Kina berdiri di depan gerbang SMA Eleta Argus—sebuah SMA swasta elit di daerah Kebayoran, Jakarta. Berulang kali Kina membenahi seragam barunya itu. Sebuah rok kotak-kotak, kemeja putih dan dasi yang bermotif sama dengan roknya. Dia juga sudah berulang kali mengeluarkan cermin lipatnya, mengecek apakah lip tint merah jambu di bibirnya sudah cukup terlihat. Bukan mencolok, tapi hanya sekedar menarik perhatian Gio.
“Ah, Khansa… Maksudnya, Gio…” Kina segera merevisi ucapannya sendiri, membiasakan diri menyebut nama ‘Gio’ sebagai ganti ‘Khansa’. Saat pindah ke sini, Gio pasti benar-benar ingin memulai lembaran baru di hidupnya, sampai-sampai dia menolak menggunakan nama depannya lagi.
Perut Kina bergejolak tiap kali ingat alasannya masuk ke sekolah ini. Pertemuannya dengan Gio di Raja Ampat pastilah sebuah jawaban dari semua doa-doanya untuk menemukan keberadaan cowok itu. Tapi sekolah ini lain cerita. Bukan sebuah kebetulan Kina pindah ke sekolah yang sama dengan Gio, seperti yang Gio pikirkan. Saat di Raja Ampat, Kina tak sengaja melihat nama SMA Eleta Argus terpampang di baju kaos salah satu teman Gio. Pulang dari Raja Ampat, dia langsung meminta ayahnya untuk mengurus kepindahannya ke Eleta Argus.
Kina sadar tekad awalnya untuk menemukan Gio adalah sebuah pengakuan dosa. Dia bertekad mengakui semuanya pada Gio, termasuk menjadi dalang berita bohong yang berujung pada kematian Viola. Tapi saat melihat sosok Gio yang sekarang, tekad itu luntur dalam sekejap.
Entah ajian apa yang digunakan Gio, Kina merasa Gio yang semakin dewasa adalah Gio yang bertambah tampan dan keren berkali-kali lipat. Otot-otot di tubuhnya yang terbentuk sempurna, terpampang indah di depan mata Kina saat dia menyelamatkan Kina yang hampir tenggelam. Kina tidak bisa tidur semalaman membayangkan bagaimana dia ada di pelukan laki-laki itu. Belum lagi semua garis di wajahnya semakin menegas. Lehernya juga bertambah jenjang dan kokoh.
Kina luluh. Bersamaan dengan lenyapnya keinginan untuk melakukan pengakuan dosa, muncul keinginan yang lebih liar—untuk sekali lagi mencoba menjadikan Gio miliknya seorang. Kali ini Kina cukup optimis. Viola tidak ada. Kina juga punya keuntungan dengan masa lalu persahabatan mereka. Paling tidak Gio tidak akan mengabaikannya.
Kina menghabiskan seluruh jam pelajaran pertama dan kedua untuk melamun, bertanya-tanya sedang apa Gio di kelasnya. Kepalanya otomatis menoleh ke luar jendela tiap kali ada orang yang melewati kelasnya. Dia tak peduli guru matematikanya menegurnya hingga seisi kelas tertawa. Dia cuma perlu Gio muncul di depan matanya dan kebahagiaan akan menyertainya seharian.
“Umm…tau…kelas Khansa di mana nggak?” Kina sembarangan bertanya pada gerombolan gadis yang sedang mengobrol di pintu kelas saat jam istirahat. Cowok setampan Gio, semua cewek pasti mengetahuinya.
“Khansa?” salah satu gadis yang berambut panjang mengernyit.
“Ah, maksudku Gio…”
Mereka bertukar pandang sejenak, lalu gadis tadi pun menyahut, “IPA 3,” kepalanya mengedik ke satu kelas di ujung lorong. “Ada perlu apa?” Mata gadis itu terasa mengeja penampilan Kina dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Ng…nggak… Cuma nanya aja…” sebelum mereka mencurigai sesuatu, Kina berlari pergi. Dia berjalan menuju kantin, sengaja mengintip ke dalam kelas IPA 3. Gio tidak nampak di kelas itu. Kina melanjutkan perjalanannya ke kantin, Gio juga tidak ada di sana. Apa dia tidak masuk hari ini? Apa dia sakit? Tiba-tiba Kina merasa cemas.
“Hey.” Sebuah tepukan mendarat di bahu Kina. Gadis berambut panjang tadi yang menepuknya.
“Ada apa?” Kina bertanya-tanya kebingungan. Mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain.
“Gio mencarimu. Ikut aku.”
Yang benar? Gio mencarinya? Hampir saja Kina melonjak di depan semua orang. Untung dia masih sempat menenangkan diri.
“Kamu panggil Gio apa tadi? Khansa?” tanya gadis itu ketika mereka berjalan melewati lapangan basket.
“Iya,” Kina terdengar agak bangga. Dia senang tak ada seorang pun di sekolah itu yang memanggil Gio dengan nama depannya.
“Khansa itu…nama depan Gio?”
“Iya. Umm…ngomong-ngomong, kita akan pergi ke mana?”
Gadis itu tak menggubris pertanyaannya dan bahkan balas bertanya lagi, “Kenapa kamu bisa memanggil Gio dengan nama itu? Apa hubunganmu dengannya?”
“Kami teman SMP. Sahabat malah. Dulu aku dan Gio sangat dekat. Kami selalu duduk memakan bekal bersama di kebun belakang sekolah.” Kina sengaja melewatkan bagian tentang Viola, tentu saja.
“Oh gitu.”
“Tapi, kita mau ke mana ya—AKH!” Kina memekik cukup keras ketika gadis itu mendorongnya masuk ke sebuah gudang tua di sudut sekolah. Kaki Kina limbung dan menabrak bangku-bangku tua yang di simpan di sana. Beberapa bangku terjatuh. Untung tidak menimpa kakinya.
“Denger ya, anak baru! Nggak usah coba-coba ngarang cerita! Halu banget sih jadi orang! Kamu pikir ada yang bakal percaya Gio pernah temenan sama cewek jelek kayak kamu? Ngaca dulu dong! Dan jangan coba-coba deketin Gio! Kalau aku nggak bisa ngedapetinnya, nggak ada yang boleh bisa!”
BRAK! Pintu gudang dibanting menutup. Kina menghambur meraih gagang pintu. Ketakutannya benar, cewek itu mengunci pintu gudang dari luar. “BUKAAA! BUKA PINTUNYA!” Kina menepuk keras pintu itu, berharap ada orang yang mendengarnya dari luar.
Tidak ada. Tidak ada siapapun di luar sana. Siapa memangnya yang mau berjalan-jalan sampai ke sudut paling belakang sekolah?
Panik, Kina pun menangis. Ruangan itu pengap, gelap dan penuh debu. Sarang laba-laba menjuntai di setiap sudut benda yang terlalu lama teronggok di sana. Ada bangku, kaleng cat, sepeda, alat musik marching band dan banyak rongsokan lainnya. Tidak hanya itu. Tiba-tiba Kina juga mendengar sebuah decitan. Pasti ada tikus di ruangan itu. Berapa ekor? Apa cukup untuk menggerogoti kakinya?
“BUKAAA!”
Lagi-lagi nihil. Kania yang putus asa akhirnya memanggil satu-satunya nama yang ia tahu di sekolah itu.
“KHANSAAA!” teriak Kina, tak peduli apakah laki-laki itu benar-benar bisa mendengar Kina. “KHANSA, TOLOOONG!” suara Kina semakin melemah. “Khansa…” teriakannya berganti isakan. Air mata membanjiri pipinya. Kina sesenggukan, mulai susah mengatur napasnya. “Khansa…tolong aku…” Ia mengerahkan usaha terakhirnya.
“Kina?”
Kina dalam keadaan tak bisa membedakan apakah itu halusinasi atau kenyataan, sampai namanya dipanggil untuk kedua kalinya. “Kina? Kamu di dalam?”
Itu suara Gio!
“Khansa! Khansa, aku kekunci di dalam! Khansa tolong!” tenaganya kembali bersamaan dengan harapan untuk keluar dari sana. Gio ada di sini. Gio akan menyelamatkannya sebagaimana yang dulu selalu ia lakukan saat mereka SMP.
“Mundur! Jangan dekat-dekat pintu! Aku mau dobrak pintunya!”
Kina mengikuti instruksi Gio. Dia mengambil jarak sejauh mungkin dari pintu. Satu kali dorongan… Dua kali… Tiga kali… Akhirnya pada dorongan yang keempat, pintu itu terbuka juga. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Gio terlihat kaget bukan main melihat Kina ada di sela-sela rongsokan dengan wajah yang basah karena air mata.
Kina tidak menjawab. Dia masih sangat ketakutan. Tubuhnya bergerak sendiri, menghambur ke arah Gio lalu memeluk laki-laki itu seerat-eratnya.
* * *
Kisah Noona-noona fresh banget ceritanya, biasanya kan orang nulisnya oppa2. hehe :)
Comment on chapter Bab 1 - Noona!