Loading...
Logo TinLit
Read Story - SATU FRASA
MENU
About Us  

Minggu pagi, memang adalah waktu yang paling sempurna untuk bermalas-malasan. Bangun siang bukanlah hal yang haram, justru suatu anjuran. Seperti Juwita, ia baru saja bangun saat jarum menunjukkan pukul enam di jam weker di atas kenap. Matanya masih mengerjap, suasana kamarnya kok tiba-tiba berubah ya, tapi tidak asing memang. Oh ia lupa kalau ia lagi ada di rumah tantenya.

Masih dengan muka bantal yang sangat kentara, Juwi turun ke lantai dasar untuk mencari Maminya. Ada Fachry yang sedang menyeruput secangkir teh sambil membaca koran di selasar belakang. Sementara Val, Maminya itu tentu saja lagi asyik berkutat di dapur. Kendati ia ingin membantu, tapi rasa malas lebih menguasainya. Jadilah ia lebih memilih melipir ke ruang tengah.

Ada Izzy yang sedang terpekur memeluk bantal panjang di kasur ruang tengah dengan teve yang menyajikan tayangan kultum subuh dibiarkan menyala begitu saja. Pastilah sepupunya satu ini lepas salat subuh tadi alibinya bangun tapi pindah tidur saja.

Juwi berinisiatif untuk mengerjainya. Bantal sofa ia lemparkan ke arah Izzy, berharap tuh anak terganggu dan segera bangun. Namun tidak, itu sama sekali nggak mempan.

Cara lain yang Juwi lakukan adalah, dengan jail ia memencet hidung Izzy sampai terdengar bunyi ngorok yang membuatnya puas terpingkal-pingkal.

"Woey bangun Jijiiii!!! Molor mulu deh!"

Izzy gelagapan. Ia mengucek matanya, menemukan Juwita sedang nyengir puas karena ulahnya berhasil.

"Weeeh, ada anak ini. Ngapain lo di sini?"

Izzy memang tidak sempat ketemu ketika Juwi dan Maminya pulang semalam. Lha wong dia sendiri baru pulang pukul dua dini hari tadi. Ia cuma tahu dari update-an di Line Himpunan kabar bahwa Medchoir berhasil menyabet piala bergilir Java Grand Prix Festival.

"Mamiiiiiii... Tukul molor ae nih, Mi."
Alih-alih menjawab pertanyaan Izzy, Juwi lebih mencari perkara lain dengan mengadu ke Maminya.

"Cie yang menang semalem. Gilaa Medchoir, bisa ngalahin Gita Svara. Pake pelet apa tuh?" goda Izzy dengan suara masih serak khas orang bangun tidur.

"Anying!!! Kagak ada main pelet. Lo nggak tahu kalau suara gue tuh sekseh sejak dulu? Ke mana aja lo!" balas Juwi nggak terima dengan tuduhan yang dilayangkan oleh Izzy.

"Yeee ngapain gue harus tahu gembul. Penting banget?"

Dan kerusuhan pun terjadi, "Izzzy!!!! Ih lo jahat banget siiih." Mereka perang bantal hingga membuat ruang tengah seperti kapal habis dijarah oleh bajak laut. Pecah, berserakan, semoga aja Mami tidak marah melihat kelakuan dua anaknya ini.

"Apaan sih ada berisik?"

Suara Ayesha menghentikan mereka berdua. Ia menuruni tangga dengan malas, kupingnya sejak tadi sudah pengang mendengar kegaduhan yang terjadi di bawah sini.

"Adek lo tuh, Kak," tuding Juwi ke arah Izzy. Yang bersangkutan sih santai saja, memegang remot teve dan mengganti channel berita pagi.

"Jadi kapan makan-makannya, Wi?" Kini Ayesha ikut nimbrung.

Sepertinya menggoda Juwi memang suatu kewajiban kalau lagi ngumpul gini. Karena bisa dipastikan Juwi bakal memasang mode merajuk bersungut-sungut membuat semua penghuni rumah dibuat gemas olehnya.

"Makan-makan apa elah?"

"Syukuran, Wi. Biar kemenangannya berkah," ucap kakaknya mulai membuat Juwi gondok.

"Syukur.... Alhamdulillah," balas Juwi dengan meraupkan kedua tangannya ke muka.

"Nasi kotaknya?" pinta Ayesha.

"Yah elu minta cuman nasi kotak sih, Kak. Pizzanya?" pinta Izzy tak ingin kalah.

"Dateng aja kagak. Segala minta syukuran. Nggak ada ya cerita." Juwi sudah mulai kesal. Dua sepupunya itu nggak tahu diri sekali, sudah diundang nggak dateng, sekarang malah memalaki dirinya secara terang-terangan.

"Ju, gue pengin datang seriusan. Tapi gue lupa bisa samaan gitu sama jadwal racing," terang Izzy berusaha menjelaskan.

"Preet, gue nggak percaya bualan lo sekarang, Ji!"

"Kalo gue..." Ayesha tak ingin kalah, ia masih memikirkan alasan yang tepat untuk adikknya itu.

"Nggak perlu kak, i know kok," balas Juwi dengan sebal.

"Hahaha, good girl," ucap Aye sambil menepuk-nepuk pundak Juwita.

Panggilan dari Valerie membuat mereka harus rela menyudahi ajang saling ndusel dan berleha-leha depan teve. Izzy sudah diminta oleh Maminya itu untuk mencuci mobil-mobil di garasi, milik Papi dan Maminya. Sementara Ayesha sudah berkutat dengan sapu dan kain pel. Juwi sendiri, sekalipun ia statusnya tamu, tapi bagi Val lain ceritanya, Juwi tetap mendapatkan perlakuan sama seperti kedua anaknya. Alhasil, saat ini Juwi kudu rela menyirami bunga-bunga di taman belakang dengan sang Papi yang sedang mencabuti rumput liar dan membersihkan parit.

Seolah sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga mereka, Minggu pagi bukanlah waktu bermanja-manja. Sekalipun mereka memiliki ART, tapi Valerie selalu membiasakan suami dan anak-anaknya untuk tidak terlalu tergantung, khususnya di hari Minggu begini. Jadilah kegiatan rutin ini selalu dijadikan Valerie sebagai syarat mengambil jatah sarapan.

Setelah berpeluh keringah sambil sekalian olahraga pagi, Valerie pun sudah siap dengan hidangan sarapan yang menggugah selera makan mereka. Padahal pada belum mandi, hanya cuci tangan pakai sabun saja tapi mereka sudah kelewat lapar dan ini nggak bisa ditunda lagi. Jadilah nasi goreng dengan omelet cukup memanjakan lidah serta cacing-cacing di perut mereka.

*****

Sebenarnya Juwi masih sakit hati dengan kedua orang tuanya. Apalagi kalau ingat semalam. Rasanya sakit, tapi tidak berdarah, mungkin hatinya sudah lebam kali ya sekarang. Kalau diingat kembali, Ayah dan Bundanya tega sekali. Sekalian saja kalau memang tidak bisa, tidak perlulah mengumbang janji seperti kemarin.

Papinya sudah menawari untuk mengantarnya pulang ke Kalibata, tapi Juwi masih enggan. Usai sarapan dan mandi, Juwi memilih untuk menghabiskan Minggu paginya kembali di depan teve dengan bantal dan ponsel yang tak pernah lepas. Izzy sudah pamit entah ke mana Juwi tak begitu memperhatikan. Sementara Ayesha sendiri, Juwi juga nggak mengerti, ngapain Kakaknya itu ngendon di kamar sedari tadi.

Baru saja ia membatin, Ayesha menuruni tangga dengan pakaian yang sudah rapi dan clutch yang terselampir di tubuhnya.

"Mau ke mana, Kak?" tanya Juwi ingin tahu.

"Mingguan dong. Ya kali Minggu gini di rumah aja. Sorry lho ya," balas Aye mengejek dirinya.

"Fakyuuuu, Mamiii....." Ia kesal bukan main. Ia mengasingkan diri ke sini kan mau cari teman, lah ini pada mau pergi sendiri-sendiri tanpa mengajaknya.

Poor, Juwita.

"Ngaduan deh lo, Mami siapa juga," ucap Aye sambil memasangkan flat shoes di kakinya.

Juwi semakin kesal, ia berusaha tidak peduli dengan memfokuskan dirinya ke layar kaca. Namun, tiba-tiba saja ia mendengar ramai-ramai dari arah depan. Gasrak gusruk seperti ada tamu juga jeplakan pintu mobil yang menambah rasa penasaran Juwi. Belum lagi suara Mami serta Papinya yang terdengar sedang mengobrol dengan tamu tersebut.

Dan, ternyata itu Ayah Bundanya.

"Neng? Juwi," sapa Freya begitu mereka memasuki rumah.

Juwi mendadak diam. Tidak berkutik sama sekali. Tidak ingin menanggapi juga.

Miko, Ayahnya itu langsung menyamperi dirinya di depan teve. Ikut duduk di samping Juwi persis, membuatnya sedikit menggeser posisi duduknya karena tidak ingin berdekatan dengan sang Ayah.

"Kok pulang ke sini nggak bilang sih semalem?" tanya Miko sambil membelai rambut putrinya tersebut.

"Harus bilang?" balas Juwi sewot.

"Setidaknya ngabari, biar Ayah dan Bunda nggak bingung cariin," timpal Freya dari arah dapur. Entah apa yang dikerjakan Bundanya di dapur sana, Juwi enggan mencari tahu.

"Oh Ayah dan Bunda nyariin? Setidaknya ngabari juga kalau nggak bisa datang. Nggak usah janji-janji tok." Giliran Juwi yang melemparkan serangan.

Skak! Miko merasa tertohok dengan penuturan putrinya. Ia sadar kalau gadisnya itu sedang merajuk soal semalam. Ia dan Freya juga sadar kok karena kelalaiannya hingga lupa untuk menghadiri acara penting Juwita. Lalu kalau sudah begini, ia tahu ini bakal panjang dan lama.

Juwi bangkit, ia berlari menaiki tangga meninggalkan Miko.

"Juwi," teriak Miko menghentikan Juwi.

"Juwita."

"Sayang." Namun, Juwi ya Juwi, sekali saja ngambek tidak mudah untuk membujuknya kembali.

Suasana mendadak jadi mencekam. Bahkan Ayesha yang hendak keluar mendadak mengurungkan niatnya itu. Freya dari dapur bersama Val membawa buah potong segar dan dan segelas sirup ikut mendesah pasrah melihat Juwita yang mungkin saja sekarang sudah mengunci diri di kamar atas.

Namun, dugaan mereka salah. Selang beberapa menit, Juwi turun kembali, sudah berganti baju lebih rapi dengan tas kecil tersampir di lengannya.

"Kak, Juwi ikut Kakak, ya. Yuk." Juwi mengajak Ayesha untuk segera bangun dari duduknya. Tentu saja untuk segera lari meninggalkan mereka semua.

"Juwi, mau ke mana?" tanya Freya cemas.

"Wi?" Miko ikut memanggilnya.

"Bawa gue pergi jauh, Kak." Juwi menarik tangan Ayesha.

"Wi, tapi---" Ayesha masih terbengong.

Gamang juga antara mengiyakan atau menolak. Lah, Juwi sudah rapi begini? Kalau pun ia tidak mau, yang ada adiknya itu justru nekat kabur malah nggak tahu jelunturungannya ke mana.

"Please, gue mohon kali ini."

Main aman, Ayesha mengangguk, meminta kunci mobil Mami, dan pamit kepada semuanya.

Freya serta Miko tak melakukan apapun. Mereka hanya menghela napas, melihat Juwi tanpa pamit sudah lebih dahulu masuk mobil menunggu Ayesha. Jadi, ia hanya bisa berpesan pada Ayesha untuk menjaga adikknya sambil dibujuk kalau-kalau bisa.

Sepanjang jalan pun, Juwi yang biasanya cerewet merepet ini itu, kini lebih memilih diam menikmati pemandangan kota Jakarta di hari Minggu dari kaca samping mobil. Ayesha yang fokus mengemudi sesekali melirik adiknya itu.

"Kenapa, sih? Kayak anak kecil tau nggak lo." Ayesha angkat bicara, nggak enak juga lama diam-diaman begini.

Juwi masih bungkam, pikirannya jauh menerawang entah ke mana.

"Apa salah kalau gue pengin Ayah dan Bunda hadir kemarin?" lirihnya tiba-tiba.

"Hmm?" Ayesha menautkan kedua alisnya, pertanyaan Juwi terdengar serius sekali.

"Gue tahu, Kak, mereka sibuk, okelah. Tapi... apa ya? Kayak impian gue, bakat gue, nggak berarti apa-apa gitu tanpa mereka."

Ayesha tahu, kali ini Juwi beneran serius. Ia memasang telinga, menyediakan diri untuk mendengarkan keluhan adiknya itu.

"Mereka nggak bangga kali ya punya anak gue. Apa karena gue bego kali. Gue nggak kayak Bunda yang selalu cumlaude tiap semester. Nilai A ada di KHS aja rasanya udah mukjizat."

"Wi, kok pembahasan lo berat sih," balas Ayesha berusaha sedikit mencairkan.

"Masih beratan badan gue deh keknya."

Juwi memang gitu, sudah tadi Ayesha khawatir tentang dirinya ya, eh dia malah ngaco kayak gini.

"Yaelah kucur, lagi mellow masih bisa ngeles juga."

Ayesha memainkan perseneling, mengambil lajur kanan untuk mendahului mobil bak terbuka di depannya. Juwi pasrah dirinya mau dibawa ke mana oleh Ayesha, sampai sekarang pun ia nggak ingin tahu.

"Gue sedih, Kak. Semalem itu puncaknya. Sesak banget, lihat temen-temen gue yang lain pada didatengin orang tuanya. Pas turun panggung disambut, terus diciumin. Foto bareng, kalaupun ada yang nggak lihat nih, mereka pulangnya dijemput. Lah gue?"

Kembali, Juwi mencurahkan perasaannya kepada Ayesha. Galau Minggu pagi-pagi begini nggak oke banget sih, Ju.

"Setidaknya lo nggak benar-benar sendiri. Kan ada Mami," ucap Ayesha menenangkan.

"Mami dateng sebagai perwakilan Top kan? Bukan buat gue." Tetap saja, ada hal lain yang bisa mematahkan kata-kata penenang dari Ayesha.

"Wi..."

"Lo juga, Kak. Katanya mau bawa bala-bala kantor lo. Mana? Janji palsu doang kan?" Belum sampai Ayesha melanjutkan kalimatnya, Juwi kembali menyanggah.

"Ya sorry, wi. Gue mendadak ada lemburan."

Juwi sudah duga, memang tidak ada benar-benar tulus sayang kepadanya.

"Begitu nggak pentingnya ya gue buat kalian? Serius, gue semikir ini soal ketidakhadiran kalian kemarin."

Ayesha jadi merasa bersalah. Ia nggak menyangka saja kalau Juwi benar-benar mikirin soal hal yang menurutnya sepele begini.

"Boleh gue ngomong sesuatu?" tanya Ayesha.

"Dari tadi udah ngomong deh."

Ayesha mengambil napas dalam, membutuhkan sedikit effort untuk menasihati Juwita terkait hal-hal begini.

"Wi, rasa cinta dan sayang itu banyak bentuknya. Tidak melulu soal ucapan dan tindakan. Justru, menurut gue nih, cinta paling tinggi itu adalah doa."

"Hmm?" Giliran Juwi yang mengernyit.

"Ayah dan Bunda mungkin nggak kayak orang tua impian lo. Kita emang nggak bisa milih terlahir dari hasil buahnya siapa kan? Coba deh ubah mindset. Setiap orang itu sudah pasti anak, namun tidak semua anak adalah orang tua. Posisikan diri kita sebagai mereka coba."

"Hah! Naon atuh, Kak? Maneh teh teu ngasaan jadi urang, Kak. Teuing lah, rieut yeuh urang."

Ayesha yang nggak ngerti bahasa Sunda malah melanjutkan ceramah untuk adikknya. Ia tahu kalau Juwi sudah ngomong pakai Sunda itu artinya ia sedang marah, ngedumel sendiri yang tak ingin didengar oleh orang lain.

"Pernah nggak sih lo mikir, risiko punya orang tua yang kesehariannya berhubungan dengan nyawa orang lain?" tanya Ayesha memasang mimik serius.

"Pernah, dan gue jengkel."

"Bukannya justru bangga? Lo calonnya kayak gitu juga lho ntar."

Benar juga sih menurut Juwi, tapi tetap saja, yang namanya jengkel apalagi mood-nya sedang buruk gini, masih nggak mempan dengan kata-kata Ayesha barusan.

"Gue jengkel tuh karena takut. Mereka tuh tangan-tangan titipan Tuhan. Gue bangga, gue akui itu. But sometimes, apa ya? Gue ngerasa kosong aja. Mereka itu milik umum, seakan gue nggak berhak milikin mereka sendirian secara mutlak. Nggak berhak gue." Juwi berbicara dengan napas yang memburu.

"Nah! Bunda itu keren, Wi. Justru sebagai anak lo harus bangga, support Bunda, doa jangan putus."

Juwi terdiam sejenak. Ia menelaah setiap ucap yang terlontar dari kakaknya itu.

"Gue bangga kok. Tapi, apa Bunda juga bangga sama gue? Standar kebanggaan Bunda buat gue tuh tinggi. Gue ngerasa belum mencapai hal itu," lirih Juwi dengan air mata tiba-tiba saja menetes dari pipinya.

"Nggak ada orang tua yang nggak bangga dengan anaknya sendiri, Wi. Konsep lo salah. Seperti apa kata gue tadi, hakikat cinta itu tidak melulu soal ucap dan tindak. Doa, itu adalah paradigma soal cinta tingkat tinggi. Lo nggak pernah tahu kan kalau setiap nafas bunda selalu terlantun doa buat lo?" Ayesha mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan.

"Kayak toh gini, Bunda lagi ada jadwal operasi beberapa menit lagi, nggak sempat tuh hubungin lo. Tapi percayalah bahwa bukan berarti bunda lupa. Doanya terus mengalun dalam diam. Contoh:

'Anakku lagi apa, ya? Semoga kuliahnya lancar.'

'Udah makan belum ya? Semoga masih sempet makan deh walau kegiatannya banyak.' Padahal nih, beliau sendiri belum makan, tapi inget anaknya.

Atau pas lagi mendung gelap banget dan kita belum pulang gue yakin mereka pasti batin, 'Jangan hujan dulu sebelum anakku sampai rumah.'

Atau, 'bawa jaket nggak tuh anak, dingin-dingin begini.' Selalu ada kekhawatiran dan harapan yang terselip walau sebatas gumam. Dan itu nggak bisa disepelekan, karena setiap lafal yang keluar dari mulut orang tua, khususnya Ibu, asli itu mujarab banget.

Doa Ibu itu langsung didengar langit tanpa perantara dan tanpa penghalang kabut apapun. Itu masih sebagain kecil contoh, banyak yang lain." Ayesha bercerita panjang.

Dan, Juwi terdiam seketika.

Kali ini, telak ia tak bisa menimpali ucapan kakaknya itu.

"Gue boleh mewek nggak sih, Kak. Astaga, nggak lucu banget kita ngemal gue bengkak kek kecebur minyak gas gini? Muka gue udah kayak bola bekel tau nggak?" Ayesha yang tadinya serius banget, mendadak jengah mendengar Juwi yang nggak bisa dibilangi begini.

Juwi malah mengeluarkan kaca kecil dari dalam tasnya, melihat kembali sisa-sisa air mata semalam yang membuat matanya masih terlihat sembap.

"Kan tadi gue bilang, boleh ngomong nggak gue? Lha lo bilang ngomong aja, jangan salahin gue sekarang." Ayesha tak acuh, kepadatan Minggu sudah mulai kerasa, ia lebih memilih fokus pada jalanan di depannya.

"Lo ada bakat ustadzah juga deh. Terhura gue, assalamualaikum ukhti, duh sungkan gue mau banyak tingkah."

Ayesha geleng-geleng melihat Juwi yang kembali bercerocos panjang, tidak seperti tadi yang membisu diam. "Anying lo! Bahasan serius juga masih ajaa..."

"Kok lo bisa ngejeplak kayak gitu sih, Kak? Naskah lo taruh mana tadi?"

"Bege! Kagak ada naskah-naskahan, lo kira gue pidato tujuh belasan?"

"Ya omongan lo bener semua sih. Kan gue jadi tersepona, Kak. Jangan aja gue jadi cinta sama lo. Amit-amit deh."

Ayesha gemassss. Boleh nggak sih ia nurinin anak orang di jalan sekarang juga?

"Gue dapet dari Rayyan. Ini udah dulu banget. Lo inget nggak? Gue wisuda tanpa Mami dan Papi?" Lalu, giliran ia yang mendadak melankolis.

"Eh? Iya ya?" sahut Juwi menyadari hal serupa.

"Kebayang nggak gimana perasaan lo?" tanya Ayesha dengan pandangan lurus.

"Iya kan pas itu malah yang datang Ayah sama gue, Izzy dan Bang Ray."

Ayesha mengangguk, "lebih sakit mana, Wi? Okelah kalau kebanyakan anak zaman now wisuda dianter ortu pasti dijadiin meme, itu wisuda apa ngambil rapor? Sekalipun kayak gitu tuh? Emang ada anak yang wisuda bener-bener sendiri? Di luar katakanlah mereka udah nggak punya ortu lho ya?"

Juwi menggeleng sebagai jawaban.

"Nah! Waktu itu, Mami yang lebih milih ngawal kontingen PIMNAS di Makasar dan Papi yang ada Simposium Diabetes di Bali, daripada gue, Wi, anaknya lagi di Wisuda, naik ke podium nerima penghargaan Mahasiswa Berprestasi. Untuk apa? Dan untuk siapa? Nggak ada guna." Ayesha mendadak menggebu bercerita.

"Eh, lo jadi berapi-api gini sih, Kak."

"Karena itu gue gedek sama lo. Baru gini aja udah lebaynya MashaAllah."

"Terus lo nggak marah?" tanya Juwi dengan entengnya.

"Jelas gue marah lah, tapi terus gue dapat kata-kata tadi dari Rayyan."

"Abang?" Juwi antusias mendengar kata Rayyan.

"Iye, yaudah seketika adem aja."

Juwi tersenyum kecil, "Abang bisa banget ya."

"At least, kayaknya dia deh yang sering ngalamin kejadian serupa. Apalagi Biya dokter bedah dengan jadwal operasi bejibun kek gitu, dan Daddy orang paling sibuk serumah sakit, ngurusin rs cabang bla bla bla. Kebayang sih, jadi dia kek gimana."

"Lo nggak bayangin gue?" tanya Juwi sarkas.

"Ngapain? Lah pan lo tadi udah nyerocos panjang juga, pehul." Ayesha gemas, ia menjitak kepala adiknya itu.

"Tauan lo bahasa pehul. Dasar mbak-mbak zaman jigeum."

"Serah lo dah." Ayesha hanya pasrah main sama anak kelewat abege begini.

******

Mereka telah sampai di Grand Indonesia, bahkan Juwi baru saja sadar ketika mereka masuk pintu dekat parkiran Under Ground.

"Gue mau sama ada ketemu temen-temen. Lo nggak pa-pa nih?" tanya Ayesha.

"Ada bau-bau pengusiran gitu kayaknya." Juwi sebenarnya pasrah, sekalipun ia sedang malas ngemal tapi kalau sudah kadung begini, ia bisa apa?

Salah sendiri ikut ngabur nggak tahu arah dan tujuan. Meleng saja sepanjang perjalanan tadi.

"Gue buntutin lo aja dah, asal jangan jadiin kacung lo suruh bawa-bawa tottee bag." Juwi sudah menggadaikan dirinya hari ini, pokoknya jauh-jauh dulu lah dari Ayah dan Bunda, itu intinya.

"Asal kagak minta jajan aja lo," sindir Ayesha mendapat balasan helaan napas kasar dari Juwi.

"Masak beliin TLJ doang nggak bisa sih? Kudu nggesek black card nih?" Juwi menyombongkan dirinya sambil mengeluarkan kartu sakti.

"A en je a ye lo ya, Wi. Ayah bisa banget sih kasih kartu ginian? Gue juga mau dong jadi anak Ayah." Ayesha merebut kartu tersebut dan membolak-balikkan seolah belum percaya.

"Enak aja." Juwi merebut kembali.

"Pake, Wi. Keliling sejam doang kagak bakal kerasa lah itu unlimited juga."

"Habis itu gue beneran dibuang, pulang ke Bandung kalau nggak gitu diasingkan ke Malang."

Juwi membayangkan sendiri, bagaimana jadinya kalau hal itu benar terjadi. Ia tidak siap untuk itu.

"Gue deh yang bakal tanggung jawab." Ayesha masih berusaha menggoyahkan iman Juwi. Salah sendiri pamer hal begituan ke perempuan haus shopping seperti kakaknya.

"Dengkul lo, Kak. Enak aja."

Ayesha geleng-geleng, ia beralih mengecek ponselnya. Kali saja ada pemberitahuan bahwa dua orang itu sudah sampai di sini.

Belum juga ia ingin menelpon salah satu di antara mereka, satu sosok mengagetkannya dari belakang.

"Hai...." Cia menggetaknya.

"Eh, Ci. Sorry ya lama. Lo udah dari tadi?" ujar Ayesha sambil menutup kembali ponselnya.

"Yaaa setengah jaman lah ya. Iya nggak sih Gif?"

Oh, Ayesha baru menyadari. Ada makhluk lain yang juga telah hadir lebih dulu daripada dirinya.

"Kalian berangkat bareng?" tanya Ayesha curiga.

"Eng... kagak! Orang gue nyari nih anak muter-muter juga. Taunya di Sport Station," jelas Cia sedikit gelagapan. "Eh, who is she?" tanya Cia berusaha mencari obrolan lain.

"Hai, Kak. Juwita, tapi orang-orang suka manggil Jujuwwitjantik sih." Juwi mengulurkan tangannya.

"Hahaha, lucu juga ya?" balas Gifi ikut nimbrung dalam obrolan.

"Kenalin, bala-bala kantor gue yang gue bilang waktu itu. Ini Kak Cia, kalau yang ini Kak Gifi."

"Anjir kakak banget, seumuran kali kita ah," timpal Cia tidak terima.

"Adiknya Aye?" Agaknya, Gifi mulai penasaran.

"Bisa iya bisa nggak. Kalau lagi ada maunya boleh deh ngaku-ngaku adik. Kalau lagi empet-empetan paling ngakunya enemy," balas Juwi membuat Gifi terkekeh kecil.

Sementara Ayesha, seperkian detik termangu dalam diam. Ah, senyum itu. Rasanya lama sekali ia tidak melihat sesunging senyum itu keluar dari mulut Gifi. Dan kini, senyum itu kembali lagi.

"Kalian couple nih? Terus Kak Aye mau ngerecokin kencan kalian? Waah... wah lo parah, Kak. Bisanya jadi obat nyamuk." Juwi menyindirnya.

Kampret Juwi!!!! Nggak tahu saja kalau Ayesha pun sempat mikir demikian. Namun, hal-hal yang mengusik otaknya itu sudah berusaha ia usir sejak tadi. Eh, Juwi denga lantang mengingatkannya kembali.

"Heh anjir anak kecil!!" Ayesha mengeplak lengan adiknya.

"Berarti gue bener dong kalau ngikut kalian. Lo nggak terlihat ngenes-ngenes amat lah yaa, Kak." Masih saja Juwi membahas itu.

Tolong dong, kasih Ayesha topeng untuk menutupi mukanya yang mendadak merah padam sudah macam cilok dicocol saos.

"Kagak, Wi. Justru nih gue yang bakal seneng ada lo ikut. Sini deh." Cia meminta Juwi mendekat.

Ada sindikat terselubung di antara mereka. Tampak Cia sedang membisiki Juwi sesuatu entah apa itu. Anehnya, Juwi juga terlihat menganguk-angguk seperti boneka bobblehead yang dipasang di dashboard mobil.

"Oya??? Serius gue baru tahu. Oke deh, gue bakal bantu lo, Kak."

Ayesha memicingkan mata melihat persengkongkolan mereka. Serius, adiknya ini mudah sekali akrab dengan orang baru. Ia merasa teranggurkan.

Mereka memutuskan untuk bermain ke Time Zone atas usul Juwi. Dengan Juwi dan Cia yang kental banget, sepanjang jalan menuju Time Zone ada saja hal yang dibicarkan oleh mereka berdua. Mulai dari ngomongin jenis make up, soal Concealer yang bagus buat nutupin sembap habis nangis, Juwi terang-terangan meminta bocoran dari Cia. Sampai soal harga make up terbaru dan beli di online shop mana, sepertinya mereka berdua memang sangat cocok.

Tak jarang tiba-tiba saja mereka terbahak, dan Ayesha nggak tahu itu.

Ayesha cengo, memerhatikan mereka berdua dari belakang. Bersama Gifi.

Diam saja.

Jalan saja berdua, beriringan, tanpa kata.

Bahkan ketika mereka sudah di Time Zone pun, ketika Juwi dan Cia sudah nge-pump dengan semangatnya, Ayesha dan Gifi masih saling terdiam.

Tidak ada keinginan untuk ikutan main sekadar asyik-asyikan.

Ayesha bingung harus memulai pembicaraan dari mana.

Ia sadar, kok. Dua cewek cecurut itu secara nggak langsung memberikan ruang untuknya.

Untuknya dan Gifi tentu saja.

Ah, lama.

"Gif, mau minum?" tawar Ayesha mencoba memulai.

"Nope, ntar aja sekalian nunggu anak-anak."

Sudah Ayesha duga.

Lalu, ia kudu bagaimana lagi?

Sampai Juwi dan Cia selesai nge-pump pun, belum ada kemajuan berarti di antara Ayesha dan Gifi.

Cia yang menyadari hal itu hanya mendengus lelah. Temannya ini kelewat cuek, sudah tahu Gifi lagi nggak penuh, Ayesha memang tidak bisa memanfaatkan situasi. Ah, payah.

Hingga mereka memutuskan untuk karaokean keluarga. Cia memesankan medium room untuk empat orang. Padahal, small room saja rasanya cukup. Entahlah, mungkin dirinya ingin buka stage lalu joget-joget minta saweran ketiga temannya yang lain.

Yang paling antusian justru Juwi. Ia sudah mengambil mic sendiri, memegang remote dan memilih sederet playlist di layar.

Ini ceritanya menghibur Juwita kali ya, begitu pikir Aye melihat tingkah sang adik yang benar-benar deh.

"Gue dulu ya, Kak," pinta Juwi sudah berdiri memegang mic.

Di layar kaca memunculkan nama Nella Kharisma dengan judul lagu Konco Mesra.

Cia dan Ayesha saling bertatapan.

"Lagu siapa, Wi?" teriak Cia padahal belum juga ia mulai.

"Selow bozku, dengerin dulu dah. Bakal kepincut deh kalian. Siapin saweran ya."

Tak lama setelah itu, intro pun mulai bermain.

Yen tak sawang sorote mripatmu
Jane ku ngerti ono ati sliramu
Nanging anane mung sewates konco
Podo ra wanine ngungkapke tresno

 

Sedikit-sedikit, tidak banyak Ayesha kurang lebih tahu. Sekalipun ia tidak pernah besar di Jawa, tapi Maminya kadang-kadang masih sering nyeletuk bahasa ini. Hal tersebut mau tidak mau membuatnya sedikit paham.

 

Ayesha berusaha biasa saja, sekalipun ia tahu Cia memerhatikan ekspresinya sedari tadi.

 

Yen ku pandang gemerlap nyang mripatmu
Terpampang gambar waru ning atimu
Nganti kapan abot iku ora mok dukung
Mung dadi konco mesra mergo kependem cinta

 

Dan, ia tidak berani menatap Gifi.

 

Gifi yang notebene sedang tidak on seratus persen, tampak biasa saja mendengar Juwita nyanyi.

 

Yaiyalah, dia nggak merasa juga kali.

 

Sungguh sayang aku tak bisa langsung mengungkapkan
Perasaan yang ku simpan buat ku tak tenang
Ini semua karena hubungan pertemanan
Kau sudah biasa anggap ku sebagai kawan.


Juwi emang kampret banget. Ayesha sudah sumpah serapah bakal menghabisi adiknya itu lepas pulang nanti.

Hatinya sudah nggak karuan hanya karena mendengar lagu dengan lirik bahasa Jawa yang setengah ia mengerti ini.

Sekalipun setengah, tapi ini menohok.

Menusuk.

Jleb!

"Wi, anjir itu lagu apa?" tuding Cia sudah cekikikan parah bukan karena mendengar suara Juwi, tapi karena lagunya.

"Enak kan, Kak? Ini tuh easy listening. Lagu kearifan lokal yang edgy banget," balas Juwi sedikit bangga.

Nggak salah toh dia berhasil membawa timnya juara Java Grand Prix?

Hahaha.

"Lo ngerti bahasa Jawa?" Kini, giliran Gifi yang akhirnya bersuara juga.

"Lah, ngerti ayas mah. Ayas asli kera Ngalam sih. Sikik-sikik not bad lah ya. Diajarin Ayah."

"Si Aye kagak bisa?" Gifi kembali tanya.

"Kak Aye kan somse, tidak ingin mengakui identitas aslinya." Juwi kalau jawab memang asal ngejeplak.

Ayesha sudah gemas ingin memites anak ini satu.

"Ngawur, kagak! Ya mana gue ngarti bahasa dibalik-balik gitu. Gue kagak pernah hidup di sana, cuma mudik paling lama seminggu," jelas Ayesha panjang.

Cia kembali memilihkan play list. Ia menyerahkan mic kepada Ayesha. Aye yang nggak siap pun, terpaksa harus maju dan berdiri di samping layar kaca.

Saat intro mulai bermain, ia ingin mengumpat keras.

Shit!!! Damn si Cia!

(Mulmed; On. Dengerin guys, biar kerasa)

ketika ku mendengar bahwa
kini kau tak lagi dengannya
dalam benakku timbul tanya


Juwi yang sadar hal itu langsung berteriak cie-cie membuat Ayesha makin nggak karuan.

Juwi nggak tahu saja, kalau ia menahan napas mati-matian biar jantungnya tidak berdetak begitu cepat seperti sekarang ini.

Sumpah, ia takutnya jantungnya benar-benar lari dari tempatnya saking kerasnya dentuman itu.

masihkah ada dia di hatimu bertahta
atau ini saat bagiku
untuk singgah di hatimu


Sesekali, ia beranikan menatap manik mata Gifi.

Tapi sayangnya, Gifi hanya diam, tetap tenang sambil memainkan ponselnya.

namun siapkah kau tuk jatuh cinta lagi...

 

meski bibir ini tak berkata
bukan berarti ku tak merasa
ada yang berbeda di antara kita

 

dan tak mungkin ku melewatkanmu
hanya karena diriku tak mampu untuk bicara
bahwa aku inginkan kau ada di hidupku


Cia menyadari sekali bahwa pembawaan Ayesha barusan itu benar-benar dari hati. Sesekali ia menggoda Gifi dengan menyenggol lengannya, tapi tetap saja Gifi tak berkutik sama sekali.

Bagi Ayesha sendiri, cukup sudah sekali ini saja ia kelewat berani. Ia tahu tidak ada yang salah soal nyanyi, tapi pilihan lagunya tidak tepat.

Tidak tepat untuk kesehatan jantungnya tentu saja.

Padahal yang dituju anteng-anteng saja tak teralihkan fokusnya sama sekali.

Di tengah kegentingan jantung Ayesha yang masih abnormal, tiba-tiba Juwi berteriak histeris.

"JUWI BENCI SAMA BUNDA DAN AYAH. NGGAK USAH CARI JUWI. JUWI UDAH GEDE!!!!"

Seketika aksi menyanyinya berhenti. Sepertinya Juwi sedang menerima telepon dari Ayah dan Bundanya.

Kalau yang ini, Gifi berjingkat, ikut bingung juga kenapa Juwi mendadak menangis.

"Wi, kenapa?"

Astaga! Persoalan kemarin dan tadi pagi ternyata belum usai. Ayesha yang sadar hal itu, mendesah pasrah dengan meraup kedua tangannya.

Juwita makin menangis kencang sesenggukan.

Bahkan, detik berikutnya ia mendadak sesak.

Ayesha tahu, asma adiknya kambuh.

"Wi... Hei tenang."

"Ye, kenapa Juwi?" tanya Cia ikutan panik.

"Bantu gue bawa ke rs sekarang."

Jadilah mereka kelimpungan sendiri.

Lupakan soal debaran jantung Ayesha beberapa menit lalu. Kali ini, justru debaran takut menyelimuti dirinya.

Sambil mengirimkan satu pesan cepat ke nomor Papinya, mereka keluar dari ruang karaoke. Gifi sudah menggendong Juwi dengan sedikit lari ke parkiran.

Dan, semoga Juwi baik-baik saja.

_______Nantikan kelanjutannya_______

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.

    Comment on chapter Sembilu Dusta
  • eksindrianii

    Ada abg disini????????

    Comment on chapter SERANGKAI FRASA
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter BERMULA KARENA
Similar Tags
With You
2511      944     1     
Fan Fiction
Kesan pertama yang dapat diambil dari seorang Jevano ketika pertama kali bertemu adalah laki-laki berparas tampan dengan aura dingin dan berwawasan luas, tapi sayangnya Jevano tidak peka. Tampannya Jevano itu lengkap, manis, ganteng, cool, dan ga bikin bosen. Bahkan kalau dilihat terus-terusan bikin tambah sayang. Bahkan perempuan seperti Karina yang tidak pernah tertarik dengan laki-laki sebelum...
Kamu, Histeria, & Logika
61160      7065     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
7820      2192     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Rasa Itu
718      528     0     
Short Story
DarkLove 2
1285      610     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!
Young Marriage Survivor
2929      1057     2     
Romance
Di umurnya yang ke sembilan belas tahun, Galih memantapkan diri untuk menikahi kekasihnya. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Galih merasa ia tidak bisa menjalani masa pacaran lebih lama lagi. Pilihannya hanya ada dua, halalkan atau lepaskan. Kia, kekasih Galih, lebih memilih untuk menikah dengan Galih daripada putus hubungan dari cowok itu. Meskipun itu berarti Kia akan menikah tepat s...
Caraphernelia
948      503     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
Moira
25057      2539     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Our Notes On A Plate
74      64     0     
Romance
"Kenapa playlist-nya? Kenapa musik latar bukan opini tentang desain interior atau seragam waiter yang harus jadi ciri khas review-mu?" Bagi Winona, musik memberikan dampak besar pada kehidupan manusia, termasuk saat menikmati makanan. Maka saat banting menjadi food writer, dia memasukkan penilaian musik latar di setiap tempat yang dikunjungi. Semakin cocok suasana lagu dengan hidangan, semakin...
Denganmu Berbeda
10295      2737     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...