“Nih charger-mu, Nyet.” Freya menghempaskan charger ponsel Roya ke paha gadis itu, tak lupa memasang wajah masam. Ruang klub cheerleader masih kosong. Dia sengaja meminta Roya datang sejam lebih awal dari waktu latihan karena perlu bicara empat mata dengan sahabatnya itu.
“Jompo abis poundfit?” Roya tergelak hampir terguling dari kursi. Untung saja ada lengan kursi yang menahan tubuhnya.
“Geser,” Freya menepuk lengan Roya, memintanya membagi tempat duduk. “Nggak usah ngeledek dek. Aku kan cewek lemah, nggak setangguh kamu,” Freya sengaja melunglaikan tubuhnya seperti balon kempes sebagai ekspresi hiperbolisme betapa lemahnya diri Freya.
Walaupun mereka sama-sama ada di klub cheerleader, tapi stamina Freya dan Roya jauh berbeda. Terlihat jelas dari hobi keduanya. Roya hobi naik gunung, sedangkan Freya hobi nonton Netflix sambil ngemil satu pak besar Cheetos.
“Kamu kalau olahraga terus nanti badannya kayak Machamp lho,” Freya masih belum menyerah membujuk Roya agak tidak terlalu gila olahraga.
“Machamp apaan?” Alis Roya hampir bertaut. Kadang-kadang kosa kata Freya memang suka ajaib.
“Itu—pokemon yang kekar trus tangannya ada empat.”
“Ini bocah ya! Kebanyakan main game sih!” Roya menjewer telinga Freya.
“Adudududuh!” Freya memekik kesakitan. Guru sekolahnya saja dulu tidak ada yang pernah menjewer sekeras itu. “Nggak main game kok... Cuma nonton Animax…” Freya nyengir, memperlihatkan semua gigi-gigi depannya.
“Udah ah. Buruan, mau ngomong apa? Aku sampai take away kopiku nih gara-gara kamu minta cepet-cepet ketemu!” Roya menunjuk latte dalam gelas kertas 1/15 Coffee yang teronggok di atas meja. Freya tahu gelas itu isinya latte. Roya cuma mau pesan latte di kedai kopi.
“Jadi kan…kemarin badanku sakit-sakit ya…” Freya menggigit bibir, tak tahu harus mulai dari mana. Semua akal-akalannya untuk mengulur-ulur pembicaraan sudah habis. “Trus…Gio mampir bawa bolu abon dari Raja Ampat…”
Mendengar nama Gio disebut, Roya langsung mendekatkan tubuhnya. Jelas ini adalah sebuah pembicaraan yang sangat serius. “Trus, dia mijetin kamu?”
“Nggak—sih…”
Freya menyerah. Dia tak punya pilihan lain selain membeberkan semuanya. Se-mua-nya! Mulai dari Gio menggendongnya sampai ke kamar, menyelimuti Freya, sampai kembali lagi untuk naik ke tempat tidur Freya dan memeluknya semalaman.
Seperti gerakan slow motion, mata dan mulut Roya membesar perlahan. “Frey—“ Kali ini tangan Roya yang bergerak lambat sampai mencengkeram kedua pipi Freya. “—ya!” Barulah Roya mengguncang-guncang tubuh Freya dengan sangat keras dan cepat, seperti berusaha mengeluarkan isi otak Freya dari dalam kepalanya. “GILA! KALIAN BERDUA GILA!”
“Kok aku? Yang gila kan dia!” Freya masih bisa membela diri. Sekarang rambutnya seperti jambul kakatua gara-gara Roya.
“Iya, dia gila. Tapi kamu juga gila—astaga Freyaaa!” Roya menjerit histeris seperti orang gila. “Buruan deh usir dia dari sebelah kamarmu! Buruaaan!”
Alih-alih menyahut, Freya justru mencekoki Roya dengan latte-nya. Berhasil. Roya sedikit lebih jinak. “Iya, nanti kuusir. Tapi tunggu timing yang pas ya.”
“Freya, kalau dibiarin lama-lama, hubungan kalian itu nanti semakin kusut lho…”
Freya merampas gelas kopi dari tangan Roya dan menegaknya. “Terserahlah.” Sepertinya dia juga sebentar lagi akan histeris.
* * *
“Ayo, kita mulai lagi ya!”
“Ampuuun!” jerit Freya, hampir pingsan mendengar Roya masih memaksa mereka untuk terus latihan. Jam latihan sudah selesai dua puluh menit yang lalu. Freya sudah berkali-kali memanjat piramida manusia dan dilontarkan ke udara. Dia pusing, lelah, belum lagi rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya akibat poundfit masih juga terasa.
Freya bukannya tidak mencoba kabur, hanya saja kaki-kaki jerapah Roya bergerak sangat cepat menjegal usaha Freya. “Aku mau pulang…” Freya merengek memeluk tiang lampu, tahu Roya akan menarik paksa apapun bagian tubuh Freya yang bisa dijangkau gadis itu.
“Nggak usah pakai acara kabur, Freya.”
Kehabisan tenaga, Freya pun pasrah diseret dari pinggir lapangan kembali ke barisan.
“Mulai lagi! Jangan ada yang kabur!” Roya berteriak pada seluruh anggota tim. “Satu! Dua—“
Hitungan Roya berhenti di angka dua. Kemudian tubuhnya membeku. Pandangannya mengunci ke arah selatan lapangan. Tak lama kemudian jeritan histeris terdengar dari seisi barisan. Bukan jeritan histeris yang ketakutan seperti orang-orang yang naik roller coaster, melainkan sebuah jeritan histeris penuh kekaguman mirip fans yang menjerit pada idolanya. Mata mereka semua berbinar. Beberapa di antara mereka punya pipi yang merona.
Freya mau tak mau ikut menoleh. Respon Roya menular padanya. Sekujur tubuh Freya membeku. Brandon ada di sana—membawa sebuket bunga kapas, berjalan menuju Freya. Di saat seisi lapangan menggila melihat Brandon menyerahkan buket itu pada Freya dan mengecup pipinya, hanya Freya yang dihinggapi udara dingin mencekam.
Hanya Freya yang tahu apa maksud dari buket bunga mawar yang dia terima dengan tangan gemetar.
* * *
Azalea Residence—sebuah kawasan apartemen mewah yang tampak sangat menarik kalau dipromosikan di TV dengan ancaman ‘besok harga naik’. Iklannya tidak bohong. Apartemen ini sangat mewah, dengan berbagai fasilitas termasuk akses langsung ke mall di sebelahnya. Kamar di apartemen itu persis seperti yang diiklankan. Luas dengan pemandangan indah ke arah lapangan golf yang ada di belakangnya. Ada tiga tipe kamar: studio, one bedroom, dan two bedrooms.
Dan di Tower 3 kamar nomor 502, tipe kamar two bedrooms, Brandon menciptakan sarangnya. ‘Sarang’ dalam hal ini bukanlah ‘cinta’ dalam bahasa Korea, tapi sarang yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “tempat kediaman atau tempat persembunyian (biasanya bagi segala sesuatu yang kurang baik)”.
Hal inilah yang sampai sekarang bahkan Roya, sahabat terdekatnya, tidak pernah tahu. Semua mengira Brandon dan Freya baik-baik saja. Pasangan ideal para dewasa muda jaman sekarang. Dua idola bertemu—wanita muda cantik, periang dan mandiri bersama pria yang beberapa tahun lebih tua (tapi tidak terlalu tua), kaya raya, dan mapan—memiliki hubungan yang tidak tergoyahkan selama 7 tahun dan menginspirasi semua orang di Instagram. Bahkan Freya pernah dikirimkan tautan berisi fanfiction tentang hubungannya dengan Brandon. Jujur, Freya ingin bertukar tempat dengan Freya yang ada di dalam fanfiction tersebut. Freya khayalan memiliki hidup yang sangat bahagia dengan Brandon yang begitu pengasih.
Brandon bukan pengasih.
Dulu dia pernah menjadi seseorang yang pengasih. Saat pertama Brandon menemukan Freya yang kacau balau akibat perceraian kedua orang tuanya. Pria itu sangat memanjakan Freya, membelikan semua yang Freya inginkan—tapi tidak membiarkan Freya bertindak sesuka hatinya. Brandon punya aturan. Freya harus ada di apartemen Brandon setiap akhir pekan. Freya tidak boleh menggunting rambutnya lebih pendek dari bahu. Freya tidak boleh memakai lipstik warna merah di depan laki-laki lain. Dan banyak lagi aturannya.
Freya sadar ada yang salah dengan Brandon. Brandon tidak memandangnya seperti pacar, melainkan ‘binatang peliharaan’. Seperti apa yang dilakukan kelompok pencinta hewan, Brandon ‘me-rescue’ dan ‘mengadopsi’ Freya ke dalam hidupnya. Masuk ke hidupnya berarti mengikuti semua aturannya—dan bersedia menerima hukuman kalau melanggar.
Memberontak? Tentu pernah. Apa berhasil? Kalau Freya sampai sekarang masih bersama pria itu, apakah pemberontakan Freya pernah berhasil? Tiap kali Freya minta putus dan memacari cowok lain, selalu ada hal yang buruk terjadi pada hubungannya dan Freya akan kembali lagi pada Brandon.
Akhirnya Freya lelah dan memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Lama-lama alam bawah sadar Freya mulai menerima kenyataan bahwa tidak ada yang salah dengan hubungannya. Kenyataan bahwa di dunia ini hanya Brandon yang bisa menerima Freya. Dan kenyataan bahwa aturan Brandon dibuat untuk kebaikan hubungan mereka. Freya pun membuat dirinya nyaman dengan keadaan itu.
Tapi itu—adalah sebelum Freya bertemu dengan Gio. Cowok yang lebih muda lima tahun darinya—yang setiap hari menatap Freya seakan-akan Freya adalah seorang peri dari negeri dongeng. Cowok yang memperhatikan Freya lebih dari dirinya sendiri. Cowok yang, kalau tahu Freya sakit, langsung bolos sekolah dan menemani Freya seharian. Cowok yang melindungi dirinya dari dunia luar dengan berada di sisi Freya.
Cowok yang harus Freya usir jauh-jauh.
Bukan. Ini bukan karena Gio. Ini karena Freya yang terikat pada monster bernama Brandon. Satu-satunya cara untuk melindungi Gio adalah dengan menyembunyikannya dari radar Brandon. Karena sekali Brandon tahu apa yang terjadi sebenarnya antara Freya dan Gio, bukan Freya yang akan hancur—melainkan Gio. Brandon pasti akan menghancurkan Gio sampai menjadi serpihan terkecil untuk memberi efek jera pada Freya. Seperti apa yang ia lakukan pada para mantan Freya—yang sayangnya baru Freya ketahui belakangan ini.
Itu adalah cara Brandon untuk mendisiplinkan ‘peliharaannya’.
* * *
“Kok diem aja dari tadi?” tanya Brandon, membuka sebotol wine untuk mereka berdua di apartemennya. Le Cigare Volant Réserve 2012, diciptakan oleh Randall Grahm, didominasi Syrah. Freya tahu karena dia pernah tak sengaja memecahkannya dan dia harus membayar mahal dengan tubuhnya.
Freya menggeleng, semakin menyusut di sofa kulit besar yang ada di dalam ruang tamu apartemen Brandon. Matanya menatap nanar pada buket bunga yang Brandon berikan di hadapan semua orang. Perempuan lain pasti akan bahagia kalau mendapat buket bunga mawar dari pacarnya. Tidak dengan Freya, sejak terjadi pergeseran makna bunga mawar dalam kamus Brandon. Sekarang, buket bunga mawar artinya dia sedang marah dan ingin membuat perhitungan dengan Freya. Brandon pernah memberikannya buket bunga berisi 100 mawar merah dan setelah itu Brandon menyekap Freya di apartemennya selama seminggu.
“Kenapa kamu nggak ada di apartemenku saat aku pulang dinas kemarin?” Brandon duduk mengapit Freya bersama lengan sofa. Pria itu sangat suka memojokkan Freya, membuat Freya tak bisa melarikan diri. Wangi parfum Baccarat Rouge 540 yang menempel di leher Brandon ikut mengintimidasi mental Freya.
“Aku…badanku sakit…habis poundfit…”
Freya mencoba berkata sejujur mungkin, tapi Brandon tampak tidak puas dengan jawaban itu. Brandon merentangkan tangan kirinya untuk merengkuh bahu Freya, sedangkan tangan kanannya menempelkan bibir gelas wine-nya ke bibir Freya. “Minum,” desis pria itu.
Freya membuka bibir sedikit, membiarkan cairan berwarna merah itu menyentuh lidahnya. Tidak ada yang salah dengan minuman itu. Brandon tidak memasukkan obat tidur, narkoba atau apapun. Dia tidak mau Freya rusak. Dia ingin Freya tetap menjadi hewan peliharaannya yang baik. Brandon hanya suka kalau Freya sedikit mabuk—semu merah di pipi, ucapan yang melantur, dan tubuh Freya yang lunglai tidak berdaya.
“Aku lelah pulang dinas. Berharap bisa lihat kamu di apartemenku, tapi kamu nggak ada. Menurutmu bagaimana perasaanku?” Brandon menyelingi ucapannya dengan kecupan di sepanjang sisi kiri wajah Freya.
Freya tidak menjawab, sibuk merasa risih terhadap semua kecupan itu.
“Jawab, Freya.” Tanpa peringatan, tangan kiri pria itu menarik rambut Freya, memaksa kepala Freya menengadah.
“Ke—kesal—“ Freya mencicit. Matanya hanya bisa melihat langit-langit dan lampu temaram ruangan itu. Dia tak tahu apa yang terjadi di bawah sana sampai ia terkejut mendapati Brandon mengucurkan winenya ke leher Freya kemudian menyeruputnya. “Bran—“ Freya mencoba mendorong tubuh Brandon. Ia tidak suka bau fermentasi itu menyelimuti lehernya. Sayang, tenaga Brandon terlalu kuat untuk ia lawan.
“Aku memaafkanmu kali ini. Tapi kamu tetap harus dihukum—“
Suara ponsel Brandon menyelamatkan Freya. Brandon sempat ingin mengabaikannya tapi nomor yang tertera di layar ponsel itu berkata lain. “Pakai lingerie-mu dan tunggu aku di kamar. Jangan bersihkan tubuhmu dulu.”
Freya berjalan gontai menuju kamar utama, tak lupa membawa serta tasnya. Ia menutup pintu tapi tak serta merta berganti pakaian seperti yang diperintahkan Brandon. Freya menghempaskan pantatnya di atas karpet, duduk memeluk lutut, dan bersandar pada tepi tempat tidur. Jari-jari dan bibirnya bahkan masih bergetar, menampakkan ketakutannya pada sosok Brandon. Jangankan melarikan diri, membersihkan diri saja Freya tidak berani karena tahu Brandon suka dengan aroma wine di tubuhnya.
Andai dia bisa seperti orang lain yang dengan mudahnya menumpahkan semua emosi mereka melalui air mata. Mata Freya sudah kering—tidak lagi menitikkan air mata sejak dia terlalu banyak menangisi perceraian orang tuanya 7 tahun yang lalu.
Tas ransel Freya bergetar. Getarannya pendek, berarti hanya pesan Whatsapp. Biasanya Freya mengabaikan semua notifikasi yang masuk kalau sedang di dalam ruangan ini. Tapi kali ini dia ingin membuka ponselnya.
Sebuah pesan masuk dari Gio:
[Noona, tadi aku pencet bel tapi nggak ada jawaban. Kamu baik-baik aja? Badanmu masih sakit?]
Mendadak Freya berhalusinasi, merasakan kembali hangat pelukan Gio semalam. Dia ingin kembali ada di dalam pelukan itu, tapi Freya tahu dia tidak bisa. Yang bisa freya lakukan hanya memunculkan keyboard di layar ponselnya dan membalas:
[Aku baik-baik aja. Cuma tidur cepet.]
Hampir Freya kirim, tapi di detik terakhir Freya memutuskan untuk menghapuskan kalimat yang kedua. Dia harus belajar mengurangi kebohongannya.
* * *
Kisah Noona-noona fresh banget ceritanya, biasanya kan orang nulisnya oppa2. hehe :)
Comment on chapter Bab 1 - Noona!