"Tangan yang lebih cepat daripada mata"
~Roger
_____________________
BAB DUA "ROGER"
~♥ Pencitraan ♥~
Navin muncul di ambang pintu kelas XI IPA 5, kelas gue.
Wait, ngapain dia datang ke sini? Ini kan bukan kelas dia. Kelas dia mah jauh di ujung sanaa ... XI IPA 1.
Gue, yang emang nggak peduli dan nggak mau menganggap kehadirannya, hanya lanjut baca buku.
"Permisi, ini XI IPA 5, bukan?" Suara Navin terpaksa masuk ke telinga gue. Semua mata langsung memandang ke asal suara.
Navin seolah membawa hawa 'sesuatu' yang bikin atmosfer kelas jadi berwarna. Hal ini jelas tampak dari cowok-cowok yang langsung nyengir bersahabat, dan yang cewek-cewek mendadak senggol-sengolan sambil senyam-senyum.
"Oii!! Bro...." Arial, yang sedang duduk dalam suatu kelompok di meja sudut ruangan, langsung berdiri menampilkan cengiran sumringah. "Gabung sini."
Navin tersenyum lebar, ia melangkah masuk menghampiri Arial. Arial merupakan sahabat karibnya Navin. Paling klop banget sama cowok itu. Apalagi dua-duanya cogan dengan varian yang berbeda. Gaya khas Arial adalah flamboyan playboy yang kharismatik. Sementara Navin, dia ... sempurna.
Tapi, itu sih kata orang, ya. Kalau gue mah ga peduli mau ganteng mau nggak, yang jelas di mata gue mereka itu nggak ada bedanya, sama-sama sok ganteng, sok beken, sok baik padahal pengen dipuji, dan sok ini itu. Jadi terulang lagi kan, kalimat barusan.
"Lo tumben banget melimpir ke kelas gue, Nyet. Segitu kangennya Pak Ketos sama gue. Di kantin nanti kita ketemu kok," canda Arial sok pede.
"Diem lu, gue ke sini bukan mau ketemu lo, Mbing. Gue mau nyari Denofa, katanya dia mau gabung OSIS."
Monyet? Kambing? Apa-apaan dengan cara panggilan mereka, aneh.
Telinga gue nyaring begitu mendengar nama gebetan Lisa disebut. Bukan, Denofa lah yang ngegebet Lisa, sobat gue. Ngapain Denofa mau gabung OSIS segala? Kepengurusan OSIS periode ini kan tinggal hitungan bulan, paling dalam 4-5 bulan lagi Navin dan jajarannya akan lengser.
"Waah, Denofanya lagi ngga ada, Vin." Joko menjawab. "Mending lo tanya aja sama si Vaqevaq, akhir-akhir ini Denofa main sama dia." Joko mendadak menunjuk gue, diikuti oleh pandangan teman-teman lain ke arah gue.
Si Vaqevaq, ya?!
JOKOOO!! Pulang lewat mana lo ntar?
Biar gue cabik-cabik mulut lo itu.
Gue berusaha mengendalikan diri, pura-pura tak mendengar dan terus baca buku. Tapi, nyatanya dari tadi gue mendengarkan percakapan mereka.
"Hoii, Vaqevaq..."
Gue tau suara itu. Setuli mungkin gue nggak meresponnya.
"Oii! Hoii Vaqevaq, oii!!"
Navin sekali lagi, lagi, dan lagi, memanggil gue. Nggak ada rasa atau nada menghargai sama sekali. Gue mulai kesal, tapi tetap gue tahan. Tanpa sadar, tangan gue yang memegang buku bacaan kini mencengkram.
"Lo budeg ya, Ahran?" Kini Navin sudah berada di depan meja gue.
Finally, nama gue disebut. Tapi kata 'budeg' barusan bikin emosi yang gue tahan-tahan dari tadi jadi lepas.
"Heh!!" Gue berdiri sambil menghentakkan tangan ke atas meja, menatap Navin intens. Untung aja nggak gue gebrak itu meja. "Lo bisa sopan dikit nggak sih manggil orang? Bisa bener dikit nggak sih manggil nama gue? Lo nggak bisa ngingat nama ya? Lo bodoh ya ... atau lo autis cara manggil aja nggak jelas?"
Kata-kata pedas barusan keluar dengan spontan. Gue nggak peduli dengan image dia sebagai Ketua OSIS ataupun most wanted yang populer dan digemari oleh kalangan SMA. Gue juga nggak peduli sama tatapan kaget teman-teman sekelas, karena sebenarnya ini juga ditujukan untuk mereka.
Dahi Navin berkerut kesal, tak terima dirinya dikatai bodoh apalagi autis. Ia juga balas intens menatap gue.
"Lo pikir, mentang-mentang jadi ketos, lo merasa lebih berhak manggil gue dengan cara meremehkan."
"Gue nggak maksud meremehkan, lo over thinking banget." Navin membela diri. "Sebagai ketua sekaligus anggota OSIS, mana mungkin gue nggak menghormati warga sekolah gue sendiri, bahkan Kang Maman satpam depan pun selalu gue sapa, Mas Iyem pun sering gue bantuin narik gerobak...."
See? Dia malah pencintraan....
"Terserah, gue nggak peduli. Yang jelas, lo, temen lo, dan OSIS sialan itu sama sekali nggak worth it!"
Kali ini gue nggak bisa menyembunyikan bentuk ketidaksukaan gue sama OSIS dan hal-hal di lingkungan Navin. Sorry buat yang anak OSIS, gue nggak suka OSIS cuma karena si Navin yang jadi ketuanya kok.
"Lo bisa kena masalah lho, nyebut gue bodoh dan autis. Gue bisa aja nuntut omongan lo jadi kasus pencemaran nama baik. Apalagi, lo bilang OSIS sialan nggak worth it? Hati-hati lho kalau ngomong, banyak pasang mata di sini."
Gue terbahak pelan, tak habis pikir cowok ini bawa-bawa pencemaran nama baik, gue tau itu cuma gertakan dia doang. "Lo mending pelajari baik-baik ilmu hukum dulu deh! Ngebedain hukum pidana sama hukum perdata aja lo pasti belum melek. Omongan gue barusan nggak dianggap melanggar hukum jenis apapun..."
"Melanggar hukum dan undang-undang negara RI memang enggak." Navin memotong ucapan gue. "Tapi yang gue maksud adalah hukum pergaulan."
Gue nggak ngerti maksud Navin apa. Tubuhnya menunduk dengan kedua telapak tangan yang menempel di atas meja. Wajahnya maju perlahan, mendekat ke samping wajah gue, kemudian membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh kami berdua.
"Hukum pergaulan, dimana lo akan jadi sasaran amuk dari fans-fans gue...," bisik Navin dengan senyuman evil. Ucapannya itu lebih tepat disebut ancaman.
Gue mendadak beku menyadari makna ucapannya. Bahwa sebentar lagi gue akan jadi sasaran bully karena sudah mengata-ngatai seorang Ketua OSIS dan OSIS-nya.
Untuk pertama kalinya, seorang Ahran menyesal telah bikin masalah sama cowok kelewatan sombong kayak Navin.
Begitu tersadar, gue merasa harus membalas ucapan Navin dengan lebih kejam. Sambil tersenyum evil pula, gue balas berbisik ke telinganya. "Gue ... nggak takut," desis gue. "Kita lihat seberapa famous-nya elo setelah mereka tau sifat asli dari seorang pecundang ... alih-alih ketua OSIS yang charming...."
Tersenyum puas. Gue bahkan sempat kagum sama diri gue sendiri bisa mengucapkan kalimat horor barusan (Lol :))
Navin nyengir iblis dibuatnya. "Oke. Kita lihat siapa yang bakal dipercaya, seorang ketua OSIS dan charming kayak gue, atau lo yang alih-alih cuma bermodalkan cantik dengan panggilan ... Va-qe-va-qe-fake." Navin mengeja julukan gue dengan intonasi horor pula. Ejaan terakhir sengaja dilafalkan 'fake'.
Plaak!!!
Sepertinya akhir-akhir ini tangan gue lagi suka nampar orang. Di pipi yang sama dan cara yang sama, tangan gue bergerak lebih cepat daripada mata.
Navin melotot lebih kaget sambil memegang pipinya, tak menyangka kali ini gue menamparnya di hadapan orang banyak. Pasti dia lebih mengkhawatirkan image-nya ketimbang pipi kanannya yang kini memerah berbekas telapak tangan gue.
Suara tarikan nafas syok menyusul dari teman-teman sekelas setelah tamparan gue tadi. Atmosfer kelas seolah sedang mendung dan menegangkan. Bahkan gue juga baru sadar ternyata gerombolan siswa-siswi sudah menyaksikan dari ambang pintu dan sepanjang jendela kaca kelas. Apalagi pada mengarahkan kamera ke arah kami. Paparazi ada dimana-mana gengs.
Sejak kapan mereka udah ngumpul gini? Kelas ramai, tapi sepi. Dari tadi cuma gue sama cowok jelek ini doang yang berdialog.
Selanjutnya, gue dan Navin hanya melanjutkan perang tatapan.
Arial memutuskan untuk menengahi. Ia berjalan cepat mendekati kami dan bergegas membawa Navin pergi. Arial harus mengeluarkan tenaga untuk menarik temannya itu pergi karena Navin tampak tak mau beranjak.
Sampai sosok Navin dibawa keluar, tatapannya masih terkunci pada wajah gue.
Sorot mata Navin seperti terlihat kesal dan marah yang bercampur kecewa.
Entahlah...
~o0O0o~
Gimana gengs ????
Semoga suka
Mudah-mudahan proses penuangan ide berjalan dengan lancar sampai cerita tamat nanti.
Hope you enjoyed
Beri Vote/Like dan Comment
Supaya gue lebih semangat
Dan perang antara Ahran & Navin lebih greget lagi~
Vote/Like
Vote/Like
Comment
Nantikan bab selanjutnya ya~