Read More >>"> SATU FRASA (Definisi Bahagia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SATU FRASA
MENU 0
About Us  

Juwi membuka matanya perlahan, mengedip berulang, masih beradaptasi mengumpulkan fokus. 

Ini di mana?

"Yuk, udah sampai." Juwi menoleh ke samping kanannya.

Benar, Juwi kembali ingat. Ia sedang diculik oleh seseorang yang memang ia kehendaki untuk membawanya kabur dari rumah sakit.

Ah, kalau semua penculik seganteng Abangnya, mungkin penjara tidak jadi penuh. Lha wong yang diculik malah berserah pasrah, 'culik aku, Bang.' Itu mungkin lain cerita.

"Ini di mana?" tanya Juwi, menyadari bahwa ia tidak familier dengan tempat ini.

"Turun dulu, ntar gue kasih tahu."

Tanpa menunggu persetujuan Juwi, Rayyan telah keluar mobil terlebih dahulu. Ia berjalan memasuki bangunan semi permanen yang berada sepuluh meter dari tempat mobilnya terparkir.

Juwi masih memerhatikan dari dalam mobil. Banyak pertanyaan yang terbesit dalam benak Juwi. Apalagi saat melihat Rayyan menyalami beberapa orang berseragam khaki. Tentu saja, hal tersebut mengundang rasa ingin tahu Juwi mencuat.

Juwi memutuskan menyusul Rayyan. Ia turun dari mobil, lalu mendekat ke arah mereka.

"Oh, kenalkan, Pak, Buk, ini adik saya, Juwita. Juwita ini yang akan membantu saya hari ini." Rayyan mengenalkannya kepada mereka.

Uluran tangan dan sambutan hangat langsung dapat Juwi rasakan. Juwi membalasnya dengan senyum seceria mungkin.

Pikirannya masih bertanya-tanya. Tentang apa sebenarnya tujuan Rayyan ke sini, dan tempat apa ini. Namun, Juwi masih menahan, mengikuti saja alur yang coba dibuat oleh Abangnya itu.

Setidaknya, ia berusaha menikmati, masa-masa di mana ia berada pada status diculik.

"Saya terima kasih lho, Nak Rayyan. Mau datang jauh-jauh ke sini sedikit memberikan sesuatu untuk anak-anak," ucap Pak Darusman, salah satu Bapak paruh baya cenderung sepuh.

"Bukan masalah, Pak. Justru saya senang, bisa berkesempatan bertemu mereka," balas Rayyan dengan laku yang begitu santun.

"Iya, saya bangga di zaman sekarang, masih ada pemuda yang peduli seperti kamu."

"Saya bukan apa-apa, Pak," ucap Rayyan merendah.

Mereka masih berbincang beberapa hal dengan Juwi yang hanya bisa mengekori Rayyan. Juwi tidak tahu harus menyahuti apa. Takut salah, karena sampai detik ini pun, Juwi masih meraba maksud Rayyan membawanya ke sini.

"Oh, maaf, Pak, kapan kami bisa menyapa mereka?" Rayyan memotong pembicaraan di antara dirinya dengan Pak Darusman.

"Oh, astaga, saya sampai lupa. Mari-mari sekarang."

Keduanya lalu mengikuti arahan Pak Darusman, yang baru Juwi ketahui bahwa Pak Darusman adalah kepala sekolah di SD ini.

Sambil berjalan ke arah kelas, Juwi begitu intens melihat sekeliling bangunan sekolah ini. Terlalu sederhana untuk disebut sebagai sebuah sekolah. Juwi meneguk ludah, inikah tempat generasi penerus bangsa memulai langkah awalnya? Sepertinya masih jauh dari kata layak. Dinding separuh ke atas terbuat dari tripleks tipis yang bahkan ada beberapa bagian sudah terkelupas. Genteng tua yang tidak utuh, ada sekitar sembilan genteng hilang dari tempatnya, membuat Juwi akhirnya bertanya, "maaf, Pak. Itu gentengnya memang bolong begitu? Hilang atau bagaimana?"

Pak Darusman berhenti sejenak. "Memang, Neng. Beberapa genteng itu sudah ngelingkap waktu ada hujan badai setahunan yang lalu."

"Lalu, Pak? Bocor dong kalau hujan." Juwi terperengah dengan jawaban Pak Darusman.

"Betul. Artinya, ketika hujan, air akan mudah masuk ke dalam, tidak jarang kelas akan mengalami kebanjiran, aktifitas belajar mengajar pun tentu terganggu."

Baik Juwi maupun Rayyan begitu terenyuh mendengar penuturan Pak Darusman. Ternyata, masih ada kondisi demikian yang ia jumpai secara langsung. Terbiasa mengenyam pendidikan mewah sejak kecil, membuat Juwi tidak akrab dengan kondisi miris seperti ini.

Rayyan yang diam-diam melirik adiknya itu, sedikit lega, setidaknya, sesuatu yang ia siapkan ini tidak akan sia-sia.

Mereka melanjutkan langkah hingga sampai di salah satu kelas. Satu kata yang bisa menggambarkan suasana di dalamnya...

...sedih.

Kontras dengan senyuman penghuninya yang begitu antusias saat melihat Rayyan dan Juwi masuk ke dalam kelas dan dikenalkan oleh Pak Darusman.

"Pagi, anak-anak," sapa Pak Darusman ke penjuru kelas.

"Pagiiii, Pak," seru mereka dengan penuh semangat.

"Hari ini, ada yang istimewa lho. Kalian akan diajak bermain dan belajar bareng kakak-kakak di depan kalian."

Rayyan dan Juwi saling tersenyum menyapa mereka. Tentu saja, mereka sudah bersorak heboh menyambut keduanya.

Setelah Pak Darusman memberikan sedikit arahan dan beberapa hal yang perlu disampaikan, kendali kini milik mereka berdua. Pak Darusman sudah pamit kembali ke ruangannya. Sekarang, Rayyan yang mengambil alih.

"Halo adik-adik, apa kabar semuanya?" sapa Rayyan tentu saja.

"Baik, Kak." Serempak mereka menjawab dengan sederet gigi yang ditunjukkan. Begitu ceria.

"Kalau kakak tanya apa kabar hari ini, jawabnya yang beda yaaa..."

"Gimana, Kak?" tanya salah satu murid, begitu antusias.

"Oke, jawabnya begini: Semangat, luar biasa, yes, yes, yes. Sambil tangannya begini ya." Rayyan memeragakan gerakan tangan mengepal lalu bersorak yes seperti pada umumnya.

Juwi yang masih memerhatikan saja, hanya mampu tersenyum tak hentinya mengagumi pesona Rayyan yang semakin uugh.

Setiap detail yang Rayyan sampaikan membuatnya gagal fokus. Healah, Juwi tak kedip sama sekali melihat segala gerik yang Rayyan perbuat. Seperti saat ini, Rayyan sedang memberikan penyuluhan tentang pentingnya cuci tangan pakai sabun. Ia mencoret-coret papan hitam dengan kapur kecil yang tak lagi utuh. Bahkan, untuk fasilitas seumum papan tulis, yang harusnya sudah berevolusi menjadi white board dan juga spidol, sekolah ini belum tersentuh hal-hal demikian. Lagi-lagi, Juwi begitu prihatin.

"Oke, Kak Juwi, coba sekarang tolong praktikkan kepada adik-adik cara mencuci tangan yang benar."

Juwi mengerjap, astaga! Ia hampir malu kalau saja ia benar-benar kehilangan fokusnya. Untungnya panggilan Rayyan masih bisa ia dengar.

"Baiklah adik-adik. Saya Juwita, tapi kalian boleh panggil kakak Juwi aja, ya. Oke, jadi cara mencuci tangan yang baik adalah, tentu pertama kita basuh dulu pakai air, dan ambil sabun secukupnya, gosok-gosok di telapak tangan.

Lalu, kita gosok punggung tangan dengan gerakan seperti ini yaa." Juwi memeragakan dengan kedua tangannya.

?


Begitu seterusnya hingga Juwi menyelesaikan tutorial mencuci tangan yang benar dan baik.

Mereka kemudian meminta para siswa untuk mengulangi apa yang sudah disampaikan tadi dengan menggiring mereka ke halaman depan. Tidak ada wastafel memang, tapi mereka menemukan selang air yang terpasang di kran depan kelas. Lagi-lagi, baik Juwi maupun Rayyan dipaksa untuk teriris hatinya melihat hal ini.

Tawa mereka mengembang hanya karena mempraktikkan adegan cuci tangan. Tak pelak, hal tersebut dimanfaatkan untuk bermain busa sabun, menimbulkan pecah keriangan yang begitu meneduhkan bagi Juwi.

Ah, bahagia itu sederhana bukan?

Batin Juwi berteriak. Abangnya ini, ia tidak habis pikir bagaimana bisa Rayyan membawanya ke sini. Ke daerah yang katanya tadi masih berada di Jakarta juga. Begitu kontras dengan hiruk pikuk kota yang ia jalani selama ini. Ini Jakarta, tapi berbeda. Seperti terisolir dari pusat keramaian apapun. Entah mereka lupa atau sengaja pura-pura tidak tahu, bahwa di Jakarta, kesenjangan pendidikan juga sosial masih jelas terasa.

Coba saja bandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi memeluk awan? Lalu, bangunan ini bernilai apa? Tempat mengais ilmu untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Merajut mimpi anak bangsa dan generasi penerus. Namun, mereka hanya berusaha bertahan dengan segala keterbatasan yang ada. Tidak tersentuh bantuan apapun. Entah itu mereka menutup mata, menolak lupa, atau yaa... sekali lagi, entahlah.

Rayyan berinisiatif untuk mengunggah profil sekolah ini ke salah satu platform sosial digital yang ia ikuti akhir-akhir ini. Harapannya hanya satu, semoga masih ada tangan-tangan yang senantiasa bergerak menuju kebaikan. Tangan-tangan yang mampu melihat dunia lebih dekat.

Seperti lagu yang diajarkan Juwi kepada anak-anak ketika waktu istirahat telah tiba. Mereka bermain bersama, Juwi mengajak mereka bernyanyi sambil menari-nari alanya.

Pergilah sedih
Pergilah resah
Jauhkan lah aku
Dari salah prasangka

 

Pergilah gundah
Jauhkan resah
Lihat segalanya lebih dekat
Dan 'kubisa menilai lebih bijaksana


"Yuk, coba sekarang bareng-bareng ya," seru Juwi sambil bergaya layaknya konduktor profesional.

Mengapa bintang bersinar
Mengapa air mengalir
Mengapa dunia berputar
Lihat segalanya lebih dekat
Dan 'ku akan mengerti

 

Anak-anak begitu antusias saat bernyanyi. Selingan tawa yang tercetus saat nada-nada sumbang terdengar dari kawannya, membuat acara bernyanyi bersama ini begitu menyenangkan. Ada canda tercipta di antaranya.

 

Rayyan, yang diam-diam mengamati, ikut tersenyum juga melihat segala hal yang Juwi lakukan. Adiknya ini kalau diarahkan sebenarnya bisa nurut, kok. Nggak bebal-bebal amat. Mungkin, bandelnya Juwi selama ini untuk mencari perhatian dari Ayah Bundanya.

 

Puas bernyanyi, mereka kembali ke kelas untuk meneruskan materi. Ada dua yang ingin Rayyan bagi sebenarnya, soal mencuci tangan yang baik, juga tentang kesehatan gigi.

 

"Oke, adik-adik. Sekarang kakak akan jelasin pentingnya sikat gigi minimal dua kali sehari. Ada yang tahu nggak, dua kali itu kapan waktunya?" tanya Rayyan kepada mereka semua.

 

"Saya, Kak." Salah satu dari mereka mengacungkan telunjuknya.

 

"Iya, namanya siapa, Dek?" Juwi membantu mengarahkan.

 

"Riski, Kak. Menggosok gigi itu saat mandi pagi dan mandi sore, Kak."

 

"Oke, Riski, terima kasih ya. Jawaban kamu tidak salah, tapi kurang tepat."

 

"Huuuuu," sorak mereka berusaha mengucilkan.

 

"Nggak boleh gitu, Riski good ya, berani menjawab itu baik. Kan tadi kakak bilang tidak salah." Juwi mencoba meredam teman-temannya.

 

"Jadi, kapan kak menggosok gigi yang benar waktunya?" Teman yang lain, kemudian menyahut.

 

"Oke, gini. Jadi, menggosok gigi itu sebaiknya dilakukan setelah sarapan pagi, dan sebelum tidur."

 

"Oh gitu, tapi selama ini kami melakukan yang seperti Riski bilang, Kak."

 

"Nah, itu kurang tepat. Jadi sebelum tidur kita harus membersihkan gigi dan mulut agar kuman-kuman tidak semakin beraksi saat kita tidur. Nah, kenapa paginya setelah sarapan? Karena, saat bangun pagi, mulut gigi kita masih kosong, bersih dari bakteri karena malamnya sudah digosok. Jadi, dibersihkannya setelah makan. Mulai sekarang coba diubah ya," jelas Rayyan dengan bahasa seawam mungkin.

 

Lalu keduanya kembali mencontohkan gerakan menggosok gigi yang benar.

 

Rayyan benar-benar niat, ia bahkan membawa alat peraga yang ia pinjam di poli gigi dengan dalih untuk keperluan tugas dan semacamnya.

 

Sementara Juwi, untuk ke-tak terhingga kalinya, alasan kagum kepada Abangnya selalu bertambah.

 

"Oke, balik lagi sama Kak Juwi nih. Sekarang kita coba praktikkan cara menggosok gigi ya. Jadi, sikat giginya diletakkan di depan gigi seperti ini dengan posisi miring. Lalu, mulai bersihkan gigi dari depan ke gigi geraham bagian belakang.

 

Nah, untuk gigi depan, sikat giginya diputer secara halus berulang-ulang kayak gini, ya. Mengerti?"

 

?

 

"Paham, Kak." Kompak mereka menjawab.

 

"Kak, tanya?" Satu intrupsi dari bangku paling depan.

 

"Iya, sayang silakan, sebutin nama, ya." Juwi yang memandu.

 

"Dini, Kak. Itu harus berapa lama ya kalau kita sikat gigi?" tanya gadis kecil bermana Dini.

 

"Oke, silakan Kak Rayyan untuk menjawab." Alih-alih menjawab, Juwi malah melempar ke Rayyan.

 

"Pertanyaan bagus, Dini. Jadi, sikat gigi yang benar dengan gerakan-gerakan yang sudah dicontohkan Kak Juwi tadi, setidaknya butuh waktu dua sampai tiga menit ya, adik-adik," jelas Rayyan yang disahuti anggukan oleh mereka.

 

Sesi tanya jawab masih berlangsung hingga mereka lagi-lagi meminta anak-anak untuk kembali mempraktikkan langsung cara menggosok gigi yang benar. Rayyan dan Juwi menggiring mereka ke halaman. Juwi membagikan beberapa sikat gigi baru, lalu mengoleskan pasta gigi di atasnya. Beberapa dari mereka bersedia untuk praktik. Tetap saja masih dalam pengawasan Rayyan.

 

Gagasan ini sebenarnya terlintas begitu saja di pikiran Rayyan. Ia tidak sengaja menemukan tempat ini, dulu ketika semester lima saat dirinya beserta anak-anak BEM mengadakan Pengabdian Masyarakat di desa ini. Sekolah ini memang masih satu desa yang sama, namun jarak tempuh dengan tempat tinggal mereka mencapai dua kilometer. Naasnya, mereka, anak-anak itu menempuh perjalanan ke sekolah hanya dengan berjalan kaki. Mungkin hanya dua kilometer, tapi berjalan kaki dengan kaki-kaki kecil mereka, apa kabar? Di saat lagi-lagi, kendaraan bermotor zaman sekarang sudah merajalela, dan ini Jakarta, tidakkah semua terasa begitu terbelakang? Ada ketimpangan sosial yang membuat Rayyan ingin bergerak.

 

Rayyan tidak bisa melakukan hal lain seperti misalnya menyumbangkan dana besar untuk renovasi bangunan sekolah. Setidaknya belum bisa. Ia tentu saja butuh bantuan yang lain. Ia ke sini juga tujuannya mengambil profil sekolah, merekam setiap detail bangunan, dan suasana kelas tadi.

 

Karena itu, semoga hal-hal seperti berbagi ilmu kesehatan dasar yang sederhana seperti ini, bisa memberikan kebermanfaatan untuk mereka.

 

Setelah dirasa cukup, Rayyan dan Juwi kemudian pamit. Tentu saja ada rasa berat di hati Juwi ketika berpisah dengan mereka.

 

Juwi belum pernah melakukan hal-hal begini sebelumnya. Banyak hal yang kemudian menjadi tanya juga menjadi cerita tersendiri.

 

Apalagi ia teringat saat salah satu murid sewaktu istirahat tadi, menjajakan goreng ketika mereka usai bernyanyi. Ya Dini itu, yang tadi begitu aktif saat mereka memberikan materi. Banyak cerita yang kemudian mengoyak hati Juwi.

 

Tertohok itu pasti.

 

"Ini apa, Din?" tanya Juwi melihat Dini yang menyendiri dengan membawa keranjang.

 

"Gorengan, Kak. Kakak mau? Ada pisang goreng, bakwan, sama tahu genjrot." Dini dengan senyum sumringah, menawarkan jajanan yang dibawanya.

 

Juwi sedikit kaget.

 

Jualan dan sekolah?

 

"Kamu jualan?" tanya Juwi terbelalak.

 

"Iya, Kak." Tetap dengan binar-binar semangat, Dini tak gentar untuk menjajakan dagangannya.

 

"Siapa yang buat?" Jelas Juwi penasaran.

 

Dini sekolah, sempatkah untuk membuat jajan segini banyak dengan tiga macam?

 

"Nenek."

 

"Loh, memangnya boleh sama ibu, sekolah sama jualan gini?"

 

"Ibu lagi di luar negeri, Kak. Dini ikut nenek dari kecil. Salah satu cara biar Dini bisa jajan ya bantu nenek jualan gini."

 

"Kamu nggak malu?"

 

"Untuk apa, Kak? Dini nggak ngemis, nggak nyuri. Dini kan jualan."

 

Iya juga sih.

 

Juwi nggak habis pikir. Sekecil Dini, di saat anak seusianya sibuk bermain, sibuk bermanja-manja dengan orang tuanya, tapi tidak dengan gadis cilik itu.

 

"Sejak kapan Ibu kerja di luar negeri, Din?" Juwi masih penasaran.

 

"Nggak tahu, sejak Dini lahir mungkin. Sampai Dini kelas empat sekarang aja Dini cuma pernah ketemu ibu tiga kali. Kan kalau Dini kecil Dini nggak inget ya, Kak. Pokoknya pas Dini ulang tahun waktu masih TK, terus lebaran pas Dini kelas dua, dan yang terakhir lebaran kemarin."

 

Juwi kembali meneguk ludah.

 

"Dini suka sedih nggak ada Ibu di samping Dini?"

 

"Nggak, kan Ibu Dini di sana kerja untuk Dini, biar Dini bisa sekolah. Jadi Dini di sini harus belajar yang rajin, nggak nyusahin nenek, dan bantu-bantuin nenek."

 

Astaga, terbuat dari apa sebenarnya hati Dini? Mata Juwi sudah memerah menahan tangis tak kuasa mendengar semua cerita Dini.

 

"Kakak mau?" tawar Dini.

 

"Kakak habis sakit, Din. Kakak nggak boleh makan gorengan."

 

"Yaah, sayang sekali. Gorengan buatan nenek Dini enak lho, Kak."

 

"Oh, iya?"

 

Dini mengangguk.

 

"Kalau begitu, biar Kak Rayyan aja yang maem. Kakak beli semua deh, bagiin ke temen-temen semua, gimana?"

 

"Serius, Kak?"

 

Juwi mengangguk dengan semangat.

 

Lalu dengan lantang Dini memanggil teman-temannya dan membagikan gorengan gratis traktiran Juwita.

 

Sementara Juwi, rasanya ia ingin menitikkan air mata saat itu juga. Bahkan, ia ingin berlari pulang, lalu memeluk Bundanya dengan erat dan tak ingin terlepas. Definisi bahagia seperti apa yang sebenarnya ia cari? Tidakkah semua yang ia dapat selama ini jauh, jauh berlebih dari siapapun?

 

Jadi yang Juwi lakukan sepanjang perjalanan pulang, hanya tertunduk lesu sambil membuang pandangan ke luar jendela.

 

Rayyan tahu adiknya sudah mulai merasakan efek yang ia inginkan. Ia diam saja, hanya sesekali menengok ke arah Juwi. Bahkan, sentuhan yang Rayyan berikan di kepala Juwi tak bisa membuat Juwi berjingkat begitu saja.

 

Di detak berikutnya, Rayyan malah mendengar isakan kecil keluar dari mulut Juwita.

 

"Hei, kenapa?" tanya Rayyan sambil memelankan laju mobilnya.

 

"Nothing." Hanya gelengan yang Juwi berikan.

 

"Karena Dini?" tembak Rayyan langsung.

 

Rayyan diam bukan berarti ia tidak menyimak semua perbincangan di antara Juwi dan Dini tadi. Ia mendengar semuanya. Tentunya, Rayyan paham alasan diamnya Juwi saat ini.

 

"Mbul, maaf. Bukan maksud bikin lo sedih gini. Gue maksudnya ngajak lo refresh. Kasih lihat lo apa yang selama ini mungkin nggak pernah kita temui."

 

"Gu... gue... hiks."

 

"Hussh, nggak usah pakai nangis, bisa? Sesek lagi ntar berabe, Wi. Gue bisa digorok Om Miko."


Tapi bujukan Rayyan barusan itu sama sekali tidak mempan. Juwi malah kencang mengeluarkan senggukan tangisnya.

"Gue cuma pengin lo nggak mudah ambegan jadi anak. Kasihan Tante Freya, Wi. Lo nggak tahu kan? Kalau Tante Freya hampir aja diskors sama Daddy?"

 

"Hah, ke... napa?" Tangis Juwi berhenti seketika.

 

Fakta apa lagi yang akan ia dengar. Serius, Rayyan memang makhluk paling tega menyiksa hatinya.

 

"Tante Freya diam dan tetap kalem begitu bukan berarti dia nggak sayang dan nggak ada rasa menyesal ke lo seperti yang lo pikirkan, Wi. Justru Tante Freya tuh menurut gue nih, mendem pikiran sampai jadi blank gitu, deh."

 

"Blank?"

 

"Iya, gue diceritain Biya. Tante Freya salah kasih dosis anestesi. Itu operasi cito habis subuh waktu lo malamnya collapse. Biya emang ngira sih kalau Tante Freya agak kurang fokus, tapi Bunda lo yakinin Biya kalau everything okay. Dan, terjadilah kasus tersebut."


"Terus, pasiennya gimana?" tanya Juwi takut-takut.

Hadapan soal masalah lain yang timbul karena dirinya, membuat relung hatinya kembali teriris. Sakit.

"OK sempat kacau karena kondisi pasien yang nggak stabil. Di situ Tanye Freya baru sadar kalau dia ada salah dosis. Beruntungnya yaa memang the killer anesthesiologist nggak pernah ada yang nandingin kan? Secepat itu pula pasien kembali stabil.

Tapi, semua itu kan pasti terekam di laporan anestesi. Jadilah itu kasus sampai di meja Daddy."

"Bun... nda," lirihnya dengan bibir bergetar kembali menangis.

Rayyan menepikan mobilnya, membalik tubuh Juwi untuk bisa menghadapnya. "Makanya, gue mau setelah ini nggak ada ngambek-ngambek gitu lagi ya, Mbul," ucap Rayyan, sambil menyusut air mata yang menganak sungai di pipi Juwi.

"Gue jahat banget ya jadi anak? Gue egois, bisanya bikin masalah mulu."

"Nggak gitu. Buat pelajaran aja, oke, Mbul?" Sambil merapikan anakan rambut yang berserakan basah, Rayyan mengusap pelan punggung Juwi yang masih bergetar.

Oh, kalau momennya nggak gini, sudah pasti Juwi bakal baper klepek-klepek karena tingkah Rayyan yang kelewat manis.

"Lo emang tega, Bang. Jahaaat, ih," seru Juwi sambil memukul lengan Rayyan pelan.

 

"Tapi, sayang kan???"

 

"Iiiih, Abang...." Pukulan kecil itu kembali mendarat di lengan Rayyan membuat Rayyan mengaduh kecil sambil tertawa puas.

 

"Sebagai post test-nya gue mau tanya deh. Jadi, bahagia itu apa?"


Juwi langsung terdiam. Rayyan kembali memacu mobilnya dengan kecepatan normal. Awan mendung di atas sana, sepertinya ikut menertawakan Juwi atas semua ini. Sebentar lagi hujan, tapi ia sudah hujan duluan sebelum itu.

Definisi bahagia versiku itu kamu, Bang.


Juwi mengambil oksigen sekitaran dengan dalam. Ia mengatur kembali nafasnya agar tidak kembali sesak usai menangis ini.

"Bahagia itu mungkin saat di mana kita nggak sempat berpikir soal definisinya sama sekali. Kalau kita masih mikir, bahagiakah kita? Itu jelas dia belum bahagia. Sesederhana itu sebenarnya."

"Sekarang udah bahagia?"

"Nggak usah ditanya. Anterin gue pulang, gue mau nemuin bahagia gue yang sesungguhnya."

"Oke." Senyum puas tercipta dari Rayyan.

*****


"Bundaaaaa." Tanpa ancang-ancang terlebih dahulu, ketika mobil berhenti sempurna tepat di depan rumah, Juwi langsung berlari masuk mencari sosok yang begitu ia rindukan.

"Sayaang?" Freya terperangah dengan anak gadisnya

"Maafin Juwi." Juwi memeluk Freya begitu erat, menumpahkan semua sesalnya.

Tangisan itu pun kembali berderai pilu. Lebih menyayat dibanding sebelumnya. Juwi memasukkan kepalanya di ceruk leher Freya. Sementara Freya tentu saja membalas pelukan Juwi lebih erat lagi. Ia mengecup berulang kali puncak kepala putrinya itu.

Ah, suasana sore sedikit mendung seperti ini menambah renyuh semakin terasa.

"No, justru Bunda yang minta maaf. Okay?" Freya menangkup wajah Juwi yang bengap, saling menempelkan kening satu sama lain.

Dunia milik berdua, mereka bahkan tidak sadar jika banyak pasang mata yang ikut menyaksikan.

Kemarin, setelah rumah sakit sempat dibuat heboh oleh hilangnya Juwi, Freya memang benar-benar seperti orang linglung. Belum juga kasus yang menimpanya selesai, ditambah kemudian anaknya hilang.

Arga, sahabat yang juga direktur rumah sakit tempat Freya bekerja, memutuskan untuk merumahkan Freya sementara. Setidaknya, sampai semua kembali normal. Itu Arga lakukan juga untuk keselamatan pasien, bukan atas dasar nepotisme dan sebagainya.

Mereka berkumpul di rumah Freya untuk menenangkan. Ada Fachry dan istrinya, yang notebene adik kandung Miko, membawa serta kedua anaknya. Arga dan sang istri juga turut menyempatkan kumpul di sela-sela kesibukannya yang menggila.

Lalu sekarang, mereka dihadapkan dengan live streaming drama telenova yang tersaji di depan mata secara langsung.

Lega, itu pasti. Siapa yang nggak ikut terenyuh menyaksikan pertunjukan ala-ala sinetron begini. Valerie, istri Fachry, bahkan ikut menitikkan air mata sambil memeluk suaminya itu.

Keponakannya satu itu memang bisa membuat ramai dan mengumpulkan mereka dengan lengkap seperti ini.

"Clear?" ucap Miko menghampiri mereka.

"Ayah?" Juwi lupa, hahaha, masih ada Ayahnya toh.

"Kok Ayah nggak diajak sih?" goda Miko menurunkan suasana tegang sedari tadi.

"Iiih, Ayah...." Juwi langsung menubrukkan tubuhnya ke arah Miko. Sementara Miko langsung menyambut, mengangkat tubuh putrinya dan berputar sebentar menimbulkan jeritan dari Juwi.

"Ayah sayang sama Neng, Bunda pun. Jadi, jangan pernah mikir kita nggak peduli sama Neng. Semua yang kita lakukan juga untuk Juwi, nggak ada yang lain." Kini, giliran Miko yang memberi wejangan tambahan untuk Juwi.

"Iya, Juwi tahu. Maafin Juwi."

"Sudah, case close. Sekarang makan, yuk." Itu suara Omnya, yang Juwi panggil dengan sebutan Papi. Siapa lagi kalau bukan Fachry.

"Yeay, Bunda masak apa?"

Mereka semua beralih ke ruang makan. Memang tidak seperti gathering rutin sebelum-sebelumnya. Hanya menu sederhana, itupun nggak banyak. Hasil kreasi Valerie dan Shakiya, yang sejak menghilangnya Juwi tadi pagi, sudah turut bingung menenangkan Freya.

"Bunda nggak masak, itu Mami dan Tante Shakiya yang masak."

"Yaay, makasih Mami, makasih Tante. Lapeeer," seru Juwi sambil menyomot puding di atas piring.

"Emang perut kadut, lihat begini ya pasti laper," sahut Izzy, gemas lama tak menjahili sepupunya itu.

"Lah, apa kabar elu, Ji? Jirigen bensin bekas. Dasar!" balas Juwi tak ingin kalah.

Kalau sudah seperti ini, Tom and Jerry pun bakal kalah rusuh dengan mereka. Izzy yang jahil, dan Juwi yang mau ngalah malah meladeni ledekan Izzy dan saling membalas.

"Hmm, mulai deh berisik tuh anak dua." Ayesha hanya geleng-geleng melihat kedua adiknya itu.

"Udah dong, Wi, Izzy. Juwi jangan lari-lari dulu dong. Sini, ini lho Tante  masak daging lada hitam, Wi. Doyan kan?" seru Shakiya sambil mempersiapkan makanan.

"Emang tuh anak pernah nggak doyan makanan, Mi?" Izzy kembali berulah, yang langsung dibalas oleh pukulan manja dari Juwi.

"Mau, Tan. Juwi laapeeeerr, ayo makan."

Juwi sudah menyeret Ayesha untuk ke meja makan. Yang lain pun mengikutinya karena memang sajian sudah siap.

"Ya ampun, Wi. Masak anak Ayah nggak dikasih makan sama penculiknya sih? Ckckck."

Miko, dengan muka lempeng dan tetap lurus, menyomot tempe tepung di meja, sengaja sekali menggoda anak gadisnya itu.

"Ayaaaaaaah.... Iiihh."

Wajah Juwi memerah tiba-tiba. Astaga-astaga, di sini ada Om Arga, ada Tante Shakiya. Ayahnya ini memang perlu dilakban kali, ya. Juwi malu. Semoga saja mereka semua nggak menganggap serius omongan Ayahnya itu. 

Sementara Rayyan hanya tersenyum malu-malu, diam saja. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Bingung juga mau nanggapi guyonan Omnya itu bagaimana.

"Kenyang apa cuma dikasih harapan?" Lagi, Miko tak puas mengerjai anaknya.

"IHHHH AYAAAAH." Juwi sudah beraksi, membungkam mulut Ayahnya sambil sedikit gelut yang mereka lakukan, persis seperti Juwi dan Izzya tadi.

"Hahaha, ampun, Neng."

Dan, tiba-tiba, mereka harus terhenti saat Ayesha tiba-tiba panik menjawab telepon dari ponselnya, "kok, bisa???? Gue yakin nggak gitu. Gue udah pastiin berkali-kali."

Semua yang berada di meja makan, menghentikan aktivitasnya, saling berpandangan penuh tanya.

"Oke, oke, kita selesain ntar. Gue ke sana." Ayesha menutup teleponnya.

"Mih, Pih. Aye balik duluan ya. Semuanya, maaf, Aye permisi dulu," pamit Ayesha sudah mengambil tas selempangnya dan berjalan ke luar rumah.

"Loh, Kak Aye. Mau ke mana?" teriak Juwi yang sudah tak diindahkan oleh Ayesha.

"Ayesha..." Valerie juga berusaha mengejar, tapi sepertinya anak perempuannya itu benar-benar terburu sesuatu.

Kini, giliran Valerie yang sedikit cemas melihat putrinya barusan. Ia tahu, ada sesuatu yang terjadi. Dan, Valerie hanya berharap semua akan baik-baik saja.

_______Nantikan Kelanjutannya_______

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.

    Comment on chapter Sembilu Dusta
  • eksindrianii

    Ada abg disini????????

    Comment on chapter SERANGKAI FRASA
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter BERMULA KARENA
Similar Tags
The Alpha
1556      744     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...
Rekal Rara
10012      3362     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. â–Şâ–Şâ–Ş Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Right Now I Love You
414      310     0     
Short Story
mulai sekarang belajarlah menyukaiku, aku akan membuatmu bahagia percayalah kepadaku.
SWEET BLOOD
0      0     0     
Fantasy
Ketika mendengar kata 'manis', apa yang kau pikirkan? "Menghirup aromanya." Lalu, ketika mendengar kata 'darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Menikmati rasanya." Dan ketika melihat seseorang yang memiliki 'bau darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Mendekatinya dan menghisap darahnya."
Iskanje
4923      1369     2     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
SIBLINGS
6528      1152     8     
Humor
Grisel dan Zeera adalah dua kakak beradik yang mempunyai kepribadian yang berbeda. Hingga saat Grisel menginjak SMA yang sama dengan Kakaknya. Mereka sepakat untuk berpura-pura tidak kenal satu sama lain. Apa alasan dari keputusan mereka tersebut?
Kesempatan Kedua
895      550     7     
Short Story
Iblis Merah
8804      2369     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Damn, You!!
2708      1022     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Your Moments
8128      2279     0     
Romance
Buku ini adalah kumpulan cerita mini random tentang cinta, yang akan mengajakmu menjelajahi cinta melalui tulisan sederhana, yang cocok dibaca sembari menikmati secangkir kopi di dekat jendelamu. Karena cinta adalah sesuatu yang membuat hidupmu berwarna.