"Jadi? Jawabannya, apa?" tanya Juang.
"Gue...." Boy menggantung kalimatnya.
"Apa?"
Boy menatap Caca, yang saat ini terlihat makin cantik dengan jaket tebal yang menutupi kulitnya. "Ya. Gue sayang Caca."
Deg.
Hampir saja Caca melempar cangkir berisi susu hangat yang tengah ia nikmati. Caca, terkejut, setengah mati.
Boy masih tersenyum. Perpaduan antara wajah Caca yang sungguh manis, dengan indahnya Ranu Kumbolo di malam hari, menyadarkan Boy, bahwa perasaannya pada seorang Caca, memang tak pernah salah. Semesta mendukungnya. Semesta merestuinya.
"Lo gimana, Ca?" tanya Juang.
Caca terbatuk-batu sejenak, kemudian memberanikan diri tuk jawab. "Ya... Gue suka sama Boy.. Tapi... Gue takut."
"Takut apa?"
"Takut bakal ditinggal lagi, kayak dulu."
Boy menggeleng. "Nggak akan, Ca..."
"Gue nggak mau main-main, Boy... Gue mau punya pacar yang serius, karena gue capek sakit hati. Gue udah ditimggal Nyokap gue, dan gue nggak mau patah lagi, apalagi karena cowok.."
"Gue janji, nggak akan patahkan lo, Ca." Boy mencoba meyakinkan.
"Gue belum bisa jawab, Kita memang saling sayang, tapi, gue masih punya mimpi.."
"Mimpi? Apa?"
Mereka menajamkan telinga tuk mendengar mimpi yang Caca akan bagikan.
"Gue mau coba sekolah kedinasan... Bokap gue kan sakit, gue mau coba sekolah kedinasan, yang gratis dan menjamin masa depan gue. Gue pengen coba STAN. Tau, kan?" Caca menunduk. "Bokap gue pengen banget gue masuk STAN.. Biar gue jadi PNS di Kementerian Keuangan..."
“Terus, kuliah lo di kampus, gimana, Ca?” tanya Maya.
“Ya gue tinggal. Gue nggak apa-apa ulang kuliah dari awal, asal di sekolah kedinasan..” Caca menjawab dengan penuh harap.
STAN, adalah sekolah kedinasan impian Caca. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, berada di Bintaro, dan nantinya akan menyalurkan para siswanya menjadi punggawa keuangan negara. Siapa yang tidak mau?
Boy menepuk bahu Caca. “Gue dukung lo. Dan gue juga akan ikut tes STAN. Siapa tau, kita lolos bareng dan kita bisa sekampus. Kan keren, tuh, kalau suami isteri kerja di Kementerian Keuangan semua!”
“Serius? Lo mau ikut juga? Tapi lo beneran niat atau cuma ikut-ikut gue?” tanya Caca, memastikan.
“Gue niat. Sepulang dari sini, kita cari kursus STAN, ya! Mulai dicicil belajar..”
Juang mengangguk. “Gue bakal doain kalian!”
“Gue juga!” kata Maya.
Boy menatap Juang dan Maya, “Kalian nggak mau ikut juga?”
Maya meringis. “Nggak pengen. Kuliah di STAN tuh ketat, kan? Orangnya pintar-pintar, ancamannya drop-out, atau parahnya, penempatan di ujung Indonesia... Aduh, gue nggak siap... Gue mau ikut pecinta alam di kampus aja. Gue punya target untuk naik lima gunung dalam dua tahun.”
“Gue ikut!” Juang mengacungkan tangan. “Gue suka ide Maya!”
“Alaaah! Ikut-ikutan, lo!”
Mereka saling tertawa. Ubi rebus dan minuman panas di cangkir plastik mereka masing-masing, menjadi saksi indah mereka.
“Guys, kayaknya kita nggak bisa ke Puncak, deh,” kata Juang.
Boy mengangguk. “Mendung parah... Dingin banget di atas, pasti. Daripada kenapa-napa, kan?”
Mereka kemudian teringat korban hipotermia tadi. Astaga, dan kini mereka sama-sama ngeri sendiri.
“Gue sih santai,” kata Caca. “Kan puncak bukan tujuan gue.. Yang penting, gue sama Maya udah damai.. Dan... Yang penting, gue udah tau gimana perasaan Boy ke gue.”
“Cieeee!” ledek Maya dan Juang. Sementara Boy hanya nyengir salah tingkah, karena Caca menggodanya terang-terangan.
“Gue juga nggak ambisius ke puncak. Udah pernah,” kata Juang.
Boy tertawa. “Gue juga pernah. Dan tujuan gue untuk bawa dua srikandi lihat Ranu Kumbolo, juga udah kesampaian, kan?”
Maya menggaruk tengkuknya. “Gue juga nggak masalah. Toh, gue nggak yakin bakal bisa sampai puncak. Soalnya, gue lagi capek banget, nggak fit.”
“Ya udah, kita habisin hari-hari di Ranu Kumbolo, ya. Besok atau lusa, kita balik,” kata Juang, menawarkan.
Ketiga teman lainnya mengangguk senang.
Rupanya, persahabatan mereka mengalahkan keinginan dan ambisi mereka tuk menaklukan Puncak. Kini, mereka bercengkrama dengan hangat, dengan ubi rebus dan minuman panas milik mereka.
Tak lupa, mereka menyalakan musik dengan MP3 yang mereka bawa. Lagu indie kesukaan mereka, berjudul Senandung Hujan Di Balik Jendela, menemani malam syahdu mereka.
Muram, langit malam ini... Berjatuhan ribuan kenangan... Malam, seketika bisu... Bertaburan aroma tubuhmu... Jendela berembun, kamu ada
Tak berkedip, mata berbisik... Isyaratkan rindu yang dalam kepadamu... Aku tenggelam, bersama hujan.... Kan berlabuh di tepi ruang tak berujung
*bersambung*
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D