Selama kami menapaki kaki di kawasan Itaewon-dong, pemuda itu kerap kali membicarakan sesuatu yang hampir-hampir tak pernah membuatku bosan berada di sampingnya. Topik berganti topik, bersamaan dengan suara lembutnya. Tawa ringannya serta-merta terselip di sana. Aku bahkan masih ingat caranya menyebut, “Kau tahu, Yuna-ssi?”, dengan hangat. Pipiku pun tak kalah hangatnya waktu itu.
Kami pun sampai di tempat tujuan. Toko itu tampak kecil dan diapit oleh gedung apartemen dan toko bunga. Ada kanopi kain berwarna cokelat tua terbentang di depan jendelanya, melindungi rak-rak majalah—aku bahkan sempat mengira salah alamat karena kupikir toko itu adalah toko buku. Papan nama toko yang bertuliskan ‘Old Song’, tergantung di atas pintu berkusen kayu.
Tak lama, Ahn Tae Young mengucapkan sesuatu sembari mengamati papan nama toko yang tampak kuno itu. “Dari namanya saja sudah terdengar kuno.” Lalu ia mengulangi tulisan di papan tersebut. “Old Song… Kalau Kakek melihat toko ini, pasti ia merasa seakan menemui harta karun.”
Aku terkekeh mendengarnya.
Sewaktu kami masuk ke dalam, kami disambut ramah oleh seorang karyawan dari balik mesin kasir. Kuperhatikan setiap sudut toko ini yang ternyata jauh lebih kecil daripada toko CD StarSing. Hal itu pun membuat siapa saja yang masuk ke dalam toko ini dapat menemukan piringan hitam yang ia cari dengan cepat. Begitu pula saat Ahn Tae Young menemui piringan hitam khusus musik jazz di salah satu rak di ujung ruangan.
Ahn Tae Young mengambil salah satu piringan hitam yang diisi oleh karya-karya milik Chick Corea. Sampul piringan hitam tersebut berwarna kuning, ditengah-tengahnya terdapat seseorang yang memainkan piano.
“Kakek pasti akan senang.” Gumamnya sembari membolak-balikkan piringan hitam tersebut. Di belakang kami, karyawan yang menyambut kedatangan kami kini menunggu. Ia masih tersenyum dengan ramah saat aku dan Ahn Tae Young menoleh.
Tatkala kami berada di kasir untuk menunggu karyawan tersebut menghitung belanjaan, Ahn Tae Young menyapu pandangan di setiap penjuru toko ini.
“Klasik sekali toko ini.” Begitu, katanya. Lalu pandangannya berhenti kepadaku. “Bukan begitu?”
Sebelah alisku terangkat. Ia masih menungguku berkomentar. Aku pun ikut menyapu pandangan di sekitar. Toko ini memang terkesan klasik, dindingnya yang menggunakan kayu yang dipernis, terlebih hampir semua yang ada di sini berwarna cokelat, membuat toko ini semakin tampak klasik.
Aku pun mengangguk. “Ya, klasik sekali.”
Usai keluar dari toko dan berjalan beriringan di trotoar, pemuda itu kembali membuka suara.
“Kuharap toko itu tetap bertahan hingga sepuluh tahun ke depan.”
Aku menolehnya. “Bagaimana bila besok toko itu telah berganti menjadi toko makanan?”
“Aku harus menemui karyawan itu dan memintanya untuk mengembalikan toko itu.”
Sesaat aku tertawa. “Kan dia hanya sekadar karyawan. Yang berhak merombak toko itu kan pemiliknya.”
“Kalau begitu, aku akan mencari pemilik toko tersebut, lalu memohon padanya agar toko itu tetap ada.” Ujarnya sembari tersenyum. Tangan kirinya masih menenteng kantong belanjaan yang berisikan piringan hitam.
“Bagaimana kalau pemiliknya tak mau menerima permohonanmu itu?” tanyaku.
“Aku akan membayarnya.”
“Dengan apa? Bukankah kau belum bekerja? Membayar untuk hal semacam itu kan tak semudah membayar sebuah permen karet.”
“Itu gampang kok, kan bisa meminjam uang di bank.”
Aku tertawa dibuatnya. “Memangnya kenapa kau sangat ingin toko itu tetap ada hingga sepuluh tahun ke depan?” tanyaku, usai tawaku reda.
Ia mengangkat bahu, lalu tersenyum padaku. “Agar saat aku melihatnya, aku bisa mengingat bahwa toko itu pernah membuatku terus berbicara denganmu hingga sekarang.”
Dan aku tak tahu lagi mau berkomentar apa selain menahan senyum yang diam-diam tersungging di bibirku bersamaan dengan pipi yang bersemu.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]