"Seperti botol kecap yang sulit dibuka"
~Roger
_________________________
BAB 3 "ROGER"
~♥ Surat Permohonan ♥~
“Lo gila ya, Ran!”
Begitulah kalimat pertama yang dilontarkan Lisa saat memasuki ruang kelas bernuansa black-pink itu. Ia berjalan cepat menghampiri gue yang lagi duduk bengong di bangku meja.
“Dateng-dateng, udah bilang gue gila aja, Lis.” Gue menopang dagu, malas gerak.
Lisa, satu-satunya temen gue yang cerewet, suka ngomel dan baweeel banget! Sebenarnya ia adalah anak yang pendiam. Tapi kalau udah sama gue ... euy! Sifat-sifat lainnya pada keluar deh. Kalian tak akan sangka Lisa yang pendiam ternyata sering misuh-misuh dan bisa jadi mengerikan saat marah.
“Lo berulah lagi kan, Ran? Astagaa … sehari aja tanpa gue, lo udah bikin masalah, gue denger lo nyari gara-gara sama Navin, ya?” Lisa menggeleng-geleng seolah tiap hari gue selalu bikin masalah, yang ada gue jadi korban Navin di sini. “Autis? Bodoh? OSIS sialan? Nggak worth it? Bisa-bisanya lo bilang gitu ke Navin.”
Lisa tampak tak percaya, sehari kemarin Lisa tidak hadir dan gue juga belum cerita pasal peringatan perang antara gue dan Navin, jadi Lisa pasti tau lewat grup chat atau dengerin ocehan siswa-siswi tukang gosip di koridor.
“Emang kenapa sih, kata-kata gitu doang nggak penting amat diributin.” Gue manyun.
“Gitu doang? Lo bilang gitu doang? Ini tuh bukan kata-kata yang nggak penting, Ran. Semua warga sekolah pada heboh on sosmed or real life. Many photo and your video has been viral, karena perdebatan kalian.”
“Gila … mustahil, imposible, wow!!” Gue malah takjub mendengar video dan foto yang memampangkan wajah gue mendadak viral. “Gue makin famous, dong,” cengir gue. Intinya, gue nggak mau tegang dan ambil pusing pasal kejadian kemarin. "And how people reaction for this?”
“Ehem …” Lisa mendehem sambil melipat tangan. “Banyak yang bilang kalian so sweet, cocok banget, best hot couple, yaa … semacam itu lah. Kebanyakan komentar positif, sih.”
Bukan komentar itu yang gue harapkan. “Yang lain gitu?”
“Mereka bilang, cewek yang ada dalam video dan foto itu cantik, udah … puas lo?” Lisa seolah tau apa yang diharapkan temannya. Gue jadi nyengir dibuatnya, rasa percaya dirinya kembali membaik. Awalnya sih gue memang sedikit cemas dan khawatir. Tapi setelah dipikir-pikir, nggak mungkin hal sepele kemarin bikin gue jadi sasaran bullying.
“Jadi, apa rencana lo, Ran? OSIS dan para fans fanatiknya nggak bakal biarin gitu aja. Kalau kasus lo beneran dibawa ke pengadilan gimana? Gue kan nggak bisa bersaksi buat ngebelain elo.” Lisa kembali lebay. “Atau paling nggak, anak OSIS bakal nyemprot elo bertubi-tubi,” omel Lisa lagi, lebih tepatnya pembawaannya yang terkesan ngomel, aslinya dia emang pedulian kok.
“Adduhh … Lis! Jangan ngomongin OSIS dong, lo sendiri kan tau gue anti banget sama OSIS semenjak Navin jadi ketua OSIS-nya.” Gue menopang dagu lagi.
“Gimana gue nggak bakal mete-mete kalau temen gue nggak bakalan dapet masalah, Ahranku sayang,” kata Lisa lagi. “Setelah anak OSIS menindaklanjuti elo, para pengikutnya juga nggak bakalan ketinggalan. Dan elo tau kan, kalau elo berurusan sama anak OSIS, bakalan diapain?”
“Yea ... gue tau. Gue bakalan diomelin sama mereka, terus sesudahnya gue bakalan di-bully sama fans-fans fanatik mereka,” jawab gue malas.
“Dan elo tau kan Ran, kalau elo di-bully, bakalan diapain sama fans fanatik?”
“Yea ... gue tau. Gue bakalan disiram sama air comberan, gue bakal ditumpahin semangkuk bakso sisa, dan rambut gue yang halus ini bakalan diceburin ke dalam closet WC.”
“Naah … itu elo tau. Kenapa masih santai-santai aja sih?”
“Yea … mau diapain lagi Lis? Semua nggak bisa diulang lagi, gue pun juga nyesel kenapa masuk dalam masalah ini, lagian nggak ada gunanya juga kalau gue panik sekarang. Toh, semua udah terjadi.”
Lisa memutar mata, mikir sambil mondar mandir di depan gue. “Sanggup banget lo cuma pasrah gitu aja, Ran. Oke! Gini ya, gue bakal nyari solusi buat elo. Gue bakal bantuin elo buat mengajuin surat permohonan.”
“Hah? Surat? Surat permohonan apa?” tanya gue syok.
“Surat permohonan ke OSIS agar mereka maafin elo, supaya lo nggak dihukum.”
“Lo ngawur ya Lisa? Haram banget buat gue mohon-mohon sama mereka!” tolak gue mentah-mentah. “Gue kan nggak melanggar undang-undang, kenapa gue harus dihukum? Mereka juga nggak berhak ngehukum seseorang.”
Buset! Bisa gila dong gue kalau Lisa benar-benar nekat mengajukan surat permohonan itu. Gue nggak mau harga diri gue jatuh dan hancur kayak telur bebek. Apalagi membayangkan Navin membaca surat permohonan maaf atas nama gue. OMG, mending gue di-bully aja.
“Elo mau rambut elo yang halus ini bakalan berakhir di lubang terlarang itu? Enggak kan?”
“Ya enggak lah! Siapa juga yang mau rambutnya diceburin ke sana.”
“Yea ... terus?”
“Eem ... tapi kan kita bisa cari cara lain buat membela diri.”
“Enggak ada cara lain Ahranku sayang!” kata Lisa melipat tangan. “Kalau permintaan maaf lo diterima, OSIS bakal meluruskan kesalahpahaman pada fans fanatiknya.”
“Pokoknya gue nggak mau!”
“Elo harus mau! Harus … fix, enggak ada alasan. Lo harus nyelametin diri lo sekarang juga,” kata Lisa pergi begitu aja.
Mampus deh gue....
~o0O0o~
Pas pulang sekolah, so bad banget!
Gue ditatapin angker sama anak-anak satu sekolahan. Dikira gue hantu kali ya, please kita nggak lagi main film horor. Yang lebih buruknya lagi, saat keesokan hari-nya, tiba-tiba sekolah gue berubah menjadi neraka!
Di sana sini, gue denger bisik-bisik tentang rencana pra-bully untuk gue.
Wah … ternyata bully juga ada pake pra segala ya? Kayak mau UN aja. Mereka mau nyengsarain gue, sampai-sampai ada yang nekat mau ngunciin gue di kamar mandi semaleman, astagaa. Gue bisa ikutan acara Masih Dunia Lain tuh. Atau gue bisa ikutan gentayangan sama hantu-hantu sekolah.
Biasanya gue selalu ngongkrong di kantin ceria, tapi sekarang gue nongkrong di perpustakaan. Ya, minimal keadaan di perpus nggak seberisik di luar sana. Yang ada di perpus cuma anak-anak pendiam dan kutu buku yang dunianya cuma buku doang. Makanan mereka adalah kertas-kertas tua, dan temannya adalah rayap-rayap lemari. Mungkin gue bisa aman selama di sini, setidaknya gue nggak perlu denger bacotan mereka. Walau agak satu-dua masih ada juga yang ngelirik-lirik gue, sih.
By the way, tentang surat permohonan itu, Lisa beneran bikin surat itu dan ngirim ke kantor OSIS. Gilanya, dia ngetik suratnya di depan gue segala lagi. Udah gitu, dia malah minta pendapat gue gimana bahasa yang sopan untuk menulis surat, padahal dia tau kalau gue nggak setuju. Jadinya gue saranin aja kata-kata yang berkebalikan dengan kata ‘sopan’ yaitu ‘napos’.
Enggak deh, bercanda. Gue cuma diam dan mengangkat bahu setiap dia minta pendapat gue. Gue kira Lisa nggak bakal jadi ngirim, tapi tau-tau gue udah syok abis pas Lisa bilang dia udah naruh surat itu di kotak surat di pintu kantor OSIS.
“Suratnya udah gue taruh di pintu OSIS.” Lisa dengan wajah polosnya melapor ke gue yang lagi bersemedi di perpustakaan.
Sejenak gue ternganga. Dan dengan gerakan cepat gue langsung melempar buku bacaan gue kemana saja dan berlari keluar perpustakaan menuju kantor OSIS.
Gue berlari kencang, tak peduli dengan tatapan heran orang-orang di sepanjang koridor. Kantor OSIS semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi, sebentar lagi tangan gue akan menjangkau kotak suratnya.
Beberapa senti lagi, tangan gue masuk ke lubang kotaknya, sesaat gue sadar bahwa ada tangan lain yang lebih dulu masuk ke dalam lubang kotak surat itu. Tangan itu muncul dari balik pintu, dan lebih dulu mengambil surat itu. Pemilik tangan yang entah siapa itu kembali menghilang dari balik pintu dengan cepat.
Mampus gue...
Dari pada salah tingkah nantinya ditatapin intens sama anak OSIS, karena sekarang gue lagi di depan pintu kandang mereka, akhirnya gue memutuskan untuk terus berlari melewati kantor OSIS tanpa berhasil mendapatkan surat permohonan maaf itu.
Fix … gue nggak sanggup naruh muka gue dimana pas ketemu Navin nanti.
~o0O0o~
Sorry part yg ini rada dikit
Jangan lupa vote/Like, Riview dan comment yaa
Gomawo^^ Love you all