Tuhan sepertinya sedang berpihak pada Kina.
Kejadian terkunci di gudang tempo hari yang seharusnya menakut-nakuti Kina, justru semakin membuat nama Kina terkenal. Betapa tidak, Gio langsung menarik Kina dan memamerkannya di depan semua orang, terutama di depan Lenny—gadis keji yang mengunci Kina di gudang—dan mengancam semua orang. "Siapapun yang berani buat masalah dengan dia, akan berurusan denganku!" begitu bunyi ancamannya. Ah, keren sekali. Ingin rasanya Kina merekam dan menambahkannya ke playlist iTunes-nya.
Rupanya Gio adalah sosok yang tak tersentuh di sekolahnya. Pintar, jago olahraga, tapi sikapnya dingin dan misterius. Hampir tidak ada yang pernah melihatnya tersenyum apalagi tertawa. Dia adalah tipe cowok yang tega membaca pesan Whatsapp seorang cewek tanpa membalasnya. Jauh lebih dingin dari saat SMP dulu.
Paling tidak Gio masih mau membalas sapaan selamat pagi dari Kina, walaupun tetap tanpa senyuman. Tentu saja semua orang kaget dan langsung bertanya-tanya siapa Kina. Tiap kali ditanya, Kina hanya menjawab dengan rendah hati, "Teman SMP Gio." Kina tidak berniat menggunakan kedekatannya dengan Gio sebagai alasan untuk meringsek Lenny balik atau berbuat sesuka hati di sekolah. Itu adalah sangat kekanak-kanakan menurut Kina. Dia hanya akan berfokus pada Gio.
Semalaman Kina memutar otak bagaimana agar dirinya bisa lebih dekat lagi dengan Gio. Sampai suatu siang tak sengaja Kina menguping pembicaraan anak-anak ekskul basket. Lagi-lagi Tuhan berpihak pada Kina.
"Eh, besok nge-game di mana?"
"Apartemennya Gio aja ya?"
"Tapi bilang dulu. Kalau dateng tiba-tiba nanti yang ada kita digorok sama dia."
Jadi Gio tinggal di apartemen? Berarti dia sendirian? Karena setahu Kina ayahnya sedang penugasan di Medan. Kenekadan Kina berlanjut. Dia memesan taksi online untuk mengikuti mobil Gio sepulang sekolah. Setelah keluar pintu tol Serpong, mobil Gio terlihat memasuki sebuah kawasan apartemen "The Calista Mansion".
Usaha kucing-kucingan ini benar-benar melelahkan. Kina harus menjaga jarak dengan Gio dan dia juga harus menunggu salah seorang penghuni menempelkan kartu akses agar bisa masuk. Untung saja ada seorang penghuni perempuan yang hendak masuk tak lama setelah Gio. Kina pun mengekor cewek itu sampai ke lift.
Cewek yang Kina ikuti tadi benar-benar cantik sampai membuat Kina iri. Kulit wajah putih mulus, mata besar, tubuh kurus dan kaki jenjang—benar-benar seperti boneka. Dia mengenakan jaket bertuliskan Cheerleader Angels Kanta Quadra University. Pantas saja, pikir Kina. Kau harus jadi cantik dulu baru bisa masuk tim cheerleader bukan?
Tapi ada yang aneh dengan wajahnya. Bukan aneh dalam hal proporsi, tapi ekspresi wajahnya seperti mati—kosong tak bernyawa. Gadis itu menatap kosong pada tombol-tombol lift, bahkan terlambat keluar sampai-sampai pintu lift hampir menutup lagi. Setelah mengekor cewek itu keluar lift, Kina baru terkesiap. Dia kan tidak tahu harus ke lantai mana!
Gawat! Kina tidak mungkin menelepon Gio. Cowok itu akan tahu Kina membuntutinya. Lalu apa yang harus Kina lakukan? Dia hanya bisa kembali ke lantai dasar karena tidak punya akses. Lewat tangga darurat pun tak tahu lantai yang ditujunya. Akhirnya, di depan pintu lift dia memantapkan dirinya berdoa. Ya Tuhan, kalau Kau benar-benar berpihak pada hamba, tolong tunjukkan ke mana hamba harus melangkah.
Cklek! Terdengar suara seseorang mengunci pintu kamarnya. Di sanalah Kina ditunjukkan kekuatan doa yang sungguh-sungguh. Kina melihat sosok Gio di depan pintu kamar cewek cheerleader tadi. Dia mengenakan baju kaos putih polos, celana pendek, dan sandal—membawa plastik sampah hitam. Wajahnya terkejut bukan main, melihat Kina ada di depan pintu lift.
Mereka beradu pandang cukup lama, saling menunggu salah satu memulai percakapan. Akhirnya Kina mengalah. "Gio? Kamu tinggal di sini?" Kina sengaja membuat suaranya terdengar sekaget mungkin.
"Iya..." jawabnya seakan masih ragu sedang apa Kina di sana.
"Oh, temenku juga tinggal di sini. Tadi aku mampir ke kamarnya, lihat-lihat. Aku lagi cari apartemen karena orang tuaku mau balik ke Berlin."
Bohong. Orang tua Kina ada di Bandung.
"Oh..."
Tiba-tiba pintu kamar tepat di sebelah kamar Gio terbuka. Si cewek cheerleader nongol di sana. Dia sudah berganti baju mengenakan baju kaos ukuran sangat besar, hamping menutupi setengah pahanya dan celana pendeknya yang begitu pendek bersembunyi di balik baju itu. "Mana tumbler-ku?" Cewek itu menadahkan tangannya pada Gio tanpa basa-basi.
Kina terkejut, tidak percaya ada yang berani bicara blak-blakan pada Gio seperti itu. Apa karena cewek itu lebih tua dari mereka? Kina ingin berpikiran positif, namun perubahan ekspresi seekstrim itu pada Gio membuatnya bimbang. Wajah Gio benar-benar melembut, seakan-akan cewek itu mengendurkan semua urat-urat wajah Gio yang tegang. "Di sini," Gio menunjuk pada plastik sampah yang ia bawa.
Dan Gio tersenyum.
Bukan hanya sekedar senyum, Gio benar-benar tersenyum lebar memperlihatkan gigi-gigi depannya. Kina masih tak percaya. Siapa gadis itu? Kenapa Gio tersenyum semanis itu padanya?
"Bocah sialan—" Cewek cheerleader itu menghambur ke arah Gio, mencoba merebut plastik sampah Gio tapi Gio mencegahnya. Mereka terus begitu, berputar dan berkutat tak karuan sampai akhirnya cewek itu menyerah. "Itu tumbler punya Roya! Kamu mau kepalamu disleding sama dia?" si gadis cheerleader mengamuk, frustasi karena Gio tidak tergoyahkan.
"Ada, ada. Tumbler-nya ada di kamar," jawab Gio cepat-cepat sambil mengedik ke pintu kamarnya. Mungkin Gio takut gadis itu bertindak lebih gila lagi. "Tunggu..." Gio memberi isyarat tunggu. "Jadi kamu minjemin tumbler orang?"
"Iya. Soalnya tumbler-ku Tupperware semua. Nanti kalau lagi perlu digadaiin gimana?"
Gio menghela napas kemudian menggeleng. Sisa-sisa senyumnya masih menempel di wajah tampan itu. "Aku kemarin cuma pergi empat hari. Kamu bisa jatuh miskin dalam empat hari sampai perlu gadai Tupperware?"
"Bisa. Kalau tiba-tiba kalah main judi—adedeh!"
Hal yang lebih mengejutkan terjadi. Kali ini Kina benar-benar merasa aliran darahnya berhenti melihat Gio mencubit sebelah pipi cewek itu. Ada apa ini? Apa Gio punya kepribadian ganda? Tapi kenapa Kina tidak pernah melihat kepribadiannya yang menyenangkan seperti ini? Kina juga ingin Gio tersenyum padanya. Kina juga ingin Gio mencubit pipinya.
"Noona, iangan kebanyakan nonton Netflix."
Noona? Bukankah Noona berarti kakak perempuan? Sejak kapan Gio punya kakak perempuan?
"Kamu kan yang satu lift denganku tadi! Penghuni baru?"
Kina menelan ludah tiba-tiba kepergok oleh si cewek cheerleader. "Eh...umm..."
"Dia lagi cari apartemen," Gio menjawab singkat.
"Oh gitu? Kebetulan aku punya banyak mie instan. Yuk mampir."
Gio mendengus. Dengusannya penuh ledekan ke arah si cewek cheerleader. "Nggak ada makanan yang lebih elit?"
"Nggak ada. Nggak usah protes deh. Nanti malem kamu juga gentayangan ketok-ketok pintu kamarku minta makanan." Setelah mendorong jidat Gio, cewek itu beralih pada Kina, "Ayo masuk." Lalu beralih pada Gio lagi. "Buang sampahmu dulu sana!" ancamnya.
* * *
Dengan ragu-ragu Kina mengikuti gadis itu masuk ke ruang tamu apartemennya. Untuk ukuran apartemen yang dihuni seorang perempuan, apartemen itu tidak terlalu banyak hiasan. Berwarna putih bersih, hanya ada beberapa benda di atas rak dan meja. Seperti yang Kina lihat di buku-buku panduan hidup minimalis.
"Silakan duduk," gadis itu mempersilakan.
"Eh, iya..." Kina menurut. Dia mendaratkan pantatnya di atas kursi ruang makan dan tak bergerak. Otaknya sibuk bertanya-tanya sedang apa dia di sebuah apartemen milik orang yang tidak ia kenal?
Tapi Gio memanggilnya Noona...
"Kakak...kakaknya Gio?" Panggilan itu begitu mengganjal di hati dan pikiran Kina sampai-sampai Kina tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak bertanya. Tolong jawab iya. Tolong jawab iya. Kina membatin dalam hati. Kalau dia adalah kakak perempuan Gio, maka Kina bisa tidur nyenyak malam ini.
Mendengar pertanyaan itu, si cewek cheerleader menyembur dalam tawa. "Bukan," jawabnya sambil mengibaskan jari-jarinya yang lentik.
Deg! Hati Kina mencelos. Rasanya seperti terjatuh dari lantai dua puluh.
"Trus...kenapa Gio manggil Kakak Noona?"
Si cewek cheerleader yang sedang mengeluarkan sebuah kardus berisi mie instan dari laci dapurnya pun berhenti sejenak untuk menghela napas. "Awalnya dia mau meledekku—panjang deh ceritanya. Tapi aku bukan kakaknya, yang jelas. Oh, namaku Freya. Jangan panggil aku Noona. Cukup bocah gila itu saja yang memanggilku Noona."
Kina membisu. Ia tak suka dengan jawaban itu. Freya bukan kakak Gio tapi kenapa Gio memanggilnya Noona? Gio tidak pernah memperlakukan seseorang dengan istimewa termasuk memberi panggilan khusus walaupun berniat untuk meledek.
"Banyak banget sih mienya!" Seruan Gio dari arah pintu memecah keheningan. Mata laki-laki itu menatap nanar pada kardus mie Freya. Seorang gadis sekurus dan secantik Freya yang tinggal sendirian, menyimpan mie instan sebanyak itu memang terasa aneh. "Noona, kamu habis ngerampok barak pengungsian ya?"
Jangan panggil cewek itu Noona lagi... Jangan panggil cewek itu Noona, kumohon... Kina meringis dalam hati. Panggilan itu terlalu perih untuk didengar Kina.
"Hey, aku menang lomba. Jangan protes," Freya lanjut mengeluarkan tiga bungkus mie instan dari dalam kardusnya.
"Lomba apa yang hadiahnya cuma mie instan?" Gio masih tak percaya. Sambil menopang sebelah tangan pada pintu kulkas, Gio terus mengamati Freya dengan lekat seakan-akan Freya bisa hilang kapan saja. Mungkin dia takut Freya benar-benar tidak punya uang untuk beli makan? Segitu perhatiannyakah Gio pada gadis ini? Kina semakin terpuruk oleh monolog dalam hatinya.
"Lomba selfie yang diadakan oleh perusahaan mie instan." Freya membawa semua bungkus mie instannya ke dekat kompor dan mulai merebus sepanci besar air.
"Lain kali ikut lomba yang hadiahnya tiket pesawat."
"Diem kenapa sih?" Freya menodongkan sebuah garu ke arah Gio, seakan garpu itu adalah sebuah pisau yang tajam. "Untung aku masih punya sayuran. Minggir tanganmu. Aku mau buka kulkas."
Diusir seperti itu tidak membuat Gio beranjak jauh. Dia hanya memindahkan tangannya dari pintu kulkas ke tembok.
Ya Tuhan! Kina menjerit dalam hati, tak sanggup lagi menyaksikan adegan ini. Mungkin Freya tidak sadar, tapi Kina tahu benar apa yang sedang terjadi di sana. Mata Gio tidak melepaskan Freya sedetik pun. Dengan tatapan yang sama—tatapan kekaguman pada setiap hal kecil yang dilakukan Freya. Sesekali mata Gio mengecil, mungkin memainkan sebuah khayalan di kepalanya. Tapi khayalan apa? Merengkuh pinggang Freya? Mencium bibir tipisnya?
Kina pasti tidak salah lagi. Ekspresi Gio menggambarkan segalanya. Dan hatinya pun remuk seketika.
* * *
Kisah Noona-noona fresh banget ceritanya, biasanya kan orang nulisnya oppa2. hehe :)
Comment on chapter Bab 1 - Noona!