Saat upacara adalah saat yang selalu aku nantikan dari awal kelas 7 sampai akhir kelas 9. Sayangnya, ketika kelas 7 aku tak bisa melihatmu sama sekali karena jauh. Bagaimana bisa melihat jika jarak antara kelas kita ada 7 kelas. Paling tidak, batang hidungmu aku lihat, hehe. Kamu terlalu mancung. Atau poni rambutmu yang selalu kamu benarkan itu dan membuat tiap orang yang melihatnya meleleh. Pagi ini, aku sama sekali tidak melihatmu di ujung sana. Mungkin memang aku tidak ditakdirkan untuk melihatmu lagi.
Selesai upacara, Tata sangat bahagia saat masuk kelas. Ia bilang kalau kamu sakit. Ia jadi bisa menjagamu dan melihatmu setiap saat karena kamu tidak sadar.
“Untung gue gak maksa lo jadi PMR. Jadi, cuma gue yang bisa liat Araz.”
“Ya, gak papa. Gue emang gak minat di situ kok.”
“Semoga dia sakit terus biar gue bisa liat terus.”
“Janganlah! Egois banget!” tegurku kesal.
“Lah? Cemburu ya? Haha.”
Cemburu tidak seperti ini. Jahat sekali dia. Lebih baik aku tidak melihatmu daripada melihatmu di kala kamu sedang sakit. Cepat sembuh ya, Raz!
Waktu itu, Bila pernah menghampiriku dan bertanya padaku pertanyaan yang tak masuk akal. Aku menjawabnya sambil tertawa.
“Mi, kalo lo disuruh milih, gak ketemu Araz 3 tahun atau lo remed terus di semua pelajaran tapi ketemu terus, lo milih yang mana?”
“Gila kali, ya mending gak ketemu Araz 3 tahun lah!”
Jika waktu diulang, mungkin aku juga akan menjawab itu karena pendidikan itu penting. Namun, itu bukanlah pertanyaan bodoh seorang Bila yang suka bercanda. Pertanyaan itu seperti firasat. Firasat saat SMA. Aku terpisah denganmu selama 3 tahun, umm... pasti lebih. Untungnya, nilaiku tak pernah remed, ya itu kalau aku tak salah jurusan. Sayangnya aku salah jurusan dan nilai pelajaran minatku malah remed semua, haha. Aku berusaha tak pernah remed atau setikdanya kalau remed masih standar karena aku ingin mengejar beasiswa. Aku tau takkan sanggup aku ke sana, kecuali ada orang atau perusahaan yang berbaik hati memberikan beasiswa padaku untuk menyusulmu. That’s why aku mempertahankan nilaiku. Kalau aku mengingat pertanyaan ini kembali, seharusnya aku tidak menjawabnya, apalagi dengan nada pede karena sebenarnya aku merasa di posisi yang salah. Seharusnya aku tak menjawab pertanyaan itu, biarlah waktu yang menjawabnya.
Singkat cerita, saat class meeting setelah UAS semester 2, kamu bermain futsal sambil memakai baju putih merah bernomor 12 punya Ka Farit. Mengapa aku masih ingat? Karena aku masih menyimpan videonya. Aku merekam itu secara diam-diam di lantai 2. Bermodalkan zoom kamera yang buat gambar jadi pecah, juga suara teman-temanku yang meledek “Gak usah senyum-senyum deh, ahaha.” membuatku selalu tersenyum ketika melihat video itu. Memang wajahmu tak terlihat jelas, namun itulah kenang-kenangan yang dapat aku buat. Ketika melihatmu bermain futsal untuk yang pertama kalinya, aku benar-benar melting. Tak pernah sebelumnya aku semelting ini. Bahkan berdiri saja gemetar. Aku tak mengerti mengapa bisa seperti ini. Saat merekam saja tanganku shaking parah. Hanya kamu yang dapat membuatku seperti ini, Raz.
nice story :)
Comment on chapter Prolog