Read More >>"> She Never Leaves (Best Friend(s)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - She Never Leaves
MENU
About Us  

(Sharon, 21th)

Aku memarkirkan motorku disalah satu tempat kosong yang sedikit sempit. Kubuka jok motor dan kukeluarkan berlembar – lembar kertas yang belum sempat aku susun tadi. Segera aku berlari kencang menyusuri lorong panjang dan mencari kelasku. Gawat, pintunya sudah ditutup. Pasti dosennya sudah berada didalam. Batinku cemas dalam hati. Kulirik jam tanganku yang sudah mengarah pada angka 19.30. sudah terlambat 30 menit. Pasti aku akan disuruh pulang.

Tidak ! Tidak ! aku akan menerobos masuk dengan wajah tidak bersalah.

Kutarik nafasku dan kuketuk pintu didepanku beberapa kali sebelum akhirnya kubuka pintu tersebut. Sebagian siswa didalamnya langsung menoleh kearahku, termasuk Ellena yang duduk dipojokan kelas. Dia memberikanku code bahwa dosen berada didepan dan sedang menatap kearahku. Mati aku ! seruku dalam hati. Kumiringkan kepalaku dan bisa kulihat dosen killer itu sedang melihat kearahku.

“Malam Bu. Maaf telat bangat. Ada meeting dikantor.” Kataku gugup.

Ibu itu tidak menjawabku. Matanya melotot mengisyaratkan aku untuk pulang. Aku tidak akan menyerah merayunya.

“Bu, Sharon masuk ya. Soalnya Sharon suka bangat sama pelajaran ini.” aku memberanikan diriku melangkah masuk kedalam. Ibu itu menatapku tajam. Aku terus berjalan menuju bangku disebelah Ellena. Sebagian mata siswa dikelas itu memandangiku dan sebagian sedang berusaha menahan tawa karena ulahku. Aku duduk disamping Ellena tanpa rasa bersalah.

“Sharon !” dosen itu akhirnya menyebutkan namaku. Matanya tidak menatapku tetapi sibuk diabsen kelas.

“Ya Bu !” jawabku tanpa rasa bersalah.

“Kamu boleh ikut kelas ibu karena kamu suka, namun absen kamu tetap ibu kosongkan dan ibu anggap alfa !” kata ibu tersebut sambil mengerakkan tangannya dan menutup absennya.

“Tidak masalah bu, asal bisa mendengarkan pelajaran ibu, Sharon sudah senang.” Jawabku antusias. Seluruh siswa dikelas tertawa.

“Oke. Kita sampai dimana tadi !” ibu itu mulai menenangkan kelasnya dan melanjutkan pelajaran yang sempat terhenti.

“Kamu memang luar biasa ron !” kata Ellena sambil menyikut tanganku. Aku hanya tersenyum dan  fokus pada pelajaran hari ini.

Ellena Lee, teman pertamaku dikampus ini. Kami mengambil jurusan yang sama dan berada dikelas yang sama. Awal perkenalan kami dimulai saat pertama kali aku masuk sebagai siswa baru dan nyasar saat mencari kelasku. Aku melihat dia sedang berputar – putar kebinggungan. Akhirnya kami berkenalan dan ternyata kami berada dikelas yang sama. Ellena bisa dikatakan berasal dari kalangan orang kaya, dia memiliki mobil sendiri dan tinggal disalah satu kawasan elite tidak jauh dari area kampus. Alasan dia berkuliah dikampus sederhana ini adalah karena dia ingin mandiri. Dia ingin membayar uang kuliahnya sendiri dan membuktikan pada teman – teman SMA nya dulu bahwa dia bisa berhasil dari usahanya sendiri, bukan dari pemberian orangtuanya.

Sebagai anak salah satunya, Ellena seharusnya mendapatkan kasih sayang yang besar dari kedua orangtuanya, tetapi kenyataan yang Ellena dapatkan malah kebalikkannya. Kasih sayang yang besar berubah menjadi tuntutan keras kedua orangtuanya. Ellena akhirnya memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri dan berakhir dikampus sederhana ini. Kepribadiannya yang ceria membuat tidak ada orang yang percaya bahwa dia menyimpan luka yang begitu besar didalam dirinya. Penolakan dari orangtuanya, tidak mendapatkan pengakuan dan berbagai hal juga dirasakan oleh Ellena. Hal ini membuat kami menjadi teman yang akrab. Aku menganggap Ellena sebagai sosok penganti Silvi yang sudah meloncong jauh menempuh pendidikannya.

“Sharon, besok jadi yah kita kerjain skripsi bareng.” tanya Ellen.

“Oh iya. Dicafe kesukaan kita kan ya.” Jawabku singkat.

“Iya, kabarin ya kalau kamu sudah sampai rumah. Biar aku aja yang jemput.” Kata Ellena.

Kulirik jam tanganku yang menandakan pelajaran saat ini akan segera selesai. Ada rasa ngantuk yang luar biasa. Aku akan segera pulang dan tidur. Ellena tidak mengajakku nongkrong hari ini. Biasanya kami selalu singgah untuk makan malam terlebih dahulu sebelum pulang kerumah. Pasti dia ada plan lain hari ini.

“See you Sharon.” Kata Ellena sambil beranjak terburu - buru setelah dosen tersebut keluar dari kelas.

“Iya.” Aku melambaikan tanganku sambil merapikan kertas – kertas yang tadi kukeluarkan dari motor.

Kutatapi halaman pertama kumpulan kertas tersebut. Halaman pertama yang berisikan namaku. Tidak terasa sebentar lagi aku akan segera lulus. Aku juga sudah memiliki pekerjaan yang sungguh membantuku untuk bisa berkuliah. Semua karena Silvi, dan seandainya aku meminta Silvi untuk tetap tinggal, mungkin dia tidak akan berkuliah sejauh saat ini.

 

(Hari kelulusan SMA)

“Sharon, itu sudah ditempel. Semoga kita lulus ya.” Kata Silvi gugup.

“Pasti gugup.” Aku berusaha tenang. Kugengam tangan Silvi yang terasa berkeringat karena gugup. Kami berada dideretan paling belakang mading sekolah. Tidak ingin berebut dengan anak lainnya. Sebagian anak yang sudah melihat hasil ujian mereka segera berlari dan bersorak, pertanda mereka lulus. Dan ada sedikit yang tampak langsung menagis didepan mading. Jelas gagal dalam ujian terakhir. Tidak semua anak lulus. Ada sedikit rasa ragu dalam diriku. Bagaimana jika aku tidak lulus. Mungkin aku akan berhenti sekolah.

Kami semakin mendekati mading, jantungku berdenyut dengan kencangnya. Kugengam tangan Silvi dengan erat. Kami saling pandang dan menyakinin satu sama lain. Kami berada didepan manding dan mataku mulai mencari namaku. Silvi meloncat seketika dan melepaskan gengaman tanganku. Dia lulus. Silvi Tan diurutan siswa ke 79 yang lulus. Aku mulai cemas karena namaku tidak kunjung kutemukan. Silvi Tan memelukku sebentar lalu membantuku mencari namaku.
“Sharon.. Sharon..” Silvi menarik bajuku.

“Nomor 127 Sharon.” Teriaknya dan memelukku dengan erat.

Kuahlikan mataku ke nomor 127 dan disana tertera namaku, Sharon Wave. Lulus !! Aku lulus !! kupandangi Silvi dan kami berpelukan dengan erat. Kami lulus bersama !

“Ikut arek arek sama anak – anak lainnya yuk !” ajak Silvi.

Belum sempat kujawab ajakan tersebut, Silvi sudah menarik tanganku dan berjalan dengan cepat keparkiran motor. Kami berkeliling bersama teman lainnya dengan mengunakan sepeda motor, membuat kemacetan dibeberapa sisi jalan raya. Cat pilox ikut meramaikan kebahagiaan kami. Bajuku terkena beberapa jenis semprotan. Aku tidak bisa ikut menyemprot teman lainnya karena tidak membeli cat sama sekali. Aku tidak pernah membuang uangku untuk hal tidak berguna.

Silvi, dengan cat merah pekatnya mengukir inisial namanya dibagian pundak bajuku.

“Biar kamu tidak melupakan aku ron.” Katanya sambil tertawa.

Dia lalu memberikan cat tersebut padaku dan memintaku mengukir inisial namaku dibelakang bajunya. Aku tersenyum dan mulai mencoret – coret bajunya. Ada kebahagiaan yang terasa olehku seirama dengan semprotan yang keluar dari botol tersebut. Perjuangan 12th ku dibangku sekolah akhirnya selesai. Aku akan menjalani kehidupan baruku sebentar lagi.

Perayaan kelulusan kami diakhiri dengan acara makan bersama disalah satu warung nasi uduk. Karena tidak memiliki uang, aku memutuskan untuk pulang duluan dengan alasan ada acara lainnya. Aku akan berjalan kaki karena lokasi warung nasi uduk berada tidak jauh dari rumah.

“Kamu bener mau balik duluan ? Aku antarin dhe.” Kata Silvi sebelum memesan nasi uduk.

“Iya Sil, ehh rumahku kan dekat dari sini. Gpp aku jalan kaki saja.” tolakku halus.

“Yakin karena ada acara, bukan karena …” Silvi berbisik ditelingaku.

“Iya bener. Kamu enjoy ya. Aku jalan dulu, mama pasti sudah menungguku.” Kataku sambil pamit pada Silvi.

Matahari sudah mulai menyembunyikan dirinya dibalik awan. Aku pulang melalui salah satu gang kecil karena tidak ingin Silvi menyusuliku. Dia pasti kecewa jika tahu aku bohong lagi padanya. Ingin aku jujur padanya, namun aku terlalu takut karena aku selalu menjadi beban baginya. Dia tidak pernah keberatan setiap kali harus membantu masalah keuanganku. Sebagai gantinya, aku membantu dia belajar dan terkadang aku membantu dia lari dari kewajibannya menjaga toko dengan alasan belajar bersama. Aku tersenyum sendiri seraya membayangkan pertemanan kami. Ada rasa sedih juga didalam hatiku saat ini, berpisah dengan Silvi dan memulai kehidupan baru kami. Apakah aku bisa mendapatkan pekerjaan dan berkuliah seperti sebagian teman lainnya.

“Ma.” Panggilku dari belakang rumah. Aku terlalu lelah untuk berputar dan masuk dari pintu depan. Selain itu, mama pasti sedang berada didapur dan akan lebih mudah baginya membukakan pintu.

Tidak ada sahutan apapun.

“Ma…” teriakku lagi.

“Ya !!”

Aku tersentak kaget mendengar suara Silvi dari balik pintu.

Pintu terbuka dan Silvi, dengan pakaian seragamnya berdiri tersenyum. Wajahku seketika berubah pucat. Apa yang dia lakukan disini !

“Ayoklah masuk !” dia menarik tanganku, membawaku masuk seolah aku adalah tamunya.

Kulihat mama yang sedang duduk dimeja makan. Ada nasi uduk dan ayam disana. Kupandangi Silvi yang tersenyum tanpa rasa bersalah dan mengajakku duduk disalah satu kursi yang sudah disediakan.

“Mari makan !” sambung Silvi dengan semangat dan mulai makan.

Kutatapi Silvi dan kupandangi mama. Mereka makan dengan lahapnya.

Whateverlah. Aku mulai mengambil ayam dan makan dengan lahap. Aku tidak mengerti apa yang ada didalam pikiran Silvi, namun satu hal yang aku tahu secara pasti, dia adalah teman terbaikku.

Kami menyelesaikan makan kami dan mama pergi kekamar untuk beristirahat sebentar. Aku dan Silvi membersihkan dapur bersama.

“Sharon, kamu harus mengasa bakat acting kamu.” Silvi mulai membuka pembicaraan.

“Iya, maaf.”

“Bukan masalah maafnya. Kamu itu kenapa sih selalu bohong sama aku !” suaranya sedikit tinggi.

“Aku tidak mau selalu jadi beban kamu. Itu saja kok.”

“Sharon !”

Silvi membalikkan badanku dan menatapku. Matanya bertemu langsung dengan mataku, aku berusaha membuang pandanganku.

“Lihat aku !” perintah Silvi.

Kuberanikan diriku menatapnya. Matanya berkaca – kaca, tangannya erat mengengam kedua pundakku.

“Aku ini siapa sih buat kamu, sahabat atau hanya seperti teman lainnya ?!”

Aku tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan padanya. aku terdiam dan melihatnya menagis didepanku. Aku pasti sudah sangat melukai hatinya hari ini.

“Aku capek Sharon ! bukan karena berteman denganmu aku capek. Aku capek selalu kamu bohongi. Apakah arti persahabatan kita selama ini begitu rendah dimatamu !” tanyanya lagi.

Aku tidak memberikan jawaban apapun dan memeluknya. Aku sadar bahwa dia adalah sahabat terbaikku. Aku tidak akan membuatnya menagis lagi. Apapun yang terjadi !

“Iya, makasih ya Ai.” Kataku sambil mematikan telepon yang berada ditanganku.

Kulihat Silvi yang sudah tertidur dikasur, aku mengunakan ponsel Silvi untuk memberitahu mamanya bahwa malam ini dia nginap bersamaku. Awalnya kupikir kami akan bergadang bersama. Silvi segera pergi mandi setelah kami selesai membersihkan dapur. Dia mengunakan kaos dan celana tidurku karena ukuran badan kami sama besar. Kutinggalkan dia sendirian dikamar dan pergi mandi. Agak lama karena aku mencuci rambutku, setelah selesai, aku sudah menemukan Silvi dalam keadaan tertidur pulas. Tidak tega kubangunkan, akhirnya kuputuskan untuk menelepon mamanya. Aku diberikan kepercayaan untuk membuka ponsel Silvi juga sehingga kapanpun aku membutuhkan ponsel, aku bisa mengunakan ponselnya.

Kutarik selimut yang berada tidak jauh dari kakinya dan kurapatkan kebadan Silvi. Aku tidak percaya perkenalan kami yang sederhana diperpustakaan bisa membawaku mendapatkan teman sejati seperti dia. Silvi selalu membantuku didalam segala hal, terkadang aku bukan ingin berbohong padanya, aku hanya takut menyusahkannya terus menerus. Meskipun dia selalu berkata tidak masalah, atau percayakan padaku. Ada rasa didalam diriku yang ingin melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Silvi. Tapi keterbatasanku membuat aku tidak mampu melakukannya, salah satu yang bisa kuberikan hanyalah membagi ilmuku. Aku tergolong siswa yang lumayan pandai didalam kelas. Kepintaranku bertambah seiring dengan waktu, dan masa SMA adalah masa keemasan akademikku. Aku memanfaatkannya untuk mendapatkan uang tambahan, meskipun salah, aku tidak pernah memperdulikannya. Bagiku, membantu anak orang kaya menyelesaikan tugas mereka adalah hal yang normal. Selain menambah ilmuku sendiri, aku juga bisa mendapatkan uang dari sana.

“Silvi sudah tidur ?” tanya mama yang tiba – tiba mengintip dari balik pintu kamar.

“Shutt.. iya ma. Nanti mama tidur sampingnya ya, aku tidur dilantai.” Kataku pelan.

“Eh, mama saja dilantai. Kamu sama Silvi berdua.” Mama berlalu tanpa menunggu jawabanku.

Kulihat kamarku yang tidak terlalu besar. Lantainya masih murni terbuat dari semen. Pasti mama akan kedinginan jika tidur dilantai. Ah ! masa bodoh dengan permintaan mama. Kuambil salah satu bantal dari kasur dan segera terlelap dibawah dinginnya lapisan semen lantai.

“Ughh..”

Sinar matahari pagi yang lembut membangunkanku. Kubuka mataku dengan berat dan berusaha melihat siapa yang membuka tirai jendela kamarku. Silvi berdiri tidak jauh dari sana.

“Pagi Sharon !” sapanya dengan penuh semangat sambil melihat kearahku.

Aku berusaha bangun dan seluruh badanku terasa sakit, efek tidur dilantai dingin semalaman. Kuperhatikan kasurku yang sudah tidak berpenghuni. Mama sudah bangun juga. Kulirik jam yang sudah mengarah ke angka 8 pagi. Astaga ! aku teringat bahwa aku harus kesekolah jam 10 pagi. Segera aku beranjak dan lari kekamar mandi. Silvi hanya tersenyum melihat tingkahku.

Kuselesaikan mandiku dengan cepat dan sedikit merepet pada Silvi yang tidak membangunkanku sedari tadi. Pagi ini mama masak nasi goreng sederhana untuk kami. Kuhabiskan dengan cepat karena Silvi sudah makan duluan. Kami adalah lulusan yang tidak perlu masuk kelas lagi, sehingga kehadiran kami disekolah saat ini hanya untuk menyelesaikan berbagai kewajiban dan membersihkan kelas kami serta salam perpisahan dengan para guru. Kuraih rok abu – abuku yang sudah mulai kusam dan kupadukan dengan kaos hitam. Kami tidak perlu mengunakan seragam sekolah lagi. Rasanya sungguh bebas. Tentunya Silvi meminjam kaosku sekali lagi karena malas pulang.

Pertama kali dalam hidupku berangkat kesekolah dengan mengunakan motor bersama sahabatku. Biasanya aku selalu berjalan kaki dengan tentengan kerupuk ditanganku. Mama tidak menitip kerupuk hari ini karena sekolah sudah mulai sepi. Biasanya mama akan berleha – leha dirumah dan membuat kerupuk untuk kedai saja jika sudah memasuki musim ujian. Kami sampai disekolah yang bisa dikatakan sudah terasa seperti kuburan. Setelah membersihkan kelas, kami duduk dikantin sambil membicarakan masa depan.

“Jadi, kamu kuliah dimana Sharon ?” tanya Silvi.

“Mungkin aku kerja dulu baru kuliah. Kalau kamu ?”

“Aku mau ke Jakarta. Mau jadi sarjana ekonomi.” Jawab Silvi ragu.

“Oh ya ! bagus dong ! kamu harus belajar yang rajin disana ya, dan cepat lulus !” aku menyemangati Silvi.

“Iya, pastinya dong. Kamu juga ya !”

Kami menghabiskan hari terakhir kami disekolah dengan berbagai topik lucu. Ada rasa berat dihatiku mengetahui bahwa Silvi akan menempuh pendidikan ditempat yang jauh. Aku tidak akan merusak masa depannya dengan melarang kepergiannya. Aku akan sukses dengan cara yang berbeda, dan jika aku punya uang lebih, aku akan mengunjunginya dijakarta suatu hari nanti.

Silvi memintaku menemaninya ke mall sebelum mengantarkanku pulang hari ini. ada beberapa barang yang ingin dia beli sebagai persiapan kepergiannya. Dengan senang hati aku menemani sahabatku. Kami membeli berbagai macam perlengkapan, mulai dari sabun, baju dan beberapa barang lainnya.

“Sharon, tunggu sebentar disini.” Kata Silvi tiba – tiba saat kami berada disebuah toko hp.

Aku menuruti permintaannya dan duduk disalah satu kursi tidak jauh dari toko yang Silvi datangi. Beruntung sekali kehidupan Silvi yang bisa mendapatkan semua yang diinginkan, termasuk berkuliah keluar kota. Semuanya tampak begitu mudah baginya. Jika ingin makan, dia tinggal beli. Jika ingin ponsel baru, dia tinggal minta, dan jika ingin berkuliah, dia tinggal ngomong. Seandainya kehidupanku seperti dia.

“Ini buat kamu Sharon.” Sebuah plastik putih tersodor kearahku.

Silvi memberikanku sebuah ponsel. Berada antara perasaan senang ataupun sedang bermimpi, aku tidak berani menyentuh plastik itu sama sekali, dan tidak ada satupun kata yang bisa keluar dari bibirku saat ini.

“Ini ambil buat kamu lho.” Kata Silvi lagi.

Diletakkanya plastik tersebut dipahaku dan duduk disampingku. Kupandangi bungkusan tersebut dan tidak bisa berkata apapun padanya.

“Aku kan mau pergi jauh. Dan aku bakalan kangen sama kamu. So, mumpung aku ada sedikit uang, kamu bisa pakai ponsel ini. Anggap hadiah dari aku ya, aku teringat saat pertama kali kita berkenalan. Kalau tidak ada kamu, mungkin aku sudah pindah sekolah lagi.” Lanjut Silvi.

“Jadi, minimal kita bisa saling update kabar kan. Suatu hari besok, kalau kamu sudah sukses, belikan aku ponsel keluaran terbaru ya.” Tutup Silvi.

Ada genangan air mata yang siap terjatuh diujung mataku. Aku memeluk dia dengan erat. Hati kecilku menjerit agar dia tidak pergi dan kuliah disini, namun disisi lainnya, aku ingin dia mendapatkan pendidikan terbaik dan meraih masa depan terbaik juga. Aku harus merelakan kepergiannya.

Kuhabiskan malam terakhir bersama Silvi dirumahnya. Ada begitu banyak kenangan kami semasa SMA dulu. Dia membelikanku nomor ponsel baru dan kami saling menyimpan nomor kami. Malam ini terasa begitu berat bagiku untuk terlelap, begitu juga Silvi. Kami menunggu fajar tiba dengan menonton berbagai film komedi dan horror.

“Kamu sudah siap ?” tanya mama Silvi.

“Iya ma.” Jawab Silvi semangat.

“Sharon ikut kebandara ya.” Mama Silvi memberikan kode padaku untuk ikut mengantar kepergian anaknya tersebut.

“Tentu dong Bu !” kuberikan jawaban penuh semangat.

Perjalanan kami kebandara terasa sunyi karena aku tidak tahu harus berkata apa. Begitu juga dengan Silvi. Sesampainya dibandara, Silvi memberikanku pelukan erat terakhir, seolah berat meninggalkan kami semua. Airmataku jatuh dan dengan pelan dia berbisik padaku, “Kita pasti sukses dan bertemu kembali.” Dan dia berlalu pergi. Kulambaikan tanganku dan kuhapus airmataku. Perjuangan kami baru akan dimulai, dan sukses, adalah tujuan kami. Kami akan bertemu kembali dengan kehidupan yang berbeda. Dan dia akan tetap menjadi teman terbaikku. Kupalingkan badanku dan keluar dari bandara bersama keluarga Silvi. Jarak tidak akan memecahkan persahabatan kami.

 

Kertas tersebut sudah tersusun dengan rapi ditanganku. Kuraih tasku dan berjalan menuju koperasi kampus untuk menjilidnya menjadi buku yang akan aku kumpulkan besok. Bagaimana kabar Silvi disana, apakah dia sedang menyelesaikan tugas terakhirnya juga. Aku selalu bertanya – tanya akan kabar dan keadaannya karena sudah 2 semester dia tidak pulang. Dan kami juga sudah mulai jarang berkomunikasi. Kenyataan dimana sebenarnya Silvi tidak ingin kejakarta baru aku ketahui saat aku mengunjungi tokonya dan bertanya pada mamanya karena Silvi mulai suka mengabaikan pesanku, bahkan tidak pulang.

Mama Silvi awalnya berat memberitahuku, namun karena kegigihanku dan rasa cemasku yang luar biasa pada anaknya, akhirnya mama silvi memberitahu kenyataan sesungguhnya. Kujelaskan alasan kenapa aku tidak mencengah kepergian Silvi, dan mamanya menerima dengan baik. Kutelepon Silvi segera setelah sampai rumah dan menjelaskan alasan kenapa aku mendukung kepergiannya, dan dia marah. Aku bahkan tidak mengerti kenapa dia begitu marah padaku. Aku berusaha menjadi sahabatnya yang jujur. Dan sejak saat itu, kami sangat jarang berkomunikasi. Jika biasanya kami selalu membalas chat satu sama lainnya dalam hitungan menit, berubah menjadi jam dan sekarang berubah menjadi beberapa hari sekali.

(pip.. pip)

Kubuka pesan yang masuk, Ellena. Aku tersenyum membaca pesannya setiap saat. Dia selalu mengingatkanku untuk mengunakan jaketku saat akan berkendara, mengingatkanku untuk makan teratur dan aku juga menjadi tempat curhatnya. Terkadang Ellen terasa seperti penganti Silvi bagiku. Aku bahkan terkadang membayangkan bagaimana jadinya ketika Ellena bertemu dengan Silvi, apakah mereka bisa berteman dengan baik juga.

Jilitanku selesai dan segera aku berjalan keparkiran yang sudah mulai terasa sepi. Kupasang jaket merah berbulu hangat dibadanku sebelum mulai menyalakan motor. Ini adalah jaket pertamaku yang harganya lumayan mahal, sekaligus jaket pertama yang kuperoleh dari hasil keringatku sendiri. Begitu juga dengan motor yang saat ini kugunakan. Aku membelinya secara kredit selama 1 tahun dan sekarang sudah lunas. Aku mengunakan gajiku untuk kebutuhan rumah dan melanjutkan kuliah hingga saat ini. Terbesik keinginanku untuk mengunjungi Silvi kejakarta, namun harga tiketnya yang mahal membuatku berpikir kembali. Silvi pasti akan mengerti, yang terpenting saat ini adalah aku menyelesaikan pendidikanku terlebih dahulu. Kunyalakan motorku dan pulang kerumah. Rutinitasku saat ini adalah bekerja dengan baik dari pagi hingga sore dan malamnya masuk kuliah. Ada rasa lelah bagiku, namun cita – citaku untuk sukses membuat semua rasa lelah tersebut sirna. Usaha tidak akan menghianati hasilnya.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
PENTAS
1039      623     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
Senja (Ceritamu, Milikmu)
5903      1499     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Aku benci kehidupanku
350      232     1     
Inspirational
Berdasarkan kisah nyata
Enigma
1476      816     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
LELATU
210      183     0     
Romance
Mata membakar rasa. Kobarannya sampai ke rongga jiwa dan ruang akal. Dapat menghanguskan dan terkadang bisa menjadikan siapa saja seperti abu. Itulah lelatu, sebuah percikan kecil yang meletup tatkala tatap bertemu pandang. Seperti itu pulalah cinta, seringkalinya berawal dari "aku melihatmu" dan "kau melihatku".
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
225      182     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Me vs Idol
372      274     1     
Romance
Beach love story telling
2758      1397     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Cowok Cantik
12298      1972     2     
Romance
Apa yang akan kau lakukan jika kau: seorang laki-laki, dianugerahi wajah yang sangat cantik dan memiliki seorang ibu dari kalangan fujoshi? Apa kau akan pasrah saja ketika ditanya pacarmu laki-laki atau perempuan? Kuingatkan, jangan meniruku! Ini adalah kisahku dua tahun lalu. Ketika seorang laki-laki mengaku cinta padaku, dan menyebarkannya ke siswa lain dengan memuat surat cintanya di Mading...
Survival Instinct
260      215     0     
Romance
Berbekal mobil sewaan dan sebuah peta, Wendy nekat melakukan road trip menyusuri dataran Amerika. Sekonyong-konyong ia mendapatkan ide untuk menawarkan tumpangan gratis bagi siapapun yang ingin ikut bersamanya. Dan tanpa Wendy sangka ide dadakannya bersambut. Adalah Lisa, Jeremy dan Orion yang tertarik ketika menemui penawaran Wendy dibuat pada salah satu forum di Tripadvisor. Dimulailah perja...