"Gue mau... minta maaf soal yang tadi," ucap Sherin, mengakui tujuannya ke sini. "Tadi gue keterlaluan, gue be—"
"Udah, udah," potong Angga.
"Angga, gue belum selesai ngomong."
"Udah, ah, gak penting. Mending sekarang lo ikut gue aja." Angga mengunci pintu kamarnya, dengan cepat.
"Kemana?"
"Cari yang seger-seger."
"Malem-malem gini?"
"Iya. Kamu mau ikut gak?"
"Mau, tapi..."
"Cepet!"
Dan pada akhirnya, Sherin hanya pasrah saja mengetahui tangannya di gandeng—setengah digeret Angga—keluar hotel, dan menembus jalanan kota ini dengan motor sewaannya.
**
Angsle dan Ronde Titoni Malang.
Di tempat itulah, kedua manusia memutuskan tuk berkuliner malam. Mereka berada di tempat yang super-duper ramai di malam hari. Tempatnya kecil, hawa gelap malam hari menyelimuti, namun kesesakan dari para pembeli melimpah ruah, membuat dua makhluk tersebut tak sabar tuk menikmati nikmatnya ronde dan angsle titoni yang super fenomenal ini.
Setelah mereka duduk, keduanya kembali sibuk dalam pikiran masing-masing. Angga berpikir tentang dirinya, sementara Sherin berpikir tentang menu yang ada.
"Angsle tuh apa, sih?" tanya Sherin, membuka pembicaraan.
"Angsle itu campuran dari potongan roti tawar, kacang hijau, ketan putih, pethulo, mutiara yang disiram dengan kuah santan manis yang hangat." Angga mendeskripsikan bentuk angsle. "Bedanya sama ronde, cuma di kuah, sih. Kalau ronde, kuahnya pakai air jahe."
Sherin manggut-manggut, ber-oh-ria. "Kalau ronde, gue udah pernah coba, sih.."
"Ya udah, coba angsle, gih."
"Lo mau apa?"
"Gue mau lo, boleh nggak?"
Deg. "Hah?" Sherin membulatkan matanya.
Tawa Angga meledak. "Bercanda, elaaah! Serius amat hidup lo!"
"Biarin! Daripada lo, nggak pernah serius!"
"Tapi gue serius soal perasaan," balas Angga.
"Buktinya apa? Sampai sekarang aja, lo masih jomblo."
"Itu karena gue nunggu." Angga menghela nafas. "Gue bukan tipe perusak hubungan orang. Jadi, gue lebih memilih nunggu."
Deg. Sherin tau maksud Angga. Yang Angga tunggu adalah Sherin. Dan baiknya, Angga tak pernah berusaha merusak hubungan Sherin dan Marcell. Angga hanya memperingatkan, bukan merusak, dan Sherin paham betul akan hal itu.
"Gue pesen dulu ya ke penjualnya," kata Angga, sembari berlalu.
**
Beberapa menit berlalu. Hujan turun menghiasi daratan kota Malang ini. Malang yang sudah dingin, menjadi semakin dingin saja. Pas sekali, ronde dan angsle ini bisa menjadi penghangat.
"Enak nggak?" tanya Angga.
Sherin menganggukan kepalanya, sambil menyeruput kuah angsle dari sendoknya. "Enak. Menurut gue, enakan angsle daripada ronde. Mau coba?"
"Boleh."
Mereka saling mencicipi hidangan satu sama lain. Angga mencoba angsle milik Sherin, dan Sherin mencoba ronde milik Angga.
"Rondenya lebih enak dari ronde yang pernah gue makan di Jakarta," kata Sherin, usai mencicipi ronde milik Angga.
"Sama aja menurut gue. Kalau angsle, nah, beda," balas Angga. Menurutnya, ronde ya rasanya ronde, seperti ronde pada umumnya dan tak ada yang menjadi pembeda.
"Beda, ah." Sherin tetap ngotot.
"Suasananya aja yang bikin beda," balas Angga.
"Iya, kali, ya. Suasana Malang, su--"
"Beda, karena ada gue," kata Angga, memotong ucapan Sherin.
Sherin ternganga. "Eh?"
"Iya. Keberadaan seseorang, bisa mempengaruhi sekitarnya, loh." Angga mengaduk ronde di mangkoknya yang nyaris habis. "Ronde sama angsle-nya, enak?"
"Enak," jawab Sherin.
"Itu karena lo bahagia di samping gue."
Glek. Sherin menggeleng. "Kepedean lo! Ronde sama angsle-nya kan emang enak! Lo sama sekali nggak ngaruh buat kenikmatan minuman-minuman ini, kali."
Angga terkekeh. "Tuh kan, lo serius amat. Serba teoritis. Nggak bisa diajak bercanda."
"Karena nggak semua hal bisa dijadikan candaan. Contohnya, perasaan." Sherin berbicara cepat. Nada suaranyapun mengeras.
"Santai, Sher."
Sherin menggeleng. "Gue tegaskan lagi, Ngga.. Please, lo jangan terus-terusan berharap ke gue."
"Kenapa? Toh, gue nggak suruh lo putus, kan?"
"Ya tapi tetep aja." Sherin mendesah putus asa. "Dengan lo berharap banyak ke gue, sama aja lo mengharapkan gue putus sama Marcell."
Jelas, lah! Gue sayang banget sama lo. Dan gue menunggu momen dimana lo dan Marcell putus, batin Angga berbicara.
Sherin menatap Angga dalam-dalam. "Berhenti berharap sama gue, Ngga.."
"Tapi lo nyaman sama gue?"
"Nyaman.."
"Gu--"
"Tapi nyaman bukan berarti harus bersama, kan?" balas Sherin. "Maaf kalau kata-kata gue bikin lo sakit hati, padahal kita baru aja berdamai.. Tapi memang itu faktanya, gue nggak bisa sama lo.."
"Tapi emang lo mau, disiksa Marcell terus menerus?" tandas Angga, masih berharap jika Sherin mau mengubah pikirannya.
"Kalau Marcell benar-benar sayang sama gue, pasti dia akan berhenti melakukan itu."
"Nyatanya? Bahkan sampai sekarang, pukulin lo menjadi salah satu hobinya. Dia nggak akan taubat, Sher!"
Sherin mengusap dahinya, pening. "Bukan nggak akan. Tapi, belum."
"Lo memang batu," tukas Angga, tanpa basa-basi. "Apa sih, yang lo beratkan dari hubungan lo sama Marcell?"
Sherin tersenyum kecut. "Lo lebih batu, karena lo nggak tau diri. Lo bilang, lo nggak berusaha merusak hubungan gue sama Marcell, kan? Tapi kenyataannya, lo selalu kasih doktrin ke gue tentang hubungan gue sama Marcell yang menurut lo kurang baik."
"Gue cuma mau lo dapet yang terbaik, Sher."
"Yang terbaik? Siapa? Lo?" tandas Sherin, dengan amarah memuncak.
"Meskipun bukan gue, gue nggak masalah. Asalkan jangan Marcell. Lo akan menyesal belakangan."
"Kok lo seakan nyumpahin hubungan gue, sih?!"
"Bukan gitu, Sher..."
Sherin menggelengkan kepalanya. "Sekalipun nantinya gue putus sama Marcell," kata Sherin menggebu, sambil mengambil nafas sejenak. "--bukan berarti, gue bakal sama lo!" tandas Sherin, menuntaskan kesalnya.
Angga mengangguk dan tersenyum. "Kayaknya itu kata-kata dari lubuk hati lo yang paling dalam, ya?"
Menyadari kalimatnya keliru lagi, Sherin diam kali ini. Amarah mengalahkan segalanya. Bahkan perdamaiannya tadi dengan Anggapun, jadi sia-sia belaka.
"Gue akan mundur kalau gitu, Sher," kata Angga, dengan nada rendah yang menunjukkan rasa kecewa dan berat hatinya yang teramat dalam.
Ada rasa sedih dan menyesal dalam hati Sherin, setelah Angga berucap kalimat barusan. Keputusan bahwa Angga akan mundur dari medan perang, tanpa sadar menyayat hati Sherin. Ada lobang kosong yang menyakitkan di sela-sela hatinya yang utuh. Namun Angga tak bisa disalahkan, karena Sherin-lah yang membuat hal itu terjadi.
"Tapi, sebelum gue mundur, apa boleh gue minta satu hal?" tanya Angga.
"Apa?"
"Satu hari sama lo. Besok, satu hari penuh," jawab Angga.
Besok? "Oke," jawab Sherin. "Hanya besok, kan?"
Angga memaksakan diri tuk mengangguk. Jika Sherin memang menginginkannya pergi, maka seberat apapun rasa hatinya, ia akan berusaha pergi. Meski berat, meski sakit, dan meski butuh lama waktu tuk bangkit dari luka yang gadis ini ciptakan untuknya. "Dan setelah hari esok terlewati, gue akan lepas lo. Gue nggak akan ganggu lo. Dan gue nggak akan pernah berharap supaya lo bisa sama gue."
"Deal," balas Sherin, sembari menghela nafas berat.
Berat rasanya, baik bagi Sherin maupun Angga. Sherin paham betul, bisa jadi Angga membencinya karena ini. Tapi Sherin berusaha merelakan. Setidaknya, Sherin ingin lepas dari rasa nyaman yang tercipta dari persahabatannya dengan Angga. Karena rasa nyaman yang timbul karena pihak ketiga, adalah sebuah pengkhianatan namanya.
Dan Sherin benci sebuah pengkhianatan, meski berupa kenyamanan.
***
Malang di pagi hari dengan selimut kabut dan embun yang menitik di dedaunan. Malang, yang kelak akan dirindukan, dan haru untuk dikenang.
Roti tawar dan selai cokelat serta susu vanila hangat di pagi hari, membuka hari Sherin yang sepertinya akan panjang. Panjang, karena dia akan menjalankan permintaan terakhir dari seorang Angga, yang jujur, Sherin bahkan tak siap melakukannya. Tidak siap, karena mungkin setelah ini, ia akan kehilangan salah satu sahabat baik yang selalu memberikannya kenyamanan.
"Sher, lo kenapa? Roti tawar lo kok dianggurin gitu. Keburu dimakan hantu, loh!" kata Shinta asal.
"Hantunya kan lo!" sahut Sherin.
Shinta terkekeh. "Sialan. Gue nggak suka roti tawar selai cokelat, tau! Gue udah punya roti selai green tea racikan gue sendiri!" kata Shinta, sambil memamerkan roti green tea di piringnya.
Salah satu alasan Sherin menyukai penginapan ini adalah, karena di ruang makan disediakan roti tawar beserta aneka macam selai--mulai dari selai cokelat hingga cream cheese--dan tersedia banyak minuman yang bisa dipilih sesuai selera.
"Lo galau?" tanya Shinta.
"Nggak, ah." Sherin mencoba berkilah.
"Nggak usah bohong. Kelihatan kok. Lo galau dan sedih memikirkan hari ini. Ya, kan?"
Sungguh. Shinta memang cenayang, sepertinya.
Shinta menggigit ujung rotinya, kemudian mengunyahnya pelan. "Gue tau lo sedih kalau hari ini berakhir. Lo nggak siap kehilangan Angga, kan?"
"Ya... Gue udah nyaman sama dia.." Sherin menyingkirkan piring berisi roti tawar cokelat miliknya yang baru beberapa kali ia gigit. Nafsu makannya hilang. "Tapi disisi lain, gue nggak mau dia berharap banyak.."
"Ya udah... Itu keputusan lo. Lo udah melepas dia, kan? Sekarang saatnya lo belajar berdiri sendiri sama dia," kata Shinta tegas. "Jangan plin-plan.."
"Kalau lo jadi gue... Lo mau gimana?"
"Masing-masing orang pasti punya pilihan berbeda-beda.. " Shinta menghela nafas panjang. "Kalau gue di posisi lo, pasti gue udah putusin Marcell dari jauh-jauh hari, karena gue sangat benci sama yang namanya kekerasan."
"Dan lo bakal pilih Angga?" tanya Sherin.
Shinta mengangkat bahu. "Belum tentu.. Tapi yang jelas, ada atau tidak adanya seorang Angga, gue nggak peduli. Karena bagaimanapun keadaannya, gue pasti putusin Marcell."
Jujur, Sherin takut menyesal. Menyesal telah melepas Angga demi mempertahankan sosok yang salah. Bahkan Sherin tau, memilih Marcell adalah hal yang salah. Tapi entah mengapa, Sherin masih ingin mempertahankan, karena logikanya yang berbicara. Sementara hatinya, masih memihak Angga. Begitulah hati dan logika, selalu berlawanan, kan?
"Gue nggak sebodoh itu untuk merelakan harga diri gue diinjak-injak dan fisik gue dicabik-cabik oleh orang yang belum tentu jadi suami gue. Dan gue pun nggak akan sudi punya suami yang main fisik. Itu nggak gente," ujar Shinta, di sela suapan terakhir rotinya.
"Jadi, lo bilang gue bodoh karena bertahan sama Marcell?" Sherin mengerucutkan bibirnya.
"No offense. Kan pendapat orang beda-beda," jawab Shinta, kemudian berdiri dan meletakan piring serta cangkirnya di wastafle.
**
"Sher?" panggil Angga, sembari menempatkan diri di motor kesayangannya.
"Ya?"
Rambut gadis itu beterbangan, meski sudah terjaga oleh kuatnya helm. Tapi sepertinya, angin Malang di pagi hari lebih kuat dari itu, hingga Sherin harus berulang kali merapikan rambutnya.
"Jalan sekarang, ya?" tanya Angga.
Sherin menangguk. "Destinasi pertama, kemana?"
"Biar gue yang atur itu semua. Yang penting, hari ini lancar dan berakhir bahagia," balas Angga. "Setidaknya untuk terakhir kali, sebelum semua benar-benar selesai."
"Oke," balas Sherin, pura-pura bersemangat agar menunjukan semua 'seolah' baik-baik saja.
"Nikmati saat-saat satu hari ini, ya, Sher. Jangan ingat apapun. Anggap aja, hanya ada gue dan lo di dunia ini."
Tanpa basa-basi, Angga langsung melajukan dan menambah kecepatan motornya pelan-pelan. "Pegangan, ya!"
Sherin memejamkan matanya, membiarkan tangannya memegang pundak Angga erat, kemudian tanpa sadar turun ke pinggang lelaki manis itu.
Perjalanan mereka, di mulai lagi. Perjalanan yang terakhir, yaitu Satu Hari Untuk Selamanya.
**
Malam nan sendu, aku merindu
Pandangku beradu, melirik jawaban di dalam kalbu
Lagi-lagi aku termenung, lagi-lagi aku terpaku
Terbuka pikirku, saat menatap langit Malang yang membiru.
Benar. Mereka sudah tiba di Taman Bunga Selecta, Malang. Wisata alam yang legendaris, dan sedang marak-maraknya di Malang, hingga membuat ratusan pasang kaki rela menembus cahaya dan angin untuk bisa sampai ke sini.
Sherin ternganga. Hamparan bunga sungguh indahnya. Luar biasa Selecta dengan segala macam rupa bunganya. Keindahannya makin terpancar dan bercahaya.
"Taman ini udah lama, ya?" tanya Sherin.
Angga mengangguk. "Lama banget. Makanya Selecta disebut taman bunga yang legendaris."
"Tau sejarahnya nggak? Kan lo wikipedia berjalan," ledek Sherin.
"Ngeledek, nih?" tanya Angga. "Jadi gini ceritanya. Ruyter De Wildt lah yang menggagas berdirinya Taman Wisata Selecta Malang. Destinasi yang dibangun sepanjang tahun 1920 – 1928 ini dulu tidak dibuka untuk umum."
"Serius? Udah tua banget dong taman ini?"
"Ya makanya disebut Taman Bunga legendaris.." Angga melanjutkan ceritanya lagi. "Tempat ini dijadikan tempat peristirahatan hanya untuk Bangsa Belanda yang berada di Kota Malang saja. Jadi jangan heran kalau "sentuhan Belanda" sangat kentara di tempat ini, khususnya pada bagian arsitekturnya. Nah ketika Indonesia merdeka, tempat ini lalu diambil alih oleh Bangsa Indonesia. Tahun 1960, tempat ini dibangun ulang. Dan sejak itu, Taman Bunga Selecta resmi dibangun."
Mereka berdua berjalan menyusuri taman bunga. Di depan mereka, terhampar ratusan bunga berwarna warni yang indah dan tersusun bervariasi. Taman bunga ini didomonasi oleh bunga Kana, Krisan, Ajisai, dan berbagai jenis bunga dari daerah daerah di indoensia. Sungguh, penyegaran mata.
"Itu apa, Ngga?" Sherin menunjuk sebuah wahana berupa sepeda.
"Oh, itu skybike."
"Skybike?" tanya Sherin tak mengerti.
"Iya, sepeda. Jadi, kita bisa naik sepeda melalui jalur khusus sepeda yang dibangun di atas kebun bunga."
"Enak dong? Muter-muter naik sepeda?"
"Mau?" tanya Angga, menawarkan.
Mata Sherin berbinar. "Boleh?"
"Banget. Ayo."
Setelahnya, mereka berdua mengayuh sepeda bernama Skybike, tuk mengitari taman bunga yang luar biasa luasnya. Skybike melaju di jalur khusus sepeda, di atas kebun bunga.
"Eh, foto disitu, yuk. Kayaknya bagus!" ajak Sherin.
"Ayo."
Dan begitulah, tiap terlihat spot foto yang menarik, mereka selalu berhenti dan mengambil gambar. Kadang, mereka memanggil wisatawan lain tuk mengambil gambar mereka berdua bersamaan, dan kadang, mereka saling mengambil gambar satu sama lain dengan beragam gaya. Ya, begitulah cara mereka mengabadikan kenangan.
Selecta bukan hanya taman bunga biasa. Namun terhitung hari ini, Selecta telah menjadi bagian dari perjalanan milik Sherin dan Angga, dalam rencana bertajuk Satu Hari Untuk Selamanya.
"Siap untuk destinasi kedua hari ini?" tanya Angga.
Sherin tersenyum. "Sangat siap. Mau kemana kita?"
Seperti biasa, Angga tak menjawab. Ia diam, membiarkan segalanya berjalan normal, hingga tiba di tempat tujuan dan terjawab sudah rasa penasaran seorang Sherin.
**
Mereka tiba di destinasi kedua hari ini. Taman Labirin di Coban Rondo, adalah tempat yang Angga pilih sebagai salah satu dari beberapa destinasi hari ini.
Taman labirin merupakan istilah untuk jalur yang berliku-liku yang memiliki banyak kombinasi dan tidak banyak merupakan persimpangan jalan buntu. Labirin dapat digunakan sebagai game di atas kertas. Tetapi, untuk labirin yang bisa sangat berhasil biasanya menggunakan spot taman dengan tanaman yang tinggi menjulang ke atas. Pada jaman tama labirin digunakan untuk tempat mengurung minotaur, yaitu mitos Yunani.
Labirin ini adalah tempat wisata alam air coban rondo dan nyatanya hal yang menarik yang Labirin Malang atau kerap penjara dengan nama taman sesat ini dapat jadi magnet baru untuk beberapa wisatawan untuk dilakukan di tempat ini.
"Labirin juga disebut taman sesat," kata Angga, mulai menjalankan aksi sebagai tour guide dan wikipedia berjalan.
Taman sesat itu juga disusun dengan memakai tanaman hijau yang juga menjulang tinggi yaitu sekitar 2 meter. Demikian pula bentuk seperti dinding-dinding, walau untuk ukuran asli sebenarnya labirin ini dapat tidak besar dan luas.
"Ayo masuk, mulai cari jalan," ajak Angga.
"Ayo!" Sherinpun antusias.
Mereka masuk ke wahana Labirin, dan petualangan dimulai. Bingung--karena mencari jalur untuk mencapai pusat labirin--dan bahagia--karena ini adalah pengalaman pertama bagi mereka--bercampur menjadi satu.
Tak lupa, disela-sela kebingungan, mereka menyempatkan diri tuk mengambil gambar dari segala sudut dan segala pose. Merekapun meminta tuk difoto dari arah menara yang mengawasi situasi labirin.
"Ayo cari jalan lagi." Angga mengajak Sherin yang masih asik dengan kameranya.
"Kemana tapi, ya? Daritadi nggak nemu-nemu pusatnya.. Masih capek juga, mau foto du--"
"Ssst!" potong Angga. "Kelamaan kalau foto mulu!" Dan dalam hitungan detik, Angga sudah menarik tangan Sherin, mengajak Sherin berjalan tuk mencari pusat labirin.
Dan Sherin menikmati getaran yang ia rasakan saat tangan Angga merebut tangannya. Kini, mereka berjalan seiring dengan gelak tawa yang hadir diantara mereka. Semua, seakan istimewa.
Semacam bahagia yang memburu. Namun menghasilkan rindu yang menggebu. Karena bergulirnya sang waktu. Tetap akan memisahkan apa yang sudah menyatu.
**
Usai mengunjungi Taman Labirin, mereka melanjutkan lagi perjalanan mereka ke destinasi selanjutnya, yaitu Kebun Strawberry di daerah Pujon. Tak banyak yang mereka lakukan disitu. Hanya memetik buah, kemudian mencari spot foto yang indah, dan pada menit selanjutnya, mereka memutuskan tuk keluar dari Kebun Strawberry tersebut.
Dan setelahnya, mereka mengunjungi Taman Kelinci. Tak ada suasana khas disana. Namun yang istimewa, disana, banyak sekali kelinci lucu yang bisa diajak berfoto bersama. Selain itu, tiap sudut tempat di Taman Kelinci sungguhlah indah, sehingga dimanapun letak mereka, berfoto, bisa dipastikan hasilnya akan indah.
"Udah hampir maghbrib.. Sholat dulu, yuk?" ajak Angga.
"Nggak kerasa, ya? Tau-tau, udah malam aja.."
"Abis sholat, mau kemana? Mau pulang ke penginapan atau mau ke satu tempat lagi?"
Sherin tersenyum penuh arti. "Habiskan hari ini, Ngga."
"Oke. Satu destinasi penutup, untuk hari ini," kata Angga, memutuskan.
Destinasi terakhir.
Kata-kata itu terdengar menyedihkan bagi Sherin. Terakhir yang dimaksud, bukan sekedar terakhir. Bisa jadi, terakhir, untuk mereka.
**
Mereka tiba di destinasi terakhir hari ini. Batu Night Spectaculer, adalah jawaban dari pertanyaan Sherin, tentang kemana mereka akan pergi selanjutnya.
Batu Night Spectaculer, wahana malam yang buka mulai pukul 15.00 hingga tengah malam pukul 23.00, menjelang pergantian hari.
"Konsepnya mirip pasar malam, ya?" gumam Sherin.
Gumaman tersebut didengar oleh Angga. "Gimana? Bagus nggak?"
"Bagus, sih.. Biasanya, pasar malam tuh pindah-pindah, ya. Kalau ini menetap di satu tempat. Keren!"
"Konteks ide dan pengelolaan tempatnya memang keren, menurut gue. BNS itu ya basic-nya ya seperti pasar malam. Namun dibuat sedemikian rupa di satu tempat, dikelola dengan sebaik mungkin dalam segi fasilitas dan wahana yang tersedia. Didukung dengan marketing dan promosi yang mantap, sehingga tempat ini disebut “Must Visit Place in Malang." Angga memberikan opininya mengenai tempat ini.
"Must Visit Place in Malang?" Sherin tersenyum. "Untung lo bawa gue kesini."
Angga menggapai tangan Sherin. "Boleh gue pegang tangan lo?"
Deg.
"Buat terakhir," tambahnya.
Dan kata-kata tambahan tersebut, terdengar menyakitkan. "Kenapa harus terakhir?"
"Karena besok-besok nggak bisa lagi," kata Angga. "Gue harus melepas lo."
"Angga..." rintih Sherin.
"Ayo kita senang-senang dulu. Jangan pikirkan apa-apa," pinta Angga. "Boleh minta tambahan waktu lagi?"
Tanpa basa-basi, Sherin mengangguk mantap, karena sebenarnya, ia pun mengharapkan. "Boleh."
"Yes!'' Angga mengepalkan tangannya, bahagia. "Besok pagi, gue akan bawa lo untuk lihat dunia."
"Dunia?"
"Tunggu aja besok."
Sherin tertawa. "Lo memang penuh kejutan, Ngga."
Tak perlu diceritakan kisah mereka disini. Mereka menikmati wahana yang ada. Menikmati bom-bom car, bianglala, piring terbang, sampai rumah hantu.
Hingga pukul sepuluh malam, mereka duduk di sebuah bangku di taman, sembari bercengkrama dengan hangatnya.
"Thank you, Angga," bisik Sherin.
"Sama-sama." Angga mengusap puncak kepala Sherin. "Paling suka wahana yang mana?"
"Semua suka." Karena ada lo, batin Sherin.
"Rumah hantu? Tadi aja lo teriak-teriak.."
"Ya kan wajar. Gue nggak sepemberani itu, kali."
Angga terkekeh. "Lo capek?"
"Lumayan."
"Lo boleh bersandar di bahu gue kalau lo mau."
Mereka saling bertatapan sejenak. Lalu dengan pelan tapi pasti, Sherin meletakan kepalanya di pundak Angga. Setelah menemukan posisi yang nyaman, Angga mengusap puncak kepala Sherin.
Sherin memejamkan matanya. Mencoba menikmati segala perasaan yang bergejolak di dadanya.
Tanpa Marcellpun, aku bisa bahagia. Bahkan jauh lebih bahagia. Aku menemukan ketenangan yang bahkan belum pernah aku rasakan di bawah tekanan seorang Marcell. Dan disini, aku jadi tau, bahwa tanpa Marcell pun, aku bisa hidup. Dan Marcell bukan nafasku.
Hati Sherin berkata demikian. Logikanyapun setuju. Namun ada sebagian kecil logikanya yang memberontak, karena akal sehat mulai menggerogoti imannya lagi.
Tapi aku kan udah pacaran lama. Masa gini aja aku menyerah? Sama saja nggak setia dong?
Namun hatinya menghangat lagi, saat Angga mengecup pelan puncak kepalanya.
Sherin merasa istimewa. Sherin merasa dirinya mendapat perlakuan yang seharusnya. Sherin merasa terlindungi.
"Kita belum sholat isya. Cari mushola, yuk? Habis itu balik penginapan," ajak Angga.
Sherin menahan tangisnya. Baru satu kali, ia merasa hangat dan terlindungi, namun tetap selalu diingatkan tuk setia pada Sang Pencipta.
"Angga?" panggil Sherin.
"Ya?"
Sherin mendesah pelan. "Andai kita bisa selamanya.."
*bersambung**
Penasaran sama lanjutannya
Comment on chapter Chit Chat