Usai menutup toko bersama Minju, kami berpisah di persimpangan. Minju bilang, ia tak bisa pulang bersamaku kali ini karena harus menemui seseorang di restoran Andong Jjimdak.
Pukul sembilan lewat enam belas, kawasan Myeong-dong masih saja ramai, sehingga tanpa Minju pun, aku sama sekali tak merasa kesepian. Kutelusuri jalanan beraspal yang basah akibat hujan tadi sore, menuju ke sebuah halte. Aku mendekap sweater yang membaluti tubuhku sembari menggosok masing-masing lengan dengan kedua tangan saat angin sehabis hujan di musim panas menerpa tubuhku.
Hampir setiap harinya aku menunggu di halte ini, terkadang menunggu bersama Minju. Namun lebih sering sendiri. Tak hanya aku saja di sini, ada beberapa orang yang juga ikut menunggu kedatangan bus, seperti: dua pria kantoran, satu wanita muda dengan sekantong belanjaan di pangkuannya, dan sepasang remaja dari sekolah menengah.
Aku duduk di sebuah bangku panjang, di samping wanita muda yang sedang memangku kantong belanjaannya. Tak lupa aku menyapanya, hanya sapaan biasa dan sekadar basa-basi saja agar aku tak tampak semena-mena menimbrung duduk di bangku itu. Ia membalas sapaanku dengan senyuman tipis, wajahya tampak kelelahan.
Beberapa menit aku menunggu, tanpa disangka hujan kembali merintik. Dua pria kantoran dan sepasang remaja dari sekolah menengah yang berdiri di luar atap halte, kini mundur beberapa langkah. Begitu, orang-orang yang sebelumnya berjalan santai di trotoar, secepatnya mengembangkan payung—bagi yang membawa. Tapi, ada juga yang secepatnya berlarian mencari tempat berteduh. Tak terkecuali seorang pemuda yang sedang berlarian kemari, menjadikan halte ini sebagai sasaran untuknya berteduh.
Tas punggung berwarna hitam yang sebelumnya dijadikan sebagai payung, ia turunkan. Rambut kecokelatannya serta wajah menyampingnya agak basah. Kedua tangannya sibuk mengibas-ngibasi kemeja kotak-kotaknya yang berwarna merah-hitam, mencoba menjauhi sisa-sisa air hujan dari sana.
Kuingat-ingat, siapa pemuda itu. Wajah menyampingnya memang tak asing lagi di mataku.
Tatkala ia menoleh ke arahku, dan mata cokelat terangnya bersirobok dengan mataku, barulah kuingat. Sekonyong-konyongnya dadaku kembali berdesir, pipiku rasanya terpanggang. Ia menatapku sesaat, entah mungkin juga sedang mengingat-ingat siapa gadis yang baru saja ia tatap. Tak lama ia duduk di sampingku, ia masih menatapku.
“Kau karyawati di toko CD itu, kan? Aku lupa nama tokonya, tapi kuingat toko itu di sekitar sini.” Katanya.
Aku diam sejenak. Tak kusangka-sangka ia akan berbicara padaku. Dengan perasaan canggung dan pipi masih terpanggang, aku mengangguk.
“StarSing, nama tokonya. Jika kau ingin tahu.” Ujarku, memberitahu.
Ia mengangguk dengan mulut terbuka, tanda mengerti. Tak lupa ia mengusap tengkuknya sembari tersenyum padaku. Senyumnya tampak kikuk dan polos.
Bus datang dan berhenti di depan kami setelahnya. Aku balas tersenyum padanya sebelum akhirnya mengangkat pinggang. Baru saja kakiku melangkah, pemuda itu kembali membuka suara.
“Ye Jin-ssi?” serunya.
Aku menoleh ke belakang, ia sudah beranjak dari bangku panjang. Sembari menatap senyum menawannya yang semakin dekat, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagaimana bisa ia tahu namaku?
Sesaat kemudian, bus pun datang. Pemuda itu masih tersenyum padaku sembari berucap, “Biar kujelaskan di dalam bus saja,” seakan ia baru saja membaca isi kepalaku.
Begitu, kami pun masuk ke dalam bus.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]