2 tahun yang lalu
“Khansa, aku takut…”
“Vio, kamu di mana?!”
“Aku di persimpangan…”
“Persimpangan mana? Tunggu aku! Jangan ke mana-mana!”
“Tapi aku harus pergi, Khansa…”
“KUBILANG JANGAN KE MANA-MANA! VIO, KAMU DI MANA?!”
“Oh iya… Kina suka padamu… Jaga dia baik-baik ya…”
Panggilan terputus, tapi tidak dengan asa Gio. Dia terus mencoba menghubungi Viola. Nada sambung terdengar, tapi tak ada yang mengangkat panggilannya. Entah kenapa saat itu Gio punya firasat yang buruk. Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan latihan basketnya dan berniat pergi ke rumah Viola untuk mencari tahu.
Setelah lima belas menit terus mencoba, akhirnya panggilannya tersambung. Namun, bukan suara Viola yang terdengar. Melainkan suara seorang pria, cukup berat. “Halo?”
Gio terkesiap. Bagaimana tidak? Baru saja Viola bilang dia ketakutan, sekarang ada pria yang memegang ponselnya. Apa pria itu sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Viola?
“Kang Kansa?”
Si pria yang mengangkat panggilannya terdengar sangat familiar. Suaranya bergetar dan sangat panik.
“I…iya…”
“Kang Kansa, ini Suparman. Suparman satpam sekolah.”
Gio mengerem langkahnya di pintu gerbang sekolah. Kenapa ponsel Viola bisa ada di tangan satpam sekolah? “Kenapa Pak Parman? Viola mana?”
“Itu, Kang…” Suara Pak Parman kehilangan tenaga. Volumenya mengecil, sampai terdengar seperti cicitan. “Neng Vio… Neng Vio… Darah… Nggak napas…”
Seketika langit serasa runtuh di atas kepala Gio. Walaupun kalimat dari si satpam sekolah tidak utuh, tapi ada kata ‘darah’ dan ‘nggak napas’. Kemungkinan baik apa yang masih tersisa dengan dua kata itu? Kecuali mungkin Gio salah dengar. “Pak Parman di mana sekarang?”
“Kebun belakang sekolah, Kang…”
Kebun belakang sekolah? Mungkinkah tempat mereka dulu menanam kapsul waktu mereka? Gio langsung membalik badannya, berlari memasuki area sekolah sekali lagi. “Panggil ambulans, Pak! Cepetan ya! Saya ke sana sekarang!” Dia memacu kakinya secepat yang ia bisa. Alas sepatunya tak terasa menapak lagi. Dia menabrak banyak orang sepanjang perjalanan. Tak peduli. Dia hanya ingin secepat mungkin melihat keadaan Viola.
Tebakan Gio benar. Viola ada di lokasi kapsul waktu itu. Namun, sayang terlambat. Di samping Pak Parman, gadis itu sudah tidak bernyawa. Darah mengalir melalui satu luka torehan di pergelangan tangannya.
Viola pergi untuk selamanya.
* * *
Sudah lama potongan ingatan terkelamnya tidak muncul ke permukaan. Sejak Gio bertemu dengan Freya, perlahan ingatan itu memudar, digantikan oleh ingatan masa-masa menyengangkan yang setiap hari ia ciptakan bersama noona-nya. Hari pertama dia dan Freya bersenda gurau, secara ajaib malam harinya Gio bisa tidur nyenyak tanpa obat sama sekali. Untuk pertama kalinya Gio berani memutuskan membuang semua obat tidur yang diresepkan psikiaternya.
Tapi kini Kina tiba-tiba muncul di depan mata Gio. Sahabatnya dulu saat SMP bersama dengan Viola. Dan juga gadis yang Viola titipkan pada Gio beberapa saat sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Sekejap ingatan kelam itu menyeruak menyapa Gio. Hatinya cemas bukan main. Bisakah dia tidur malam ini? Bagaimana kalau tidak? Apa yang harus ia lakukan? Gio tidak punya obat tidur sama sekali untuk membantunya.
“Jadi…kamu sudah satu setengah tahun pindah ke Jakarta?” Kina bertanya setelah mereka terdiam bersisian di tepi pantai Friwen cukup lama. Gadis itu sudah melepas gaunnya, menyisakan selembar baju renang dan handuk tebal yang melindungi tubuhnya dari angin.
“Iya,” jawab Gio sambil menatap kosong ke arah air pantai. Air pantai Friwen hari itu berwarna biru jernih. Rasanya hangat ketika menyentuh jari-jari Gio. Biasanya Gio tak tahan untuk tidak menceburkan diri kalau melihat air seindah itu. Tapi sekarang dia tak ingin melakukan apapun. “Kamu sendiri?”
“Aku sempat pindah ke Berlin. Mengikuti ayahku.”’
“Ah, Berlin…” Gio bergumam. Ia meraup sedikit pasir putih di tangannya, kemudian perlahan ia kucurkan kembali. “Kota yang indah.”
“Iya…”’
Percakapan mereka lagi-lagi mati. Untung saja temannya, William, memanggil dari arah jetty. Kalau tidak, Gio tidak tahu kapan kecanggungan ini akan berakhir. “Gio! Ayo! Tabung oksigennya udah ada nih. Mau turun nggak?”
“Oke,” sahut Gio. Tentu saja dia akan memilih turun menyelam di Friwen Wall daripada terkunci dalam kecanggungan bersama Kina.
“Kamu bisa diving?” tanya Kina ketika melihat Gio bersiap untuk bangkit meninggalkannya.
“Bisa. Aku ambil license-ku tahun lalu di Bali.”
“Aku juga mau belajar diving. Nanti ajari ya.”
“Aku bukan instruktur,” Gio menjawab singkat.
“Maaf…”
Gio langsung merasa tak enak hati melihat wajah Kina berubah murung. Dia tidak bermaksud bersikap dingin pada Kina, tapi tiap kali menatap wajah gadis itu, Gio serasa ditarik lagi ke masa-masa persahabatan mereka dulu bersama Viola. Dan itu sangat mengganggunya. “Kamu sudah punya nomorku kan? Hubungi aku kalau main ke Jakarta.” Gio berharap kalimat itu bisa menutup percakapan mereka.
“Oh, kebetulan sebentar lagi aku pindah ke Jakarta. Ke SMA Eleta Argus. Nanti kita nongkrong bareng ya?”
Gio mematung selama beberapa detik. Sekujur tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan. Rasanya seperti ada yang menyengat otaknya saat mendengar nama sekolahnya terucap dari bibir Kina. Apa-apaan ini? Kenapa Kina jadi satu sekolah dengannya? Apakah ini peringatan dari Viola karena Gio tidak memenuhi permintaannya sebelum meninggal untuk menjaga Kina?
* * *
Kisah Noona-noona fresh banget ceritanya, biasanya kan orang nulisnya oppa2. hehe :)
Comment on chapter Bab 1 - Noona!