yang sejak tadi masih beradu antara mimpi dan kenyataan yang tak ada habisnya. Akhirnya perempuan itu berdiri merasa bosan dan mendekati Jaster yang sejak tadi memilih diam dengan pikirannya. Ivy merupakan Dryad, makhluk semacam Nymph dan dapat mengendalikan tumbuhan. Ivy juga menjadi penengah di antara yang lainnya dan hal itu sering membuatnya menjadi pemikir dan solusi bagi masalah yang sewaktu-waktu datang menghampiri mereka.

“Apa yang mengganggumu, Jaster?” suaranya terdengar syahdu di telinga siapapun yang mendengarnya.

Jaster mengerjapkan kedua bola matanya dan bergulir menatap Ivy di sampingnya. “Tidak, Ivy. Tidak ada.” Bohongnya sambil menggelengkan kepala.

Ivy tersenyum tipis. “Kau tidak handal dalam hal berbohong, Jaster. Aku bisa melihat dari raut wajahmu dan itu sungguh sangat menggangguku.”

Jaster menahan senyumnya dan bangkit dari tidur-tidurannya. “Dan kau tidak terlalu bodoh untuk membaca raut wajahku, Ivy.” Jaster tertawa pelan seraya duduk merentangkan kedua tangannya sebagai penyangga.

Ivy ikut tertawa, lalu mengajukan kembali pertanyaan yang belum dijawab oleh Jaster. “Apa yang mengganggumu? Pemilihan murid spesial atau anggota baru kita?”

“Kedua-duanya.”

Ivy mengangguk kepala seolah membenarkan apa yang sejak tadi dia pikirkan tentang Jaster.

“Begitu sulit untuk disingkirkan dari kepalaku.” Jaster memegangi sebelah kepalanya seolah merasa sakit dengan apa yang saat ini laki-laki itu pikirkan.

“Kita semua mengalami hal yang sama, Jaster. Kau, aku dan yang lainnya memiliki pemikiran yang sama,” kata Ivy meraih sebelah tangan Jaster dan menggenggamnya kuat. “Kau lihat, bahkan Alice dan Victoria pun tak henti-hentinya beradu argumen hingga keduanya puas mengeluarkan apa yang membuat keduanya berat saat ini. Aku tau bahwa kau juga merasakannya dan aku ingin kau bersikap seperti mereka, mengeluarkan apa yang berat dan mengganggu dirimu. Hal itu wajar, Jaster.”

Jaster terdiam mengartikan dengan seksama apa yang Ivy katakan. Hingga pada akhirnya dia mengangguk pelan membalas genggaman tangan Ivy di tangannya.

“Akan aku lakukan di lain waktu,” ucap Jaster mengedipkan sebelah matanya dan membuat Ivy yang melihatnya tertawa.

Sesaat kemudian, Omen datang dari arah pintu. Laki-laki itu sejak tadi berada di luar bersama Rage melatih bakat mereka di bawah terik mentari.

“Kita kedatangan tamu.” Suara Omen membuat siapapun yang berada di ruangan itu menoleh dan berhenti dengan kegiatan mereka masing-masing.

Tanpa mempertanyakan siapa, mereka pun keluar dari dalam gubuk itu mengikuti langkah Omen dari belakang. Ivy, Jaster, Victoria dan Alice begitulah urutannya.

Saat langkah mereka sepenuhnya berada di luar. Mata masing-masing di antaranya melebar dengan gaya mereka sendiri. Alice menjadi yang terakhir menyadari keberadaan Finnick dari arah depan bersama dengan Adriana dan Archon.

Alice menoleh dan melihat Victoria yang sudah memasang wajah tidak sukanya menatap Adriana di samping kiri Finnick. Hal yang sama pun dilakukan oleh Rage dan Jaster yang juga memasang wajah tidak ramah kepada Archon di sisi kanan Finnick. Sedangkan, Omen dan Ivy bereaksi seperti biasa seolah mereka berada di pihak netral antara suka dan tidak suka kepada kedua makhluk yang datang bersama dengan Finnick.

“Apa yang kalian lakukan di bawah sini?” tanya Finnick dengan kedua tangan di lipat di dada.

“Di sini lebih baik daripada harus kembali ke asrama yang pengap,” sinis Victoria cepat, tidak mempedulikan nada bicaranya yang tidak bersahabat.

Finnick mengangguk kepala.

“Baiklah. Sepertinya kalian memang harus mendapatkan udara segar,” kata Finnick. “Setelah mendengar pengumuman tadi kalian pasti sudah mengerti dan tidak perlu kujelaskan kembali, bukan. Archon dan Adriana sekarang bergabung dalam kelompok kita. Dan mulai sekarang keduanya pun akan berada di satu asrama dengan kalian.”

“Chyn. Panggil aku Chyn, aku tidak suka dipanggil Adriana.” Adriana menyahut cepat seolah membenarkan kesalahan dari perkataan Finnick barusan.

“Baiklah, kalian dengar panggil dia Chyn. Apa kau juga tidak suka dengan panggilan namamu?” tanya Finnick melirik Archon.

Laki-laki itu masih diam tidak berniat membalas pertanyaan Finnick. Kedua lengannya yang tidak tertutup oleh pakaian terlihat mengeras menunjukkan otot-otot yang menonjol.

“Jika tidak ada, maka sekarang sebaiknya kalian kembali ke asrama karena besok kalian akan mendapatkan pelatihan baru, menyangkut unsur alam serta berkat kalian.” Finnick mengakhiri ucapannya dan berlalu meninggalkan ke enamnya dalam diam.

“Rasanya aku ingin mencekiknya,” kata Victoria masih menatap Adriana tajam.

Alice meraih pergelangan tangan Victoria lalu menariknya. “Benar apa yang dikatakan Finnick, besok kita akan menjalani pelatihan baru dan kita sebaiknya mengistirahatkan tubuh kita sebelum menemui kesulitan keesokan harinya.” Alice memulai kebisuan yang terjadi di antara mereka.

Lalu tanpa menunggu lama, Adriana sudah berbalik dan meninggalkan mereka dengan tatapan sinis yang tertuju kepada Alice dan Victoria.

“Apakah kau lihat tadi cara dia menatap kita? Rasanya aku ingin menggulingkan kedua bola mata itu.”

Alice mengangkat alis.

“Itu tidak akan terjadi. Ayo!” balas Alice lalu menarik Victoria kembali ke asrama, disusul oleh Ivy di sampingnya.

Kini tinggal para laki-laki dengan keheningannya sejak tadi membuat siapa saja yang melihatnya merasa terisolasi.

“Selesaikanlah urusan kalian aku akan menunggu di kamar,” kata Omen hendak pergi meninggalkan ketiga temannya.

Jaster menahan bahu Omen, seolah melarang laki-laki itu pergi. “Tidak ada yang perlu diselesaikan karena aku tidak pernah merasa memiliki masalah dengan siapapun. Mungkin seseorang yang harus menyelesaikannya sekarang.” Jaster maju mendekati Archon yang berdiri diam sejak tadi. Dia merasa geram akan kehadiran laki-laki itu di sini.

Merasakan intimidasi itu, Archon pun mendengus keras dan berniat berbalik tanpa mempedulikan seruan Jaster.

“Kau mengintimidasinya.” Rage maju menepuk bahu Jaster seraya menatap punggung Archon di kejauhan.

“Aku tidak ingin dia mengambil keuntungan pada mate-ku.”

“Huh.” Omen menendang rerumputan dengan santai. “Bisakah kau melupakan hal itu, bukankah kau sudah menghajarnya habis-habisan.”

“Tidak semudah itu.”

***

Di asrama, Alice sedang membantu Victoria membereskan barang-barangnya, mengingat ruang asrama mereka mendapati anggota baru. Victoria di sampingnya juga melakukan hal yang sama dan masih merutuk tidak jelas. Hal itu sangat mengganggu Alice dalam berbenahnya.

“Bisakah kau berhenti merutuk yang tidak jelas, Vic?” nada kesal keluar dari bibir Alice.

Victoria menatam Alice tajam. “Apa kau senang wanita itu berada satu asrama dengan kita?” ucap Victoria. “Alice, dia membencimu dan dia juga menyukai Jaster. Apa kau lupa tentang hal itu?”

Alice mengehela napas, tidak dapat membalas ucapan Victoria yang menyangkut tentang perasaan Adriana terhadap Jaster.

Dia tahu bahwa Adriana menyukai Jaster sejak lama, mungkin sebelum mereka menjadi sepasang mate. Alice baru mengenal Jaster satu tahun yang lalu saat mereka baru menginjak tingkat XII di Munnart University. Mendengar cerita Victoria dulu tentang Jaster yang sering bersama Adriana saat mereka menjadi murid baru membuat Alice merasa cemburu. Alice tidak pernah menanyakan kebenaran hal itu kepada Jaster karena Alice tahu bahwa Jaster mempunyai privasinya sendiri dan Alice tidak ingin mengganggunya.

Tidak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, menampakkan Adriana membawa koper dan perlengkapan di sampingnya.

Victoria menoleh dan langsung memasang wajah membenci.

“Jika kau merasa senang karena wanita itu bersama kita, tidak dengan aku, Alice. Aku tidak akan pernah menerimanya.”

Victoria menabrak bahu Adriana sebelum keluar dari ruangan itu bersama koper perlengkapannya.

Suara keras pintu dibanting, mengejutkan Alice. Dia tidak bermaksud membuat Victoria salah paham akan sikapnya. Hanya saja dia tidak tahu bagaimana menyikapi kehadiran Adriana di sekitarnya.

“Seharusnya kau mengejarnya.” Adriana menarik kopernya semakin ke dalam ruangan. “Jangan salah paham. Aku membencimu. Itu sudah pasti. Tapi aku tidak pernah ingin merusak persahabatan seseorang karena aku membenci orang itu.”

Alice mengamati Adriana, yang berdiri tak jauh darinya. Dia terkejut saat mendengar perempuan itu bersuara dengan nada pelan, tidak seperti biasanya saat mengganggunya dulu.

“Tidak apa. Dia hanya belum bisa menerima semua ini,” sahut Alice, berdiri dari duduknya.

“Jadi? Di mana tempatku?” tanya Adriana, mensejajarkan dirinya di dekat Alice. Seolah melupakan hubungan keduanya yang tidak pernah baik.

“Kau bisa menggunakan kamar ini bersama Ivy. Ruang kamarku dan Victoria berada di samping kamar ini. Di lantai dua adalah kamar para laki-laki dan juga jika kau ingin membawa hewan peliharaanmu kau bisa menaruhnya di atap,” jelas Alice dengan canggung.

Adriana melangkah menjauh dari jangkauan Alice. “Terima kasih. Aku akan mengingatnya.” Adriana meletakkan kopernya di samping kasur tidurnya.

Alice mengangguk sambil tersenyum tipis dan menjauh, keluar dari kamar itu dan menutup pintunya hingga rapat.

Saat berada di ruang tengah, Alice tidak sengaja menabrak seseorang sehingga membuatnya mengaduh kesakitan. Alice memasang muka terkejut melihat Archon berdiri di hadapannya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Archon mengamati Alice. Dia baru saja selesai dari membereskan perlengkapannya di lantai atas.

“Ah, aku tidak apa-apa,” jawab Alice sedikit canggung. Dia tidak tahu mengapa kedua orang ini dapat membuatnya bersikap seperti itu.

Archon mencondongkan kepalanya ke depan, menatap dahi Alice dengan seksama. “Aku tidak ingin membuat mate-mu datang dan menghajarku dengan pukulannya karena aku tidak sengaja menabrakmu.”

Pipi Alice bersemu merah, merasa tidak enak kepada Archon mengenai sikap Jaster. “Maaf tentang pagi ini. Aku tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti itu akhir-akhir ini.”

Archon kembali berdiri tegap sambil tersenyum tipis. “Jangan meminta maaf jika maaf itu sesungguhnya bukan milikmu.”

Alice terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Wajah Alice terasa panas karena malu, bahkan ketika Archon menepuk pundaknya pelan.

“Terima kasih karena sudah menyelamatkanku,” kata Archon dengan tulus.

Mata Alice dan Archon bertemu. Sesaat, Alice ingin memalingkan pandangannya dari mata biru Archon, tetapi sesuatu yang kuat menahannya. Entah apa itu, Alice pun tidak mengerti.

“Jadi, apa yang kau lakukan dari sana?” tanya Archon menunjuk pintu kamar di belakang Alice.

“Menyambut kedatangan anggota baru,” kata Alice bercanda.

Archon tersenyum senang. “Kau akan terbiasa dengannya. Dia tidak seburuk yang kalian pikirkan.” Archon meyakinkan Alice akan sifat Adriana yang dia kenal. “Dia hanya sedikit sensitif saat seseorang menyentuhnya.”

Alice mengangguk sebagai jawaban. Dia senang ternyata Archon memiliki sifat yang bisa diajak berbicara. Setidaknya dia tidak perlu mencari alasan untuk menjauh dari laki-laki itu.

“Sebaiknya aku pergi. Aku merasa mate-mu akan datang sebentar lagi.” Archon memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan berbalik pergi setelah mengusap pelan lengan Alice.

Tidak lama, Jaster datang bersama Rage dan Omen. Ketiganya datang tepat seperti apa yang dikatakan oleh Archon. Dan Alice langsung menyimpulkan bahwa Archon memiliki indera yang begitu tajam. []

````

Di Tunggu Like + Komen!

See ya...

Tags: twm18 twm

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    wow fresh story. ditunggu kelanjutannya :)

    Comment on chapter Pengenalan Karakter
Similar Tags
Switched A Live
2937      1168     3     
Fantasy
Kehidupanku ini tidak di inginkan oleh dunia. Lalu kenapa aku harus lahir dan hidup di dunia ini? apa alasannya hingga aku yang hidup ini menjalani kehidupan yang tidak ada satu orang pun membenarkan jika aku hidup. Malam itu, dimana aku mendapatkan kekerasan fisik dari ayah kandungku dan juga mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan dari ibu tiriku. Belum lagi seluruh makhluk di dunia ini m...
DANGEROUS SISTER
7694      1784     1     
Fan Fiction
Alicea Aston adalah nama barat untuk Kim Sinb yang memiliki takdir sebagai seorang hunter vampire tapi sesungguhnya masih banyak hal yang tak terungkap tentang dirinya, tentang jati dirinya dan sesuatu besar nan misterius yang akan menimpanya. Semua berubah dan menjadi mengerikan saat ia kembali ke korea bersama saudari angkatnya Sally Aston yang merupakan Blood Secred atau pemilik darah suci.
Letter hopes
888      496     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Raha & Sia
2730      1087     0     
Romance
"Nama saya Sia Tadirana. Umur 17 tahun, siswi kelas 3 SMA. Hobi makan, minum, dan ngemil. Sia nggak punya pacar. Karena bagi Sia, pacaran itu buang-buang waktu." *** "Perkenalkan, nama saya Rahardi. Usia saya 23 tahun, seorang chef di sebuah restoran ternama. Hobi saya memasak, dan kebetulan saya punya pacar yang doyan makan. Namanya Sia Tadirana." Ketik mereka berd...
Metamorf
95      76     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
Buku Harian
614      381     1     
True Story
Kenapa setiap awal harus ada akhir? Begitu pula dengan kisah hidup. Setiap kisah memiliki awal dan akhir yang berbeda pada setiap manusia. Ada yang berakhir manis, ada pula yang berakhir tragis. Lalu bagaimanakah dengan kisah ini?
Rekal Rara
8483      3161     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. â–Şâ–Şâ–Ş Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Selfless Love
4041      1161     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Satu Koma Satu
14548      2647     5     
Romance
Harusnya kamu sudah memudar dalam hatiku Sudah satu dasawarsa aku menunggu Namun setiap namaku disebut Aku membisu,kecewa membelenggu Berharap itu keluar dari mulutmu Terlalu banyak yang kusesali jika itu tentangmu Tentangmu yang membuatku kelu Tentangmu yang membirukan masa lalu Tentangmu yang membuatku rindu
Story of April
1489      625     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…