Lalu, tibalah saatnya aku menjadi anak kelas 9. Masa-masa terpahit seumur hidupku sedang berlangsung di sini. Setiap malam menangisi hari-hari yang lalu. Berharap semuanya hilang sekejap mata. Aku tidak sekelas dengan siapapun. Aku duduk bersama teman Kania, yaitu Eca. Kelasku 99, sedangkan kelasmu 95. Kania 98, Natia dan Tata 92, Hana dan Pipin 97, dan Salina 96. Sama seperti kelas 8 awal, aku tak punya teman. Namun, jika kelas 8 karena ada masalah dengan Tata, kali ini tak ada masalah dengan siapapun. Kelas 8 hanya berlangsung kurang dari 1 semester, setelah itu aku menikmati kelas terindah sepanjang aku sekolah. Serasa kelas milikku sendiri, tak ada kencanggungan apapun dalam sana. Ternyata, kelas itu membawa musibah untuk kelas berikutnya. Mungkin ini kesalahanku sendiri yang terlalu terbuka ketika kelas 8 dan terlalu percaya dengan anak kelasannya. Ketika kelas 9, semua orang berpencar lagi. Informasi yang mereka dapat ketika kelas 86, disebar ke kelas mereka sekarang. Lalu aku bisa apa? Hanya bisa menjalani hari-hari pahitku selama satu tahun.
Aku pernah sekali ikut makrab pertama saat kelas 9 awal. Pertama dan terakhir karena aku tak akan pernah ikut acara-acara seperti ini lagi. Di situ, yang ikut makrab adalah aku, Kania, dan Natia. Kami penasaran, mengapa angkatan sering sekali membuat makrab, akhirnya kami coba ikut. Itu juga karema gimik-gimik mau diberikan jaket almet angkatan yang ternyata diberikan 3 bulan kemudian. Di situ, kami bertiga seperti orang dungu yang tak mengerti apapun. Ikut-ikut aja udah. Selama itu pula perasaanku selalu tidak enak. Ada rasa sakit-sakit di dada padahal everything is fine. Akhirnya setelah foto angkatan dan pengarahan dari kakak kelas, aku pulang dijemput papa. Sebenarnya aku pulang karena tak ingin melihat sesuatu yang tak enak di mata. Sesuatu yang selalu aku khawatirkan setiap saat Rudi cerita padaku. Aku tak ingin menangis di hadapan orang banyak karena itu. Cukup kamarku saja yang menjadi saksi bisu tangisanku yang selalu pecah karena masalah yang sama. Minggu berikutnya, ada kabar tak baik datang dari temanku tentangmu soal makrab kemarin. Selain apa yang aku takutkan soal cerita Rudi, ada yang lebih parah dari itu. Soal cewek yang bernama Lia. Aku tak tau apakah kabar itu hanyalah hoax atau benar adanya. Yang pasti, tak ada yang lain kecuali air mata ketika temanku bercerita tentang ini. Aku tak bisa berpaling dari kabar ini selama sebulan lebih. Kata-kata dari temanku ini benar-benar membayang di kepala. Mungkin ini firasatku dari awal selalu buruk tentang makrab. Semenjak itu aku tak pernah lagi ikut acara angkatan bahkan sampai SMA. Trauma mendengar kabar ini. Setiap cerita, selalu menangis. Seperti air hujan yang jatuh ke lubang, tak ada halangan apa-apa lagi langsung terjatuh. Aku harap kabar itu bukanlah kabar yang benar.
Semenjak makrab itu, kamu sedikit lebih dekat dengan si Lia cabe ini. Aku tak rela!!! Devi, tolong perhatikan pacarmu yang sedang dekat dengan orang yang membawa petaka, HAHA. Sorry, Lia, but Araz is Devi’s mine. You can’t touch him. Aku sama sekali tidak menyukainya. Lalu suatu saat, Rudi bilang kalau hubungan Lia dan Jamiel sedang retak, begitu pula hubunganmu dan Devi. Tiba-tiba aku melihat sebuah potingan yang disukai oleh Devi di Line. Postingan itu tentang selingkuh. Pikiranku sudah tak jernih lagi. Firasatku tertuju pada Lia. Namun, ketika Devi membuat postingan, Lia komen dan seperti berada di pihak Devi. Mungkin firasatku salah, tetapi jika benar namun ia mengumpat, fix, takkan kumaafkan dia. Devi yang diselingkuhi, aku yang marah-marah. WOY! Di mana otakmu? Cewek secantik dan sebaik Devi kamu selingkuhi!
Kamu tau? 3 tahun ini aku menangisimu bukan karena ada cewek lain atau apapun itu. Ya, pasti pernah karena itu sih. Namun, aku lebih sering menangisi sikapmu untuk dirimu sendiri. Pernah mikir gak, apa akibatnya bila kamu seperti itu? Pernah mikir gak, sesakit apa orang tuamu jika tau seperti itu? Pernah mikir gak, ada seseorang yang sangat memperdulikanmu, sangat memperdulikanmu, tetapi kamu tak sedetik pun menoleh ke arahnya? Sampai akhirnya ketika kelas 9 aku tau, apa kemungkinan terbesar yang menyebabkan kamu berubah sesignifikan itu. Lagi-lagi aku menangis. Bodohnya mengapa aku baru tau 1 tahun setelahnya. Aku merasa bersalah telah berpikir negatif tentang sikapmu padaku. Aku merasa bersalah telah mengecap kamu sebagai orang yang paling jahat. Aku merasa bersalah atas semua yang aku lakukan padamu. Karena aku tau, aku memang selalu salah di matamu. Namun, di sisi lain kamu pasti berpikir ada di posisi yang salah. Sama sepertiku. Masalahmu jauh lebih berat dariku, I think. I feel sorry for you. Maaf.
Meskipun diterpa tirani-tirani yang membuatku ingin pindah sekolah, kamu tetaplah penyemangatku. Sangat aneh memang. Satu sisi, kamu yang membuat masalah-masalah ini terjadi padaku, tetapi di sisi lain kamu juga penyemangatku untuk keluar dari masalah ini. Jadi, kamu adalah trouble maker, tetapi juga angelic helpers. Masa-masa kelamku yang takkan aku lupakan seumur hidup.
Dimulai sejak aku tak punya teman di kelas, teman sih punya, tetapi yang benar-benar ‘teman’ tidak ada. Ketika kelas 7 aku bertemu dengan Kania, Tata, dan Natia, aku merasa memiliki teman meskipun saat itu kami belum terlalu dekat. Lalu kelas 8 juga seperti itu, aku bertemu dengan Hana, Salina, dan Pipin. Duniaku terasa berbeda. Namun, di kelas 9 ini aku tidak menemukan yang baru. Bergaul dengan siapa saja, tetapi hati ini tidak dapat menerimanya. Aku berteman dekat dengan Eca, Amora, Naila, dan Tanea atau biasa dipanggil Nene. Juga beberapa teman lainnya seperti Histi, Fia, Sasyi, dan teman-teman kelasan lainnya.
Selama setahun ini, aku dan Rudi terus berkomunikasi setiap hari lewat chat dan tidak pernah saling tegur sapa jika kami bertemu untuk menghindari kecurigaan. Rudi pernah cerita awal mula kamu mengetahui jika aku suka denganmu, yaitu ketika kelas 8 di tongkrongan, Tyo tiba-tiba berteriak padamu kalau ada yang menyukaimu di kelasnya, namanya Emi. Rudi yang kala itu tidak mengetahui tentangku, ia merasa sesuatu ada yang salah, jadi dia langsung mengalihkan pembicaraan kepada anak Onees. Seperti biasa, aku chatting dengannya ketika pulang sekolah sekitar jam 4-an.
“Lo benci kalo gue sayang sama lo? EH WOY. BUKAN GUE YANG MAU SAYANG SAMA LO. GUE DIKASIH DARI SANANYA. GUE JUGA UDAH SELALU NYOBA BUAT MOVE ON, TAPI GABISA. Bukan gue yang rencanain, bukan gue yang mau. Tolong dong jangan nyalahin gue....”
“Lah lu kenapa, Mi -_-?”
Aku terdiam sejenak. Ada apa dengan Rudi yang membalas pesanku seperti itu?
“Mi.”
“Apa, Rud?”
“Tyo baca chat kita. Tadi dia yang bales.”
WHAT?! TYO?! Tetapi chat aku dan Rudi sangatlah terbuka soal Araz! Curhatanku ada di chat semua! OMG! HOW CAN?!
“LAH? KOK BISA SIH?!”
“Iya, sorry banget, Mi. Dia tadi lagi main game kan, terus ada notif dari lu kayak gitu, ya dia penasaran. Terus udah gua larang-larang kan, eh dia malah bilang kalo gua gak ngasih tau chat lu sama gua, nanti dia bakal nyebarin.”
“Ya kalo kayak gini dia udah tau semua dong!”
“Tapi dia janji gak bakal cepu kok.”
“Gak mungkin.”
“Dia udah bilang demi Allah, Mi. Kalo dia nyepuin itu dosa dia. Lain kali kalo mau chat gua jangan pas baru pulang sekolah ya. Biar aman, pas malem aja, kecuali kalo gua chat duluan. Kalo ada yang chat aneh-aneh gak usah dijawab.”
“Iya. Jangan lupa selalu end chat kalo abis chat ya, Rud.”
“Iya, Mi.”
Sejak itu, aku dan Rudi selalu chat ketika sudah lebih dari jam 7 malam. Tak lupa juga setiap pagi aku menyuruhnya untuk mengakhiri obrolan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Padahal, beberapa hari seteleh kejadian ini, Rudi bilang kalau Tyo membongkar semuanya bersama Arif.
Keesokan harinya setelah bel masuk jam pertama, tiba-tiba Rudi bertanya hal yang tidak masuk akal kepadaku.
“Mi, lu masih suka sama Araz?”
Aku sangat yakin ini bukan Rudi. Selain ini adalah peringatan Rudi yang kemarin, tak mungkin juga ia bertanya sesuatu yang sudah kami bicarakan setiap saat. Aku tak membalasnya juga tidak membacanya.
Ia tak mengirim pesan apapun lagi sampai pulang sekolah. Ketika pulang sekolah, ia mengirim pesan padaku lagi.
“Mi, gua lagi sama Araz nih di tongkrongan.”
“Ini seriusan Rudi bukan.”
“Kenapa nanya gitu?”
“Demi apa dulu ini Rudi?”
“Demi Allah, Mi. Kenapa sih?”
“Tadi pagi lo chat gue, nanyain gue masih suka sama Araz apa enggak. Gue gak yakin banget kalo itu lo. Soalnya ya pasti lo tau lah gimana, orang setiap hari gue chat.”
“Tuh, kan. Gua udah firasat gak enak. Tadi si Jamiel minjem hp gua.”
“Ih, kepo amat si!”
Lalu ia mengirimkan fotomu padaku. Perlu waktu cukup lama untuk membukanya ya. 5 menit baru terbuka fotonya dan aku simpan. Kamu sedang fokus bermain game di ponsel.
“WOOOW! Sibuk amat, Mas. Cakep bat asli wkwk.”
Tiba-tiba, Rudi malah mengirim voice note padaku. Ketika aku membukanya, terdengar ada 3 suara.
“Apaan, apaan? Lebay lu, lebay lu. Hallo hallo hallo.”
Suara 1 : “Apaan, apaan?”. Kemungkinan ini adalah suara Tyo atau Rama.
Suara 2 : “Lebay lu, lebay lu”. Kemungkinan besar ini suara Jamiel.
Suara 3 : “Hallo, hallo, hallo.”. Apa ini... suaramu...?
Apapun ini, aku simpan untuk aku tanyakan nanti pada Rudi. Tak ada suara Rudi di sana, kemungkinan besar dibajak lagi. Jangan-jangan mereka lihat chat sebelum-sebelumnya?!
Tak lama setelah voive note itu, Rudi mengirim pesan lagi padaku.
“Mi. Tadi chat lu udah gua end chat abis ngirim foto. Ternyata lu bales lagi chat-nya. Mereka kan lagi sering minjem hp gua.”
“Kenapa lo pinjemin woy! Mereka tadi kirim voice note gak jelas.”
“Kalo gak gua kasih nanti tambah curiga, tapi yang tau cuma Jamiel kok balesan chat lu. Nanti gua kasih tau dia.”
“Kemaren Tyo, sekarang Jamiel. Gak sekalian Araznya yang baca!”
“Sorry, Mi. Oh iya. Itu tadi yang bilang hallo hallo hallo kan Araz.”
“DEMI APA?!!!”
“Iya, masa lu gak tau suara dia.”
“ENGGAK HAHA. Gimana mau denger suaranya kalo lewat di sampingnya aja cepet-cepet. Tapi beneran itu Araz?”
“Iya, Mi.”
WHOOAA! Aku tak peduli kamu pasti hanya berbicara asal-asalan, tetapi seluruh amarahku meluruh ketika Rudi bilang itu suara kamu! HAHA. Sayang sekali voice note-nya hilang karena data ponselku pernah corrupt. Rudi juga pernah cerita kalau kamu pernah membajak ponselnya dan mengirim pesan padaku, tetapi khusus yang ini, aku sama sekali tidak percaya, hehe.
Tak lama sejak kejadian bajak-membajak itu, semua orang jadi tau siapa orang yang aku suka, bahkan yang tak aku kenal sekalipun. Mereka mengenalku bukan sebagai Emi, anak kelas IX-9, tetapi sebagai Emi, penganggum rahasia Araz yang telah menjadi rahasia umum. Aku tidak mengerti mengapa mereka ikut campur urusan yang bahkan aku sendiri tak ingin mengurusinya. Biarkan itu mengalir begitu saja, tetapi mereka datang sebagai bebatuan yang menghambat aliran. Sehingga aku juga harus ikut merasakan ‘hambatan’nya. Kemungkinan besar, ini adalah awal mula mengapa banyak teman-temanmu yang mengetahui urusanku. Jika itu tidak jadi masalah, ya I don’t care, but it was a big mistake for me. Aku merasa asing di sekolahku sendiri. Rasanya ingin pindah, namun aku tak mungkin mengatakan kalau aku pindah karena alasan ini. Menyukai seorang anak basis lalu di-bully oleh anjing-anjing penjaganya, I mean your friends.
Kejadian bajak-membajak itu terjadi ketika awal pertengahan kelas 9. Kala itu, mereka mengadakan makrab lagi. Makrab yang ketiga. Sebenarnya itu bukan makrab ketiga, tetapi aku tidak tahu sudah berapa kali angkatan mengadakan makrab. Yang aku tau, makrab pertama itu kelas 7 ketika Tika memberikanku fotomu sedang bermain biliar memakai baju biru muda. Yang kedua anggap saja ketika aku ikut. Lalu yang ketiga ini yang ingin aku ceritakan. Di makrab ketiga itu, Rudi hampir ketahuan olehmu tentang kedekatannya denganku. Kamu curiga kalau Rudi lah yang memberitahuku semua tentangmu karena teman-temanmu itu memberitahumu. Hingga kemudian, kamu marah dengan Rudi. Maaf jika aku salah tangkap, tetapi Rudi yang mengatakan itu padaku. Rudi mulai dijauhi olehmu dan beberapa teman-temanmu yang juga baru tau.. Jika itu benar, aku sangat merasa bersalah padanya. Aku mengorbankan teman-temanku sendiri hanya demi tau keadaanmu. Waktu itu Randhi, sekarang Rudi. Akupun memberanikan diri untuk bertanya untuk pertama kalinya dengan omku yang indigo itu. Aku hanya bercerita bahwa ada temanku yang bernama Arazzio Septian yang terlihat sangat membenciku, lalu aku mengirim fotonya padanya. Ia menjawab kalau kamu memang tidak suka denganku, he means, you hate me. Di situ aku benar-benar menangis dan tidak tahu harus berbuat apa. Meminta maaf lagi? Tetapi untuk apa? Maksudku, aku tau dari mana kalau kamu membenciku jika kamu tak bereaksi apapun denganku, tetapi malah dengan Rudi? Jika aku meminta maaf padamu karena membenciku, Rudi malah makin dicurigai. Jadi omku berkata biarkan saja, nanti suatu saat juga reda sendiri. Tadinya aku hanya bertanya sampai di situ, namun malah keterusan gara-gara ia bertanya memangnya kamu siapa. Mengapa aku sangat khawatir jika kamu membenciku. Akhirnya, aku cerita padanya tentang segala hal yang aku alami bersamamu, juga Aca. Ia mengatakan lebih baik kamu daripada Aca, namun ia tak pernah memberikan alasannya. Sekarang aku tau alasannya.
Selain omku yang indigo, waktu itu ada adik kelas yang juga mempunyai kemampuan yang sama. Ya, namanya bocah SMP, pasti penasaran yang berhubungan tentang ini. Akupun bertanya padanya tentang kamu dan Aca. Jawabannya singkat, padat, jelas. Kalian risih jika aku menyukai kalian. Aku bilang, itu bukan aku yang mau, tetapi ia bilang kalian tidak peduli. Kalian cuma tau aku suka dengan kalian sama seperti cewek-cewek yang lain. Sama juga dengan jawaban seseorang yang aku temukan di Secret yang mempunyai kelebihan seperti ini juga. Hey, you both, I’m different. You’ll know later.
Permasalahan selanjutnya adalah soal cyber bullying, aku pernah merasakannya ketika pertengahan kelas 9. Ini yang membuatku pernah ingin menghapus semua media sosial di ponselku dan berjanji ketika SMA nanti aku hanya menyediakan media sosial untuk teman-teman dekatku. Aku menepati janjiku sendiri sekarang. Teror-teror pertama yang aku dapatkan itu di Ask.fm. Namun, pertanyaan di Ask.fm masih dalam batas wajar. Aku tak menjawabnya kala itu dan langsung aku screenshot sebelum aku hapus karena aku tak ingin menjawabnya. Sebagian ada yang kujawab, sebagian tidak. Jadi, pertanyaan yang belum aku jawab, aku jawab di sini saja ya.
“Gantengan Aca atau Araz?” Aca manis, kamu ganteng.
“Impersonate Araz dong.” Ini pertanyaan kurang ajar sih, haha. Boro-boro impersonate kalau chatting aja gak pernah.
“Masih suka sama doi ORANG?” Masih.
“Kapan move on?” Apa itu move on? Kata-kata bullshit yang gak pernah dijalanin?
“Cie yang susah banget move on padahal doinya udah jadi doi orang.” Berisik lu, sekarang udah bukan doi siapa-siapa, EHEHE.
“Udahlah! Ikhlasin dia! MOVE ON WEY!” DARI DULU JUGA GUE UDAH IKHLASIN YA, MBA. SANTAI.
“Aca/Araz?” Dulu ini pertanyaan yang sulit. Sekarang? YA PIKIR AJA SENDIRI.
“Lu friendzone sama gua ya? – Aras 91.” Iya, ada yang namanya sama denganmu anak kelas 91. Haha, ini weird question sih. Udah kelasnya salah, abjad namanya salah, arti kata friendzone juga salah.
“Thought on Ikan” (FYI Ikan itu nama panggilan rahasiaku setiap berbicara tentangmu. Ikan = kamu.) Aku yakin ini teman dekatku yang bertanya karena tak ada orang lain yang tau tentang ikan kecuali teman dekat dan teman-teman ketika kelas 7.
“Thought on Araz.” (Jawaban yang sekarang). Kamu. Kamu itu sumber inspirasi. Kamu juga baik banget. Semoga sukses ya, Araz. (Jawaban yang dulu) Araz? HAHA? Yang suka nyakitin mulu? Wahaha. Ganteng, tapi gak baik. Bikin nangis mulu. Sombong. Banyak anjing penjaganya. Tapi tetep aja sayang.
Berbeda sekali ya? Haha, iya. Setiap orang punya masa ketika ia sedang menjadi orang bodoh.
Beralih dari Ask.Fm, sekarang mereka pindah ke Secret. Waktu itu sedang berkembang aplikasi Secret. Aplikasi untuk membuat status seperti Facebook, Twitter, dkk, namun tanpa nama atau anonymous. Aku senang membuat status di sana. Mencurahkan isi hati yang sangat bimbang. Saat itu Hari Jumat, anak-anak cowok sedang sholat jumat. Setiap Jumat, aku memang sengaja menunggu anak-anak cowok sampai selesai sholat Jumat untuk melihatmu yang baru habis sholat. Sayangnya, setiap aku melihatmu selesai sholat, kamu selalu menggandeng Devi dan mengantarkannya pulang karena rumahnya hanya bejarak kira-kira 20 meter dari sekolah. Tak apa, yang penting aku bisa melihatmu dari kejauhan walapun dengan orang lain. Aku dan teman-temanku sedang duduk sambil memakan jajanan di lobi. Ada anak-anak cewek basis juga yang sedang menunggu anak cowok selesai sholat. Aku sedang gabut menunggumu selesai sholat, lalu aku membuat status “Misguided’15?”. Lalu ada yang mengirim pesan padaku namanya Cold Aquarium.
“Hallo!”
“Hai. Misguided 2015 ya?”
“Gua alumni nih.”
“Oh, hai, Kak. Alumni tahun berapa?”
“2014.”
“Oalaah.”
“Lu kelas berapa?”
“IX-9 Ka.”
“Wali kelasnya siapa?”
“Pak Doni.”
“Oh, iya tau. Guru IPS kan ya?”
“BTW nama lu siapa?”
“Iya Kak.”
“Inisial aja kak, E. Hehe.”
“Oh.”
“Ini gua Araz 95.”
“Lu suka sama gua kan?”
WHAT THE HELL IS THIS?! INI SIAPA?! Kamu tidak mungkin bermain Secret, apalagi masih sholat jumat! Lalu mengapa ia bisa tau! Nama E di kelasku tidak hanya satu!
“Lu suka sama Aca kan?”
“Apasih?”
“Ini siapa?”
“HAHA.”
Tadinya aku mengira teman-temanku sedang usil karena ini sangat tidak lucu. Wajahku sudah panik meksipun aku tau ini bukan kamu. Siapapun itu, artinya dia tau kalau aku menyukaimu dan Aca. Aku melihat teman-temanku tak ada yang sedang bermain ponsel, semuanya sibuk mengobrol dan makan jajanan. Lalu aku melihat ke arah anak basis cewek. Mereka sedang bermain satu ponsel dan tertawa puas. Bukannya aku ingin curiga, tetapi itu memang mencurigakan. Tak ingin terlihat panik, akupun kembali memakan jajananku dengan santai dan mengobrol bersama teman-temanku untuk menghilangkan kepanikan ini.
Tak hanya sekali. Kejadian di Secret itu terjadi 2x. Mereka tau jika aku menyukaimu. Yang kedua sebenarnya masih batas normal, ia hanya menanyakan siapa yang paling ganteng di angkatanku, ya aku menjawab kamu... dan Aca. Lalu ia bertanya apakah aku suka dengan kalian, aku jawab tidak. Sesimpel itu. Namun, yang ketiga, itu sangat parah. Sudah gitu, aku menerima pesan itu ketika pagi-pagi sebelum berangkat sekolah. Mood-ku hancur seharian di sekolah. Ceritanya ada seseorang yang membuat status “Sakitan dibaca doang atau gak dibaca sama sekali?”. Lalu aku ikut komen di bawahnya. “Sakitan diblok. Boro-boro dibaca, kekirim aja enggak, haha.”. Tiba-tiba ada seseorang mengirim pesan padaku, namanya Ancient Planet.
“Anak mana?”
“Misguided.”
“Misguided 15?”
“Iya.”
Karena waktu sudah malam, akhirnya aku tidur dan tidak mempunyai firasat apa-apa dengan anon yang satu ini.
Keesokan harinya ketika aku sedang sarapan, ada notifikasi dari aplikasi Secret. Aku pun membukanya. Lalu jawabannya sangat di luar dugaan.
“Diblok sama siapa? Araz? Aca?”
Ancient Planet took a screenshot.
SHIT! WHAT IS THIS?! Ya Allah, apalagi ini.
“Ini siapa?”
“Bukan kok.”
“Halah. Gak usah bohong deh.”
“Serius. Emang ini siapa?”
“Gua tau kali.”
“Gua kan anak Misguided juga.”
“Ya anak Misguided banyak kali.”
“Bukan cuma dia doang.”
“Ya elah. Semua orang juga tau lu suka sama siapa.”
“Sorry, lo salah orang.”
Lalu ia tidak membalasnya lagi sampai chat itu hilang dengan sendirinya. Oke, oke. Sekarang ini yang mau aku tanya. Kalau mereka tau aku suka denganmu, lalu apa? Apa hubungannya? Dan mengapa harus seperti ini? Aku seperti diteror!
Setelah kejadian di Secret itu, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Sasyi tentang yang sebenarnya terjadi di angkatan ini. Sasyi termasuk anak-anak basis cewek di angkatan, namun ia juga temanku. Tak mungkin ia ikut-ikut berbuat seperti itu. Bukan tidak berani bertanya, melainkan tidak berani mengetahui jawabannya. Jika jawabannya tidak bagus, aku yakin aku akan menangis lagi.
“Syiii.”
“Iya, Mi?”
“Itu mereka tau dari mana, sih?”
“Dibilang satu angkatan udah tau dari dulu.”
“Kan gue pernah nanya pada tau dari mana, terus mereka jawabnya ‘Yaelaa, Syii. Satu angkatan juga udah tau kaleee’ gitu.”
Tuh, kan. Jawabannya pasti tidak baik. Tau dari dulu? Dari kapan? Kelas 7? Kelas 8? Why? How? When? Beribu pertanyaan meletup-letup dari otakku, tetapi aku tak bisa melampiaskannya pada Sasyi. Aku baru kenal Sasyi kelas 9. Ia juga pasti baru mengetahui hal ini ketika aku lumayan dekat dengannya. Mereka tuh mau apa sih?
Itu di media sosial. Secara langsung, menurutku tak jauh parahnya. Setiap aku pergi atau balik dari kantin ke tempat base camp dengan teman-temanku seperti biasa, kamu dan teman-temanmu membuat base camp juga beberapa meter setelah lorong kantin. Itu artinya, aku harus melewati kalian, atau aku memutari sekolahan yang luas ini. Kira-kira perbandingan jarak dari lorong kantin sebelah kiri ke base camp-ku hanya 10 meter, sedangkan jarak dari lorong kantin sebelah kanan ke base camp memerlukan jarak lebih dari 25 meter. Sama saja aku mengelilingi kantin dan sekolah hanya untuk tidak lewat di depanmu dan teman-temanmu yang senantiasa meledekku ketika aku lewat sana. Ada saja perlakuan kalian yang membuatku tak nafsu memakan makanan yang baru saja aku beli. Malah kadang-kadang kalian mendorong Araz atau Aca kepadaku, asik banget ya kalian? Selain fisik, ada juga yang verbal. “Araz”, “Eh, Araz. Ada yang lewat nih.”, “Uuuu, awas jatoh.”, “Shhtt, eh, eh. Ada Araz nih.”, ”Dicariin Araz.”, “Serius amat bawa makanannya.”, “Nengok dong, nengok.”, Sebongkah kata-kata simple yang mungkin menurut kalian lucu dan biasa saja. Malah, pernah salah satu dari kalian berbisik di tengah perjalananku membawa makanan, “Milih Araz atau Aca?”. Apakah kalian tau apa akibat dari kata-kata itu? Wajahku biasa, tetapi batinku tersiksa. Bagaimana rasanya kalian jalan sendiri atau berdua atau bertiga (kalau sendiri aku lebih memilih memutari sekolah), lalu diledek oleh anak-anak cowok basis yang jumlahnya lebih dari 10? Aku tidak mengenal kalian. Mengapa kalian sok tau mengenaiku? Lucu ya? Lucu? Bahagia melihat orang lain meringis? Menahan salting di depanmu saja aku masih kesulitan, ditambah diledek seperti itu. Cara jalanku berubah. Tidak menatap ke depan dan melihat apakah ada sesuatu di depan yang dapat membuatku celaka. Aku menatap ke bawah, ke tanah. Berharap lebih baik aku dikubur bersama tanah. Tak peduli di depanku ada suatu halangan karena mereka sudah cukup menghalangi jalanku untuk bahagia.
Mulai saat itu, aku selalu membawa bekal dan menitip teman kalau ia ingin ke kantin. Aku tak berani lagi ke kantin. Lain di lorong tempat base camp mereka, lain juga ketika di kantin. Namun, di kantin tidak lebih parah dari di lorong karena di kantin ramai, suasananya berisik. Jika mereka meledekku atau semacamnya, aku bisa berpura-pura tidak dengar atau beralih ke lain tempat. Pokoknya, setiap sudut di sekolah, aku tidak pernah tenang. Seperti diikuti oleh anjing-anjing penjaga. Ya, aku selalu menganggap mereka seperti itu. That’s why aku takut anjing sampai sekarang.
Tak jarang juga ketika aku sedang sholat bersama teman yang lain, sepatunya memang di taruh di luar. Aku memakai sepatu yang sama karena aku memang kurang suka berganti-ganti sepatu. Jika aku nyaman, ya aku pakai terus. Selesai sholat, aku sering kehilangan sepatu. Padahal, aku menaruhnya di sebelah sepatu temanku. Sepatu temanku aman-aman saja di tempatnya. Aku mencari-cari sepatuku dibantu oleh temanku. Terkadang, sepatunya ditaruh sampai di tangga-tangga atau di tengah dan tertendang oleh orang-orang. Aku masih memaklumi karena baru terjadi dua kali. Aku mengira temanku yang tidak sholat yang mengumpatkan sepatu. Namun, mengapa hanya aku? Teman mereka kan ada banyak, mengapa hanya aku yang diumpatkan? Lagipula untuk apa?
Hingga suatu hari, sepatuku hanya sebelah yang hilang. Aku mencarinya dari balik gerbang mushola. Tiba-tiba temanmu lewat dan melempar sesuatu. Teman-temanku curiga dan menyuruhku untuk melihat apa yang mereka lempar. Ternyata benar, sepatuku lah yang mereka lempar ke tengah-tengah jalan lorong masjid. Rasanya aku ingin menangis saat itu juga. Semua yang aku lakukan di sekolah ini terasa salah. Sejak saat itu, aku meminta sepatu baru kepada orang tuaku. Mereka sedikit bingung karena aku sangat jarang meminta dibelikan sepatu. Setelah berganti sepatu, untuk meminimalisasi kejadian berulang, teman-temanku menumpuk sepatu-sepatunya di atas sepatuku agar mereka tidak melihat sepatuku. Terkadang juga aku menitipnya di base camp bila ada salah satu temanku sedang tidak sholat. Jadi, aku nyeker sepanjang jalan dari base camp sampai masjid sekolah yang lumayan jauh dari base camp. Padahal, ketika aku sholat, aku selalu mendoakanmu, tetapi yang aku dapatkan malah hal-hal seperti ini dari teman-temanmu. Apalagi ketika kamu sholat tepat berada di depanku karena aku berada di shaf paling depan cewek dan kamu ada di saf paling belakang cowok. Aku berdoa begitu khusyuk. Semoga yang di depanku ini adalah jodohku, HAHA. Enggak, enggak, aku berdoa supaya kamu bisa berubah ke jalan yang lebih baik, begitu pula aku yang sedang dirundung masalah.
Tak hanya di mushola dan kantin, bahkan di kelas pun juga! Anak-anak KX (geng basis cowok) sedang berkumpul di depan 98. Masalahnya adalah kelasku berada di sebelah 98. Otomatis aku harus melewati mereka, tetapi aku sedang sendirian. Kamu memang sedang tidak berada di sana, tetapi tetap saja aku tak mau. Aku tak ingin mencari masalah. Jadi, lebih baik aku memutari sekolahan melewati 9 kelas dan ruang guru dibanding aku melewati 1 kelas, namun banyak temannya. Ketika aku sudah sampai di kelas 93, aku merasa mereka melihat ke arahku. Lalu aku menoleh pada mereka yang sudah jauh di seberang. Ternyata benar, mereka semua sedang melihat ke arahku. Aku harus punya alasan lagi! Akhirnya aku masuk ke kelas 92, menemui Tata dan Natia lalu meminta mereka mengantarkanku sampai ruang guru.
“Please, banget. Sumpah gua takut. Ayo dong, bentar lagi masuk.” Mohonku ketakutan.
“Iya, Mi. Bentar lagi. Lagi nyalin tugas.” jawab Tata.
Akhirnya Tata mau mengantarkanku sampai ruang guru meskipun aku harus menunggu lumayan lama sampai dia selesai menyalin tugas. Gak papa sih, semakin lama, mungkin mereka sudah bubar.
Setelah dari ruang guru, aku berjalan sendiri ke kelasku. Mereka masih ada di sana. Semoga mereka tidak menyadari keberadaanku. Aku berjalan cepat dari ruang guru menuju kelasku sambil menunduk. Lalu ketika aku hampir sampai kelas, ternyata mereka menyadari keberadaanku.
“Yeu, muter.” sindir salah satu dari mereka.
“Ya muter, yaaa.” ledek mereka saling bersautan.
Shit. Kenapa masih ketauan. Ah! Aku lewat depan mereka salah, aku muter supaya gak lewat depan mereka juga salah. Terus mereka maunya apa? Aku terbang? Benar-benar semua yang aku lakukan di sekolah ini itu salah di mata mereka. Perasaanku bukan hanya urusan aku, Tuhanku, dan kamu, tetapi juga urusan mereka.
Kalau aku sedang jalan lalu di ujung sana ada kamu, otomatis aku balik dong, daripada lewat di depanmu. Eh, tiba-tiba ada salah satu anak KX yang meledekku.
“Yaaa, gak jadi balik yaaa.”
Rasanya ingin aku sumpal mulutnya pakai sepatuku yang sering mereka umpetin.
Waktu itu, aku sedang cerita dengan Natia. Nah, Natia ini punya mantan anak basis juga, namanya Fazran. Fazran sedang chat dengan Natia, pokoknya tentang Araz. Lalu Natia jawab “Araz ya?”, ia jawab “Tau aja lu.”, “Iya, tau dari temen gue.”, “Emira ya?”, “Hmm, iya. Kok tau?”, “Iya, dia minta foto mulu.”. IIIIH L kok dia tau sih? Pasti Fino nih. Ah, fix banget satu angkatan pasti tau soal ini!
Ada satu lagi. Berbentuk video. Sebenarnya aku tak ingin kegeeran atau so’udzon lagi dengan teman-temanmu. Namun, dalam video itu teman-temanmu seperti menirukan gayaku. Cara aku menyapa temanku yang bernama Tyo yang menjadi pelaku di video itu, caraku menguncir rambutku, lalu kalian tertawa sangat lepas, terutama Aca. Aca berada di video itu dan tertawa sangat bahagia. Tadinya, aku menyimpan video itu karena ada Aca di dalamnya. Tanpa kusadari, ternyata ada pesan-pesan di bawah video itu.
Rama : “HAHAHAH NGAKAK.”
Lio : “Jahat wkwk.”
Araz : “Eh, kaco. Kalo orangnya tau gmn?”
Ketika kamu mengatakan seperti itu, aku jadi merasa bahwa aku lah yang ada di dalam video itu.
Akbar : Tyo tuh kaco, wkwk!
Paras : Au tuh wkwk.
Kurang lebih seperti itu chat-nya karena aku tak memiliki bukti screenshot. Saat itu aku belum menyadari apa pesan dari video itu karena mereka memang suka membuat video lucu. Tak ada kata lain selain bersabar. Sampai sekarang aku masih menyimpan videonya dan berulang-ulang aku setel. Apakah ini hanya firasatku saja atau memang benar nyatanya?
Belum lagi anak-anak ceweknya yang berbicara ketus tentang ini atau setidaknya menatapku dengan tatapan kurang suka. Aku yakin, anak-anak cewek itu yang menerorku di sosial media. Meledek semua postinganku di Line. Waktu pertama kelas 9 saat aku belum terlalu dekat dengan Iday, tiba-tiba dia, Rizna, dan Milea datang ke mejaku lalu bertanya padaku.
“Lo Emira ya? Yang suka galau di timeline.” tanya Milea sambil tersenyum meledek.
“Hah? Enggak, kok.” PANIK setengah mati.
“Iya galauin Araz mulu.” sahut Rizna tanpa bersalah.
Lalu mereka bertiga tertawa melihat ekspresiku yang panik.
Sekarang aku mengerti karena itu memang tindakan bodoh. Posting sesuatu yang berkaitan dengan perasaan. Seharusnya aku sadar bahwa tidak semua orang yang berteman denganku di sosial media itu baik dan peduli. Mereka salah satunya. Menambah teman denganku di sosial media hanya untuk memantau kegiatanku lalu dijadikan bahan omongan. Maaf, jika aku so’udzon, tetapi ketika bertemu dengan mereka, aku merasa bahwa aku adalah orang yang diasingkan.
Aku kira, semua orang yang menyukai anggota anak basis seperti teman-temanmu itu memang harus melewati tahap ini. Temanku juga suka dengan anak basis, bahkan seseorang yang lebih aktif di angkatan daripada kamu. Kok dia gak di-bully? Why? Why just me? Atau karena aku yang terlalu tidak tahu diri untuk menyukaimu? Araz, banyak yang menyukaimu. Aku juga menemukan satu cewek yang suka denganmu. Namanya Ani, dia teman sekelas Salina anak 96. Ketika Hari Valentine, dia memberikanmu cokelat dan semua orang tau. Dia juga anak yang terkenal pernah mengadukan anak-anak mencotek dan pernah tidak disukai oleh satu angkatan. Namun, dia tidak menerima hal yang sama denganku? Apa aku lebih tidak disukai di angkatan? Memang aku pernah salah apa? Salah menyukaimu? Iya? Kalau memang salah, tolong dibenarkan. Bisa gak? Enggak kan? Aku sendiri aja gak bisa, apalagi kamu, apalagi teman-teman kamu. Melakukan ini padaku tidak membuatku bisa move on dari kamu. Ini malah membuatku semakin menderita dan berpikir aku adalah orang yang tidak berguna di dunia. Lebay? Iya. Silakan merasakan sendiri bagaimana sakitnya menyukai seseorang, tetapi dunia melarangmu padahal kamu hanya diam dan tidak berlaku aneh-aneh.
Kamu selalu bersama dengan anjing-anjing penjagamu itu. Namun, terkadang kamu juga sama teman-teman kelasanmu. Aku jauh lebih senang bila kamu bersama teman kelasanmu karena mereka tak pernah mengangguku. Arandy, salah satu teman kelasanmu yang selalu di sampingmu. Waktu aku sedang menunggu Hana dan Pipin. Pipin yang paling sering meledekku ketika kamu lewat, maka dari itu aku sangat sering bertengkar dengannya, haha.Tiba-tiba kamu dan Arandy melewati kami.
“Emira, Emira.” ledeknya memanggil-manggil namaku.
Arandy yang sudah melewatiku bersamamu tiba-tiba menoleh ke belakang dan ke arahku.
“Oh, itu yang namanya Emira, Raz?” Suaranya masih terdengar jelas di telingaku.
Aku yang sedang marah-marah dengan Pipin tiba-tiba terdiam dan mulai berpikir mengapa ia menanyakan hal itu padamu. Kamu cerita tentangku? Atau anjing-anjing penjagamu itu yang bercerita padanya? Serius, ini masih menjadi 3 pertanyaan terbesar tentangmu yang belum aku temui jawabannya sampai sekarang. Aku masih mengincar jawabannya. Ketika SMA, ternyata aku satu sekolah dengan Arandy. Ia juga jurusan IPA. Aku sangat berharap dapat sekelas dengannya, lalu ketika sudah akrab, aku bisa bertanya tentang itu. Namun, ternyata baru awal kelas 10 dia sudah pindah sekolah dan sampai sekarang aku belum mendapatkan jawabannya.
Soal kamu dan Devi, itu kebalikan dari apa yang aku katakan ketika kelas 8. Waktu favoritku adalah ketika jam kamu olahraga. Sekarang, jam olahragamu berbarengan dengan jam olahraga Devi. Pada saat yang sama, itu adalah jam istirahat pertama. Hari Rabu. Hari yang paling aku benci karena selalu melihatmu dan Devi berpacaran tepat di depanku. Aku dan teman-temanku sudah memiliki base camp di tempat ini dari kelas 8, lalu kamu memilih tempat berpacaran dengan Devi tepat di serong kami yang jaraknya hanya 3 meteran. Sakit? Ya iyalah. Aku bisa melihatmu bermesraan dengan Devi dari jarak yang sangat dekat dan pandangan yang sangat jelas. Bahkan apa yang kalian bicarakan kadang-kadang terdengar saking dekatnya. Aku makan bekal sembari makan hati. Ada saja alasanku untuk menghindar dari pemandangan ini. Sakit sekali rasanya. Namun, aku bahagia bila kamu bahagia, tetapi terkadang kamu juga nyebelin. Sengaja meledekku agar cemburu. Kamu kira perasaan sebercanda itu? Menurutmu bercanda, menurutku bencana. Aku tak pernah suka pedas, namun setiap Hari Rabu aku selalu membeli makanan atau cemilan pedas. Untuk apa? Untuk menutupi rasa sakit yang menancap di sini.
Ada suatu saat ketika aku sedang makan dan tak sengaja melirikmu, lalu kamu tau aku sedang menatap ke arahmu. Kamu tersenyum manis padaku dan membuatku terbang. Bibir ini refleks tertarik untuk membalas senyummu itu. Tiba-tiba, kamu menyuapi Devi lalu merangkulnya sambil tetap melihat ke arahku dan tetap tersenyum. Tak ada yang dapat aku lakukan selain menunduk dan membuang muka. Itu jahat. Jahat sekali, Raz.
“Mi, mata lo merah?”
“Iya, pedes banget nih, Mba Jue keripiknya. Tumben.” alasanku berbohong.
Mereka menatapku dengan tatapan bingung karena Mba Jue tidak menjual keripik, haha. Bodoh.
“Udah, Mi. Jangan diliatin.” Akhirnya ada yang menyadari hal ini.
“Gua gak liatin, tapi keliatan.” Nadaku sudah mulai serak.
“Ututu, tayang. Udah, abisin dulu makannya.”
“Udah abis, kok. Makan hati kan?”
“Haha, Mi. Udah, Mi.”
“Apanya udah, sih? Gue mau naik ke kelas aja!” Aku membereskan bekalku dan segera berjalan menuju tangga.
Ternyata tangganya masih dikunci. Lalu aku kembali ke base camp.
“Masih dikunci kan?”
“Iya.”
“Udah sini duduk. Minum-minum.” tawaran Salina.
Kamu masih di situ bersamanya. Hmm... sangat sakit. Sampai kapan aku harus menahannya? Waktu pulang sekolah masih lama, ini baru istirahat pertama. Tidak mungkin aku menumpahkannya di kelas.
Tak hanya itu, kamu sepertinya memang sengaja membuatku seperti itu bersama Devi. Merangkul Devi, menggenggam tangan Devi, dan melakukan tindakan-tindakan romantis padanya di saat aku sedang lewat. Bahkan, kala itu Devi sampai bingung kenapa tiba-tiba kamu menarik tangannya lalu ketika aku sudah lewat kamu melepasnya lagi. Meskipun seperti itu, aku tak pernah sekali pun membenci Devi. Tak pernah. Malah aku sayang dengan dia. Dia baik. Entah apa yang aku rasa, namun tak ada sedikit pun firasat buruk padanya, semuanya baik. Berbeda dengan mantan-mantanmu, kali ini aku sangat mendukungmu dengannya. Meskipun hati ini pastinya sakit, tetapi aku merasa kamu bahagia. Aku merasa kamu benar-benar menyayanginya, that’s why aku juga sayang sama dia. Ketika cewek lain membenci dan berbicara buruk tentang pacar cowok yang dia suka, aku malah sebaliknya. Mungkin aku seperti itu terhadap mantan-mantanmu, tidak menyukai mereka dan berbicara buruk tentang mereka. Devi berbeda. Aku tak melihat sisi buruk padanya. Setiap ada teman-teman yang bertanya tentang Devi padaku, pasti aku menjawabnya dengan senyuman dan pujian. “Dia cantik.”, “Dia baik.”, “Gue setuju dia sama Araz.”, “Semoga mereka langgeng.”. Itu yang selalu aku ucapkan. Bukan munafik, tetapi aku memang setuju. Belum tentu aku bisa membuatmu bahagia seperti dia.
Ketika ada demo eskul untuk kelas 7, kamu dan teman-teman futsalmu tampil meskipun hanya sebentar. Aku tak dapat merekamnya karena saat itu aku mengumpat di kelas HAHA. Sebelumnya, ketika anak-anak basis semua di bawah, aku dan teman-temanku hanya berdiri di balkon 97. Aku sibuk melihatmu yang sedang duduk, sedangkan Tika yang sedang memegang pengeras suara dan menyuruh semua kelas 9 turun. Tiba-tiba, ia melirik ke arahku dan teman-temanku.
“Emira, ayo turun. Jangan diliatin doang. Araznya di bawah nih.” Kata-katanya spontan.
Dengan cepat aku langsung merunduk sebelum kamu dan teman-temanmu itu melihat ke arahku. Panik, panik, panik. Aku berjalan merangkak dari kelas 97 sampai 99 agar tidak terlihat dan disuruh turun lagi. Hell, yeah, Tika. Mengapa kamu tidak bisa menjaga mulutmu!
Beberapa saat kemudian, mungkin futsal sudah selesai.
“Ayo, ke bawah aja.” ajakan Pipin dan Salina.
“Gak mau, please. Gue di kelas aja.Gak mau ke bawah.” mohonku masih panik.
“Ke kantin aja, gak usah ke lapangan.” sahut Hana.
“Futsal udah selesai, Mi.” sahut Tata.
Tuh kan, gak papa lah ya? Kerongkonganku haus.
Akhirnya kami pun turun ke kantin. Masih banyak orang di lapangan. Aku berjalan cepat dan berada di posisi paling pojok agar tidak terlihat. Sayang sekali aku tidak melihatmu karena Tika tadi. Padahal kemungkinan besar, ini adalah kesempatan terakhirku melihatmu memakai baju futsal sehabis bermain. Untunglah, kantin sedang sepi, hanya kami berenam. Lalu aku membeli minuman bersama Tata dan Kania.
“Bu, es teh satu.”
“Milo satu.” ujar seseorang dari sampingku secara tiba-tiba sambil menyodorkan uang pada ibu penjual minuman.
Refleks aku menoleh ke seseorang yang berada di samping kiriku.
Ternyata itu kamu! WOOOWW! HAHAHA! You’re so handsome as hell. AAA! Terima kasih kepada siapapun yang tadi mengajakku ke kantin! Tata dan Kania hanya tersenyum sambil tertawa kecil melihat wajah bodohku yang pasti sedang blushing.
“Ini, milo.”Ibu penjual minuman memberikanku milo.
“Eh, ini punya dia....” ujarku dengan sangat gugup.
Ini punyamu. Kenapa dikasih ke aku? HAHA, menyebalkan sekali ibu ini.
Lalu aku memberikan milo itu padamu karena sudah terlanjur berada di tanganku, HAHA.
“Makasih.” ujarmu dan langsung pergi keluar kantin.
Aku belum menjawabnya sampai kamu benar-benar tidak berada di kantin.
“SAMA-SAMA, SAYANG! HAHAHA.” jawabku dengan keras sambil tertawa bahagia.
“HAHA, giliran orangnya udah pergi baru jawab!” ledek Kania.
“Hehehe. Abis gue gak bisa jawab tadi, haha.”
“Kamu suka sama dia ya, Dek?” Pertanyaan yang tiba-tiba muncul dari ibu penjual minuman.
Mengapa tiba-tiba ia bertanya seperti itu coba?
“Hah...?”
“Soalnya dia ganteng banget, pasti banyak yang suka. Kalo saya masih seumur kalian juga saya suka sama dia.” curhatnya.
Loh, Bu? Sehat, Bu?
“Haha, enggak, Bu. Saya emang suka sama dia, tapi bukan karena dia ganteng. Makasih, BTW es tehnya.” jawabku lalu pergi menghampiri Salina, Hana, dan Pipin yang sedang membeli mie goreng.
Setelah itu, aku ditemani Natia untuk menonton dari lantai 3, di kelas 8 karena aku masih takut kalau nonton dari balkon koridor kelas 9. Demo eskul yang terakhir adalah demo eskul cheers. Eskul yang paling terkenal dan paling ditunggu-tunggu. Kamu berada di barisan paling depan ketika Devi dan teman-temannya tampil. FYI, Devi adalah kapten cheers angkatan 2016. Tika adalah kapten cheers angkatan 2015. Memang semua cewek yang berhubungan denganmu itu anak cheers, ya, sedangkan aku hanyalah penonton dari kejauhan. Ada lagu Taylor Swift yang berjudul You Belong With Me. Itu sangat melambangkan aku dan Devi. Sayangnya aku baru tau lagu itu ketika aku kelas 10 SMA. Potongan liriknya seperti ini.
But she wears short skirts
I wear T-shirts
She’s cheer captain
And I’m on the bleachers
Itu lagu yang benar-benar relate denganku sekarang. Just, how... duh.
Di pertengahan cheers, aku memang hanya melihat ke arah Devi dan kamu. Tiba-tiba Devi terjatuh dengan ketinggian yang cukup tinggi. Lalu entah mengapa aku yang panik. Itu aku langsung refleks berjalan menuju tangga.
“Emi! Mau kemana?”
“Itu Devi jatoh, ya, Nat!” jawabku panik.
“Dia baik-baik aja, kok. Udah biasa jatoh kayak gitu.” Natia menenangkanku.
Oke, sudah biasa. Kasihan juga ya. Kami lanjut menonton.
Kedua kalinya Devi terjatuh, namun ia segera bangkit lagi. Lalu ia jatuh lagi yang ketiga kalinya, kali ini ia terdiam sedikit lama. Entah mengapa tiba-tiba aku makin khawatir dan panik.
“Natia! Itu dia jatoh mulu! Udahan, dong! Lama banget sih, cheers-nya!” Suaraku sedikit serak.
“Ih, Emi. Jangan nangis.”
“Enggak, Nat.”
“Lo nangis, Mi. Kenapa? Dia bukan siapa-siapa lo juga.”
“Tapi dia orang yang disayang sama orang yang gue sayang, Nat. Gue yakin Araz juga khawatir banget. Pasti dia lebih khawatir dari gue lah!”
“Araz santai-santai aja kok itu keliatannya.”
“Gak mungkin lah, Nat. Dia kan pacarnya!”
Akhirnya Natia merangkulku dan menenangkanku.
“Udah, Mi. Dia baik-baik aja, kok. Cheers emang kayak gitu. Araz juga ada di sana. Kalo Devi kenapa-kenapa nanti Araz juga pasti nolongin. Percuma juga lo khawatir, dia bukan siapa-siapa buat lo. Sayang air mata lo.”
“Iya, Nat.”
Aku berharap Devi baik-baik saja. Aku tak mau kamu juga khawatir dan cemas karena aku juga merasakannya.
Selesai dari demo eskul, murid-murid boleh pulang. Seperti biasa, aku, Kania, dan Natia, yang selalu pulang bareng kalau aku tak dijemput, kami jajan dulu di depan sekolah. Natia dan Kania menemaniku membeli cilor. Tiba-tiba, Kania menutup mataku dengan tangannya yang basah dan dingin sehabis memegang es teh.
“Ih, Kani—“ Ketika aku menyingkirkan tangannya, ternyata tepat di depanku ada kamu dan Devi yang sedang berjalan berdua menuju rumah Devi. Aku tak jadi menyingkirkan tangannya dan menaruhnya lagi di mataku.
Biar saja dingin, daripada mataku panas melihat kalian. Biar saja basah, toh nanti juga basah sendiri terkena air mata, hehe.
“Nyesel kan udah nyingkirin tangan gue.”
“Iya, Kan.”
Melihat kalian tersenyum, aku jadi ingin tersenyum. Tersenyum miris. Aku sudah biasa kok melihat kamu berpacaran. 3 tahun ini kan, kamu jomblo hanya 3 bulan. Walaupun sempat LDR 1 tahun dengan Nafiyya, tetap saja kamu berpacaran di sosial media. Dari kamu jomblo, pacaran dengan Afi, putus, pacaran lagi dengan Nafiyya, putus lagi, pacaran lagi dengan Afril, putus lagi, dan sekarang pacaran lagi dengan Devi. Semoga langgeng.
Aku sangat sering melihat kalian pulang berdua, bahkan berangkat berdua. Parkiran motormu memang tak jauh dari rumahnya, jadi mungkin setelah kamu parkir, kamu menunggu di depan rumahnya lalu berjalan berdua ke sekolah. Aku ikut senang melihatnya. Setiap pagi melewati kuburan, ditambah lagi melihat kalian jalan berdua menuju sekolah. Kurang suram apalagi pagiku setiap hari?
Padahal, setiap kamu ada masalah dan diharuskan ke BK, aku setia menunggumu sampai keluar dari BK. Biar saja rumahku jauh dan belum ada ojek online kala itu. Ya, dibilang bodoh, mungkin. Namun, aku senang kok menjalaninya. Memang cinta itu buta. Membutakan segala hal sampai aku menjadi orang bodoh yang tidak tau mana yang berguna, mana yang sia-sia. Yang aku yakinkan adalah suatu saat semua ini takkan sia-sia. Mungkin bukan denganmu, tetapi dengan orang lain. Siapa yang tahu?
Entah mengapa, ketika di sekolah aku melihatmu, rasanya aneh. Jadi ini, orang yang ada di doaku? Jadi ini, orang yang membuatku nangis setiap malam? Jadi ini, orang yang selalu menyakitiku? Jadi ini, orang yang selalu ada di mimpiku? Jadi ini, orang yang aku sayang? Oh. Jadi ini. Rasanya tidak pantas.
nice story :)
Comment on chapter Prolog