Read More >>"> SATU FRASA (Soal Nyaman) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SATU FRASA
MENU 0
About Us  

 


"Kami pulang dulu, Om, Tante," pamit Cia kepada seisi penjuru ruangan ini.

Ada Ayesha, yang kemudian berdiri dan mengantarkan dua rekan kantornya itu ke lobby rumah sakit.

"Thanks ya, Gif, Ci. Nggak kebayang kalau nggak ada lo berdua pasti gue riweh sendiri ngurusin tuh anak tadi," ucap Aye.

"Santai, lah. Semoga Juwi segera pulih," balas Gifi sambil menepuk pundak Ayesha pelan.

"Semoga," lirih Ayesha, sedikit menyunggingkan bibirnya.

"Ya udah, kita balik ya." Kali ini, Cia yang pamit, memeluk Ayesha sekejap, lalu bergegas ke luar bersama Gifi.

"Oke, hati-hati, kalian," ujar Aye sambil melambaikan tangannya.

Ia tidak bisa berlama-lama, ia sudah janji gantian dengan Izzy untum menjaga Juwi. Tantenya, Bunda Freya masih di ruang operasi sejak sejam yang lalu, ada operasi Cito darurat. Sementara Ayah Miko, beliau sedang ada pertemuan IDrhI rayon Jakarta Raya yang memang sudah jauh-jauh hari terjadwal. Karena itu, niatnya menjemput Juwi tadi pagi, malah mendapat sambutan masam dari sang putri. Bahkan, harus berujung demikian, tidak ada dibayangin Miko sebelumnya.

Jadilah sejak tadi Ayesha sepenuhnya yang mengurusi Juwi dari masuk IGD hingga pindah ke ruang rawat. Untung saja ada Papinya yang bolehlah bisa dikatakan sedikit membantu.

Sementara itu, ada pemandangan tidak biasa di dalam mobil Gifi. Alunan tembang lawas sembilan puluhan meramaikan kesunyian yang terasa sedari tadi. Gifi dan Cia, keduanya saling terhanyut dalam pikiran masing-masing. Diam saja, tidak ada obrolan di antaranya.

Sekar Gaitsa Ayu, yang biasanya ceriwis ini itu, entah kenapa malam ini berbeda. Gifi pun demikian, mereka selayaknya dua makhluk asing yang tidak saling kenal. Bahkan, driver ojek online dan penumpangnya saja terkadang masih renyah bertegur sapa. Namun, mereka tidak.

Rintik hujan di luar sana menambah kesenduan suasana ini. Awalnya hanya hujan ringan, sedikit dingin, hingga membuat Cia mengatur setelan air conditioner di dashboard. Cia mengusap pelan lengannya dengan kedua tangan saling menyilang. Gerakan yang diulang-ulang, berharap ada sedikit hangat yang menelusup.

"Shit!!!" umpat Gifi tiba-tiba, melihat kemacetan panjang di depan sana.

Spontan Cia menoleh, ia mendesah pelan. "Udah biasa juga, kan?" ucap Cia menimpali ekspresi Gifi yang dinilai berlebihan.

Bukankah kemacetan memang karib terdekat warga Ibukota? Jadi, untuk apa heboh seperti itu? Begitu pikir Cia.

"Belum salat Magrib," celetuk Gifi.

Untuk yang ini, Cia meneguk ludah. Ia beristighfar dalam hatinya.

Iya juga ya?

Mereka pamit pulang tepat saat adzan Magrib berkumandang. Baik Gifi maupun Cia tidak sempat berpikir nutut atau tidaknya jika mereka memutuskan untuk pulang saat itu juga. Ditambah, hujan yang tidak mereka duga, yang awalnya hanya hujan ringan hingga sederas ini. Hal tersebut menjadikan jalanan protokol yang memang sudah langganan macet, jadi lebih macet lagi karena kubangan air di beberapa titik. Suatu tamparan tersendiri untuk Cia maupun Gifi, panggilan-Nya mudah sekali terabaikan, dinomor sekiankan, dan disepelekan. Nanti, nanti, tertunda, hingga akhirnya tidak jadi.

"Cari Masjid terdekat deh," usul Cia sambil melirik jam tangan di pergelangannya.

"Nggak mungkin, yang paling dekat ada di seberang. Sejam cuma buat puter balik, sama aja sampai sana sudah Isya," geruru Gifi.

Sementara Cia hanya menghela napas berat. Memang sih, pada akhirnya situasi mencekam hening tadi sudah mencair, ada obrolan tercipta di antara mereka.

Cia menggaruk kecil rambutnya yang tidak gatal. Ia memikirkan cara bagaimana mereka tetap bisa beribadah sebelum waktu Magrib habis.

"Mampir apartemen gue mau?" tawar Gifi.

Cia masih ragu untuk beberapa saat. Gifi ada benarnya, dan yaa... bukan suatu pilihan buruk untuk sekadar numpang salat, kan? Cia bergumul dengan berbagai pertimbangan di pikirannya.

"Tapi, lo anterin gue pulang, kan?"

"Haha, ya iyalah, Ci. Gue yang jemput, masa gue suruh lo pulang sendiri? Mau ngesot?" gurau Gifi dalam kondisi yang tidak tepat.

Entah kenapa, hati Cia mendadak kelabu. Sejak pamit pulang pada keluarga Ayesha tadi, rasanya ada yang menggelitik membuatnya mendadak pengap, dan ia hilang kesenangan.

Cia hanya memasang senyum masam sebagai balasan. Sementara Gifi, sesekali melirik Cia, sedikit bingung juga. Ada apa?

Detik yang berlalu mudah sekali membolak-balikkan suasana hati para penghuninya. Sepanjang tadi ngemal, bukankah Gifi yang tidak bersemangat sama sekali? Lalu kini, dengan cepatnya kesal itu berpindah kepada Cia.

Cia masih diam saja sampai mereka tiba di Apartemen. Gifi menempelkan key card-nya di engsel pintu. Seketika hawa dari pendingin ruangan tercium ketika mereka mulai memasuki unit apartemen milik Gifi.

"Ada mukena?" tanya Gifi sambil mengarah ke lemari wardrobe.

"Ya nggak. Mana gue ngerti bakal gini. Biasanya kan kalau gue ngemal sama Aye pasti salatnya di Masjid Mal."

"Nih, punya adek gue." Gifi kembali sambil membawa mukena parasut yang terbuntal saku kecil.

"Thanks, wudhunya?" tanya Cia sambil celingukan.

"Masuk aja ke kamar, toiletnya ada di situ. Kalau mau salat di kamar ya silakan, lebih bersih daripada di sini. Sajadah ada rak samping meja. Cari aja," tutur Gifi mengarahkan.

"Lo sendiri?"

"Gampang, gue salat di depan sini aja. Numpang wudhu dulu deh."

Lalu, Gifi langsung masuk kamar sambil menggulung lengan kaos dan celanan jeansnya.

Tidak membutuhkan waktu lama, Gifi sudah kembali dengan rambut basah dan muka segar.

Cia sempat terpana beberapa saat sebelum akhirnya mengerjap sadar.

Astaga.

"Kenapa nggak jamaah aja?" tanya Cia.

"Maaf, nggak ada orang lain lagi, Ci. Kita salat sendiri-sendiri aja, ya?"

Cia tertegun dengan jawaban Gifi. Ia lupa, Gifi memang selalu menolak berjamaah ketika hanya berdua, laki-laki dan perempuan, siapapun itu, bukan cuma dirinya. Menurut Gifi sih, salat jamaah seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hanya akan menimbulkan fitnah di sana sini, lalu jatuhnya bukan salat mereka yang diterima, tapi dosa karena mendekati zina, sekalipun niatnya salat. Karena, yang Cia tahu pun, berdua-duaan dengan lawan jenis saja sudah termasuk kategori mendekati zina, apapun konteksnya. Setidaknya harus ada orang ketiga yang menengahi. Yaa... Wallahu alam.

Cia tahu semua itu, tapi hal-hal seperti ini kan susah untuk dipraktikkan di kehidupan sehari-hari. Susah untuk dihindari ketika mereka ranahnya sedang dalam pekerjaan. Apalagi di kantornya, banyak laki-laki, dan kliennya pun demikian. Pekerjaannya menuntut untuk banyak ketemu orang yang notebene berlawanan jenis dengan Cia. Seperti tadi saat pulang, bukankah mereka juga berduaan? Bahkan kontak fisik, seperti contohnya pegangan tangan, atau aksi nampol sebagai guyonan, atau usapan pelan di kepala, dan lainnya, tidak bisa mereka hindari begitu caranya. Kecuali ia benar-benar sudah mengukuhkan hatinya untuk benar-benar hijrah ke jalan yang benar.

Terkadang Cia juga memikirkan, kehidupan dunia ini selalu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Tuhan-Nya. Ia tahu, namun masih saja ada kata tetapi. Ah, perihal demikian memang tidak pernah habis untuk dibahas.

Usai salat, Cia tidak langsung beranjak menemui Gifi di luar sana. Ia mengamati seisi kamar Gifi, tergolong rapi untuk ukuran kamar cowok. Desainnya yang sangat manly, kentara sekali dari pemilihan warnanya, Gainsboro dengan sedikit aksen FireBrick di beberapa titik, membentuk garis lurus dan piramid. Cia suka, nuansa kamar Gifi memang menenangkan.

Namun, belum juga ketenangannya itu genap, ponsel Cia yang ia letakkan di kasur Gifi kembali berkedip-kedip, getarannya membuat Cia langsung membuka.

Hatinya kembali melorot saat satu pesan yang ia baca begitu menyesakkan.

Sudah dari tadi sebenarnya. Bahkan, kalau dirunut, hal yang membuat Cia suasana hatinya memburuk adalah telepon dari seseorang tadi malam.

Mungkin tadi ketika mereka ngeMal, Cia masih bisa menahan. Namun, begitu selesai mengantarkan Juwi ke rumah sakit, satu pesan teks membuatnya kembali muram. Mood-nya langsung anjlok sampai ke dasar. Cia lalu memilih diam, Gifi bisa dengan jelas mencurigai ada yang tidak beres terhadapa temannya ini.

Namun kini, ia tidak bisa membendung tangisnya.

Punggungnya bersandar kasur milik Gifi, masih dengan bawahan mukena yang belum terlepas, beralaskan sajadah untuk salat tadi.

Cia menangis, pelan, tapi begitu dalam.

Ia menelusupkan kepalanya di kedua tangan yang berpangku di atas kakinya yang tertekuk itu. Lalu, ia kembali menumpahkan rasa sesak tersebut.

Cia tidak pernah berpikir hal-hal seperti ini bakal menghampirinya.

Godaan serta rumor soal hubungan jarak jauh yang bakal sulit memang santer ia dengar sebelum ini. Tapi Abangnya selalu meyakinkan jika mereka bisa.

Lalu sekarang? Kata 'bisa' tersebut agaknya hanya isapan jempol belaka.

Cia tidak mampu kalau harus begini terus.

Cia berteriak dalam tangisnya, meraung pelan berusaha agar tidak terdengar hingga ke luar.

Sementara di ruang utama apartemen, Gifi mendengar suara sesenggukan dari dalam. Tidak ada perkiraan lain selain terjadi apa-apa dengan Cia. Tanpa tedeng aling, Gifi membuka pintu kamarnya hinga terjerembab.

Gifi memang sebelumnya bertanya-tanya, apa yang Cia lakukan di kamarnya hingga sampai tiga puluh menit belum keluar juga. Ia ingin menyusul dari tadi, tapi Gifi takut kalau-kalau Cia masih berdoa lepas salat.

Dugaannya salah. Gifi menemukan Cia yang duduk di bawah kasurnya. Ia segera menghambur, ikut bersungkur di lantai, meneliti Cia sesaat.

"Ci, lo kenapa?" tanya Gifi bingung.

Sementara Cia masih menunduk, sambil punggungnya bergetar hebat menahan tangis. Belum ada jawaban dari empunya.

"Hei, Ci, jangan gini, please. Say something, jangan buat aku takut gini, Ci." Gifi mendongakkan kepala Cia.

Muka sembab berderai air mata. Rambut berantakan, bahkan hingga basah berpadu dengan hawa panas akibat tangisan Cia.

"Abang...." lirih Cia masih dengan nada bergetar.

"Abang?" tanya Gifi.

Ia sebenarnya tahu siapa Abang yang dimaksud Cia, tapi Gifi hanya memastikan bahwa dugaannya benar.

Cia mengangguk, menyusut air matanya, dan melepas bawahan mukena yang masih dikenakannya tadi.

"Pacar lo?" Gifi melepaskan pegangan tangannya, sedikit mundur, tidak sedekat tadi.

Cia kembali mengangguk. Sementara Gifi, bingung dengan dirinya, ada rasa mencelus yang tiba-tiba mencuat dalam hatinya.

"Kenapa?" tanya Gifi datar.

"Gue nggak ngerti gue salah apa. Gue lebih nggak ngerti lagi dia kenapa bisa sampai kayak gini," jelas Cia sambil merapikan mukena.

"Kayak gini gimana?"

Cia menyedot ingusnya kembali, membuat Gifi dengan rela menyerahkan kotak tissue untuk perempuan itu. Ewh, tapi tidak ada kata jijik untuk sebuah pertemanan bengsrek kan? Itulah mereka.

"Makasih," ucap Cia sambil menyabut satu lembar tissue. "Ini tuh bukan Abang. Dia nggak pernah bicara kasar sama gue, Gif. Membentak pun nggak pernah. Tapi semalem--" Cia memutus perkataannya, kembali menangis tersedu-sedu.

"Terus?"

"Ya Abang telepon sambil ngomong keras-keras gitu, Gif. Habisnya langsung diem sampai sekarang. Gue teks, WA, Line, awalnya nggak dibales. Sekali bales nggak enak banget."

Gifi diam sejenak. Cia pun demikian.

"Mau cerita?" tawar Gifi.

Cia masih menelisik mata Gifi beberapa detik. "Jangan bilang siapa-siapa sekalipun itu Aye, ya?"

"Nggak akan."

Mereka mengatur posisi duduk mereka menjadi lebih rileks. Masih di lantai kamar Gifi, mereka berhadapan. Cia menaruh dagunya ke lutut yang ia tekuk. Sedangkan Gifi duduk bersila siap menjadi pendengar terbaik. "Jadi?"

Cia menghirup udara sekitar dengan dalam. "Apa salah kalau cewek duluan yang ngomongin soal nikah?" tanya Cia.

"Hah?"

"Jawab itu dulu, Gif."

Gifi awalnya ragu ingin menanggapi dengan serius.

"Yaaa... nggak, sih. Tapi, itu tergantung gimana pasangan lo nyikapi juga," jawab Gifi berusaha senetral mungkin.

"Gue dan Abang udah enam tahun, apa salah kalau gue minta kepastian?"

"Nggak ada yang salah, Ci."

"Tapi kenapa Abang segitu marahnya? Apa itu berarti dia nggak menginginkan sebuah pernikahan?"

"Lo nggak bisa langsung nyimpulin juga." Gifi berusaha menenangkan.

"Gue merasa bego. Penantian gue selama ini serasa sia-sia. Bodoh." Cia mengetuk-ketuk kepalanya pelan.

Gifi menghalau tangan Cia. "Ci, ini pandangan gue sebagai cowok, ya."

"Apa?" lirih Cia dengan nada lemas.

"Bukan berarti kami nggak suka, kalau pasangan kami membicarakan pernikahan terlebih dahulu, tapi, itu soal harga diri. Secara nggak langsung lo udah ngeraguin dia. Tahukah kaum kalian, bahwa diamnya kami, bukan berarti tidak serius, bukan. Kami hanya menunggu waktu yang tepat--"

Belum sampai Gifi menyelesaikan kalimatnya, Cia dengan lantang menyela, "sampai kapan?"

"Sampai kami siap secara mental, secara finansial, lahir dan batin. Dan, selama masa diam tersebut, ada upaya yang sedang kami lakukan untuk menempuh itu," jawab Gifi dengan tenang.

"Nggak dengan diam aja, Gif. Setidaknya adalah obrolan mengarah ke sana. Bukan seperti ini." Cia tidak terima, emosinya mulai memburu.

"Memang, tapi kan beda-beda juga, Ci. Mereka nggak mau obrolin 'soal itu' dulu karena nggak mau memberikan harapan palsu mungkin, itu satu. Kedua, seperti tadi, bahasan ini sensitif dan serius, sekali ada kata tercetus, ya udah, lo harus benar-benar komitmen, nggak bisa lo tarik lagi," jelas Gifi.

"Lagian nunggu apa lagi sih, Gif? Bukankah materi bisa dicari bersama? Gue nggak nuntut dia macam-macam. Kita jalan bareng, ya udah ayok. Gue bukan cewek yang nuntut harus gini harus gitu, kok."

"Banyak yang ditunggu, Ci. Memang finansial itu salah satunya. Tapi, kesiapan batiniah, itu yang paling utama. Karena ketika kita udah istilahnya 'meminta' ke orang tua si cewek, dan mereka menyetujui itu, kita harus siap menanggung apapun atas si cewek yang semula ditanggung orang tuanya.

Ya sandang, ya pangan, ya papan. Semuanya. Lo tahu nggak kalimat ijab qobul itu artinya apa?" Kali ini, Cia dibuat tediam oleh Gifi.

"Ya saya terima nikahnya, intinya ya saya ambil anak bapak sebagai istri saya bla bla bla," jawab Cia asal.

"Hahaha, nggak sesimpel itu, Ci. Ada makna mendalam, yang kadang luput untuk diresapi mempelai pria. Akad itu janji. Janji kepada Tuhan kita.

Ketika kami sudah mengucapkan, 'saya terima nikah dan kawinnya, misal nih, Sekar Gaitsa Ayu binti Ayahnya Sekar dengan mas kawin tersebut tunai,' itu nggak cuma gitu.

Artinya adalah, 'Maka aku tanggung dosa-dosanya si Sekar dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan salat. Semua yang berhubungan dengan si Sekar, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku.' Gimana? Ngeri, nggak?"

Cia menyebikkan bibirnya. Dagu yang masih tertempel di lutut, dengan jari tanganya yang berputar-putar di lantai. "Berat sih," jawab Cia pelan.

"Karenanya itu nggak semudah yang lo bayangin, Ci."

Namun, yang namanya hati sedang dirundung gundah, mau sekelas Mario Teguh bersabda pun, ia tidak akan bisa terima dengan logika. "Iiih, tapi tetap aja, Gif. Kalau emang nggak siap ya udah, lepasin gue, biar gue cari yang lain." Selalu ada sanggahan atas itu.

"Emangnya lo mau diputusin?" Gifi menyindir Cia.

"Kampret! Nggak gitu juga. Lo mah doain gue yang jelek-jelek."

Cia tidak terima, ia mengeplak lengan Gifi.

Sementara Gifi terkekeh puas. "Hahah, kali aja pas lo putus itu lebih membuka kesempatan pria-pria lain yang lebih serius ke lo. Sesuai keinginan lo untuk segera nikah," ucap Gifi dengan sorot mata dalam kepada Cia.

"Ngemeng tinggal mangap enak, ye. Nggak bayangin gue kalau diputusin Abang terus gue harus mencari dari awal lagi, meniti bersama orang lain dengan rasa yang berbeda. Nggak bisa, Gif." Cia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir segala praduga buruk di pikirannya.

"Ada gue, Ci."

Cia mendongak, menemukan Gifi yang sedang melihatnya dengan pandangan lain.

"Ya terus apa pengaruhnya?" Cia berusaha menghalau itu.

Konyol! Ia tidak ingin pikirannya semakin ke sana-sini, ngaco.

Gifi tersenyum masam. Sedikit ada kecewa dari rautnya.

"Gue bakal selalu support lo. Kayak lo yang selalu dukung gue di saat titik terendah gue kemarin-kemarin itu," kata Gifi sambil mengacak pelan rambut Cia.

"Move on, Gif. Cobalah buka hati lo untuk yang lain. Nggak usah jauh-jauh, sekitar lo aja perhatiin. Kali aja ada seseorang yang menaruh harap lebih ke lo. Jangan batasi dia untuk berusaha, give her chance." Nasihat Cia tak pelak membuat Gifi sedikit berpikir.

Bukan ia tak tahu siapa yang dimaksud Cia. Justru Gifi tahu persis perihal itu. Namun, sekali lagi, ini hanya soal rasa yang belum terbiasa. Mungkin, nanti.

"Naya belum mau pergi dari hati gue, Ci. Lagi pula ini soal nyaman," bala Gifi beranjak dari duduknya, pindah ke atas kasur dan merebahkan diri di sana.

"Lo tadi nasihatin gue panjang. Mau banget gue nasihatin balik? Bakal lebih panjang lagi nih." Cia juga bangkit, duduk di sofa panjang.

"Hahaha, gitu dong. Kalau nyablak gini berarti Cia udah balik. Nggak diem-diem horor kayak di mobil tadi."

Gifi kembali bangkit, berjalan keluar dengan kedua tangan masih nyangkut di saku celana.

"Ye, lo pikir, lo kemarin-kemarin apa kabar? Udah kayak mumi aja tau nggak?" Cia mengekori dari belakang.

Gifi hanya terkekeh kecil sebagai balasan. Ia sedang menyeduh comlat hangat di pantry kecil apartemennya.

Cia mendadak ingat sesuatu. "Astaga. Jam berapa ini, Gif?" teriak Cia horir sambil menoleh ke jam dinding tepat di atas teve.

"Jam sepuluh."

"Gila!!! Hampir tiga jam kita ngobrol." Cia masih belum percaya dengan keadaan yang ada.

Ia merutuki dirinya, kenapa bisa sampai lepas dengan lolosnya tanpa kontrol waktu dan juga emosi. Bahkan, ia lupa apa-apa saja yang telah ia muntahkan kepada Gifi tadi.

Efek galau bisa seperti orang habis minum alkohol satu gelas dalam seteguk, ya? Bahkan ia bisa lupa diri.

"Lah lo asyik cerita. Gue juga nggak berani nyetop." Gifi menyerhkan satu mug coklat hangat.

Cia menyeruput sedikit, "anterin gue pulang," pintanya sambil berkemas.

"Kalo lo nginep sini aja gimana, Ci?"

"Hah?" Pertanyaan Gifi jelas langsung mendapat pelototan tajam dari Cia.

"Lo lihat di jendela, hujannya belum berhenti, malah lebih deres sama ada petir juga. Yakin masih mau pulang? Bisa jam satu nyampe rumah lo. Cek Maps coba." Cia benar-benar menyibak tirai di jendela kaca apartemen Gifi.

Memang benar, bahkan jendela kaca tersebut jelas sekali menampilkan noktah rintik hujan yang menetes ke bawah.

Cia juga mengecek ponselnya, membuka aplikasi Maps online seolah nggak percaya omongan Gifi.

Namun, naas, Gifi benar semua. Shit!

"Hah?? Apaan sih merah semua. Astaga. Terus gimana?" Cia kelimpungan sendiri, bingung bagaimana ia bisa pulang cepat tanpa macet dengan genangan di mana-mana

"Tenang aja, lo tidur aja di dalem. Gue tidur di sini," ucap Gifi sambil menunjukkan sofa panjang di ruang utama

"Nggak usah ngaco."

"Apa lo mau gue tidur bareng di kamar?" Gifi merusaha mengajak Cia sedikit cooling down.

Sudah benar tadi perkara galau Cia berhasil Gifi alihkan, janganlah ditambahkan keruwetan soal urusan pulang dan lain-lain.

"Lebih nggak lagi!!! Jangan macam-macam, Gif."

"Gue masih punya iman, Ci. Bercanda elah."

"Ya tapi lo juga jangan tidur sofa juga. Badan lo pasti bakal sakit-sakit."

"Udah biasa, gue mau nonton bola dulu."

"Tapi?" Cia masih belum sepakat sepenuhnya.

"Udah, gih masuk, have a tight sleep." Gifi sedikit membimbing tubuh Cia untuk masuk ke kamarnya sedikit paksa.

Sekalipun Cia terbengong masih ragu, tapi pada akhirnya Cia pasrah. Secara tidak langsung ia setuju. Karena nekat pulang bukanlah keputusan yang bijak. Ya, Cia tahu bagaimana Ibukota saat hujan deras begini. Pada akhirnya, Cia terima saja, mengempaskan tubuh lelahnya di kasur king size milik Gifi.

Soal Abangnya yang entah bagaimana kabarnya sekarang, Cia tidak ingin memikirkan terlebih dahulu.

******

Juwi masih memasang wajah masamnya. Ia sudah sadar, dan begitu mendapati kedua orang tuanya berada di kamar rawat, ia kemudian pura-pura tidur kembali.

?


Lagian, tubuhnya masih benar-benar lemas. Sudah lama asmanya tidak mendapatkan episode. Ia lupa rasanya sakit, tapi bolehkah ia senang karena dengan begitu kedua orang tuanya jadi lebih perhatian?

Juwi masih pura-pura memejam hingga ada suara lain datang ke dalam kamar rawatnya.

"Yik?" sapa Bundanya, ia hapal suara itu.

Oh, siapa lagi yang dipanggil Bunda dengan sapaan Yik kecuali Omnya, Papi Ayik. Namun, tetap saja, Juwi masih betah berpura tidur.

"Masih tidur?" tanya Fachry mendekati brankar Juwi.

Firasat Juwi sudah tidak enak. Ia merapal, jangan sampai saja dokternya itu adalah si Papi. Bakal lebih panjang urusannya nanti.

"Masih. Mau cek?" Bundanya kembali bertanya.

"Iya, bangunin gih."

Benar kan? Duh!! Juwi semakin nggak ingin membuka mata. Kalau dokternya si Papi, sudah dipastikan ia tidak akan bisa kong kalikong melancarkan aksi kabur, misalnya.

"Juwi, bangun sayang." Suara Bunda membangunkannya sambil mengelus pipinya pelan.

Juwi masih enggan membuka mata. Ia berusaha memepertahankan matanya untuk tetap terpejam seperti ini.

"Wi, bangun dong. Ada Bang Ray juga tuh." Kali ini suara Ayahnya yang belum ia dengar sama sekali sedari tadi.

Praktis, Juwi berubah pikiran. Juwi langsung melek, tapi tetap tenang dengan kepura-puraannya. Sedikit mengerjap ala-ala orang bangun tidur beneran.

Setelah matanya membuka sempurna, hanya ada tiga orang yang ia lihat. Lah? Mana Abang Rayyan?

Juwi gondok maksimal. Ayahnya menyebalkan. Kalau kayak gini kan bakal ketahuan dan terlihat Juwi begitu ngebet sama Abang Ray.

"Wi, Papi cek dulu ya." Kini Papi Ayik sudah siap dengan senjatanya.

Juwi hanya mengangguk pasrah. Sudah kepalang basah ia bangun, nggak mungkin juga ia pura-pura tidur kembali.

Fachry kemudian melakukan prosedur pemeriksaan seperti biasa, mengecek semua vital Juwi. Yang lebih penting, Fachry mengecek pernapasan Juwi yang dirasa sudah mulai kembali normal, sekalipun masih terdengar suara hypersonor dan wheezing saat dilakukan aukultasi tadi.

"Wi, coba napas biasa." Fachry kembali menempelkan stetoskopnya, dan mendengarkan dengan saksama irama jantung Juwi. Heart murmur masih terdengar sesekali.

?


"Gimana?" tanya Freya sedikit cemas.

"Ya, masih sesak. Tapi udah nggak seberat tadi, observasi instensif aja dulu. Sudah nggak perlu oksigen kan, Wi?"

Juwi menggeleng. Ia tidak ingat apa-apa sejak terakhir yang ia ingat siang menjelang sore waktu masih di Mal tadi.

"Ya udah, good. Kamu ini kecapekan seminggu kemarin. UTS dan persiapan Grand Prix kan?"

Juwi teringat kembali. Mendengar kata Grand Prix sama dengan menyibak luka dan kecewanya. Belum kering soal kemarin, Papinya berusaha menyongkel kembali rasa sakit hati yang berusaha ia abaikan. Ia melirik Ayah Bundanya sekilas. Mereka juga sedang memandang Juwi, sedih. Juwi mengalihkan pandangan.

"Papi ntar sore ke sini lagi," ucap Fachry mengalihkan, menyadari bahwa ada yang salah dengan penuturannya tadi. "Mik nggak makan?" ajak Fachry kepada Miko.

"Umak duluan deh. Nggak nafsu ayas."

"Makan gih, Yah." Freya meminta Miko dengan isyarat.

"Ya kamu juga belum makan, Bun," balas Miko tidak ingin meninggalkan istrinya.

"Makanya, ke kantin sama Ayik sana, beliin aku maem juga." Freya kembali membujuk Miko untuk keluar.

Ia ingin memiliki waktu bersama dengan putrinya. Bagaimana pun masalah ini tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut.

Miko menurut, mencium pelan kening istrinya, lalu keluar bersama Fachry.

Sementara itu, Juwi memutar mata jengah. Sumpah! Mereka masih sempat ya membuatnya iri? Juwi muak dengan kemesraan yang mereka pamerkan.

"Bunda makan sama Ayah aja. Juwi nggak papa kok sendiri." Juwi kadung kesal. Ia masih belum ingin bersama dengan Bundanya hanya berdua, di dalam ruangan yang sepi ini.

Freya sudah duga. Ia hanya bisa membuang napas berat. Maksud hati untuk mengajak Juwi baikan, tapi sepertinya belum saat ini. Ia tidak ingin menambah masalah dengan kondisi Juwi yang masih labil begini.

"Beneran?" tanya Freya memastikan.

Juwi mengangguk. Freya pasrah memilih keluar juga, menyusul dua prianya di depan sana.

Batal. Tidak sekarang prosesi perdamaian itu.

Setelah ia lagi-lagi sendiri, Juwi menumpahkan tangisnya kembali. Rasanya begitu sebal, benar kan bahwa orang tuanya pun seperti enggan merawat dirinya. Bunda dan Ayah begitu tak acuh, dan bagian mana yang kata Kak Aye mereka khawatir dalam diam?

Selama masa tidur bohongan tadi, sebenarnya Juwi ingin tahu, apa yang dilakukan kedua orang tuanya. Ya memang benar, tidak ada pembicaraan soal dirinya, rasa sesal baik dari Miko maupun Freya. Juwi malah mendengar beberapa kali Ayahnya menerima telepon, membicarakan soal bisnisnya. Sementara Bunda, beberapa kali Juwi dengar ada beberapa mahasiswa koasnya yang menemui. Itu artinya, mereka berdua tidak fokus kepada Juwi kan?

Jangan nangis, jangan nangis. Juwi menyugesti sendiri dirinya. Ia tidak ingin mendapatkan episode lanjutan. Cukup tadi asmanya kambuh nggak tahu diri.

Saat Juwi mengusap air matanya, tiba-tiba saja pintu terbuka.

"Abang?"

Rayyan datang dengan kemeja putih dan jas lab yang ditentengnya. Oh, Abangnya mungkin baru saja lepas shift koas.

"Hai, Wi. Gimana? Feel better?" tanya Rayyan mendekat ke arah Juwi.

"Better kok, daripada sebelumnya. Abang nganggur banget ya sampai bisa ke sini?" sindir Juwi, padahal asli, kalau ia tidak sedang terbaring begini, ia sudah jingkrak-jingkrak kali ya.

Atau justru Juwi sudah berlari ke arah Rayyan dan menyudruk Abangnya itu. Sayang, kali ini nggak bisa. Ya sudah, Juwi terima puas hanya dengan memandangi Abangnya yang juga nyengir dengan kedua tangan disembunyikan di belakang.

Juwi menautkan alisnya sesaat.

"Pengen kasih ini buat yang ngambek aja."

?


Astaga, astaga. Jangan sampai saja dirinya kembali anfal karena perlakuan manis dari Rayyan.

"Abang?" lirih Juwi belum percaya.

Hei jantung, jangan copot ya.

"Get health soon, Mbul. Nggak usah ngambek-ngambek lagi, bisa?" ucap Rayyan sambil memberikan bouquet bunga yang awalnya disembunyikan tadi.

Namun, kalimat terakhirnya kok menohok ya. Juwi menerima bunga tersebut sih, tapi dengan bibir menyebik begitu.

"Iiih, Juwi masih kesel sama Ayah Bunda, Bang."

Rayyan mengambil kursi, mengenakan kaca matanya, lalu duduk santai di samping bed perawatan Juwi.

?


"Wi, mau nggak kabur?" celetuk Rayyan tiba-tiba.

"Hah?" Tentu saja Juwi kaget.

"Lo bosen, nggak?"

"Emang boleh, Bang?" tanya Juwi penuh selidik.

"Kalau boleh bukan kabur namanya."

Iya juga sih. Namun, Juwi belum habis pikir dengan Abangnya. Ia datang ke sini khusus menjenguknya sambil membawa bunga. Sudah macam pacar saja nggak sih? How sweet he is? Hati Juwi sudah bermekaran. Ia bahkan lupa soal kekesalannya terhadap Ayah Bunda.

"Gimana cara?"

"Mau, nggak?" tawar Rayyan lagi.

"Mau." Satu kata dengan cepat Juwi anggukkan.

"Oke."

Lalu, detik berikutnya, Juwi manut mau dibawa ke mana oleh Rayyan.

Tidak susah memang, Juwi cukup pakai masker, begitu pun dengan Rayyan, ia mengenakan jas koasnya, tertutup masker pula. Dengan bantuan kursi roda, mereka menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah biasa agar tidak terlalu kentara. Doanya satu, semoga tidak bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal. Rumah sakit ini penuh tembok bisa bicara, jangan sampai mereka terjaring operasi tangkap tangan.

Rayyan termasuk lihai, mereka berhasil keluar menuju parkiran. Juwi memasuki si Rushuh dibantu dengan Rayyan.

"Let's get lost, Wi," seru Rayyan sambil menancapkan gas mobilnya.

Oh, Juwi merasa diculik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.

    Comment on chapter Sembilu Dusta
  • eksindrianii

    Ada abg disini????????

    Comment on chapter SERANGKAI FRASA
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter BERMULA KARENA
Similar Tags
Bulan
715      416     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali
SALAH ANTAR, ALAMAKK!!
804      565     3     
Short Story
EMMA MERASA BOSAN DAN MULAI MEMESAN SESUATU TAPI BERAKHIR TIDAK SEMESTINYA
Kebaikan Hati Naura
593      328     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.
Kamu
251      202     0     
Short Story
Untuk kalian semua yang mempunyai seorang kamu.
When Home Become You
410      305     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Rembulan
953      534     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
SILENT
5055      1533     3     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
Tinta Buku Tebal Riri
506      327     0     
Short Story
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan kejadian, nama dan tempat hanyalah kebetulan semata. NB : picture from Pixabay.com
Kalopsia
546      435     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
DUA PULUH MENIT TERAKHIR
400      286     0     
Short Story
Setiap waktu sangat berarti. Selagi ada, jangan terlambat untuk mengatakan yang sesungguhnya. Karena kita tak tahu kapan waktu akan merenggutnya.