"Gue mau... minta maaf soal yang tadi," ucap Sherin, mengakui tujuannya ke sini. "Tadi gue keterlaluan, gue be—"
"Udah, udah," potong Angga.
"Angga, gue belum selesai ngomong."
"Udah, ah, gak penting. Mending sekarang lo ikut gue aja." Angga mengunci pintu kamarnya, dengan cepat.
"Kemana?"
"Cari yang seger-seger."
"Malem-malem gini?"
"Iya. Kamu mau ikut gak?"
"Mau, tapi..."
"Cepet!"
Dan pada akhirnya, Sherin hanya pasrah saja mengetahui tangannya di gandeng—setengah digeret Angga—keluar hotel, dan menembus jalanan kota ini dengan motor sewaannya.
**
Angsle dan Ronde Titoni Malang.
Di tempat itulah, kedua manusia memutuskan tuk berkuliner malam. Mereka berada di tempat yang super-duper ramai di malam hari. Tempatnya kecil, hawa gelap malam hari menyelimuti, namun kesesakan dari para pembeli melimpah ruah, membuat dua makhluk tersebut tak sabar tuk menikmati nikmatnya ronde dan angsle titoni yang super fenomenal ini.
Setelah mereka duduk, keduanya kembali sibuk dalam pikiran masing-masing. Angga berpikir tentang dirinya, sementara Sherin berpikir tentang menu yang ada.
"Angsle tuh apa, sih?" tanya Sherin, membuka pembicaraan.
"Angsle itu campuran dari potongan roti tawar, kacang hijau, ketan putih, pethulo, mutiara yang disiram dengan kuah santan manis yang hangat." Angga mendeskripsikan bentuk angsle. "Bedanya sama ronde, cuma di kuah, sih. Kalau ronde, kuahnya pakai air jahe."
Sherin manggut-manggut, ber-oh-ria. "Kalau ronde, gue udah pernah coba, sih.."
"Ya udah, coba angsle, gih."
"Lo mau apa?"
"Gue mau lo, boleh nggak?"
Deg. "Hah?" Sherin membulatkan matanya.
Tawa Angga meledak. "Bercanda, elaaah! Serius amat hidup lo!"
"Biarin! Daripada lo, nggak pernah serius!"
"Tapi gue serius soal perasaan," balas Angga.
"Buktinya apa? Sampai sekarang aja, lo masih jomblo."
"Itu karena gue nunggu." Angga menghela nafas. "Gue bukan tipe perusak hubungan orang. Jadi, gue lebih memilih nunggu."
Deg. Sherin tau maksud Angga. Yang Angga tunggu adalah Sherin. Dan baiknya, Angga tak pernah berusaha merusak hubungan Sherin dan Marcell. Angga hanya memperingatkan, bukan merusak, dan Sherin paham betul akan hal itu.
"Gue pesen dulu ya ke penjualnya," kata Angga, sembari berlalu.
**
Beberapa menit berlalu. Hujan turun menghiasi daratan kota Malang ini. Malang yang sudah dingin, menjadi semakin dingin saja. Pas sekali, ronde dan angsle ini bisa menjadi penghangat.
"Enak nggak?" tanya Angga.
Sherin menganggukan kepalanya, sambil menyeruput kuah angsle dari sendoknya. "Enak. Menurut gue, enakan angsle daripada ronde. Mau coba?"
"Boleh."
Mereka saling mencicipi hidangan satu sama lain. Angga mencoba angsle milik Sherin, dan Sherin mencoba ronde milik Angga.
"Rondenya lebih enak dari ronde yang pernah gue makan di Jakarta," kata Sherin, usai mencicipi ronde milik Angga.
"Sama aja menurut gue. Kalau angsle, nah, beda," balas Angga. Menurutnya, ronde ya rasanya ronde, seperti ronde pada umumnya dan tak ada yang menjadi pembeda.
"Beda, ah." Sherin tetap ngotot.
"Suasananya aja yang bikin beda," balas Angga.
"Iya, kali, ya. Suasana Malang, su--"
"Beda, karena ada gue," kata Angga, memotong ucapan Sherin.
Sherin ternganga. "Eh?"
"Iya. Keberadaan seseorang, bisa mempengaruhi sekitarnya, loh." Angga mengaduk ronde di mangkoknya yang nyaris habis. "Ronde sama angsle-nya, enak?"
"Enak," jawab Sherin.
"Itu karena lo bahagia di samping gue."
Glek. Sherin menggeleng. "Kepedean lo! Ronde sama angsle-nya kan emang enak! Lo sama sekali nggak ngaruh buat kenikmatan minuman-minuman ini, kali."
Angga terkekeh. "Tuh kan, lo serius amat. Serba teoritis. Nggak bisa diajak bercanda."
"Karena nggak semua hal bisa dijadikan candaan. Contohnya, perasaan." Sherin berbicara cepat. Nada suaranyapun mengeras.
"Santai, Sher."
Sherin menggeleng. "Gue tegaskan lagi, Ngga.. Please, lo jangan terus-terusan berharap ke gue."
"Kenapa? Toh, gue nggak suruh lo putus, kan?"
"Ya tapi tetep aja." Sherin mendesah putus asa. "Dengan lo berharap banyak ke gue, sama aja lo mengharapkan gue putus sama Marcell."
Jelas, lah! Gue sayang banget sama lo. Dan gue menunggu momen dimana lo dan Marcell putus, batin Angga berbicara.
Sherin menatap Angga dalam-dalam. "Berhenti berharap sama gue, Ngga.."
"Tapi lo nyaman sama gue?"
"Nyaman.."
"Gu--"
"Tapi nyaman bukan berarti harus bersama, kan?" balas Sherin. "Maaf kalau kata-kata gue bikin lo sakit hati, padahal kita baru aja berdamai.. Tapi memang itu faktanya, gue nggak bisa sama lo.."
"Tapi emang lo mau, disiksa Marcell terus menerus?" tandas Angga, masih berharap jika Sherin mau mengubah pikirannya.
"Kalau Marcell benar-benar sayang sama gue, pasti dia akan berhenti melakukan itu."
"Nyatanya? Bahkan sampai sekarang, pukulin lo menjadi salah satu hobinya. Dia nggak akan taubat, Sher!"
Sherin mengusap dahinya, pening. "Bukan nggak akan. Tapi, belum."
"Lo memang batu," tukas Angga, tanpa basa-basi. "Apa sih, yang lo beratkan dari hubungan lo sama Marcell?"
Sherin tersenyum kecut. "Lo lebih batu, karena lo nggak tau diri. Lo bilang, lo nggak berusaha merusak hubungan gue sama Marcell, kan? Tapi kenyataannya, lo selalu kasih doktrin ke gue tentang hubungan gue sama Marcell yang menurut lo kurang baik."
"Gue cuma mau lo dapet yang terbaik, Sher."
"Yang terbaik? Siapa? Lo?" tandas Sherin, dengan amarah memuncak.
"Meskipun bukan gue, gue nggak masalah. Asalkan jangan Marcell. Lo akan menyesal belakangan."
"Kok lo seakan nyumpahin hubungan gue, sih?!"
"Bukan gitu, Sher..."
Sherin menggelengkan kepalanya. "Sekalipun nantinya gue putus sama Marcell," kata Sherin menggebu, sambil mengambil nafas sejenak. "--bukan berarti, gue bakal sama lo!" tandas Sherin, menuntaskan kesalnya.
Angga mengangguk dan tersenyum. "Kayaknya itu kata-kata dari lubuk hati lo yang paling dalam, ya?"
Menyadari kalimatnya keliru lagi, Sherin diam kali ini. Amarah mengalahkan segalanya. Bahkan perdamaiannya tadi dengan Anggapun, jadi sia-sia belaka.
"Gue akan mundur kalau gitu, Sher," kata Angga, dengan nada rendah yang menunjukkan rasa kecewa dan berat hatinya yang teramat dalam.
Ada rasa sedih dan menyesal dalam hati Sherin, setelah Angga berucap kalimat barusan. Keputusan bahwa Angga akan mundur dari medan perang, tanpa sadar menyayat hati Sherin. Ada lobang kosong yang menyakitkan di sela-sela hatinya yang utuh. Namun Angga tak bisa disalahkan, karena Sherin-lah yang membuat hal itu terjadi.
"Tapi, sebelum gue mundur, apa boleh gue minta satu hal?" tanya Angga.
"Apa?"
"Satu hari sama lo. Besok, satu hari penuh," jawab Angga.
Besok? "Oke," jawab Sherin. "Hanya besok, kan?"
Angga memaksakan diri tuk mengangguk. Jika Sherin memang menginginkannya pergi, maka seberat apapun rasa hatinya, ia akan berusaha pergi. Meski berat, meski sakit, dan meski butuh lama waktu tuk bangkit dari luka yang gadis ini ciptakan untuknya. "Dan setelah hari esok terlewati, gue akan lepas lo. Gue nggak akan ganggu lo. Dan gue nggak akan pernah berharap supaya lo bisa sama gue."
"Deal," balas Sherin, sembari menghela nafas berat.
Berat rasanya, baik bagi Sherin maupun Angga. Sherin paham betul, bisa jadi Angga membencinya karena ini. Tapi Sherin berusaha merelakan. Setidaknya, Sherin ingin lepas dari rasa nyaman yang tercipta dari persahabatannya dengan Angga. Karena rasa nyaman yang timbul karena pihak ketiga, adalah sebuah pengkhianatan namanya.
Dan Sherin benci sebuah pengkhianatan, meski berupa kenyamanan.
*bersambung*
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D